Minggu, 21 Juni 2015

Kisah ulama yang pura-pura tuli 15 tahun

Hatim Al-Asham merupakan salah seorang ulama besar yang wafat di Baghdad, Irak tahun 852 M atau 237 H. Terdapat sebuah kisah penuh hikmah yang mendasari kata ‘al-asham’, berarti tuli, yang menjadi julukannya, sebagaimana diriwayatkan Imam Ghazali dalam kitab Nashaihul Ibad.

Sejatinya Hatim tidak-lah tuli, hingga pada suatu hari, seorang wanita datang ke tempat Hatim untuk menanyakan sesuatu. Tak dinyana, ketika melontarkan pertanyaannya di hadapan Hatim, belum selesai ia bertanya, wanita tadi tak kuasa untuk menahan kentutnya.

Bunyinya terdengar jelas, hingga membuat ia salah tingkah dan terdiam. Di tengah kegalauan wanita itu, tiba-tiba Hatim berkata dengan suara keras.

“Tolong bicara yang keras! Saya tuli,”

Namun, yang bertanya justru bingung. Dalam kebingungannya, ia kembali dikagetkan dengan suara keras Hatim.

“Hai, keraskanlah suaramu, karena aku tidak mendengar apa yang kamu bicarakan,” teriak Hatim.

Wanita tadi kemudian menduga bahwa Hatim ini seorang yang tuli. Ia pun merasa sedikit lega, karena suara kentutnya tidak didengar Hatim. Suasana kembali menjadi cair. Ia pun kembali mengulang pertanyaannya.

Sejak saat itu, Hatim mendadak “menjadi tuli” dan bahkan ia melakukan hal tersebut selama wanita tadi masih hidup. Ya, demi menjaga perasaan dan kehormatan wanita itu, ia terus berpura-pura tuli selama 15 tahun.

Percakapan Hatim Al-Asham dengan Guru-nya


Sahabat, masi ingat kaan kisah yang sering dikisahkan oleh para Ulama didaerah anda semua, Hatim Al-Asham (W: 237H). Ulama yang rela nama-nya dinisbatkan dengan sebutan “Asham/Tuna rungu” lantaran pura-pura tuli demi menutupi rasa malu perempuan yang kentut didepan-nya.
Demikian jika Alloh rabbunar rahman menjadikan kebaikan seseorang, bukan malah sebalik-nya justru kesalahan atau keburukan oranglain yang tak tampak malah diperlihatkan, dibeber beberkan ketetangga, atau teman. Na’udzubilLah min dzalik.

Dikisahkan suatu saat Syaqiq Al-Balkhi bertanya kepada muridnya, Hatim Al-Asham,
“Sejak sejak kapan engkau belajar bersamaku?”, tanya Syaqiq,
“Sejak tigapuluh tahun guruku”, jawab Hatim.
“Apakah yang engkau pelajari selama itu, wahai Hatim?”, tanya Syaqiq
“Delapan hal guruku”, jawab Hatim.
“Innalillah wa inna ilaihi raji’un, terbuang percuma sajalah umurku bersamamu”, Syaqiq pun kecewa.
“Guruku, aku tidak pelajari yang lain dan aku tidak ingin berdusta”, jawab Hatim,
“Uraikanlah kedelapan hal itu Hatim”, pinta Syaqiq
Kemudian Hatim Al-Asham pun menjelaskannya :

Pertama, :

Ketika aku memandangi makhluk yang ada di dunia ini, aku melihat masing-masing mempunyai kekasih, dan ia ingin selalu bersama kekasihnya bahkan hingga ke dalam kuburnya.
Ketika kekasihnya telah ke kubur, ia merasa kecewa karena ia tidak dapat lagi bersamanya masuk ke dalam kubur dan berpisah dengannya.
Maka dari itu, aku ingin menjadikan perbuatan baik sebagai kekasihku, sebab jika aku masuk kubur, maka ia pun akan ikut bersamaku

“Benar sekali Hatim!”, ujar Syaqiq, “Apa yang kedua?”

Kedua, :

Ketika ada firman Alloh Swt,-
“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhan-nya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsu-nya, maka sesungguhnya syurgalah tempat tinggal.” [QS. An Nazi’at :40-41]
Maka dari itu aku berusaha menolak hawa nafsu sehingga aku tetap taat kepada Alloh Swt,-
Lanjtukan Hatim, anakku..
“Yang ketiga?” ujar Syaqiq

Ketiga, :

Aku memandangi makhluk yang ada di dunia ini, aku melihat setiap makhluk memiliki benda, menghargainya, memandangnya bernilai, dan menjaganya. Kemudian ku perhatikan firman Alloh Swt,-
“Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Alloh adalah kekal, Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” [QS. An Nahl :96]
Maka dari itu setiap kali aku mendapatkan sesuatu yang berharga dan bernilai, ia pun kuhadapkan kepada Alloh (kusedekahkan), agar kekal di sisi-Nya.
“Yang keempat?” ujar Syaqiq

Keempat, :

Ketika kupandangi makhluk yang ada di dunia ini, aku melihat masing-masing orang selalu menaruh perhatian terhadap harta, kebangsawanan, kemuliaan, dan keturunan. Lalu ketika kupandangi semua itu, tiba-tiba tampak tidak ada apa-apanya. Kemudian kuperhatikan firman Alloh Swt,-
"..Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya ALLAH Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al Hujurat :13)
Maka dari itu aku pun bertaqwa kepada ALLAH, semoga aku menjadi mulia di sisiNya.
“Yang kelima?” ujar Syaqiq

Kelima, :

Ketika kupandangi makhluk yang ada di dunia ini, ternyata mereka suka saling menghina dan menggunjing satu sama lain. Penyebabnya adalah kedengkian, kemudian kuperhatikan firman Alloh Swt,-
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” [QS. Az Zukhruf :43:32]
Maka dari itu perasaan dengki pun kutinggalkan dan aku tahu bahwa pembagian rezeki itu dari Alloh Ta’ala.
“Yang keenam?” lanjut Syaqiq

Keenam, :

Ketika kupandangi makhluk yang ada di duna ini, ternyata mereka suka berbuat kedurhakaan dan berperang satu sama lain, akupun kembali kepada firman Alloh Swt,-
“Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh, keranaa sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala”
[QS. Fathir :6]

Maka dari itu kujadikan syetan sebagai musuhku satu-satunya dan akupun sangat berhati-hati kepadanya, kerana Alloh Ta’ala menyatakan syetan adalah musuhku.
Syaqiq melajutkan pertanyaannya : “Yang ketujuh?”

Ketujuh, :

Ketika kupandangi makhluk yang ada di dunia ini aku melihat masing-masing orang mencari sepotong dari dunia ini. Lalu ia menghinakan diri padanya dan memasuki sebagian-nya yang dilarang kemudian kuperhatikan firman Alloh Swt,-
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan ALLAH lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya . Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata .” [QS.Huud :6]

Maka dari itu kukerjakan apa yang menjadi hak Alloh ta’ala pada diriku, dan kutinggalkan apa yang menjadi hak Alloh ta’ala pada diriku,
Yang terakhir, :

Kupandangi makhluk yang ada di dunia ini, aku melihat masing-masing orang menggantungkan diri pada makhluk lain. Yang satu pada benda yang dicintainya, yang lain pada perniagaan-nya, perusahaan-nya, atau pada kesehatan tubuh-nya. Masing-masing bergantung pada benda. Lalu aku kembali pada firman Alloh Swt,-
“..Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Alloh niscaya Alloh akan mencukupkannya. Sesungguh-nya Alloh melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguh-nya Alloh telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu”
[QS. Ath Thalaq :3]

Maka dari itu akupun bertawakkal kepada Alloh, ternyata Alloh mencukupi keperluanku.
“Hatim, semoga Alloh Swt,- melimpahkan karunia-Nya kepadamu”, ujar Syaqiq sang guru.

Sumber: Ihyaa Ulumud Dien, Juz: I Bab Keutamaan Ilmu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar