Senin, 22 Juni 2015

Tarawih: hukum sholawatan ditengah tarawih dan menyebut 4 sahabat nabi di sholat tarawih

Hukum Baca Shalawat di tengah tarawih dan Taradli Disela-Sela Tarawih 
Tarodhi = membaca rodhiallahu anhu
Contoh ketika bilal menyebut shohabat abu bakrin sidiq, maka jama'ah menyebut "rodhiyaallahu anhu

Sudah Menjadi tradisi bahwa setiap sela-sela tarawih biasanya bilal membaca shalawat dan do'a kepada sahabat nabi atau yang disebut tarodhi/taradhi, dan jika kita melihat hukumnya versi Media non Ahlusunnah pasti tradisi ini ditentang keras.

Lalu hukum sebenarnya menurut Ulama Ahlu Sunnah Waljamaah bagaimana? seperti biasa mari kita jawab menggunakan kitab kuning.

1. Disunnah Memisah 2 Shalat Dengan Berbicara/Ucapan


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَنْ لاَ تُوصَلَ صَلاَةٌ حَتَّى نَتَكَلَّمَ أَوْ نَخْرُجَ

“Janganlah menyambung satu shalat dengan shalat yang lain, sebelum kita berbicara atau pindah dari tempat shalat”

Para Ulama dalam kitab kuningnya mengurai sebagai berikut:

ويندب أن ينتقل لفرض أو نفل من موضع صلاته ليشهد له الموضع حيث لم تعارضه فضيلة نحو صف أول فإن لم ينتقل فصل بكلام إنسان

Disunnahkan berpindah dari tempat shalat pertama karena akan melaksanakan shalat fardlu atau shalat sunnah yang lain, hal ini bertujuan agar tempat yg baru ini ikut menjadi saksi, jika memang tidak bertentangan keutamaanya, misalnya seperti jika telah berada dibarisan / shaf awal. Dan apabila tidak berpindah maka disunnahkan memisah dua Shalat tersebut dengan Ucapan/perkataan.

 2. Bacaan Taradhi adalah Bacaan Yang Mempunyai Nilai Ibadah


Dalam Kitab Al Qashidah Albakriyyah Al Hadhramiyyah fii Al-Raddi 'Ala Al-Rafidhah Al-Imamiyah Kitab ini (berupa bait-bait qashidah) yang isinya adalah muqabalah (bertentangan) atas pemahaman golongan Syiah Rafidhah Imamiyah yang terlalu memuliakan Sayyidina Ali dan mencaci Sayyidina Abi Bakr al-Shiddiq.

Salah satu isinya adalah tentang membaca Taradhi (Radhiyallahu 'anhu) atas sahabat nabi yang empat (Abu bakr, Umar, Utsman dan Ali Radhiyallahu 'anhum)

القصيــــدة البكـــرية الحضرمية

في الرد على الرافضة الإمامية

فإن كنت من أهل السنة والجماعة فترض عن الصديق إرغاماً للرافضة الذين ينالون منه، وقد اشتهر الترضي عند أهل حضرموت بذكر الأربعة في مجامعهم في أمرين:


Jika anda bagian dari ahlu sunah wal jama'ah, maka bacalah taradhi atas sayidina abi bakr dengan kuat untuk Menolak pemahaman Syiah rafidhah. Dan telah masyhur pembacaan taradhi dikalangan muslimin hadra maut yaman, dalam perkumpulan mereka ketika disebutkan Nama sahabat empat , yaitu pada dua perkara :

أحدهما: خطبة الجمعة، ففي فتاوى ابن حجر ما نصه: وأما حكم الترضي عن الصحابة في الخطبة فلا بأس به سواء أذكر أفاضلهم بأسمائهم كما هو المعروف الآن أم أجملهم، ونقل الرملي في حاشيته عن ابن عبد السلام إن الترضي عن الصحابة رضي الله عنهم على الوجه المعهود في زماننا بدعة غير محبوبة، وبحث بعضهم استحبابه حيث كان في بلد الخطبة مبتدع لا يحب الصحابة إذا لم يؤد ذلك إلى فتنة(8).


وثانيهما: الترضي بين تسليمات التراويح، فيبدأ بالصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم ثم الترضي على الأربعة، وقد سئل الفقيه باحويرث في فتاويه هل تسن الصلاة عليه صلى الله عليه وسلم بين تسليمات التراويح أو هي بدعة فنقل جواب ابن حجر بما حاصله الصلاة في هذا المحل بخصوصه لم نر فيه شيئاً من السنة ولا في كلام الأصحاب، فهي بدعة ينهى عنها من يأتي بها بقصد كونها سنة لا من حيث العموم بل جاء في الحديث ما يؤيد الخصوص إلا غير كاف في الدلالة لذلك


Pertama, Dalam khutbah Jum'at. Sebagaimana yang dijelaskan Imam Ibnu Hajar dalam Fatawi nya : Adapun membaca taradhi ketika khutbah itu tidak mengapa, baik dalam penyebutan keutamaan mereka atau penyebutan nama-nama mereka seperti yang telah diketahui.

Kedua, Membaca Taradhi diantara raka'at Tarawih.
Dimulai dengan membaca shalawat pada Baginda Nabi SAW, kemudian membaca Taradhi kepada sahabat empat.

Al-Faqih Bahuwairas ditanya dalam Fatawinya : "Apakah disunahkkan membaca shalawat pada nabi SAW diantara alam tarawih, atau yang demikian adalah bid'ah ?". Al-Faqih menjawab dengan apa yang disampaikan Ibnu Hajar : Dalam pengkhususan ini (menempatkan membaca shalawat diantara salam tarawih) kami tidak menemukan dalil apapun dari hadits dan ucapan para sahabat nabi SAW. Dihukumi bid'ah jika yang membaca shalawat dan taradhi tersebut menyakini hal tersebut ada tuntunannya dari nabi atau sahabat (menyakini ada hadits atau atsar atas pembacaan tsb). Namun jika pembacaan shalawat dan taradhi di bacakan atas dasar dalil yang umum , maka itu tidak  mengapa dan mengandung nilai ibadah.

3. Istirahat Sejenak Setelah Salam Tarawih Adalah Disunnahkan

Kata Tarawih berasal dari kata "raaha" artinya istirahat, atau santai, atau tidak tergesa-gesa dalam pelaksanaannya, dalam arti tidak langsung berdiri lagi ketika selesai dari dua roka'at tarawih, namun boleh istirahat beberapa saat. dan dalam istirahat ini tidak harus diam tanpa melakukan apa-apa ,namun para ulama (khus dalam usnya Ulama dari hadramaut - Yaman) menganjurkan untuk mengisi masa istirahat tersebut dengan dzikir dan dalam hal ini membaca shalawat dan taradhi dengan acuan apa yang disampaikan Imam Ibnu Hajar memahami hadits dianjurkannya membaca dzikir dan do'a pada setiap akhir shalat dan anjuran memperbanyak membaca sholawat atas nabi Muhammad SAW.

Imam As-Sarkhasiy berkata :

الفصل الرابع في الانتظار بعد كل ترويحتين: وهو مستحب هكذا روي عن أبي حنيفة رحمه الله تعالى، لأنها إنما سميت بهذا الاسم لمعنى الاستراحة، وأنها مأخوذة عن السلف وأهل الحرمين فإن أهل مكة يطوفون سبعاً بين كل ترويحتين كما حكينا عن مالك رحمه الله تعالى

“Pasal keempat pada permasalahan duduk menunggu setelah dua tarawih (maksudnya adalah setelah dua kali salam), bahwasanya ia dibolehkan (mustahab), seperti inilah diriwayatkan dari Abu Haniifah rahimahullahu Ta’ala. Karena sesungguhnya ia dinamakan dengan nama tarawih yang bermakna istirahat dan diambil dari perbuatan para salaf dan penduduk haramain bahwa penduduk Makkah melaksanakan thawaf tujuh kali diantara tiap dua tarawih sebagaimana diriwayatkan kepada kami dari Maalik rahimahullahu Ta’ala.” [Al-Mabsuuth 2/146]

Imam Zakariyya Al-Anshaariy berkata :

وسميت كل أربع منها ترويحة، لأنهم كانوا يتروحون عقبها، أي يستريحون

“Dan setiap empat raka’at darinya dinamakan tarwiihah (dengan bentuk tunggal), dikarenakan mereka dahulu berhenti setelahnya, yaitu beristirahat.” [Asnaa Al-Mathaalib 1/200]

Kesimpulan
Dengan menggabungkan 3 poin diatas maka memunculkan kesimpulan yaitu membaca Shalawat dan Taradhi adalah disunnahkan karena mengandung Tiga Unsur Kesunnahan yaitu
1. Sunnah Berbicara antara dua Shalat,
2. Sunnah Baca Shalawat dan mendoakan Shahabat,
3. Sunnah Duduk sejenak diantara dua shalat tarawih.

Catatan :

Kenapa wahabi sangat keras kepada aswaja?
berikut ini adalah sedikit penjelasan mengenai kelakuan wahabi yang selalu dengan gigih memperjuangkan pemberantasan kepada islam ahlus sunnah wal jama'ah.
Di tangan kaum Wahabi, wajah Islam yang lembut menjadi penuh kebencian dan caci maki, wajah yang diliputi kasih sayang menjadi penuh dendam dan hujatan…"

Selama ini orang lebih merasakan kerasnya Wahabi dalam praktek-praktek keagamaan.Namun sesungguhnya, secara garis besar, dari manhaj pemikiran Wahabi, mereka juga memiliki beberapa prinsip keberagamaan yang keras.

Mereka selalu menyatakan kembali kepada Al-Kitab dan as-sunnah. Prinsip ini bila dilihat dari lahirnya sungguh sangat mempesona siapa pun yang tidak memiliki pengetahuan terhadap syari’at yang didapat dari para ulama dan imam-imam mujtahid. Namun sayangnya, pada hakikatnya mereka hanya menyeru umat untuk:

meninggalkan pendapat jumhur (mayoritas) ulama bahkan ijma' (konsensus) ulama umat Islam. Bila demikian halnya sesungguhnya mereka tidak lain:

memahami Al-Kitab dan as-sunnah hanya berdasarkan pemahaman diri sendiri, yang sudah pasti bersumber dari hawa nafsu. Sehingga dengan prinsip ini mereka selalu berusaha sekuat tenaga untuk:

memaksa orang lain hanya mengikuti pemahaman yang mereka miliki karena menganggap hanya pemahaman merekalah yang benar sedangkan yang lain salah, meskipun itu datang dari mayoritas ulama dan imam-imam mujtahid umat Islam. Dan pada akhirnya:

menganggap sesat siapa pun yang tidak sepaham dengan mereka bahkan dengan mudah mengkafirkannya.

Di samping itu, ada pula fakta-fakta lain yang juga berbahaya. Antara lain, Syaikh Al-Qanuji dalam kitabnya Ad-Dinul Khalish, jilid pertama, halaman 140, menjelaskan, “Taqlid terhadap madzhab termasuk bagian dari kesyirikan.”

Dengan demikian, berdasarkan pernyataan tersebut, umat Islam saat ini secara keseluruhan adalah kafir, karena mengikuti madzhab yang empat.

Syaikh Ali bin Muhammad bin Sinan dalam kitabnya Al-Majmu` Al-Mufid min `Aqidah At-Tawhid, halaman 55, menyatakan, “Wahai seluruh kaum muslimin, keislaman kalian tidak akan membawa guna, kecuali jika kalian mengumandangkan perang yang membabi buta terhadap thariqah tasawuf hingga lenyap, perangilah mereka sebelum kalian memerangi Yahudi dan Majusi.”

Dalam kitab I`shar At-Tawhid, Syaikh Nabil Muhammad mengatakan, “Tasawuf, para pengikut thariqah, dan para penduduk negara-negara Islam seperti Mesir, Libya, Maroko, India, Iran, Asia Barat, Syam, Nigeria, Turki, Romawi, Afganistan, Turkistan, Cina, Sudan, Tunisia, dan Al-Jazair adalah orang-orang kafir.”

Syaikh Hassan Al-`Aqqad dalam kitabnya Halaqat Mamnu`ah, halaman 25, menyatakan, “Kafir orang yang membaca shalawat untuk Nabi sebanyak 1.000 kali atau mengucapkan La ilaha illallah sebanyak 1.000 kali.”

maka dari itu sudah seharus semua kaum muslimin ahlus sunnah wal jama'ah menjauh dari faham wahabi dan dari orang wahabi.
--------------------------

Tarawih: 4 Alasan tarawih lebih utama berjama'ah dari pada sendirian


Para ulama juga berbeda pendapat apakah seharusnya shalat tarawih dilaksanakan dengan berjamaah atau sendiri-sendiri di malam Ramadhan maka para ulama berbeda pendapat sebagai berikut:

Imam al-Syafi’i, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad bin Hanbal dan jumhur ulama Syafi’iyyah dan sebagian pengikut Imam Malik dan lainnya berpendapat bahwa: Shalat tarawih lebih utama dilakukan secara berjamaah, alasannya:

1) Mengikuti perintah Umar bin Khatab ra sebagaimana hadis-hadis yang sudah diriwayatkan terdahulu.
2) Melaksanakan amalan para sahabat Nabi r.a
3) Melestarikan amalan kaum muslimin Timur dan Barat.
4) Karena termasuk perbuatan mensyi’arkan Islam, sebagaimana halnya shalat Idul Fitri dan Idul Adha.

Malahan berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas Imam at Thahawi berpendapat berjamaah dalam shalat tarawih hukumnya Wajib Kifayah. Namun Imam Malik Abu Yusuf dan sebagian kecil pengikut Syafi’iyyah berpendapat bahwa shalat berjamaah Tarawih hukumnya “lebih utama dilaksanakan sendiri tanpa berjamaah”

Alasannya, Sabda Nabi Muhammad Saw.

عن يسر بن سعيد ان زيد بن ثابت قال: افضل الصلاة صلاتكم في بيوتكم الا صلاة المكتوبة. رواه الترمذى    

Artinya: hadits riwayat dari Yusrin bin Said bahwasanya Zaid bin Tsabit berkata: “Paling utama-utamanya shalat adalah shalat kalian dikerjakan dirumah kecuali shalat fardlu”.

Pengikut Imam Malik, bertanya kepadanya: Bagaimana Imam Malik melakukan Qiyamul lail di Bulan Ramadhan lebih disukai yang mana berjamaah dengan orang banyak atau dilaksanakan sendiri di rumah?

Imam Malik menjawab: kalau dilaksanakan sendiri di rumah itu kuat dan lama. Saya lebih suka. Tetapi kebanyakan kaum muslimin tidak kuat dan malas melaksanakan shalat sendiri di rumah.

Imam Turmudzi dan Imam Rabiah melaksanakannya sendiri di rumah begitu juga ulama-ulama lain. Sementara Imam Malik lebih suka dan lebih senang melakukan shalat sunnat sendiri di rumah.
--------------------------

Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam melakukan shalat tarawih sendirian (munfarid)
Dalam Musnad Ahmad juz 13 halaman 264, hadits nomor 7881 berikut:

حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيْلُ بْنُ عُمَرَ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِيْ ذِئْبٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُرَغِّبُ النَّاسَ فِيْ قِيَامِ رَمَضَانَ وَيَقُوْلُ مَنْ قَامَهُ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَلَمْ يَكُنْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَمَعَ النَّاسَ عَلَى الْقِيَامِ

.......dari Abu Hurairah berkata; "aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa Salam memberi semangat orang-orang untuk menegakkan qiyam ramadlan (shalat tarawih), beliau bersabda: "Barangsiapa menegakkannya karena iman dan mengharap pahala akan diampuni dosanya yang telah lalu", dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasalam tidak pernah shalat tarawih bersama orang-orang (berjama'ah)."
Al Hafizh Assuyuthi dalam Kitab Al Haawi Lil Fatawi (1/337) mengatakan bahwa sanadnya HASAN.
Imam Nawawi berkata dalam Syarh Muslim juz 3 halaman 132, ketika mensyarahi hadits:

اِحْتَجَرَ رَسُوْل الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حُجَيْرَة بِخَصَفَةٍ أَوْ حَصِيْرٍ فَصَلَّى فِيْهَا

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam membuat kamar ukuran kecil dari kain tebal atau tikar dan beliau melakukan shalat malam didalamnya

Beliau (Imam Nawawi) berkata:

وَمَعْنَى اِحْتَجَرَ حُجْرَةً أَيْ : حَوَّطَ مَوْضِعًا مِنَ الْمَسْجِد بِحَصِيْرٍ لِيَسْتُرَهُ لِيُصَلِّيَ فِيْهِ ، وَلَا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْهِ مَارٌّ ، وَلَا يَتَهَوَّشُ بِغَيْرِهِ ، وَيَتَوَفَّرُ خُشُوْعُهُ وَفَرَاغُ قَلْبِهِ

Makna اِحْتَجَرَ حُجْرَةً ialah, beliau memagari satu tempat di masjid dengan tikar, untuk menutupi beliau ketika beliau melakukan shalat di tempat tersebut.

وَفِيْهِ : جَوَازُ الْجَمَاعَة فِيْ غَيْرِ الْمَكْتُوْبَةِ ، وَجَوَازُ الْاِقْتِدَاءِ بِمِنْ لَمْ يَنْوِ الْإِمَامَةَ

Didalam hadits tsb diperbolehkannya melakukan shalat jamaah pada selain shalat maktubah, dan diperbolehkannya bermakmum dengan orang yang tidak berniat menjadi imam.

Al Qasthallaani berkata dalam Kitab Irsyaadussaari, juz 3 halaman 326:

قَالَ عُمَرُ لَمَّا رَآهُمْ نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ سَمَّاهَا بِدْعَةً لِأَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَسُنَّ لَهُمُ الْاِجْتِمَاعَ لَهَا وَلَا كَانَتْ فِيْ زَمَنِ الصِّدِّيْقِ وَلَا أَوَّلَ اللَّيْلِ وَلَا كُلَّ لَيْلَةٍ وَلَا هَذَا الْعَدَدَ

Ketika melihat mereka, Umar berkata: “ Inilah sebaik-baiknya bid’ah. Umar menamakannya bid’ah karena Nabi shallallaahu ‘alaih wasallam tidak menganjurkan berjamaah untuk shalat (qiyam Ramadhan) tsb, dan hal tsb tidak dilakukan di zaman Abu Bakar, dan tidak pula dilakukan pada awal malam, dan tidak pula setiap malam, dan tidak pula dengan bilangan ini”.

Badruddin Al Aini dalam kitab Umdatul Qari Syarh Shahih Bukhari juz 17 halaman 155:

وَإِنَّمَا دَعَاهَا بِدْعَةً لِأَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَسُنَّهَا لَهُمْ وَلَا كَانَتْ فِيْ زَمَنِ أَبِيْ بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ

Umar menamakan bid’ah pada qiyam Ramadhan (shalat tarawih)dengan berjamaah karena Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam tidak menganjurkan berjamaah untuk shalat (qiyam Ramadhan), dan tidak juga pada zaman Abu Bakar radhiyallaahu ‘anhu.

Wallaahu A’lam

Syaikhul islam Ibnu Hajar al-Haitami pernah di tanyakan tentang hukum shalawat dicelah-celah shalat taraweh;


Fatawa Kubra Fiqhiyyah jilid 1 hal 186 Cet. Dar Firk

وسئل فسح الله في مدته هل تسن الصلاة عليه صلى الله عليه وسلم بين تسليمات التراويح أو هي بدعة ينهى عنها؟

Dan Ibnu Hajar ditanyakan; Apakah disunatkan bershalawat kepada Rasulullah di celah-celah salam shalat taraweh? atau hal tersebut merupakan perbuatan bid’ah yang dilarang?

فأجاب بقوله الصلاة في هذا المحل بخصوصه لم نر شيئا في السنة ولا في كلام أصحابنا فهي بدعة ينهى عنها من يأتي بها بقصد كونها سنة في هذا المحل بخصوصه دون من يأتي بها لا بهذا القصد كأن يقصد أنها في كل وقت سنة من حيث العموم بل جاء في أحاديث ما يؤيد الخصوص إلا أنه غير كاف في الدلالة لذلك.

Beliau menjawabnya; shalawat pada tempat ini secara khusus tidak kami temukan dalam sunnah dan tidak dalam kalam ulama kita maka ia termasuk dalam bid’ah yang dilarang terhadap orang yang melakukannya dengan kasad disunatkan pada tempat tersebut secara khusus, tidak dilarang terhadap orang yang melakukannya bukan dengan niat demikian misalnya keyakinannya bahwa shalawat tersebut disunatkan pada setiap waktu secara umum, bahkan ada beberapa hadits yang menguatkan disunatkan secara khusus namun hal tersebut belum memadai untuk menunjuki bagi demikian. 


Salah satu hal yang tak henti-hentinya di bid’ahkan dan dicap sesat oleh kaum Wahabi terutama di bulan Ramadhan adalah pembacaan zikir dan shalat di celah shalat tarawih setelah setiap kali salam.
Dar Ifta` Mishriyah, yang merupakan lembaga fatwa yang didirikan oleh Syeikh Ali Jum’ah menjawab tuduhan bid’ah tersebut. Berikut nash tulisan Dar Ifta` al-Mishriyah yang kami kutip dari website resminya beserta terjemahannya yang kami tambahkan;

أجازت دار الإفتاء المصرية أن يقوم المصلون بالذكر بين الركعات في صلاة التراويح في رمضان، مشيرة إلى أنه من المقرر شرعًا أن أمر الذكر والدعاء على السعة. وأضافت الدار في فتوى لها أن التسبيح بخصوصه مستحب عقب الفراغ من الصلاة وعقب قيام الليل؛ فقد أمر الله تعالى به في قوله: ﴿فَإِذَا قَضَيْتُمْ الصَّلاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَى جُنُوبِكُمْ فَإِذَا اطْمَأْنَنتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلاةَ إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَاباً مَوْقُوتاً﴾ (النساء 103 )
وأوضحت الفتوى أن النبي صلى الله عليه وآله وسلم كان يذكر الله عقب الوتر ويرفـع به صوته الشريف؛ فقد روى النسائي في سننه بإسناد صحيح: أن النبي صلى الله عليه وآله وسلم كان يقرأ في الوتر بسبح اسم ربك الأعلى وقل يا أيها الكافرون وقل هو الله أحد، فإذا سلّم قال: (سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ) ثلاثَ مرات، زاد عبد الرحمن في حديثه: يرفع بها صوته.
وأشارت الفتوى إلى أنه من جهر بالتسبيح والدعاء فقد أصاب السُّنَّة، ومن أسَرَّ أيضًا فقد أصاب السُّنَّة؛ فالكل فعله رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم، ولا ينبغي أن نحجِّر واسعًا، بل الصواب ترك الناس على سجاياهم؛ فأيما جماعة في مسجد رأت أن تجهر فلها ذلك، وأيما جماعة أخرى تعودت على الإسرار فلها ذلك، والعبرة في ذلك حيث يجد المسلم قلبه، وليس لأحد أن ينكر على أخيه في ذلك ما دام الأمر واسعًا. وأوضحت الفتوى أن الأمر المطلق يستلزم عموم الأشخاص والأحوال والأزمنة والأمكنة؛ فإذا شرع الله تعالى أمرًا على جهة الإطلاق وكان يحتمل في فعله وكيفية أدائه أكثر من وجه، فإنه يؤخذ على إطلاقه وسعته، ولا يصح تقييده بوجه دون وجه إلا بدليل، وإلا كان ذلك بابًا من الابتداع في الدين بتضييق ما وسَّعَه الله ورسوله صلى الله عليه وآله وسلم.
وشددت الفتوى على أنه يجب على المسلمين ألا يجعلوا ذلك مثار فرقة وخلاف بينهم؛ فإنه لا إنكار في مسائل الخلاف، والصواب في ذلك أيضًا ترك الناس على سجاياهم فمن شاء جهر ومن شاء أسر؛ لأن أمر الذكر على السعة، والعبرة فيه حيث يجد المسلم قلبه.
المركز الإعلامي بدار الإفتاء المصرية 13/7/2014م
Artinya; Dar Ifta` Mesir membolehkan jamaah shalat berzikir di antara rakaat shalat taraweh dalam bulan Ramadhan. Dar Ifta` menerangkan bahwa sebagiah hal yang berlaku dalam syara’ adalah bahwa perkara berzikir dan berdoa merupakan perkara yang luas. Dar Ifta` menambahkan dalam fatwanya bahwa tasbih secara khusus disunatkan setelah shalat dan setelah qiyamul lail. Allah telah memerintahkannya dalam firmannya [yang artinya]; Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. kemudian apabila kamu telah merasa aman, Maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman (Q.S. an-Nisa` 103)

Dijelaskan dalam fatwa tersebut bahwa Nabi SAW berzikir kepada Allah setelah shalat witir dan meninggikan suara beliau yang mulia. Diriwayatkan oleh Imam Nasai dalam sunan beliau dengan sanad yang shahih; bahwa Nabi SAW membaca dalam witir

 سبح اسم ربك الأعلى
dan
 قل يا أيها الكافرون
serta
 قل هو الله أحد .

Bila beliau salam beliau membaca سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ sebanyak tiga kali. Abdurrahman dalam hadisnya menambahkan "Nabi meninggikan suaranya". Fatwa juga memberikan isyarat bahwa orang yang menjiharkan tasbih dan doa sungguh ia telah melakukan hal yang sesuai dengan sunnah Nabi, dan orang yang men-sirnya juga sesuai dengan sunnah. Karena semuanya pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Tidak sepatutnya kita melarang satu kelonggaran [yang mendapat legalitas syara'] tetapi yang benar adalah meninggalkannya bagi manusia [kaum muslim] sesuai dengan tab'iat mereka sendiri. Dimana saja jamaah mesjid yang ingin menjiharnya, maka boleh saja mereka melakukannya. Dan mana saja jamaah lain yang telah terbiasa dengan sir maka boleh saja mereka melakukannya. Yang menjadi pegangan dalam hal ini adalah menurut yang ditemukan seorang muslim akan hatinya. Tidak boleh bagi seorangpun mengingkari saudaranya dalam hal demikian selama perkara tersebut merupakan perkara yang longgar. Fatwa juga menerangkan bahwa perintah yang mutlaq melazimi kepada umum setiap manusia, keadaan, waktu dan tempat. Apabila Allah mensyariatkan satu perintah secara mutlaq dan dalam hal mengerjakannya dan tatacara menunaikannya ada kemungkinan lebih dari satu cara, maka perintah tersebut dipahami atas ithlaq dan kelonggarannya. Tidak sah mengaitkannya dengan satu cara saja, tidak boleh dengan cara yang lain kecuali dengan adanya dalil. Jika tidak maka hal demikian [mengaitkan perintah yang umum tanpa dalil] merupakan satu perbuatan bid'ah dalam agama dengan menyempitkan apa yang Allah dan RasulNya telah memberi keluasan.

Fatwa menguatkan bahwa wajib atas kaum muslimin untuk tidak menjadikan hal ini sebagai sumber perpecahan dan perbedaan di antara mereka, karena tidak boleh mengingkari masalah khilafiyah. Yang benar dalam hal ini adalah membiarkan kaum muslim atas tabi'at mereka. Siapa yang ingin jihar, silahkan jihar! dan siapa yang ingin sir, silahkan sir!, karena perkara zikir merupakan hal yang mendapat kelonggaran dan yang menjadi 'tibar (pegangan) dalam hal ini adalah menurut bagaimana yang ditemukan hatinya.

Dar Ifta` Mesir 13-07-2014
Alamat ‘:
http://www.dar-alifta.org

Berikut ini, nash jawaban Dar Ifta` al-Mishriyah menjawab pertanyaan hukum membaca shalawat setelah tiap kali salam dalam shalat tarawih;

كما أن الصلاة والسلام على النبي صلى الله عليه وآله وسلم من أفضل الأعمال قبولا عند الله تعالى، كما أنها تفتح للأعمال أبواب القبول فهي مقبولة أبدًا، وكما أن النبي صلى الله عليه وآله وسلم هو شفيع الخلق فالصلاة عليه شفيع الأعمال، وقد أمر الله تعالى بها أمرًا مطلقًا في قوله سبحانه وتعالى: ﴿إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا﴾ [الأحزاب: 56]، والأمر المطلق يقتضي عموم الأمكنة والأزمنة والأشخاص والأحوال، فمن ادعى -بلا دليل- أنها مُحَرَّمةٌ في وقت من الأوقات فقد ضيَّق ما وسَّعه الله تعالى؛ لأنه قيَّد المطلَق وخصَّص العامَّ بلا دليل، وهذا في نفسه نوع من أنواع البدعة المذمومة.

Artinya; Sebagaimana bahwa shalawat dan salam atas Nabi SAW dan keluarganya merupakan yang paling utama amalan yang diterima oleh Allah sebagaimana ia juga merupakan pembuka pintu diterimanya segala amalan, maka ia juga merupakan amalan yang maqbul. Dan sebagaimana bahwa Nabi SAW yang memberikan syafaat bagi makhluk maka shalawat atasnya merupakan syafaat bagi amalan. Allah telah memerintahkan untuk bershalawat dengan perintah yang umum dalam firman-Nya
 إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا﴾ [الأحزاب: 56
[Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya].
Amar yang mutlaq menunjuki kepada umum tempat, waktu, orang dan keadaan. Maka siapa yang mendakwakan dengan tanpa dalil bahwa shalawat di haramkan dalam waktu tertentu [misalnya ketika tarawih] maka ia sungguh telah menyempitkan apa yang Allah telah beri keluasan karena ia telah mengaitkan nash yang muthlaq dan mengtakhsish nash yang umum tanpa adanya dalil. Perbuatan inilah yang sebenarnya merupakan salah satu bagian dari bid'ah yang tercela.
Fatwa No. 2858 Tgl 24-08-2010
Alamat;

http://www.dar-alifta.org

Dapatlah diketahui bahwa Dar Ifta` Mesir tidak menerima pendapat Syeikh Ali Mahfudh  dalam kitabnya Al Ibda` fi Madhaar Al Ibtida` hal 264 yang menyatakan bahwa membaca shalat dalam celah shalat taraweh termasuk bid'ah tercela, sebagaimana di bawa oleh beberapa orang-orang yang selalu mencela pembacaan shalawat tersebut. 

Dari jawaban Dar Ifta tersebut dapatkan kita simpulkan beberapa poin di bawah ini:

  1. Tuntutan membaca shalawat tidak terikat dengan waktu dan tempat
  2. Boleh membaca shalawat dan tasbih setelah tiap kali salam dalam shalat tarawih
  3. Membaca shalawat dan tasbih tersebut boleh saja dilakukan dengan cara sir maupun jihar
  4. Orang yang melarang melakukan tersebut berarti telah menyempitkan hal yang Allah dan RasulNya telah memberikan kelonggaran.
  5. Melarang bershalawat setelah shalat dalam shalat tarawih merupakan perbuatan bid’ah yang tercela
Baca beberapa artikel kami tentang shalat tarawih;
  1. Shalat Taraweh 20 Rakaat
  2. Penjelasan Syeikh Ali Jum'ah Tentang Rakaat Shalat Tarawih
  3. Melaksanakan Shalat Tarawih bila ada shalat Wajib Yang tertinggal
  4. Tata Cara Shalat Tarawih Lengkap
 Semoga bermanfaat.

Salah satu prinsip Syiah adalah benci setengah mati kepada Sahabat Nabi, Amirul Mukminin Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu. 


Saking bencinya mereka kepada Umar, hingga mereka jadikan kutukan kepada Umar, sebagai bagian dari syahadat syiah. Anda bisa saksikan video berikut,
Jika ada orang awam yang hendak masuk Syiah, syarat mutlaknya, dia harus mengutuk Abu Bakr, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, Aisyah, dan Hafshahradhiyallahu ‘anhum. Itulah agama syiah, sejak awal mereka membangun agamanya di atas prinsip kebencian dan permusuhan.
Tidak heran, jika mereka memuji habis Abu Lukluk Al-Majusi, karena dia yang menikam Umar dari belakang ketika shalat subuh. Mereka hiasi kuburan Abu Lukluk, sebagaimana layaknya kuburan wali. Anda bisa saksikan video berikut:

Bahkan ada juga yang sangat mengherankan, saking bencinya mereka kepada Umar, ada salah satu tokoh Syiah, At-Tibrizi ketika di usia 87 tahun, dia pernah mengatakan kepada jamaahnya,

لو أدخلني الله إلى الجنة ووجدت عمر بن الخطاب فيها لطلبت من الله أن يخرجني منها

“Andaikan Allah memasukkanku ke dalam surga, kemudian aku ketemu Umar bin Khattab di surga, niscaya aku akan meminta kepada Allah untuk mengeluarkanku dari surga.” [sumber: http://www.muslm.org/vb/showthread.php?200079]

Syiah mengklaim bahwa shalat tarawih ajaran Umar bin Khatab yang belum pernah ada di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. dan karenanya, bagi orang Syiah, tarawih adalah bid’ah.
Dalam dialog yang ditayangkan video di youtube, ada seorang Syiah bertanya: ‘Bukankah bulan Ramadhan itu penuh berkah, mengapa Syiah sendiri justru anti-tarawih?’
Selanjutnya salah satu tokoh syiah, Yassir Habib memberikan penjelasan, yang intinya, bahwa jamaah tarawih tidak pernah ada di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dulu para sahabat pernah shalat di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian beliau melarang untuk melaksanakan shalat sunah secara berjamaah. Keterangan ini ada di buku-buku shahih yang dimiliki kelompok mukhalifin (orang yang menyimpang).

Kemudian Yasir juga menegaskan, bahwa yang pertama kali mengadakan jamaah tarawih adalah Umar. Umar mengumpulkan semua orang untuk shalat jamaah di malam hari Ramadhan, di bawah imam Ubay bin Ka’b. Ketika itu ada beberapa orang yang tidak paham mengkritik Umar, “Bid’ah…bid’ah..” kemudian Umar menegaskan: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” sebagai bentuk bantahan atas tuduhan yang dilontarkan kepadanya.

Jamaah Tarawih sudah ada sejak zaman Nabi

Selanjutnya, kita kembali kepada permasalahan shalat tarawih. Anda garis bawahi pernyataan tokoh syiah di atas, bahwa tarawi tidak pernah dilakukan di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Terdapat sangat banyak dalil yang menunjukkan adanya shalat tarawih berjamaah di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setidaknya ada 3 jenis hadis tentang shalat tarawih:

Pertama, persetujuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada praktek sahabat
Di zaman beliau, ada beberapa sahabat yang melaksanakan shalat tarawih di malam Ramadhan secara berjamaah. Dalam hadis dari Tsa’labah bin Abi Malik,

خرج رسول الله صلى الله عليه وسلم ذات ليلة في رمضان فرأى ناسا في ناحية المسجد يصلون فقال : ما يصنع هؤلاء ؟ قال قائل : يا رسول الله هؤلاء ناس ليس معهم قرآن وأبي بن كعب يقرأ وهم معه يصلون بصلاته فقال : ” قد أحسنوا ” أو ” قد أصابوا ” ولم يكره ذلك منهم

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar pada malam Ramadhan. Beliau melihat ada beberapa orang yang shalat jamaah di salah satu sudut masjid. Beliau bertanya: “Apa yang mereka lakukan?” Salah satu sahabat menjawab, ‘Wahai Rasulullah, mereka sekelompok orang yang belum hafal Alquran. Ketika itu, Ubay bin Ka’b sedang shalat malam. Lalu mereka bergabung menjadi makmumnya Ubay.’ Kemudian beliau berkomentar, “Mereka telah berbuat benar.” dan beliau tidak membencinya.
[HR. Baihaqi, dan beliau mengatakan: Hadis mursal yang hasan. Kemudian dalam jalur lain terdapat riwayat yang maushul (bersambung), dari Abu Hurairah dengan sanad diterima, dan Al-Albani menilai hadis hasan].

Kedua, praktek Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Sebagaimana disampaikan oleh An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu,

قمنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم ليلة ثلاث وعشرين في شهر رمضان إلى ثلث الليل الأول ثم قمنا معه ليلة خمس وعشرين إلى نصف الليل ثم قام بنا ليلة سبع وعشرين حتى ظننا أن لا ندرك الفلاح

Kami shalat tarawih bulan Ramadhan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada malam ke-23 hingga sepertiga malam pertama, kemudian kami shalat lagi pada malam ke-25, hingga pertengahan malam, kemudian beliau mengimami kami pada malam ke-27 hingga akhir malam, sampai kami khawatir tidak bisa ngejar sahur.
[HR. Ibn Abi Syaibah dalam Al-Mushanaf, An-Nasai, Imam Ahmad dalam musnadnya, Al-Firyabi dan dishahihkan oleh Al-Hakim].

Al-Hakim mengatakan setelah menyebutkan hadis ini:

وفيه الدليل الواضح أن صلاة التراويح في مساجد المسلمين سنة مسنونة وقد كان علي بن أبي طالب يحث عمر رضي الله عنهما على إقامة هذه السنة إلى أن أقامها

Hadis ini dalil yang sangat jelas bahwa shalat tarawih yang dilakukan di masjid kaum muslimin adalah sunah yang menjadi kebiasaan masa silam. Ali bin Abi Thalib memotivasi Umar radhiyallahu ‘anhuma untuk melestarikan sunah ini, hingga Umar melaksanakannya. (Al-Mustadrak, 1/607).
Dan masih banyak keterangan sahabat lain yang menyebutkan kisah ini.

Ketiga, penjelasan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang keutamaan Shalat tarawih
Dalam hadis dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat hingga pertengahan malam, sebagian sahabat minta agar beliau memperlama hingga akhir malam. Kemudian beliau menyebutkan keutamaan shalat tarawih berjamaah,

إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ، فَإِنَّهُ يَعْدِلُ قِيَامَ لَيْلَةٍ

“Barangsiapa yang shalat tarawih berjamaah bersama imam hingga selesai, maka dia mendapat pahala shalat tahajud semalam suntuk.” (HR. Nasai 1605, Ibn Majah 1327 dan dishahihkan Al-Albani).
Nabi melarang shalat Tarawih berjamaah?
Itulah klaim Yasir, pemuka agama syiah. Tapi anda tidak perlu heran, karena dia bisa berkata apapun tanpa bukti untuk mendukung pendapatnya.
Yang benar, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melarang jamaah shalat tarawih. Namun beliau tidak keluar shalat jamaah tarawih karena khawatir Allah mewajibkan shalat malam itu. Demikian yang diceritakan Ibunda kaum mukminin, Aisyah radhiyallahu ‘anha. Dalam hadis riwayat Bukhari, Muslim, Nasai, Abu Daud, dan yang lainnya, Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan sejarah perjalanan shalat tarawih,
Dulu para sahabat melaksanakan shalat malam Ramadhan di masjid Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam terpencar-pencar. Ada shalat jamaah 5 orang, ada juga 6 orang shalat jamaah, dan ada yang kurang atau lebih dari itu. Suatu hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruhku untuk meletakkan tikar di dekat pitu rumahku (pintu rumah Aisyah, berada di sebelah kiri masjid, bagian depan). Kemudian setealah isya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat malam di atas tikar itu setelah menjalankan shalat isya. Para sahabat yang berada di masjid, segera berkumpul dan bermakmum kepada beliau. Setelah berlalu 1/3 malam, beliau usai, dan masuk rumah.

Di pagi harinya, banyak sahabat membicarakan shalat itu, sehingga di malam berikutnya, masjid nabawi penuh orang, menantikan shalat malam berjamaah.
Pada malam Ramadhan ke-25, beliau keluar dan mengimami para sahabat dengan jumlah jamaah lebih banyak. Pagi harinya, perbincangan itu semakin tersebar. Hingga di malam 27, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membangunkan keluarganya dan melaksanakan shalat malam hingga akhir malam, dengan jamaah sangat banyak.
Malam berikutnya, beliau tidak keluar rumah. Setelah beliau mengimami shalat isya, beliau masuk rumah, sementara masjid penuh para sahabat, menunggu shalat. Beliaupun bertanya kepadaku: ‘Wahai Aisyah, apa yang terjadi dengan para sahabat?’
‘Wahai Rasulullah, banyak orang mendengar tentang shalat anda kemarin, dan mereka ingin agar anda mengimami mereka.’ Jawab Aisyah. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh agar tikar kemarin digulung. Malam itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap ibadah di rumah, sampai subuh. Beliau keluar untuk mengimami shalat subuh, kemudian berkhutbah,

أيها الناس أما والله ما بت والحمد لله ليلتي هذه غافلا ولكن خشيت أن تفرض عليكم صلاة الليل فتعجزوا عنها فاكلفوا من الأعمال ما تطيقون فإن الله لا يمل حتى تملوا

Wahai sekalian manusia, demi Allah, tadi malam saya tidak sedang lalai (tidak tidur) – walhamdu lillah – namun saya khawatir akan diwajibkan kepada kalian shalat malam ini, sehingga kalian tidak sanggup melakukannya. Lakukanlah amal sunah yang mampu kalian lakukan, karena Allah tidak bosan menerima amal kalian, sampai kalian bosa dalam bersamal. [HR. Bukhari 924, Muslim 761, Abu Daud 1373 dan yang lainnya]
Imam Ibnu Syihab Az-Zuhri mengatakan,

فتوفي رسول الله صلى الله عليه وسلم والناس على ذلك ثم كان الأمر على ذلك في خلافة أبي بكر وصدرا من خلافة عمر

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dan kebiasaan shalat tarawih masyarakat masih seperti itu. Keadaan tersebut tetap berlanjut di masa Khilafah Abu Bakr, dan beberapa waktu di masa khilafah Umar. (HR. Bukahri 2009)

Anda bisa saksikan, adakah larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamkepada para sahabat untuk shalat malam berjamaah? Itu hanya klaim syiah, untuk memojokkan Amirul Mukminin, Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu.
Yang ada, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak lagi melaksanakan tarawih secara berjamaah, karena kegiatan itu diikuti banyak sahabat, hingga beliau khawatir Allah akan menurunkan wahyu, menetapkan shalat jamaah tarawih sebagai kewajiban bagi kaum muslimin. Dan itu akan sangat memberatkan kaum muslimin.
Sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, wahyu tidak lagi turun, sehingga tidak akan ada perubahan hukum dari sunah menjadi wajib. Karena itu, aktivitas kaum muslimin melaksanakan shalat tarawih berjamaah selama sebulan, tidak akan menyebabkan hukum shalat ini menjadi wajib.
Ijtihad Umar
Itulah yang mendasari ijtihad Umar. Wahyu tidak lagi turun, dan tidak akan ada perubahan hukum. Karena itu, Umar menghidupkan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang beliau tinggalkan karena khawatir Allah wajibkan. Ketika kekhawatiran itu sudah tiada, Umar memerintahkan sahabat Ubay bin Ka’bradhiyallahu ‘anhu untuk mengimami para sahabat melaksanakan shalat tarawih.
Yang menakjubkan, ijtihad Umar ini justru didukung 100% oleh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. sebagaimana yang ditegaskan Imam Al-Hakim dalam Mustadrak,

وقد كان علي بن أبي طالب يحث عمر رضي الله عنهما على إقامة هذه السنة إلى أن أقامها

“Ali bin Abi Thalib memotivasi Umar radhiyallahu ‘anhuma, untuk menghidupkan kembali sunah itu, hingga Umar melaksanakannya.” (Al-Mustadrak, 1/607)
Mengapa di masa Abu Bakr tidak diadakan Tarawih berjamaah?
Sebagian orang mempertanyakan hal ini. Jika alasan Umar mengadakan jamaah shalat tarawih adalah wahyu tidak lagi turun, mengapa di zaman Abu Bakr, jamaah tarawih tidak diadakan?
Pertanyaan semacam ini telah dijawab oleh As-Syathibi dalam kitabnya Al-I’tisham,
وإنما لم يقم ذلك أبو بكر رضي الله عنه لأحد أمرين:

الأول؛ إما لأنه رأى أن قيام الناس آخر الليل ، وما هم به عليه ، كان أفضل عنده من جمعهم على إمام أول الليل . ذكره الطرطوشي

“Jamaah tarawih tidak diadakan di zaman Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu, karena dua alasan,
Pertama, karena Abu Bakr berpendapat bahwa apa yang dilakukan para sahabat dengan shalat tahajud di akhir malam, dan mereka shalat sendiri-sendiri atau berjamaah dengan kelompok kecil, itu lebih afdhal menurut Abu Bakr, dari pada mereka dikumpulkan berjamaah di awal malam dengan satu imam. Ini adalah keterangan At-Thurthusyi.

وإما لضيق زمانه رضي الله عنه عن النظر في هذه الفروع ، مع شغله بأهل الردة وغير ذلك مما هو أوكد من صلاة التراويح ، فلما تمهد الإسلام في زمن عمر رضي الله عنه ورأى الناس في المسجد أوزاعاً [ متفرقين ] ، كما جاء في الخبر ، قال : لو جمعت الناس على قارئ واحد لكان أمثل ، فلما تم له ذلك نبه على أن قيامهم آخر الليل أفضل، ثم اتفق السلف على صحة ذلك وإقراره ، والأمة لا تجتمع على ضلالة ، وقد نص الأصوليون أن الإجماع لا يكون إلا عن دليل شرعي..

Alasan kedua, masa kepemimpinan Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu sangat pendek, sehingga tidak sempat memperhatikan masalah semacam ini. Terlebih beliau disibukkan dengan orang murtad atau kasus lainnya, yang lebih mendesak untuk ditangani dari pada shalat tarawih. Setelah islam jaya di zaman Umar radhiyallahu ‘anhu, sementara masyarakat shalat malam di masjid dengan terpencar-pencar, sebagaimana yang disebutkan dalam dalil. Umar kemudian mengatakan, ‘Andaikan mereka dikumpulkan dengan satu imam, tentu lebih baik.’ Setelah sunah ini dihidupkan, beliau mengingatkan, pelaksanaan shalat tarawih di akhir malam, itu lebih baik. Kemudian para sahabat sepakat kebenaran ijtihad itu dan mereka setuju. Sementara kaum muslimin tidak akan bersepakat dalam kesesatan. Para ahli ushul fiq telah menegaskan bahwa ijma’ (kesepakatan ulama) tidak mungkin ada kecuali berdasarkan dalil syariat.. (Al-I’tisham, 1/142).
Sepakat kaum Muslimin Tarawih adalah Sunnah
An-Nawawi mengatakan,

صلاة التراويح سنة بإجماع العلماء

“Shalat tarawih adalah sunah berdasarkan sekapat ulama.” (Al-Majmu’ Syarh Muhadzab, 3/526).
An-Nawawi juga mengatakan,

قال أبو العباس وأبو إسحق صلاة التراويح جماعة أفضل من الانفراد لإجماع الصحابة وإجماع أهل الأمصار على ذلك

Abul Abbas dan Abu Ishaq mengatakan, ‘Shalat tarawih berjamaah lebih afdhal dari pada sendirian, berdasarkan ijma’ sahabat dan kesepakatan ulama di berbagai daerah. (Al-Majmu’ Syarh Muhadzab, 4/32).
Al-Khatib As-Syirbini mengatakan,

وقد اتفقوا على سنيتها ، وعلى أنها المراد من قوله صلى الله عليه وسلم ( من قام رمضان إيماناً واحتساباً غفر له ما تقدم من ذنبه وما تأخر ) رواه البخاري

“Para ulama sepakat adanya sunah shalat tarawih, dan mereka sepakat keutamaan shalat tarawih seperti yang disebutkan dalam hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Siapa yang melaksanakan qiyam Ramadhan karena iman dan mengharap pahala maka akan diampuni dosanya yang telah lewat dan yang akan datang.” (Mughni Al-Muhtaj, 1/459).
Dalam berbagai karyanya, para ulama memasukkan masalah mengusap khuf (sepatu) sebagai bagian dari aqidah, meskipun sejatinya hal ini adalah kasus ibadah. Namun mengingat praktek mengusap khuf termasuk syiar ahlus sunah yang membedakan dengan syiah dan khawarij, para ulama mencamtumkannya dalam masalah aqidah.

Tarawih adalah syiar ahlus sunah. Seluruh kaum muslimin sepakat, tarawih adalah sunah – sebagaimana keterangan An-Nawawi dan lainnya -, sementara syiah menyebut tarawih adalah bid’ah. Karena itu, tidak jauh jika kita masukkan permasalahan ini bagian dari perbedaan karena aqidah. Semoga Allah melindungi kaum muslimin dari tipu daya kelompok syiah. Amin

هلاك صاحب مقولة ( لا أدخل جنة فيها عمر بن الخطاب ) http://www.alazhr.com/quran/image/35_008.gif http://tabrizi.org/tez/7/big/16.JPG هلاك المرجع الشيعي "ميرزا جواد التبريزي" صاحب كتاب "الشذوذ الجنسي لدى عمر بن الخطاب" والذي يسب فيه ثاني...
muslm.org 

Di sebagian daerah dalam shalat taraweh saat setiap empat rakaat mendoakan ridha bagi empat khulafaurrasyidin. Golongan ahli tukang bid’ah [wahabi] sangat anti dengan jenis perbuatan demikian. Namun tidak perlu dihiraukan mereka. Cukuplah bagi kita penjelasan-penjelasan ulama besar Ahlus sunnah wal Jamaah yang mampu memahami al-quran dan hadits dengan lebih luas. Salah satu ulama Ahlus sunnah zaman ini adalah almarhum Syeikh Sa’id Ramadhan al-Buthy. Beliau pernah ditanyakan hukum mendoakan ridha Allah bagi empat shahabat khulafaurrasyidin. Berikut pertanyaan dan jawaban beliau lengkap dengan terjemahannya.
755
 حكم الترضى عن الخلفاؤ بين ركعات التراويح
ما حكم رفع الصوت بالترضى عن الخلفاء الراشدين بين ركعات التراويح؟
لا بأس من الاعتماد على اي وسيلة لضبط الركعات التى صليت من التراويح,ولعل ذكر اسماء الخلفاء الأربعة والترضى عنهم عند اتمام كل اربع ركعات خير الوسائل إلى ذلك والقاعدة تقول للوسائل حكم الغايات فما لا يتحقق الواجب إلا به واجب وما لا يتحقق المندوب إلا به مندوب
استفتاءات الناس للإمام الشهيد البوطى على موقع نسيم الشام ص 128

Pertanyaan No. 755; Hukum mendoakan ridha Allah untuk para khulafaurrasyidin diantara salam shalat taraweh.
Apa hukum meninggikan suara dengan mendoakan ridha Allah untuk para khulafaurrasyidin diantara salam shalat taraweh?
 
Jawab; Tidak mengapa menyandarkan terhadap apapun untuk mengingat rakaat shalat taraweh yang sudah dikerjakan. Mudah-mudahan penyebutan nama khalifah yang empat dan mendoakan ridha Allah bagi mereka ketika sempurna setiap empat rakaat adalah sebaik-baik jalan untuk demikian. Qaedah menyebutkan bahwa bagi jalan berlaku hukum tujuan. Sesuatu yang tidak bisa wujud wajib kecuali dengannya maka ia juga wajib. Sesuatu yang tidak bisa wujud perbuatan sunat kecuali dengannya maka ia juga sunat.
Istifta` an-Nas li al-Imam asy-Syahid al-Buthi ‘ala Mauqi’ Nasimsyam hal 128

Kesimpulan jawaban Syeikh Buthi adalah, pembacaan doa ridha tersebut hukumnya dibolehkan. Pembacaan taradhdhi itu umumnya dilakukan pada setiap empat rakaat, berfungsi sebagai pengingat rakaat setiap kali mencapai empat rakaat. Sebenarnya boleh saja menjadikan apa saja sebagai pengingat rakaat shalat taraweh. Maka kita lihat dilapangan, masyarakat berbeda-beda bacaan zikir mereka pada setiap empat rakaat, menurut kebiasaan masing-masing daerah. Syeikh Buthy menyatakan bahwa mendoakan ridha Allah bagi empat shahabat pada setiap rakaat shalat taraweh merupakan salah satu jalan terbaik untukk mengingat jumlah rakaat. Penjelasan Syeikh Buthy ini sejalan dengan penjelasan Dar Ifta’ al-Mishriyah bahwa hal ini diserahkan kepada kebiasaan kaum muslimin sendiri. Bagi yang terbiasa membaca taradhdhi disetiap empat rakaat maka silahkan saja dibaca dan bagi yang tidak maka juga boleh untuk tidak membacanya.
Kitab Istifta` an-Nas li al-Imam asy-Syahid al-Buthi merupakan kumpulan jawaban Syeikh Buthi terhadap berbagai pertanyaan yang diajukan kepada beliau melalui website www.naseemalsham.com.

File pdf kitab tersebut bisa didownload di website http://www.naseemalsham.com
http://www.naseemalsham.com atau langsung ke DOWNLOAD
Semoga bermanfaat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar