Rabu, 19 Februari 2014

Asma' Binti Abu Bakar As Siddiq

Ibu Teladan Asma' Binti Abu Bakar As Siddiq, Dzatun Nithaqain 

 

“Ya ALLAH! Kasihanilah dia karena solat yang panjang diselingi tangisan di tengah kedinginan malam yang sepi, ketika orang-orang lain sedang nyenyak dibuai mimpi. Ya ALLAH! Kasihanilah dia yang sering menahan lapar dan dahaga ketika bertugas jauh dari Madinah atau Mekah dalam menunaikan ibadah puasa kepadaMu. Ya ALLAH! Aku menyerahkannya di bawah pemeliharaanMu, aku redha dengan apa yang telah Engkau tetapkan bagiku dan baginya, dan berilah kami pahala orang-orang yang sabar...!" (Doa Asma' radhiallahu anha buat puteranya, Abdullah bin Zubair)

Asma' binti Abu Bakar As-siddiq, saudara Aisyah Ummul Mukminin (isteri Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam), puteri sahabat Rasulullah yang mulia, Saidina Abu Bakar As-siddiq, isteri Zubair bin Awwam, pejuang dan tokoh Islam yang mengutamakan redha ALLAH di dalam perjuangannya, Merupakan seorang wanita muhajir yang mulia dan Ibunda Abdullah bin Zubair, salah seorang pejuang yang gugur mempertahankan agamanya, dan sesungguhnya kedudukannya ini cukup untuk mengangkat darajat beliau ke tempat yang tinggi, mulia dan terpuji. Peribadinya dirahmati ALLAH dengan keistimewaan yang sangat menonjol, setanding dengan para Muslimin ketika itu, cerdas, cerdik, lincah, pemurah dan berani.
Kedermawanan beliau dapat dilihat jelas melalui ucapan anaknya," Aku belum pernah melihat wanita yang sangat pemurah melebihi Ibuku termasuk Aisyah Radhiallahu anha. Beliau (Aisyah) mengumpulkan apa yang diperolehnya sedikit demi sedikit, lantas setelah itu barulah dinafkahkannya kepada mereka yang memerlukannya. Sedangkan Ibuku, dia tidak pernah menyimpan sedikit pun hingga hari esok"

Kebijaksanaan Dzatun Nithaqain
Kecemerlangan berfikir Asma Radhiallahu anha terpancar dari sikapnya yang penuh prihatin dan perhitungan yang bijaksana. Peristiwa Hijrah Abu Bakar menyaksikan pengorbanan seorang sahabat demi Islam, tidak meninggalkan sesen pun harta untuk keluarganya melainkan dibelanjakan keseluruhannya untuk ALLAH dan RasulNya.  Ketika Abu Quhafah (ayah Abu Bakar radhiallahu anhu) yang masih musyrik menemui keluarganya, beliau berkata kepada Asma',
"Demi ALLAH! Tentu ayahmu telah mengecewakanmu dengan hartanya, di samping akan menyusahkanmu dengan kepergiannya!".  Jawab wanita yang mulia ini, "Tidak wahai kakek! sekali-kali tidak! Beliau banyak meninggalkan uang buat kami" ujarnya sambil menghibur dan menenangkan kakeknya. Dikumpulkannya batu-batu kerikil yang kemudiannya dimasukkan ke dalam lubang tempat kebiasaannya menyimpan uang. Kemudian dibawakan kakeknya yang buta itu ke tempat simpanan tersebut, lantas berkata, "Lihatlah kakekku! Beliau banyak meninggalkan uang buat kami!". Perkataan tersebut ternyata mampu meyakinkan Abu Quhafah. Maksud perbuatan tersebut adalah untuk menyenangkan hati kakeknya, agar tidak bersusah hati memikirkan hal tersebut. Malah, Asma'  juga tidak menginginkan bantuan dari orang musyrik meskipun kakeknya sendiri. Inilah bukti yang menunjukkan besarnya perhatian beliau terhadap dakwah dan kepentingan kaum Muslimin.

Diberi julukan sebagai 'dzatun nithaqain' oleh Rasulullah Saw yang berarti "wanita yang mempunyai dua tali pinggang", sebagai peringatan terhadap peristiwa Hijrah yang menyaksikan pengorbanan dan keberanian Asma' yang tiada bandingannya. Beliau bersusah payah menyediakan bekal makanan dan minuman buat Rasulullah Saw dan Abu Bakar Radhiallahu anhu di saat genting seperti itu. Beliau mengoyakkan ikat pinggangnya menjadi dua untuk dijadikan tali pengikat untuk mengikat bekal makanan dan minuman tersebut, sehingga peristiwa itu Rasulullah mendoakan beliau agar digantikan tali pinggang tersebut dengan yang lebih baik dan lebih indah di syurga kelak.

Tidak hanya itu pengorbanan Asma Radhiallahu anha. Peristiwa hijrah ini turut menyaksikan kekuatan berfikir dan strategi yang dimiliki oleh seorang Muslimah hasil kecemerlangan berfikir yang dilandasi ketaqwaan dan keimanan yang teguh. Asma' Radhiallahu anha bukan sekadar menjadi pengantar makanan kepada dua orang sahabat yang berperanan penting bagi umat Islam, malah beliau juga menyampaikan berita-berita penting tentang rencana-rencana pihak musuh terhadap kaum Muslimin. Dengan kehamilannya ketika itu, Asma' mengambil  peranan yang menjanjikan risiko tinggi, di mana bukan saja nyawanya menjadi taruhan, malah lebih dari itu, nyawa Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam dan ayahnya turut juga terancam. Memikirkan kemarahan musuh Islam lantaran lolosnya Rasulullah dari kepungan, kafir Quraisy pastinya akan berusaha bersungguh-sungguh mencari-cari Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam untuk dibunuh karena bencinya mereka terhadap dakwah Islam dan pejuang-pejuangnya.

Di saat-saat genting seperti itu, Asma' mampu meramal segala kemungkinan yang bakal terjadi, dan dengan kecerdikan dan penuh perhitungan, beliau berjalan menuju Gua Tsur sambil menggembala kambing-kambingnya berjalan di belakangnya. Taktik ini dilakukan untuk mengaburi mata pihak musuh karena jejaknya terhapus oleh jejak-jejak kambing gembalaannya itu. Tindakan ini belum tentu mampu dilakukan oleh seorang lelaki yang berani sekalipun, lantaran hal tersebut bakal mengundang bahaya, kezaliman, dan kekejaman orang-orang kafir Quraisy.

Permasalahan ini tidak cukup sampai di situ. Setelah keberhasilan Rasulullah Saw dan Abu Bakar keluar dari tempat persembunyian dan berhasil berhijrah ke Madinah, Asma' Radhiallahu anha dan keluarganya didatangi beberapa orang Quraisy, di antaranya Abu Jahal yang telah bertindak kasar menampar pipi Asma’ Radhiallahu anha dengan sekali tamparan yang mengakibatkan subangnya terlepas!. Asma' menjawab saat beliau ditanya tempat persembunyian Rasulullah dan ayahnya dengan berkata," Demi Allah, aku tidak tahu di mana ayahku berada sekarang!"

Hijrah Asma' Radhiallahu anha dan suaminya ke Madinah berlaku selang beberapa lama dari hijrah sebelumnya, di mana pada ketika itu Asma' sedang dalam keadaan mengandung Abdullah bin Zubair dan hanya menanti detik-detik kelahirannya. Perjalanan yang jauh dan berbahaya ditempuh jua bersama dengan para sahabat tiba di Quba'. Kelahiran anak pasangan sahabat ini disambut dengan penuh kesyukuran dan kegembiraan. Dialah bayi pertama yang dilahirkan di Madinah.

Sebaik-baik Ummu wa Rabbatul Bait
Seorang muhajirah yang agung, antara wanita yang awal memeluk Islam, sangat memuliakan suaminya meskipun Zubair hanya seorang pemuda miskin yang tidak mampu menyediakan pembantu buatnya. Hatta tidak mempunyai harta yang dapat melapangkan kehidupan keluarganya, melainkan hanya seekor kuda yang dijaganya dengan baik. Beliaulah isteri yang senantiasa sabar dan setia berkhidmat untuk suaminya, sanggup bekerja keras merawat dan menumbuk sendiri biji kurma untuk makanan kuda suaminya di saat Zubair sibuk menjalankan tugas-tugas yang diperintah Rasulullah kepadanya.

Di dalam didikannya, keperibadian Abdullah bin Zubair dibentuk. Beliau adalah contoh seorang ibu yang sangat memahami peranannya dalam melahirkan generasi utama yang beriman, generasi yang menjadikan kecintaan kepada ALLAH dan RasulNya di atas segala-galanya, sama ada harta, isteri, keluarga maupun segala jenis perbendaharaan dunia. Beliau mencetak keperibadian generasi yang siap berjuang membela bendera Islam dan kalimah LA ILAHA ILLALLAH Muhammad Rasulullah. Keperibadian seperti ini terpancar jelas di dalam diri puteranya, Abdullah bin Zubair. Hal ini dapat kita teladani melalui kisah pertemuan terakhir di antara seorang ibu dan anak yang saling menyayangi dan mencintai satu sama lain, semata-mata kerana kecintaan keduanya kepada ALLAH Subhanahu wa Taala dan RasulNya.
Abdullah: Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, wahai ibunda!
Asma': Wa'alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh, ya Abdullah! Mengapa engkau datang ke sini di saat-saat seperti ini? Padahal batu-batu besar yang dilontarkan Hajjaj kepada tenteramu menggetarkan seluruh Kota Mekah?
Abdullah: Aku hendak bermusyawarah dengan ibu
Asma': Tentang masalah apa?
Abdullah: pasukanku banyak meninggalkanku. Mereka membelot dariku ke pihak musuh. Mungkin karena mereka takut terhadap Hajjaj atau mungkin juga karena mereka menginginkan sesuatu yang dijanjikannya sehingga anak-anak dan isteriku sendiri berpaling daripadaku. Sedikit sekali jumlah tentara yang tinggal bersamaku. Sementara utusan Bani Umayyah menawarkan kepadaku apa saja yang ku minta berupa kemewahan dunia asal saja aku bersedia meletakkan senjata dan bersumpah setia mengangkat Abdul Malik bin Marwan sebagai khalifah. Bagaimana pendapatmu wahai ibu?
Asma': Terserah kepadamu Abdullah! Bukankah engkau sendiri yang mengetahui tentang dirimu? Jika engkau yakin bahwa engkau mempertahankan yang haq dan mengajak kepada kebenaran, maka teguhkanlah pendirianmu seperti para perajuritmu yang telah gugur dalam mengibarkan bendera agama ini! Akan tetapi, jika engkau menginginkan kemewahan dunia, sudah tentu engkau adalah seorang anak lelakiku yang pengecut! dan berarti engkau sedang mencelakakan dirimu sendiri dan menjual murah harga kepahlawananmu selama ini, anakku!
Abdullah: Akan tetapi, aku akan terbunuh hari ini ibu.
Asma' : Itu lebih baik bagimu daripada kepalamu akan diinjak-injak juga oleh anak-anak Bani Umayyah  dengan mempermainkan janji-janji mereka yang sangat sukar untuk dipercayai!
Abdullah: Aku tidak takut mati, Ibu. Tetapi aku khuatir mereka akan mencincang dan merobek-robek jenazahku dengan kejam!
Asma': Tidak ada yang perlu ditakuti perbuatan orang hidup terhadap kita sesudah kita mati. Kambing yang sudah disembelih tidak akan merasa sakit lagi ketika kulitnya dikupas orang!
Abdullah: Semoga Ibu diberkati ALLAH. Maksud kedatanganku hanya untuk mendengar apa yang telah ku dengar dari ibu sebentar tadi. Allah Maha Mengetahui, aku bukanlah orang yang lemah dan terlalu hina. Dia Maha Mengetahui bahwa aku tidak akan terpengaruh oleh dunia dan segala kemewahannya. Murka ALLAH bagi siapapun yang meremehkan segala yang diharamkanNya. Inilah aku, anak Ibu! Aku selalu patuh menjalani segala nasihat Ibu. Apabila mati, janganlah ibu menangisiku. Segala urusan dari kehidupan Ibu, serahkanlah kepada ALLAH!
Asma': Yang ibu khuatirkan seandainya engkau mati di jalan yang sesat.
Abdullah: Percayalah Ibu! Anakmu ini tidak pernah memiliki fikiran sesat untuk berbuat keji. Anakmu ini tidak akan menyelamatkan dirinya sendiri dan tidak memperdulikan orang-orang Muslim yang berbuat kebaikan. Anakmu ini mengutamakan keredhaan ibunya. Aku mengatakan semua ini di hadapan ibu dari hatiku yang putih bersih. Semoga ALLAH menanamkan kesabaran di dalam sanubari Ibu.
Asma': Alhamdulillah! segala puji bagi ALLAH yang telah meneguhkan hatimu dengan apa yang disukaiNya dan yang Ibu sukai pula. Rapatlah kepada Ibu wahai anakku, Ibu ingin mencium baumu dan menyentuhmu. Agaknya inilah saat terakhir untuk ibu memelukmu..."
Abdullah:Jangan bosan mendoakan aku Ibu!

Sebelum matahari terbenam di petang itu, Abdullah bin Zubair syahid menemui Rabbnya. Dia kembali karena mengutamakan redha ALLAH dan redha ibunya yang beriman. Diriwayatkan, bahawa Al-Hajjaj berkata kepada Asma' setelah Abdullah terbunuh :"Bagaimanakah engkau lihat perbuatanku terhadap puteramu ?" 
Asma' menjawab :"Engkau telah merusak dunianya, namun dia telah merusak akhiratmu." Asma' wafat di Mekkah dalam usia 100 tahun, sedang giginya tetap utuh, tidak ada yang tanggal dan akalnya masih sempurna. [Mashaadirut Tarjamah : Thabaqaat Ibnu Saad, Taarikh Thabari, Al-Ishaabah dan Siirah Ibnu Hisyam].  
Semoga ALLAH meridhai kedua hambaNya, Asma' dan puteranya.

Berkaca pada Ibunda Teladan

Allah memberikan kecerdasan pada setiap perempuan, karena itu, pada perempuanlah anak dititipkan.

Tak ada wanita yang pernah berangan-angan tinggal di padang pasir tanpa penghuni. Apalagi bersama anak yang baru saja lahir dari kandungannya, jauh dari suami, jauh dari kerabat. Tak ada petunjuk ke mana harus berjalan, tak ada fasilitas memadai untuk membesarkan sang bayi. Semua tak berarah, yang ada hanya terbangan pasir dan gundukan gunung debu yang setiap saat bisa berubah menggulungnya.
Namun, ia tak menjadi gentar dengan kesendiriannya. Meski dengan hati yang sedih, ia tak hendak membenci suaminya yang meninggalkannya di gurun tak bertuan itu. Bahkan, ia sama sekali tak menggugat Tuhan yang telah memerintahkan suaminya untuk pergi meninggalkannya.
Kecerdasan Sebenarnya

Berbelas tahun kemudian, logika yang telah dituntun oleh ketundukkan, mengantarnya pada sebuah keikhlasan. Ikhlas menyerahkan buah hati yang selama ini diasuhnya sendirian, pada sang suami untuk disembelih. Itu terjadi justru di saat-saat kebersamaan baru saja kembali mereka rasakan. Lagi-lagi atas nama perintah Tuhan. Perempuan itu hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Tanda persetujuan. Yang ada, hanya keyakinan bahwa Allah ingin memberikan yang terbaik untuknya. “Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipatgandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar.” (An-Nisa [4] : 40).

Hajar, wanita itu, telah mengajarkan pada kaum perempuan. Mengajarkan sebuah makna kecerdasan yang tak lagi berbatas pada kecerdasan akal. Kecerdasan ini pula yang kemudian diwarisi oleh sahabiyah-sahabiyah di masa Rasulullah; ‘Aisyah, Fathimah, ‘Asma binti Abu Bakar, Hafsah binti ‘Umar bin Khaththab, dan sederet nama besar lainnya. Mereka mengajarkan makna yang tereja dalam keberhasilan mereka melahirkan generasi-generasi mujahid sekelas Hasan dan Husain, serta Abdullah bin Zubair bin ‘Awwam.
Kecerdasan itu niscaya tak pernah hilang, selama keikhlasan senantiasa bersemayam di hati seorang wanita. Mereka adalah perempuan-perempuan. Mereka adalah perempuan-perempuan yang diciptakan sama dengan apa yang kita miliki. Dengan demikian, kecerdasan yang mereka miliki pun tak mustahil kita miliki.

Kecerdasan yang sebenarnya, yang berasal dari sebuah hati yang sepenuhnya tunduk di hadapan kehendak-Nya. Kecerdasan itu hadir dari sebuah keikhlasan dan prasangka baik akan setiap takdir yang dibentangkan oleh Yang Mahaperkasa dalam kehidupan.
Kecerdasan Membuahkan Keperkasaan

Sungguh, ketundukkan hatilah yang telah mengantarkan Hajar, seorang ibu yang sebelumnya hanyalah seorang budak, mampu mendidik anaknya hingga beranjak remaja, saat kembali bersua dengan suaminya. Tanpa keluh, tanpa hasrat untuk meninggalkan anggapan buruk tentang Ayah dalam benak anaknya. Hanya kepasrahan yang ditularkannya pada sang anak, tentang keyakinan bahwa perintah Tuhannya tak akan membuat seorang hamba menderita. Ketundukan ini pula yang membuahkan kecerdasan dalam diri Asma binti Abu Bakar, Fathimah, Khadijah, dan wanita-wanita salihah lainnya, mendidik anak-anaknya dalam limpahan rasa syukur di tengah keterbatasan. Kecerdasan yang telah mengasuh kader-kader pilihan hingga kini. Kecerdasan yang membuat Allah hanya memilih wanita menjadi tempat bernaungnya seorang anak dari segala ketakutan.

Kecerdasan itu pula yang mengantarkan mereka menjadi sosok-sosok perkasa, di balik kelembutan mereka sebagai seorang ibu dan wanita. ‘Asma tak menangis menghiba manakala Hajjaj membunuh Abdullah bin Zubair, anaknya, kemudian menyalibnya. Ketika Hajjaj bertanya, “Bagaimana pendapatmu terhadapku tentang apa yang kuperbuat terhadap anakmu, wahai Asma’?” Asma dengan tenang menjawab, “Engkau telah memporak-porandakan dunianya, sedang dia telah memporak-porandakan akhiratmu.”

Kematian orang-orang tercinta tak membuat mereka menjadi luruh poranda. Kecerdasan jiwa telah meyakinkan mereka bahwa kematian bagi orang-orang tercinta adalah jalan untuk mengantarkan orang-orang tercinta pada kehidupan yang terbaik. Sebagaimana yang tergambar dalam dialog ‘Asma dengan Abdullah:

“Wahai Ibu, orang-orang telah mengkhianatiku, bahkan sampai istri dan anakku. Tidak ada yang tersisa,
 kecuali hanya sedikit orang. Mereka pun agaknya sudah tidak tahan untuk bisa bersabar lebih lama lagi. Sementara Hajjaj dan pasukannya menawarkan kesenangan dunia apa saja yang kumau, asal aku mau tunduk kepada mereka. Bagaimana pendapat Ibu?”

Dengan tegas Asma menjawab, “Demi Allah, wahai anakku, engkau lebih tahu tentang dirimu. Jika engkau mengetahui bahwa engkau berada di jalan yang benar dan engkau memang menyeru kepadanya, teruskanlah langkahmu. Sahabat-sahabatmu pun telah terbunuh karena mempertahankan kebenaran itu. Janganlah sekali-kali engkau dipermainkan oleh budak-budak Bani Umayyah. Sebaliknya, jika engkau menginginkan dunia, engkau adalah seburuk-buruk hamba yang mencelakakan dirimu sendiri dan orang-orang yang berjihad bersamamu.”

Asma yakin dan keyakinan itu membawanya pada sebuah pilihan cerdas: mendorong anaknya tetap memilih kehidupan terbaik, meski harus terpisah oleh ajal. Tak terkecuali ‘Asma, Hajar pun melakukan hal sama ketika mempersembahkan Ismail, juga Yukabad, ketika menghanyutkan Musa AS di sungai Nil. Mereka wanita-wanita shalihah, yang dengan kekuatan dan kecerdasan mereka memilih yang terbaik untuk anak-anaknya.

Belajar tentang makna ketundukkan penuh pada perintahNya, belajar menerima dengan ikhlas setiap kehendak yang ditetapkan-Nya pada kita. “Katakanlah: Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanyalah kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.” ( at-Taubah: 51)

Menangkap hikmah dari kisah ibunda-ibunda teladan di atas, mulai hari ini semestinya tak ada lagi perempuan yang berpandangan bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah. Sesungguhnya wanita sebagai Ibu adalah hamba-Nya yang diamanahi seorang anak, sebagai tanggung jawab utama. Di pundak seorang Ibu tertumpu kewajiban untuk menjadikannya mujahid dan mujahidah sejati. Ibulah yang harus mengenalkan mereka pada Allah, Sang Pemilik Kehidupan, pada Rasul-Nya, juga pada ayahandanya bila harus pergi meninggalkannya, semata untuk perintah Ilahi, termasuk manakala harus mengayuh roda kehidupan sendiri.

Semoga ALLAH meridhai kedua hambaNya, Asma' dan puteranya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar