Setiap kali mereka hendak keluar dari neraka, mereka dikembalikan ke dalamnya dan dikatakan kepada mereka: "Rasakanlah siksa neraka yang dahulu kamu mendustakannya." (QS. As-Sajdah: 20)
“Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka.” (QS. Al-Baqarah: 167)
“Mereka ingin keluar dari neraka, padahal mereka sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya, dan mereka memperoleh adzab yang kekal.” (QS. Al-Maidah: 37)
“Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafa'at dari orang-orang yang memberikan syafa'at.” (QS. Al-Muddatstsir: 48)
Mereka yang berpegang pada zhahir ayat-ayat ini saja maka akan menolak hadits-hadits tentang dikeluarkannya orang mukmin dari neraka dengan syafaat walaupun derajat hadits tersebut mutawatir. Berikut beberapa hadits tentang dikeluarkannya orang mukmin dari neraka:
a. Dibawakan oleh Hammad bin Zaid, ia berkata: Aku bertanya kepada Amr bin Dinar: “Apakah engkau mendengar Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu membawakan hadits dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah mengeluarkan sekelompok orang dari neraka dengan syafaat?” Amr bin Dinar menjawab: “Ya.” (HR. Bukhari dalam Kitab Ar Riqaq Bab Shifatil Jannah wan Naar no. 6558 Fathul Bari XI/416 dan Muslim Kitab Al Iman Bab Adna Ahlil Jannah Manzilatan Fiha III/49 no. 470 Syarh Nawawi)
b. Dari Imran bin Hushain dari Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Akan keluar sekelompok orang dari neraka karena syafaat Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam (dalam suatu lafazh yang lain: “Karena syafaatku”). Lalu mereka masuk ke dalam surga. Mereka dinamakan Jahannamiyyun.” (HR. Abu Dawud dalam Shahih Abu Dawud Kitab As-Sunnah Bab fii Asy-Syafaah hadits no. 4740 dan Ibnu Majah dalam Shahih Ibnu Majah Kitab Az Zuhd Bab Dzikri Asy Syafaah hadits no. 3501)
c. Dari Abu Sa’id Al Khudri bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kemudian Allah “Azza wa Jalla berfirman: ‘Para malaikat telah memberikan syafaat, para nabi juga sudah memberikan syafaat, dan kaum mu’mininpun sudah memberikan syafaat. Maka tidak ada lagi yang lain, kecuali Allah –Arhamur Rahimin. Maka Allah mengambil sekelompok orang dengan satu genggaman-Nya dari neraka. Lalu Dia mengeluarkan dari neraka sekelompok orang yang tidak pernah berbuat kebaikan sama sekali.” (HR. Bukhari dalam Fathul Bari XIII/421 hadits no. 7439 Kitab At Tauhid Bab 24 dan Muslim dalam Shahih Muslim Syarh Nawawi III/32 hadits no. 453)
Imam Bukhari dalam Kitab At Tafsir, Kitab Ar Riqaq, Kitab At Tauhid, dll banyak mengangkat hadits-hadits tentang akan keluarnya orang mu’min dari neraka bila memasukinya, dalam banyak bab, dari banyak sahabat Nabi. Begitu juga Imam Muslim dalam Kitab Al Iman, serta imam-imam lainnya seperti Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah.
Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari membawakan riwayat dari Ubaid bin Umair, yang artinya: Ada seseorang yang bernama Harun Abu Musa, ia tertuduh memiliki pemikiran Khawarij, bertanya kepada Ubaid bin Umair: “Wahai Abu Ashim (kun-yah Ubaid bin Umair), hadits bernilai apa yang engkau bawakan itu?” Ubaid bin Umair menjawab: ”Menyingkirlah engkau dariku. Kalaulah aku tidak mendengar dari 30 (tiga puluh) orang sahabat Nabi Muhammad tentang itu, tentu aku tidak akan meriwayatkannya.” (Fathul Bari Syarh Shahih Al Bukhari XI/425-426)
Para sahabat Nabi yang membawakan hadits-hadits itu di antaranya ialah Anas bin Malik, Jabir bin Abdillah, Abu Hurairah, Abu Sa’id al Khudri, Abu Dzar, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abi al Jad’a, dan lain-lain.
Imam Nawawi ketika mensyarah/menjelaskan Kitab Shahih Muslim menukil perkataan Al Qadhi Iyadh sebagai berikut: “Sesungguhnya, telah datang atsar-atsar yang secara keseluruhan mencapai batas mutawatir tentang adanya syafaat di akhirat bagi orang-orang mukmin yang berdosa. Ulama terdahulu maupun kemudian, serta ulama sesudahnya dari kalangan Ahlu Sunnah telah bersepakat akan adanya syafaat ini. Akan tetapi kaum Khawarij dan sebagian Mu’tazilah mengingkarinya. Mereka menggantungkan (pengingkaran ini) pada mazhab mereka, bahwa orang-orang berdosa akan kekal di neraka. Mereka berhujjah dengan firman Allah Ta’ala:
“Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafa'at dari orang-orang yang memberikan syafa'at.” (QS. Al-Muddatstsir: 48)
Juga firman Allah:
“Orang-orang yang zhalim tidak mempunyai teman setia seorangpun dan tidak (pula) mempunyai seorang pemberi syafa'at yang diterima syafa'atnya.” (QS. Ghafir/Al Mu’min: 18)
Padahal ayat-ayat ini berkaitan dengan ORANG KAFIR. Adapun takwil-takwil mereka (kaum Khawarij dan Mu’tazilah) bahwa yang dimaksudkan dengan syafaat ialah yang berkenaan dengan peningkatan derajat (ahli surga), merupakan takwil batil. Sebab hadits-hadits dalam Kitab tersebut juga pada kitab-kitab lain jelas-jelas menunjukkan batalnya mazhab mereka, dan jelas-jelas menunjukkan akan dikeluarkannya orang (mukmin) yang berhak masuk neraka (dari neraka).” (Shahih Muslim Syarh Imam Nawawi Kitab Al Iman Bab Itsbat Asy Syafaah wa Ikhraj Al Muwahhidin min An Naar III/35)
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi mengatakan: “Nabi kita Muhammad akan memberikan syafaat kepada para pelaku dosa besar yang telah masuk neraka agar mereka bisa keluar setelah mereka terbakar dan menjadi arang, kemudian masuk ke dalam surga. Dan para nabi, orang-orang yang beriman serta malaikat akan memberikan syafaat (dengan seizin Allah). Allah berfirman: “Dan mereka tidak akan sanggup memberikan syafaat melainkan untuk orang yang Allah ridhai, dan mereka selalu berhati-hati karena takut kepada Allah.” (QS. Al-Anbiya`: 28) Adapun ORANG-ORANG KAFIR, tidak akan bisa merasakan syafaat orang yang memberi syafaat.” (Syarah Lum’atil I’tiqad, hal. 128)
Allah berfirman: “Orang-orang yang dzalim tidak memiliki teman setia seorangpun dan tidak (pula) mempunyai seorang pemberi syafaat yang diterima syafaatnya.” (QS. Ghafir/Al Mu’min: 18)
Yang dimaksud dengan orang dzalim di sini adalah orang kafir, dengan dalil hadits mutawatir tentang adanya syafaat bagi pelaku dosa besar.
Al-Baihaqi menjelaskan: “Orang-orang dzalim yang dimaksud di sini adalah ORANG-ORANG KAFIR. Dan hal ini dikuatkan oleh awal ayat yang menjelaskan tentang orang kafir.” (Syu’abul Iman 1/205)
Berikut awal ayat tersebut:
“Dan demikianlah telah pasti berlaku ketetapan adzab Tuhanmu terhadap orang-orang kafir, karena sesungguhnya mereka adalah penghuni neraka.” (QS. Ghafir/Al Mu’min: 6)
“Yang demikian itu adalah karena kamu kafir apabila Allah saja disembah. Dan kamu percaya apabila Allah dipersekutukan.” (QS. Ghafir/Al Mu’min: 12)
Adapun dalam Al Qur’an sendiri sebenarnya juga banyak dalil tentang adanya syafaat dengan syarat setelah mendapat izin dari Allah dan kepada orang yang diridhai oleh Allah.
“Tiada seorangpun yang akan memberi syafa'at kecuali sesudah ada IZIN-Nya.” (QS. Yunus : 3)
“Pada hari itu tidak berguna syafa'at, kecuali (syafa'at) orang yang Allah Maha Pemurah telah memberi IZIN kepadanya, dan Dia telah meridhai perkataannya.” (QS. Thaha : 109)
“…Dan mereka tiada memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridhai Allah…” (QS. Al-Anbiya’ : 28)
“Dan berapa banyaknya malaikat di langit, syafaat mereka sedikitpun tidak berguna, kecuali sesudah Allah MENGIZINKAN bagi orang yang dikehendaki dan diridhai (Nya).” (QS. An-Najm : 26)
“Dan sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memberi syafa'at, kecuali (orang yang dapat memberi syafa'at ialah) orang yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka meyakini(nya).” (QS. Az-Zukhruf : 86)
Sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata: “Orang yang Allah ridhai perkataannya, yaitu orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallaah. Dengan kata lain, Allah tidak akan memberikan syafaat kepada SELAIN MUKMIN.” (Tafsir Al Baghawi III/195 Cet. Daar Al Kutub Al Ilmiyyah)
Hal ini sesuai dengan hadits Nabi berikut ini.
Abu Hurairah bertanya: “Ya, Rasulullah. Siapakah orang yang paling bahagia dengan syafaatmu pada hari kiamat?” Rasulullah bersabda: “Sungguh aku telah menyangka bahwa tidak ada seseorang yang lebih dahulu bertanya tentang ini kecuali engkau karena semangatmu dalam mencari hadits.” Rasul bersabda: “Orang yang paling bahagia dengan syafaatku adalah orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallaah dengan ikhlas dari hatinya.” (HR. Bukhari no. 99)
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: "Ucapan beliau: ‘Orang yg mengucapkan La ilaha illallah’ adalah untuk mengecualikan orang yang menyekutukan Allah; dan ucapan beliau ‘dengan penuh keikhlasan’ mengecualikan orang-orang yang munafik dalam mengucapkannya." (Fathul Bari 1/236)
Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: "Rasulullah memberikan syafaat kepada manusia pada hari kiamat, yaitu dengan memberikan ketenangan pada waktu mereka dalam ketakutan. Rasul juga memberikan syafaat dengan memohon keringanan adzab untuk sebagian orang-orang kafir, sebagaimana yang terjadi pada diri paman beliau Abu Thalib. Rasul juga memberikan syafaatnya dengan memohon kepada Allah untuk mengeluarkan sebagian orang mukmin dari siksa api neraka atau memohonkan mereka untuk tidak dimasukkan ke dalam api neraka setelah ditetapkan bahwa mereka akan masuk neraka. Rasul juga dapat memberikan syafaat bagi seseorang untuk masuk surga tanpa melalui proses hisab atau dengan mengangkat derajat sebagian mereka untuk bisa tinggal dalam surga yang lebih tinggi. Demikianlah nampak adanya dualisme pengertian dari hadits ini antara kebahagiaan dan syafaat, dan orang yang paling bahagia karena itu semua adalah orang mukmin yang benar-benar ikhlas." (Fathul Bari syarah Shahih Bukhari)
Ayat-ayat Al Qur’an tentang penolakan syafaat berlaku untuk orang kafir, sedangkan ayat-ayat Al Qur’an tentang adanya syafaat berlaku untuk orang mukmin. Orang kafir masuk neraka kekal di dalamnya tidak akan pernah bisa keluar, sedangkan orang-orang mukmin yang berdosa besar jika masuk neraka maka tidak kekal di dalamnya dan akan keluar dengan syafaat.
Dari Anas bin Malik, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Maka mereka datang kepadaku. Akupun meminta IZIN kepada Rabb-ku. Ketika aku melihat Rabb-ku, maka aku menjatuhkan diri bersujud kepadaNya. Allah membiarkan aku sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya. Kemudian dikatakan kepadaku (oleh Allah): “Angkat kepalamu! Mintalah, niscaya engkau akan diberi! Katakanlah, niscaya perkataanmu akan didengar! Berilah syafa’at, sesungguhnya engkau diberi wewenang memberi syafa’at. Maka aku mengangkat kepalaku. Lalu aku memuji-muji Rabb-ku dengan pujian yang Dia ajarkan kepadaku. Kemudian aku memberi syafa’at. Namun Allah memberi batasan kepadaku dengan suatu batasan. Lalu aku mengeluarkan mereka dari neraka dan memasukkannya ke dalam surga. Kemudian aku kembali lagi kepada Allah, lalu aku menjatuhkan diri bersujud kepada-Nya seperti saat pertama.(Demikian pula) pada yang ketiga atau keempat kalinya. Sehingga tidak ada lagi yang tersisa di dalam neraka, kecuali orang yang ditahan oleh Al-Qur`an. “ Qotadah menjelaskan maksud orang yang ditahan oleh Al-Qur`an di dalam Neraka: “Ialah orang yang pasti kekal di dalamnya”. (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Kitab ar Riqaq, no. 6565, Fathul Bari (XI/417). Juga diriwayatkan oleh Imam Muslim, Kitab al Iman, Bab Hadits asy Syafa’ah (III/54-55), Syarah Nawawi, tahqiq Khalil Ma’mun Syiha)
Melalui jalan Abu Maslamah, dari Abu Nadhrah, dari Abu Sa’id al Khudri radhiyallahu ‘anhu yang mengatakan: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Adapun ahli neraka yang menjadi penghuni kekalnya, maka mereka tidak mati di dalamnya dan tidak hidup. Akan tetapi orang-orang yang ditimpa oleh siksa neraka karena dosa-dosanya –atau Rasul bersabda, karena kesalahan-kesalahannya- maka Allah akan mematikan mereka dengan suatu kematian. Sehingga apabila mereka telah menjadi arang, Nabi DIIZINKAN untuk memberikan syafa’at (kepada mereka). Lalu mereka didatangkan berkelompok-kelompok secara terpisah-pisah, lalu dimasukkan ke sungai-sungai di surga. Selanjutnya dikatakan (oleh Allah): “Wahai penghuni surga, kucurkanlah air kehidupan kepada mereka”. Maka tumbuhlah mereka laksana tumbuhnya benih-benih tetumbuhan di larutan lumpur yang dihempaskan arus air.” Seseorang di antara sahabat berkata: “Seakan-akan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berada di padang gembalaan di suatu perkampungan.” (Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya. Lihat Shahih Muslim Syarh Nawawi, tahqiq Khalil Ma’mun Syiha (III/37), hadits no. 458, dan oleh Ibnu Majah. Lihat Shahih Sunan Ibnu Majah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani (III/402), hadits no. 3497 Kitab az Zuhd, Bab Dzikru asy Syafa’ah, Maktabah al Ma’arif, Riyadh. Cet. I, dari penerbitan baru, 1417H/1997M)
Dari Abu Sa’id al Khudri radhiyallahu ‘anhu, melalui jalan riwayat lain, yaitu dari ‘Atha’ bin Yasar, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Demi Allah Yang jiwaku ada di tangan-Nya. Tidak ada seorangpun diantara kamu yang lebih bersemangat di dalam menyerukan permohonannya kepada Allah untuk mencari cahaya kebenaran, dibandingkan dengan kaum Mu’minin ketika MEMOHONKAN permohonannya kepada Allah pada hari Kiamat untuk (menolong) saudara-saudaranya sesama kaum Mu’minin yang berada di dalam neraka. Mereka berkata: “Wahai Rabb kami, mereka dahulu berpuasa, shalat dan berhaji bersama-sama kami”. Maka dikatakan (oleh Allah) kepada mereka: “Keluarkanlah oleh kalian (dari neraka) orang-orang yang kalian tahu!” Maka bentuk-bentuk fisik merekapun diharamkan bagi neraka (untuk membakarnya). Kemudian orang-orang Mu’min ini mengeluarkan sejumlah banyak orang yang dibakar oleh neraka sampai pada pertengahan betis dan lututnya. Kemudian orang-orang Mu’min ini berkata: “Wahai Rabb kami, tidak ada lagi di neraka seorangpun yang engkau perintahkan untuk mengeluarkannya”. Allah berfirman: “Kembalilah! Siapa saja yang kalian dapati di dalam hatinya terdapat kebaikan seberat satu dinar, maka keluarkanlah (dari neraka)!” Maka merekapun mengeluarkan sejumlah banyak orang dari neraka. Kemudian mereka berkata lagi : “Wahai Rabb kami, tidak ada lagi seorangpun yang kami sisakan dari orang yang Engkau perintahkan untuk kami mengeluarkannya”. Allah berfirman: “Kembalilah! Siapa saja yang kalian dapati di dalam hatinya terdapat kebaikan seberat setengah dinar, maka keluarkanlah (dari neraka)”. Merekapun mengeluarkan sejumlah banyak orang. Selanjutnya mereka berkata lagi: “Wahai Rabb kami, tidak ada seorangpun yang Engkau perintahkan, kami sisakan (tertinggal di neraka)”. Allah berfirman: “Kembalilah! Siapa saja yang kalian dapati di dalam hatinya terdapat kebaikan seberat biji dzarrah, maka keluarkanlah (dari neraka)”. Maka merekapun mengeluarkan sejumlah banyak orang. Kemudian mereka berkata: “Wahai Rabb kami, tidak lagi kami menyisakan di dalamnya seorangpun yang mempunyai kebaikan”.
Pada waktu itu Abu Sa’id al Khudri mengatakan: “Apabila kalian tidak mempercayai hadits ini, maka jika kalian suka, bacalah firman Allah (yang artinya): “Sesungguhnya Allah tidak menzhalimi seseorang meskipun sebesar dzarrah, dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar”. (QS. An-Nisaa’ : 40) … al Hadits”. [HR. Bukhari dan Muslim. Lihat Fathul Bari (XIII/421), hadits no. 7439, Kitab at Tauhid, Bab 24, dengan lafadz berbeda. Dan lihat Shahih Muslim Syarh Nawawi, tahqiq Khalil Ma’mun Syiha (III/32), hadits no. 453. Lafadz hadits di atas adalah lafadz Imam Muslim]
Dalam hadits-hadits di atas jelas sekali menyebutkan bahwa Nabi Muhammad saw dan orang-orang mukmin meminta izin terlebih dahulu kepada Allah sebelum memberi syafaat kepada para penghuni neraka yang beriman/bertauhid.
Imam Asy-Syafi’i berkata: “Beliau (Rasulullah saw) adalah manusia terbaik yang dipilih Allah untuk menyampaikan wahyu-Nya lagi terpilih sebagai Rasul-Nya dan yang diutamakan atas seluruh makhluk dengan membuka rahmat-Nya, penutup kenabian, dan lebih menyeluruh dari ajaran para rasul sebelumnya. Beliau ditinggikan namanya di dunia dan menjadi pemberi syafa’at, yang syafa’atnya dikabulkan di akhirat.” (Ar-Risalah oleh Imam Asy-Syafi’i 12-13, Manhaj Imam Asy-Syafi’i fi Itsbat Al-Aqidah oleh Dr. Muhammad bin Abdil-Wahab al-’Aqil, 1/291)
Beliau juga menyatakan tentang syarat diterimanya syafa’at:
“Semalam saya mengambil faidah (istimbath) dari dua ayat yang membuat saya tidak tertarik kepada dunia dan yang sebelumnya. Firman Allah: “…Dia bersemayam di atas ‘Arsy (singgasana) untuk mengatur segala urusan. Tiada seorang pun yang akan memberi syafa’at kecuali sesudah ada izin-Nya….” (QS. Yunus: 3). Dan dalam Kitabullah, hal ini banyak: “Siapakah yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya?” (QS. Al-Baqarah: 256) Syafa’at tertolak kecuali dengan izin Allah.” (Ahkamul Qur’an 2/180-181, Manhaj Imam Asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah, 1/291)
Imam Ahmad mengatakan: “Beriman dengan syafaat Nabi dan beriman dengan adanya suatu kaum yang telah masuk neraka dan telah terbakar serta menjadi arang, kemudian mereka diperintah menuju sebuah sungai yang berada di pintu surga –seperti disebutkan dalam riwayat tentang hal ini– dan (kita imani) bagaimana dan kapan terjadinya. Terhadap yang demikian kita hanya beriman dan mempercayai.” (Ushulus Sunnah oleh Imam Ahmad hal. 32)
Abu Ja’far Ath-Thahawi mengatakan: “Dan syafaat yang dipersiapkan untuk mereka kelak adalah haq (benar adanya), sebagaimana disebutkan di dalam hadits-hadits.” (Al-’Aqidah Ath-Thahawiyyah, masalah ke-41)
Abu Ja’far Ath-Thahawi berkata: “Para pelaku dosa besar di kalangan umat Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam (bisa) masuk neraka, namun mereka tak akan kekal di dalamnya kalau mereka mati dalam keadaan bertauhid. Meskipun mereka belum bertaubat namun mereka menemui Allah (mati) dengan menyadari dosa mereka. Mereka diserahkan kepada kehendak dan keputusan Allah. Kalau Dia menghendaki, maka mereka dapat diampuni dan dimaafkan dosa-dosa mereka dengan keutamaan-Nya, sebagaimana yang difirmankan Allah ‘Azza wa Jalla: “Dan Dia mengampuni dosa selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nisa’: 48, 116). Dan jikalau Dia menghendaki, mereka diadzab-Nya di neraka dengan keadilan-Nya. Kemudian Allah akan mengeluarkan mereka dari dalamnya dengan rahmat-Nya dan syafa’at orang yang berhak memberi syafa’at di kalangan hamba-Nya yang ta’at. Lalu mereka pun diangkat ke surga-Nya.” (Al-Aqidah Ath-Thahawiyyah masalah ke-79)
Ibnu Abi Hatim Ar-Razi berkata: “Syafaat adalah benar (adanya). Dan bahwa sebagian ahli tauhid keluar dari neraka lantaran adanya syafaat, adalah benar.” (Ushulus Sunnah Wa I’tiqad Din oleh Ibnu Abi Hatim masalah ke-13)
Imam Abu Muhammad al-Barbahari berkata: “(Termasuk landasan pokok Islam adalah kewajiban) mengimani syafa’at Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi orang-orang yang berbuat dosa dan salah (dari kaum muslimin) pada hari Kiamat, juga di atas ash-shiraath (jembatan yang dibentangkan di atas permukaan neraka Jahannam), dan (dengan syafa’at) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengeluarkan mereka (dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala) dari dalam neraka Jahannam. Masing-masing Nabi memiliki syafa’at, demikian pula para shiddiq, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang yang shaleh…” (Syarhus Sunnah hal. 73)
Al-Qurthubi berkata: “Ayat (yang mulia) ini menetapkan bahwa Allah mengizinkan siapa yang dikehendaki-Nya untuk (memberikan) syafa’at, mereka adalah para Nabi ‘alaihissalam, para ulama, orang-orang yang berjihad (di jalan-Nya), para malaikat, dan orang-orang selain mereka yang dimuliakan dan diutamakan oleh Allah. Kemudian mereka tidak bisa memberikan syafa’at kecuali kepada orang yang diridhai Allah, sebagaimana firman-Nya: “Dan mereka tidak (bisa) memberi syafa’at melainkan kepada orang yang diridhai Allah.” (QS. Al-Anbiyaa’: 28) (Tafsir Al-Qurthubi 3/273)
Imam Al Ajurri (ahli hadits abad ke-3 H) berkata: “Ketahuilah oleh kalian, semoga Allah SWT menyayangi kalian, bahwa orang yang mengingkari syafa’at adalah mengklaim bahwa orang yang masuk ke dalam neraka, maka mereka tidak akan keluar dari neraka tersebut. Ini adalah pemahaman Mu’tazilah, yaitu paham yang mendustakan syafa’at dengan berbagai dalil, yang akan saya sebutkan berikut ini : Mereka (Mu’tazilah) mengingkari berbagai pokok dan fondasi yang tertera dalam Kitabullah dan Sunnah-Sunnah Rasulullah saw, sunnahnya para shahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan setia, bahkan mereka mengingkari perkataan-perkatan para fuqaha dari kalangan kaum muslimin. Orang Mu’tazilah menyelisihi semua ini (Ahlus Sunnah) yang diajarkan oleh Rasulullah saw. Juga tidak memperhatikan sunnahnya para shahabat. Mereka menemui dan menghadapkan ayat tentang masalah hadits dengan ayat-ayat yang mutasyabihat dalam Al Qur’an dan yang dikedepankan adalah akal (pendapat) mereka.”
Imaam Al Ajurri selanjutnya berkata: “Orang yang mengingkari adanya syafa’at, orang yang mengikuti adanya pendapat Mu’tazilah (rasionalisme) adalah mereka yang bukan mengikuti jalannya kaum Muslimin, tetapi justru mereka adalah tersesat dari jalan yang al haq (yang benar), mereka telah dipermainkan oleh syaithon. Allah SWT telah memberikan kewaspadaan kepada kita dari sifat seperti itu (mengingkari adanya syafa’at). Demikian pula para Nabi dan juga kaum muslimin, baik itu yang dahulu mapun zaman sekarang (yaitu zamannya Imam Ajurri - pen.).” (Asy-Syari’ah oleh Imam Al Ajurri. Imam Dzahabi dalam Siyar A’lamin Nubala’ berkata : “Dia seorang imam, muhadits, panutan, Syaikh di Al Haram, shaduq, ‘abid , shahibus sunan, dan ahli ittiba’ .”)
Abu Hasan Al-Asyari berkata: “Mereka (ahli bid’ah-pen) menyatakan bahwa orang-orang yang masuk neraka tersebut tidak akan dikeluarkan lagi dari sana, dan anggapan ini jelas bertentangan dengan riwayat yang dikutip dari Rasulullah saw bahwa Allah SWT niscaya mengeluarkan para penghuni neraka setelah disiksa dan merupakan arang.” (Al-Ibanah An-Ushul Ad-Diyanah oleh Abu Hasan Al-Asyari)
Abu Hasan Al-Asyari berkata: “Kalau ada orang yang bertanya tentang Firman Allah: “Dan mereka tiada memberi syafaat, melainkan kepada orang yang diridhai-Nya” (QS. Al-Anbiya: 28). Maka jawabnya: Mereka (malaikat) itu hanya memberi syafaat kepada orang-orang yang diridhai Allah. Bahkan telah diriwayatkan bahwa syafaat Nabi saw itupun diperuntukkan (hanya) bagi orang yang memiliki dosa besar, sementara riwayat lain menyatakan bahwa orang-orang yang berdosa itu di suatu saat kelak akan dikeluarkan dari neraka.” (Al-Ibanah An-Ushul Ad-Diyanah oleh Abu Hasan Al-Asyari)
Abu ‘Utsman Isma’il bin Abdur-rahman Ash-Shabuni (ahli hadits dari Khurosan, 373-449 H) berkata: “Ahli agama dan Ahlus Sunnah mengimani syafaat Rasulullah bagi pelaku dosa dari kalangan orang-orang yang bertauhid dan pelaku dosa besar (lainnya), sebagaimana telah diberitakan Rasulullah dalam hadits yang shahih.” (‘Aqidatus Salaf Ashabil Hadits hal. 76)
Abu ‘Utsman Isma’il bin Abdur-rahman Ash-Shabuni berkata: “Ashhabul Hadits mengimani adanya haudh dan Telaga Al-Kautsar, serta masuknya sebagian Ahlu Tauhid ke surga tanpa hisab, dan sebagian dari mereka dihisab dengan hisab yang ringan dan kemudian dimasukkan ke surga tanpa diadzab terlebih dahulu. Dan sebagian lagi para pelaku dosa besar dilebur dalam neraka kemudian dibebaskan dan dikeluarkan darinya, kemudian digabungkan dengan saudara-saudaranya yang telah mendahului masuk surga, [dan Ashhabul Hadits meyakini bahwa yang berdosa besar dari kalangan Ahlu Tauhid] tidak kekal di neraka [dan tidak akan tinggal di neraka selama-lamanya]. Adapun orang kafir akan kekal di neraka dan tidak akan keluar darinya selama-lamanya.” (‘Aqidatus Salaf Ashabil Hadits)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Hadits-hadits yang berisi celaan dan perintah memerangi mereka (Khawarij) sangat banyak sekali. Hadits-hadits tersebut mutawatir menurut Ahli Hadits, seperti halnya hadits ru’yah, adzab kubur, hadits-hadits yang menjelaskan tentang adanya syafaat dan haudh (telaga Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam).” (Majmu' Fatawa XIII/35)
Ibnu Abil Izzi Al Hanafi (murid Ibnu Katsir) berkata: “Maksud para salaf ketika menyingkat hadits sampai batas ini adalah, untuk membantah kaum Khawarij serta orang-orang yang mengikuti faham Khawarij dari kalangan Mu’tazilah. Yaitu orang-orang yang mengingkari keluarnya seseorang dari neraka setelah ia masuk ke dalamnya. Untuk itu, para salaf menyebutkan hadits hanya sebatas ini, yang di dalamnya terdapat nash tegas yang membantah kaum Khawarij dan Mu’tazilah tersebut.” (Syarh Aqidah Thahawiyah oleh Ibnu Abi Al Izz Al Hanafi, tahqiq Jamaah min Al Ulama dan takhrij Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Al Maktab Al Islami, Cet. IX tahun 1408 H / 1988 M, hal. 231)
Syaikh Muhammad bin Shalih ‘Utsaimin (Ulama Arab Saudi) berkata: “Ibnu Katsir dan pensyarah kitab Ath-Thahawiyyah (Ibnu Abi Al Izz Al Hanafi) mengatakan: ‘Maksud ulama salaf meringkas pembahasan dalam masalah syafaat hanya kepada pelaku dosa besar adalah sebagai bantahan terhadap Khawarij dan kalangan Mu’tazilah yang mengikuti konsep mereka’.” (Syarah Lum’atil I’tiqad hal. 129)
Ibnu Abil Izzi Al Hanafi (murid Ibnu Katsir) menjelaskan: “Manusia dalam permasalahan syafaat ada tiga (golongan) pendapat:
(Pertama): Musyrikin, Nasrani, dan Sufiyyah yang ghuluw terhadap guru-guru mereka dan selainnya. Mereka meyakini bahwa syafaat orang yang mereka agungkan di sisi Allah bagaikan syafaat di dunia.
(Kedua): Mu’tazilah dan Khawarij. Mereka mengingkari syafaat Nabi kita dan selainnya, terhadap pelaku dosa besar.
(Ketiga): Ahlus Sunnah wal Jamaah. Mereka menetapkan adanya syafaat Rasulullah dan selain beliau terhadap pelaku dosa besar, dan bahwa tidak ada yang bisa memberikan syafaat melainkan dengan izin Allah.” (Syarah Aqidah Thahawiyyah hal. 235)
Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarah Shahih Muslim menjelaskan, yang dimaksud dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam (yang artinya): “Adapun ahli neraka yang mereka merupakan penghuni kekalnya, maka mereka tidak hidup dan tidak mati” maksudnya, ORANG-ORANG KAFIR yang merupakan penghuni neraka dan layak untuk kekal di dalamnya, maka mereka tidak mati, dan tidak pula bisa merasakan hidup yang bermanfaat dan enak. Sebagaimana telah Allah firmankan:
“Mereka tidak dibinasakan sehingga mereka mati, dan tidak pula diringankan dari mereka adzabnya”. [QS. Faathir : 36]
Juga sebagaimana telah Allah firmankan: “Kemudian dia tidak mati di dalam neraka dan tidak pula hidup”. [QS. Al-A'la : 13]
Demikian ini benar-benar akan terjadi menurut madzhab Ahlul Haq (pengikut kebenaran). Yaitu, kenikmatan penghuni surga akan terus selama-lamanya. Sedangkan siksaan bagi orang-orang yang kekal di neraka juga akan selama-lamanya.
Adapun sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam (yang artinya): “Akan tetapi orang-orang yang ditimpa oleh siksa api neraka sebab dosanya, … dst.”, maka maksudnya ialah, bahwa orang-orang yang berdosa dari kalangan kaum Mu’minin, kelak akan dimatikan oleh Allah sesudah mereka disiksa (di dalam neraka) selama jangka waktu yang dikehendaki Allah Ta’ala. Kematian yang ditimpakan oleh Allah terhadap mereka ini adalah, dalam arti sebenarnya, hingga dengan kematian itu, lenyaplah rasa sakit.
Jadi siksa terhadap mereka sesuai dengan kadar dosa mereka. Kemudian Allah matikan mereka, dan untuk sementara waktu (dalam keadaan mati) sesuai dengan takdir Allah, mereka tetap tersekap di dalam neraka tanpa merasakan apa-apa.
Selanjutnya, dalam keadaan mati, mereka yang telah menjadi arang dikeluarkan dari neraka. Kemudian dibawa dalam kelompok-kelompok yang terpisah-pisah sebagaimana layaknya barang. Setelah itu mereka dimasukkan ke dalam sungai-sungai di surga, lalu disiram dengan air kehidupan. Maka hidup dan tumbuhlah mereka laksana tumbuhnya benih tetumbuhan yang tumbuh di lumpur-lumpur yang terbawa arus air, demikian cepat dan lemahnya. Tumbuhnya (manusia) itu, awalnya muncul kekuningan dan lentur karena lemahnya. Makin lama makin kuat, lalu mereka kembali seperti sediakala, dan makin sempurna keadaannya. (Syarah Shahih Muslim oleh Imam Nawawi (III/37-38), syarah hadits no. 458, tahqiq Khalil Ma’mun Syiha)
Abu ‘Utsman Isma’il bin Abdur-rahman Ash-Shabuni berkata: ”Ahlus Sunnah berkeyakinan bahwa seorang mukmin meskipun melakukan dosa-dosa kecil dan besar tidak bisa dikafirkan dengan semuanya itu. Meskipun dia meninggal dunia dalam keadaan belum taubat, selama masih dalam tauhid dan keikhlasan, urusannya terserah Allah. Jika Ia menghendaki, Ia akan mengampuni dan memasukkannya ke surga pada hari Kiamat dalam keadaan selamat, beruntung dan tidak disentuh oleh api neraka, tidak disiksa atas segala dosa yang pernah dilakukannya, ia biasakan dan terus menyelimutinya sampai hari kiamat. Namun apabila Allah kehendaki, bisa saja Ia menyiksanya di neraka untuk sementara, namun adzab itu tidak kekal, bahkan akan dikeluarkan untuk dimasukkan ke tempat kenikmatan yang abadi (surga).” (‘Aqidatus Salaf Ashabil Hadits)
Ibnu Hazm berkata: “Ahlus Sunnah wal Jama’ah memiliki sikap pertengahan antara sikap Khawarij dan Mu’tazilah yang berlebih-lebihan dan sikap Khawarij yang longgar. Khawarij berpendapat bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar (al-kabirah) menjadi kafir jika tidak bertaubat dan akan kekal di neraka. Mu’tazilah mengatakan mereka akan kekal di neraka dan di dunia berada di antara dua posisi yaitu tidak kafir dan tidak mukmin (manzilah bainal manzilatain).” (Al-Tafsil fi Al-Fashl, Ibnu Hazm, III/ 229-247)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata tentang hukum penamaan untuk orang muslim yang melakukan dosa besar: “Ahlus Sunnah berkata: Ia muslim dan hukumnya di akhirat di bawah kehendak Allah. Jika Allah menghendaki, Dia akan mengazabnya, dan jika Dia menghendaki, Dia akan mengampuninya. Khawarij berkata: Ia adalah kafir dan hukumnya di akhirat berada di dalam neraka, dan kekal selama-lamanya. Sedangkan Mu’tazilah mengatakan bahwa: Ia berada pada satu kedudukan di antara dua kedudukan (manzilah bainal manzilataini), yaitu tidak mukmin dan tidak kafir. Hukumnya di akhirat, ia kekal di dalam neraka.” (Majmu’ Fatawa’ VII/241-242, XII/470-474, 479)
Imam Al-Baghawi berkata: “Ahlus Sunnah mereka berpendapat bahwa dosa besar yang dilakukan seorang mukmin tidak mengeluarkannya dari iman. Bila mereka meninggal sebelum bertaubat, maka ia akan disiksa di neraka namun tidak kekal, bahkan urusan mereka diserahkan kepada Allah, apakah Allah Subhanahu wa Ta’ala menyiksanya atau berkenan mengampuninya.” (Syarhu As-Sunnah, Imam Al-Baghawi, I/103)
Ibnu Rajab al-Hanbali berkata: “Yaitu penyelisihan Khawarij terhadap para sahabat. Mereka (Khawarij) mengeluarkan para pelaku maksiat (dari kalangan kaum Muslimin) dari Islam secara keseluruhan, dan memasukkan mereka dalam lingkup kekufuran, serta memperlakukan mereka layaknya orang kafir.” (Jami’ul ‘Ulum wal-Hikam I/114)
Ibnu Abil Izzi Al-Hanafi (murid Ibnu Katsir) berkata: “Kelompok yang memiliki sikap berlebihan dalam menyikapi orang yang berbuat dosa ini dalam sejarah dikenal dengan sebutan Khawarij dan Mu’tazilah, dan sikap ini memang merupakan salah satu ciri khas mereka yakni menganggap kafir pelaku dosa besar.” (Syarah Al-'Aqidah Ath-Thawiyah, hal. 321)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Bid'ah yang pertama kali muncul, yaitu bid'ah Khawarij, penyebabnya adalah interpretasi keliru terhadap kandungan Al-Qur'an, sebenarnya mereka tidak bermaksud melanggarnya! Akan tetapi mereka salah menafsirkannya. Mereka berasumsi bahwa nash-nash ancaman itu berkonseksuensi kafirnya para pelaku dosa besar. Mereka beranggapan bahwa seorang mukmin itu harus baik dan bertakwa, konseksuensinya siapa saja yang tidak baik dan tidak bertakwa maka ia tergolong kafir dan kekal dalam api neraka.” (Majmu' Fatawa 13/30-31)
Dari Yusuf bin Mahran dari Ibnu Abbas mengatakan bahwa dirinya telah mendengar Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata di atas mimbar: “Akan ada suatu kaum di antara kalian dari umat ini yang mendustakan hukum rajam dan dajjal, terbitnya matahari dari tempat terbenamnya, adzab kubur, syafa’at dan suatu kaum yang dikeluarkan dari neraka setelah mengalami siksaan. Jika saya mendapati mereka, niscaya saya akan membunuhnya seperti binasanya kaum Ad dan Tsamud.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya 1/24 dan Ad-Dani dalam Al-Fitan 2/23. Dihasankan Syaikh Albani dalam Qishotul Masihid Dajjal wa Nuzul Isa hal. 30 dan dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir dalam Musnad Ahmad)