Jumat, 07 Februari 2014

Pahala amal tidak putus

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ صَحِيحًا مُقِيمًا

”Apabila ada hamba sakit atau safar, dia dicatat mendapatkan pahala sebagaimana amalan yang dia kerjakan ketika sehat dan mukim.” (HR. Ahmad 19679, Bukhari 2996, dan yang lainnya).

Pahala Tanpa Putus Bagi Mukmin

Allah menjanjikan, orang mukmin yang beramal shaleh, mereka akan mendapatkan pahala tanpa putus,

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, mereka mendapat pahala yang tiada putus-putusnya”. (QS. Fushilat: 8)

Di ayat lain, Allah juga berfirman,

إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ

Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya. (QS. At-Tin: 6)

Al-Muhallab menafsirkan ayat ini dengan mengatakan,

يريد أن لهم أجرهم فى حال الكبر والضعف عما كانوا يفعلونه فى الصحة غير مقطوع لهم

“Maksudnya, bahwa mereka (orang mukmin) akan mendapatkan pahala ketika tua dan lemah, sebagaimana pahala amal yang mereka kerjakan ketika sehat, tanpa terputus.” (Syarh Shahih Bukhari Ibnu Batthal, 5/154).

Ayat ini semakna dengan hadis dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ صَحِيحًا مُقِيمًا

”Apabila ada hamba sakit atau safar, dia dicatat mendapatkan pahala sebagaimana amalan yang dia kerjakan ketika sehat dan mukim.” (HR. Ahmad 19679, Bukhari 2996, dan yang lainnya).

Betapa Maha Pemurahnya Allah, di saat kita tidak lagi mampu beramal, karena apapun sebabnya, kita tetap mendapatkan aliran pahala amal itu. Dengan syarat, kita memiliki amal soleh yang dikerjakan secara rutin.

Di saat fisik kita masih memungkinkan untuk banyak beramal, rutinkan beberapa amal soleh yang ringan. Semoga amal ini bisa menjadi sumber aliran pahala di saat kita sudah tidak lagi mampu melakukannya.
Keutamaan Berjalan Kaki Ke Masjid

Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

مَنْ تَطَهَّرَ فِي بَيْتِهِ ثُمَّ مَشَى إِلَى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللهِ لِيَقْضِيَ فَرِيضَةً مِنْ فَرَائِضِ اللهِ كَانَتْ خَطْوَتَاهُ إِحْدَاهُمَا تَحُطُّ خَطِيئَةً وَالْأُخْرَى تَرْفَعُ دَرَجَةً

“Barangsiapa yang bersuci dari rumahnya kemudian berjalan ke salah satu rumah dari rumah-rumah Allah (masjid) untuk menunaikan salah satu dari kewajiban-kewajiban yang Allah wajibkan, maka kedua langkahnya salah satunya akan menghapus dosa dan langkah yang lainnya akan mengangkat derajat.” (HR. Muslim no. 1553)
 Dari ‘Abdullah bin ‘Umar rodhiyallaahu ‘anhumaa, bahwa ‘Umar pada saat puterinya, Hafshoh menjadi janda, dia berkata,

أنَّ عمرَ حِيْنَ تأيَّمَتْ بِنْتُهُ حَفْصَةُ ، قَالَ : لَقِيتُ عُثْمَانَ بْنَ عَفّانَ ، فَعَرَضْتُ عَلَيْهِ حَفْصَةَ ، فَقُلْتُ : إنْ شِئْتَ أَنْكَحْتُكَ حَفْصَةَ بِنْتَ عُمَرَ ؟ قَالَ : سأنْظُرُ فِي أمْرِي . فَلَبِثْتُ لَيَالِيَ ثُمَّ لَقِيَنِي ، فَقَالَ : قَدْ بَدَا لِي أنْ لاَ أتَزَوَّجَ يَوْمِي هَذَا . فَلَقِيتُ أَبَا بَكْرٍ ، فقلتُ : إنْ شِئْتَ أنْكَحْتُكَ حَفْصَةَ بنْتَ عُمَرَ ، فَصَمتَ أَبُو بَكْرٍ ، فَلَمْ يَرْجِعْ إلَيَّ شَيْئاً ! فَكُنْتُ عَلَيْهِ أوْجَدَ مِنِّي عَلَى عُثْمَانَ ، فَلَبِثَ لَيَالِيَ ثُمَّ خَطَبَهَا النَّبيُّ ، فَأنْكَحْتُهَا إيَّاهُ . فَلَقِيَنِي أَبُو بَكْرٍ ، فَقَالَ : لَعَلَّكَ وَجَدْتَ عَلَيَّ حِيْنَ عَرَضْتَ عَلَيَّ حَفْصَةَ فَلَمْ أرْجِعْ إِلَيْكَ شَيْئاً ؟ فقلتُ : نَعَمْ ، قَالَ : فَإنَّهُ لَمْ يَمْنَعْنِي أنْ أرْجِعَ إِلَيْك فِيمَا عَرَضْتَ عَلَيَّ إِلاَّ أنِّي كُنْتُ عَلِمْتُ أنَّ النبيَّ ذَكَرَهَا ، فَلَمْ أكُنْ لأُفْشِيَ سِرَّ رسول الله ، وَلَوْ تَرَكَهَا النَّبيُّ لَقَبِلْتُهَا


“Aku berjumpa dengan ‘Utsman bin ‘Affan rodhiyallaahu ‘anhu, maka kutawarkan Hafshoh kepadanya, dan aku katakana, “Jika engkau mau, aku akan menikahkan dirimu dengan Hafshoh binti ‘Umar.”

“Aku akan pikir-pikir dulu.” Jawab ‘Utsman.

Setelah beberapa hari berlalu, dia menemuiku dan berkata, “Sepertinya saya tidak menikah saat ini.”

Kemudian aku bertemu Abu Bakar Ash-Shiddiq rodhiyallaahu ‘anhu, dan kukatakan, “Jika mau, aku akan nikahkan engkau dengan Hafshoh binti ‘Umar.” Maka Abu Bakar terdiam dan tidak memberi jawaban apa-apa kepadaku, sehingga aku lebih marah kepadanya daripada kepada ‘Utsman.

Setelah beberapa hari berlalu, Nabi shollallaahu ‘alayhi wa’alaa aalihi wasallam melamar Hafshoh dengan beliau. Setelah itu, Abu Bakar menemuiku dan berkata, “Mungkin dulu kamu marah kepadaku pada saat kamu menawarkan Hafshoh kepadaku, tetapi aku tidak memberi jawabab apa pun kepadamu. “Ya,” Jawabku.

Abu Bakar berkata, “Sesungguhnya tidak ada yang menghalangiku untuk menerima tawaran itu, hanya saja aku telah mengetahui bahwa Nabi shollallaahu ‘alayhi wa’alaa aalihi wasallam pernah menyebutnya, tetapi aku tidak ingin menyebarkan rahasia Rosulullaah. Seandainya Nabi shollallaahu ‘alayhi wa’alaa aalihi wasallam tidak jadi menikahinya, niscaya aku akan menerimanya”.”
{HR. Bukhori (VII/317 – Fat-hul Baari. Dicantumkan pula oleh Al-Imam An-Nawawi rohimahullaah dalam Riyadhush Sholihin hadits no.686.}

Asy-Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali hafizhohullaah memberikan beberapa faedah yang bisa diambil dari hadits di atas;

- Diperbolehkan bagi seseorang menawarkan anak atau saudara perempuannya kepada orang yang baik agar dinikahi, karena hal itu mengandung manfaat bagi yang ditawarkan.

- Keutamaan menyembunyikan rahasia dan upaya menyembunyikannya secara sungguh-sungguh.

- Kemarahan tidak harus merusak tali cinta kasih, tetapi orang yang marah harus tetap mencurahkan cintanya semampunya. Oleh karena itu, ‘Umar rodhiyallaahu ‘anhu sangat marah kepada Abu Bakar rodhiyallaahu ‘anhu bahkan lebih marah daripada kepada ‘Utsman, karena di antara keduanya telah terdapat cinta kasih dan hubungan yang berlebih.

- Disunnahkan bagi orang yang diberi alasan supaya mau menerima alasan tersebut.

- Sebagaimana gadis, seorang janda juga harus mempunyai wali, sehingga dia tidak boleh menikah sendiri.

{Dikutip dari “Bahjatun Naazhiriin Syarh Riyaadhish Shoolihiin” Asy-Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali hafizhohullaahu ta’aala, edisi terjemah; “Syarah Riyadhush Shalihin” jilid 3 hal.18-20,  Pustaka Imam Asy-Syafi’i.}
 Keutamaan Berjalan Kaki Ke Masjid

Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

مَنْ تَطَهَّرَ فِي بَيْتِهِ ثُمَّ مَشَى إِلَى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللهِ لِيَقْضِيَ فَرِيضَةً مِنْ فَرَائِضِ اللهِ كَانَتْ خَطْوَتَاهُ إِحْدَاهُمَا تَحُطُّ خَطِيئَةً وَالْأُخْرَى تَرْفَعُ دَرَجَةً

“Barangsiapa yang bersuci dari rumahnya kemudian berjalan ke salah satu rumah dari rumah-rumah Allah (masjid) untuk menunaikan salah satu dari kewajiban-kewajiban yang Allah wajibkan, maka kedua langkahnya salah satunya akan menghapus dosa dan langkah yang lainnya akan mengangkat derajat.” (HR. Muslim no. 1553)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar