Rabu, 10 Juni 2015

Tarawih: Sholat tarawih ngebut, ini penjelasanya

Ketika berjamaah shalat tarawih, tempo bacaan dan gerakan beberapa imam tarawih tidak jarang ada yang terlalu cepat bila dibandingkan dengan yang lainnnya. Beberapa makmum hingga sering ketinggalan dalam gerakan dan bacaan shalat.

Kejadian yang demikian menimbulkan tanda tanya terkait dengan sah atau tidaknya shalat yang dilakukan dengan cepat tersebut. Sebab akan sangat sia-sia shalat dengan raka'at yang banyak namun shalat dianggap tidak sah.

Untuk mengetahui sah / tidaknya, yang harus dipenuhi adalah syarat dan rukun shalat. Apabila semua itu terpenuhi, maka shalat sudah dianggap sah. Namun, biasanya hal yang paling rentan terlalaikan pada shalat yang dilakukan dengan cepat adalah tuma'ninah. Sedangkan tuma'ninah merupakan bagian dari rukun shalat yang harus dilakukan.

Sehingga bila kecepatan gerakan salat masih dapat dikatagorikan tumakninah, maka salatnya sah; dan jika tidak maka salatnya tidak sah. Lama tuma'ninah, kira-kira sekadar membaca "Subhanallah" (kira-kira 1 detik).

Tuma'ninah ini menjadi batasan kecepatan shalat, disamping rukun-rukun shalat lainnya yang wajib di penuhi. Hal ini berlaku tidak hanya pada shalat tarawih, tetapi juga shalat-shalat yang lainnya.

Didalam Kitab Hasyiyah Bajuri juz 1 halaman152 :

(قَولُهُ وَهِيَ سَيَكُونُ بَعْدَ حَرَكَةٍ) اى سُكُونُ الأعْضَاءِ بَعْدَ حَرَكَةِ الهَوِيِّ لِلرُّكُوعِ وَقَبْلَ حَرَكَةِ الرَّفْعِ مِنْهُ. وَلِذَلِكَ قِيْلَ هِيَ سُكُونٌ بَعْدَ حَرَكَتَيْنِ ... إلَى أنْ قَالَ: وَعَلَى كِلاَ القَولَيْنِ لاَ تَصِحُّ الصَّلاَةُ بِدُونِهَا

(Ucapan pengarang: Tuma'ninah itu adalah tenang setelah gerakan) artinya ketenangan anggota-anggota badan setelah gerakan turun untuk rukuk dan sebelum gerakan bangkit dari rukuk. Oleh karena itu dikatakan: Tumak'ninah itu adalah tenang (diam) diantara dua gerakan ... sampai ucapan pengarang: Berdasar dua pendapat ini, maka tidak sah salat tanpa tumakninah".

Tapi hendaknya shalat tarawih dilakukan dengan santai dengan mempertimbangkan orang-orang yang menjadi makmum. Tarawih sendiri merupakan kata jama' dari raahah yang artinya istirahat. Maka semestinya tarawih itu tidak terburu-buru.

HUKUM SHOLAT TARAWIH TIDAK GENAP 20 ROKA’AT


PERTANYAAN :
assalamu’alaikum sahabat piss . . . , mohon pncerahannya, bgaimana hkumnya kita melakukan shalat tarawih tidak genap 20 rakaat, pdahal qt menganggap atau bhkan meyakini bhw jumlah rkaatnya 20, krn scra logika ibarat shalat dhuhur yg mstinya 4 rkaat jk d lkukan hnya 3 rkaat kan tdk afsah . . . ,

JAWABAN :
 Wa’alaikumsalaam
Tetap mendapat kesunahan sholat tarwih, namun kita juga disunahkan untuk menyempurnakannya.

At-Taushiyah halaman 52

وهى عشرون ركة بعشر تسليمات وجوبا ، ولو صلى بدون عشرين حصل له ما فعله اهـ ويؤخذ من قوله وهى عشرون أن من صلى مع الإمام بعض التراويح يندب له إتمامها ولو منفردا

Nukilan dari Tuhfatur Rohabah Ponpes Al-Falah Ploso

Wallohu a’lam bis showab.

Shalat Sunnah Tarawih 20 raka’at


1. Pengertian
Shalat tarawih adalah shalat sunat dengan niat tertentu yang dikerjakan pada setiap malam Bulan Rahamadhan setelah shalat isya’. Hukum shalat tarawih adalah sunah ‘ainiyah Muakkadah baik bagi laki-laki amaupun perempuan yang mukallaf.
Dalam tradisi kita shalat tarawih 20 roka’at ini dikerjakan dengan dua roka’at salam, hal ini berdasarkan hadist Nabi tentang tata cara melaksanakan shalat malam. Nabi SAW bersabda :

عَنِ ابْنِ عُمَرَ اَنَّ رَجُلًا سَأَلَ رَسُوْلُ اللهِ ص.م. عَنْ صَلَاةِ الَّليْلِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص.م. صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى (رواه البخارى,٩٣٦ ومسلم, ١٢٣٩ والترمذى ١٠٤,

والنسائ,١٦٥٩,وابو داود,١١٣,وابن ماجه,١١٦٥)

Dari Ibnu Umar ” Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah tentang shalat malam. Mereka Nabi menjawab, “ Shalat malam itu ada dua rakaat-dua rakaat” (HR al-Bukhari : 936, Muslim : 1239, al-Tirmidzi : 401, al-Nasa’I :1650, Abu Dawud :1130 dan Ibnu Majah : 1165).

2. Dalil Tarawih 20 Raka’at
Di antara Dalil yang di gunakan Hujjah dalam menjalankan tarawih 20 Raka’at yaitu :
Pertama Hadist Imam Malik dari Sohabat Yasid bin Rumman.

عَنْ مَالِكٍ عَنْ يَزِيْدَ بْنِ رُمَّانَ اَنَّهُ قَالَ: كَانَ النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ فِىْ زَمَنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ بِثَلَاثِ وَعِشْرِيْنَ رَكْعَةً.( رواه الامام مالك فى الموطأ).

“Dari Malik, dari Yazid bin Rumman, ia mengatakan : Orang-orang mengerjakan (salat Tarawih) pada zaman Umar bin Khathbab sebanyak 23 rakaat”. (HR Imam Malik, dalam kitab al-Muwatha, Juz I hlm. 138)
Kedua Hadist riwayat al-Baihaqi dari sahabat saib bin Yazid dalam kitab Al-Hawy li Al Fatawa li As Suyuthy, Juz I hlm. 350, juga kitab fath al-wahhab Juz I, hlm. 58.

وَمَذْهَبُنَا اَنَّ التَّرَاوِيْحَ عِشْرُوْنَ رَكْعَةً لِمَا رَوَى اْلبَيْهَقِيُّ وَغَيْرُهُ باِلْاِسْنَادِ الصَّحِيْحِ عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيْدَ الصَّحَابِيِّ رَضِيَ للهُ عَنْهُ قَالَ: كُنَّا نَقُوْمُ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ بِعِشْرِيْنَ رَكْعَةً وَاْلوِتْرِ _ هَكَذَا ذَكَرَهُ اْلمُصَنِّفِ وَاسْتُدِلَّ بِهِ.

Madzbab kita (Syafi’iyah) menyatakan : salat Taawih itu dijalankan 20 rakaat. Ini berdasarkan pada hadist nabi yang diriwayatkan Imam Baihaqi dengan sanad shabih, dari Saib bin Yasid, ia mengatakan : kita mengerjakan salat Tarawih pada masa Umar bin Khathhab dengan 20 akaat ditambah Witir.

Ketiga, pendapat Jumhur fiqih yang terdapat dalam kitab fiqih as-Sunah, Juz II. Hlm. 45

وَصَحَّ النَّاسُ كَانُوْا يُصَلُّوْنَ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيِّ عِشْرِيْنَ رَكْعَةً. وَهُوَ رَأْىُ الْجُمْهُوْرِ الْفُقَهَاءِ.

Betul bahwa kaum muslimin mengerjakan salat pada zaman Umar, Utsman, dan Ali sebanyak 20 rakaat, dan ini pendapat sebagian mayoritas pakar-pakar hokum Islam.
Dalil keempat, dalam kitab Taudbib al-Adillah, Juz III, hlm. 171.

عَنْ اِبْنِ عَبَسَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّى فِىْ شَهْرِ رَمَضَانَ فِىْ غَيْرِ جَمَاعَةٍ عِشْرِيْنَ رَكْعَةً وَاْلوِتْرِ.رواه البيهقى والطبرنى عن عبد بن حمد.

Ibnu Abbas mengatakan : Rasul salat di bulan Ramadhan sendirian sebanyak 20 rakaat ditambah Witir (HR Baihaqi dan Thabrani, dari Abd bin Humaid)

Dalil kelima, dalam kitab Hamisy Muhibbah, Jus II, hlm. 446-467.

وَفِىْ تَخْرِيْجِ أَحَادِيْثَ الرَّافِعِيْ لِلْاِمَامِ اْلحَاِفظْ اِبْنِ حَجَرَ مَا نَصَّهُ حَدِيْثُ اَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّ بِالنَّاسِ عِشْرِيْنَ رَكْعَةً لَيْلَتَيْنِ فَلَمَّا كَانَ فِىْ لَيْلَةِ الثَّالِثَةِ اجْتَمَعَ النَّاسُ فَلَمَّا يَخْرُجَ اِلَيْهِمْ ثُمَّ قَالَ مِنَ الْغَدِّ خَشِيْتُ اَنْ تَفْرُضَ عَلَيْكُمْ فَلَا تُتِيْقُوْنَهَا. متفق على صحته من حديث عائسة رضي الله عنها دون عدد الركعات.

Ada komentarnya ImamRafi’I untuk hadist riwayat Imam Ibnu hajar tentang teks hadist Rasul salat bersama kaum muslimin sebanyak 20 rakaat di malam Ramadhan. Ketika tiba di malam ketiga, orang-orang berkumpul, namun Rasulullah tidak keluar. Kemudian, paginya dia bersabda, Aku takut Tarawih diwajibkan atas kalian, dan kalian tidak mampu melaksanakannya. Hadist ini disepakati kesabibannya, tanpa mengesampingkan hadist yang diriwayatkan Aisyah yang tidak menyebut rakaatnya. Sedangkan salat

Tarawih berjama’ah hukumnya sunat ainiyah, memurut ulama khanafiyah hukumnya sunat kifayah. Dalil ini bedasarkan hadist Abu Durahman bin Abdul Qari dalam kitab shaih al-Buhkari.

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ الْقَارِيِّ اَنَّهُ قَالَ خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ اْلخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ لَيْلَةٌ فِىْ رَمَضَانَ اِلَى اْلمَسْجِدِ فَاِذَا النَّاسُ اَوْزَاعٌ مُتَفَرَّقُوْنَ يُصَلِّ الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّ الرَّجُلُ فَيُصَلِّ بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ اِنِّي اَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ اَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيَّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خّرَجَتْ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّوْنَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرَ نِعْمَ البِدْعَةُ هَذِهِ. (رواه البخاري, ١٨١٧)

“Diriwayatkan dari Abdurrohman bin Abd al-Qori, beliau berkata, “Saya keluar bersama Sayyidina Umar bin al-Khabtbab ke masjid pada bulan Ramadhan. (Didapati dalam mesjid tersebut) orang-orang shalat tarawih sendiri-sendiri. Ada yang shalat sendiri-sendiri dan ada yang shalat dengan berjama’ah ”. Lalu Sayyidina Umar berkata, “Saya punya pendapat andaikata mereka aku kumpulkan dalam jama’ah dengan satu imam, niscaya itu lebih bagus”. Lalu beliau mengumpulkan mereka dengan seorang imam, yakni sahabat Ubay bin Ka’ab. Kemudian satu malam berikutnya, kami dating lagi ke masjid. Orang-orang sudah melaksanakan satu imam. Umar berkata, “ Sebaik-baiknya bid’ab adalah ini. (Shalat tarawih dengan berjama’ah)”. (HR al-Bukhari :1871).

Dalam tradisi NU, di dalam melaksanakan shalat tarawih berjama’ah biasanya bilal membaca "sholluu sunnatat taroowih.." yang dibaca pada waktu akan melakukan jama’ah shalat tarawih. Hal ini berdasarkan dalil dalam kitab Al-Qolyubi Juz, I hlm. 125.

(وَيُقَالُ فِى اْلعِيْدِ وَنَحْوِهِ) مِمَّا تُشْرَعُ فِيْهِ الْجَمَاعَةُ كَاالْكُسُوْفِ وَالْاِسْتِسْقَاءِ وَالتَّرَاوِيْحِ (اَلصَّلَاةُ جَامِعَةً) لِوُرُوْدِ فِيْ حَدِيْثِ الشَّيْخَيْنِ فِى اْلكُسُوْفِ وَيُقَاسُ بِهِ وَنَحْوِهِ (اَلصَّلَاةُ جَامِعَةً) وَمِثْلُهُ “هَلُمُّوْا اِلَى الصَّلَاةِ اَوِالْفَلَاحِ اَوِالصَّلَاةِ يَرْحَمُكُمُ اللهُ وَنَحْوُ ذَلِكَ.ھ

“Di dalam shalat ied dan shalat-shalat yang disyariatkan dilaksanakan secara berjama’ah (seperti shalat khusuf, shalat istisqo dan shalat tarawih) di sunahkan membaca "As-sholaatu Jaami'ah.." dan bacaan semisalnya seperti "Halummuu ilash sholaah.." atau "Halummuu ilal falaahi yarhamukumullooh.." dan lain sebagainya. Hal ini berdasarkan hadist Bukhari Muslim tentang shalat kusuf, adapun yang lainnya di kias-kiaskan”.

Kaitannya dengan hadist Riwayat Al Bukhari yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah RA

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ مَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيْدُ فِى رَمَضَانَ وَلَافِى غَيْرِهِ عَلَى اِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً (رواه البخارى,١٠٧٩)

“Dari Sayyidatuna Aisyah-Radbiyallohu’anba, ia berkata ,”Rosululloh …… tidak pernah menambah shalat malam pada bulan Ramadhan atau bulan lain melebihi sebelas rekaat”.(HR. al-Bukhari,1079)

Hadist diatas sering dijadikan dalil shalat tarawih 11 rakaat. Namun menurut keterangan dalam Kitab Tuhfah al-Muhtaj, Juz 11, hal 229 yang mengutip pendapat Ibnu Hajar A-Haitami(seorang Ulama ahlussunah) meengatakan bahwa hadist tersebut bukanlah dalil salah tarawih 11 rakaat melainkan dalil shalat witir. Sebab berdasarkan kebanyakan riwayat disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW melaksanakan shalat witir dan bilangan maksimalnya adalah sebelas rakaat.

Dalam Kitab Kasyfu At-tabarih dikatakan :

وَلمَاَّ كَانَتْ تِلْكَ اْلَاحَادِيْثُ مُتَعَارِضَةٌ وَمُحْتَلِمَةٌ لِلتَّأْوِيْلِ لَمْ تَقُمْ بِهَا الْحُجَّةُ فِى اِثْبَاتِ رَكَعَاتِ التَّرَاوِيْحِ لِتَسَاقُطِهَا فَعَدَّ لْنَا عَنِ اسْتِدْلَالِ بِهَا اِلَى الدَّلِيْلِ اْلقَاطِعِ وَهُوَ اْلاِجْمَاعُ وَهُوَ اِجْمَاعُ اْلمُسْلِمِيْنَ فِى زَمَنِ عُمَرَ بْنِ اْلخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَلَى فِعْلِهَا عِشْرِيْنَ رَكْعَةً رَوَاهُ الْبَيْهَقِى بِااسْنَادِ الصَّحِيْحِ عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيْدَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ كَانُوْا يَقُوْمُوْنَ عَلَى عَهْدِ عُمَرُ بْنِ اْلخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فِى شَهْرِ رَمَضَانَ بِعِشْرِيْنَ رَكْعَةً اھ كشف التاريح ص ١٣

“Karena dalil-dalil tentang bilangan shalat rakaat shalat tarawih saling berlawanan dan memungkinkan adanya ta’wil maka tidak memungkinkan untuk dijadikan hijjah dalam menetapkan rakaat shalatbtarawih karena dalil-dalil tersebut saling menjatuhkan maka dari itu kami tidak mengambil dalildarihadist-hadist tersebut melainkan menggunakan dalil yang Qot’I yaitu ijma’ kebanyakan orang islam ( dilaman Sayyidina Umar RA ) yang melaksanakan shalat tarawih 20 rakaat berdasarkan hadist riwayat Baihaqi dari sahabat As-saib bin Yazid RA dengan isnad yang shahih, saib mengatakan : Mereka (orang-orang muslim) mengerjakan shalat tarawih 20 rakaat pada bulan Ramadan di zaman Khalifah Umar RA”.
Lebih lanjut dalam kitab Kasyfu at-tabarih dikatakan :

وَاِذَا كَانَ اْلاَمْرُ كَذَلِكَ عَلِمْنَا اَنَّ اللَّذِيْنَ صَلُّوْا التَّرَاوِيْحَ الْيَوْمَ ثَمَانَ رَكَعَاتٍ مُخَلِّفُوْنَ لِلْاِجْمَاعِ اِنْ كَانَ فِى اَمْرٍ مَعْلُوْمٍ مِنَ الدِّيْنِ بِاالضَّرُوْرَةِ فَهُوَ كَافِرٌ وَاِلَّا فَهُوَ فَاسِقٌ وَهُمْ مُخَالِفُوْا أَيْضًا لِسُنَّةِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ وَمَنْ خَالَفَ سُنَّةَ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ فَقَدْ خَالَفَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ غَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِاَنَّهُ قَالَ فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ خُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اْلمَهْدِيِّيْنَ مِنْ بَعْدِيْ (رواه ابو داود والترميذ اھ كشف التاريح ص ١٤)

“Dan jika perfmasalahannya seperti itu (dalil yang Qot’I adalah dalil ijma yang membenarkan bilangan rakaat tarawih 20 rakaat) maka dapat kita ketaahui bahwa mereka yang melaksanakan shalat tarawih 8 rakaat adalah bertentangan dengan ijma dan orang yang menngingkari ijma tentang permasalahan yang sudah pasti dalam agama adalah kafir atau fasik dan merfeka juga berftentangan dengan sunah khulafaur Rosyiidin dan orang yang bertentangan dengan khulafaur Roysidin Juga bertentangan dengan Nabi SAW, karena ia boleh bersabda “ Berpegang teguhlah kamu sekalian dengan sunatku dan dengan sunat Khulafaur Rosyidin yang memberi petunjuk sesudahku (HR. Abu Daud dan At-tirmidi).

Fadilah sholat tarawih


malam pertama

عن على بن ابى طالب رضى الله تعالى عنه انه قال سئل النبى عليه الصلاة والسلام عن فضائل التراويح فى شهر رمضان فقال يخرج المؤمن من ذنبه فى اول ليلة كيوم ولدته امه


diriwayatkan dari ali bin abi tholib Ra.bahwa sesungguhnya ali berkata
Nabi alaihis sholatu was salamu ditanya tentang keutamaan tarowih dibulan romadlon.
maka Nabi menjawab
"pada malam pertama kluarlah dosa orang mukmin (yang melakukan tarawih)
sebagaimana ibunya melahirkan ia didunia
------

malam ke 2

وفى الليلة الثانية يغفر له ولأبويه ان كان مؤمنين

pada malam yang ke 2
orang yang sholat tarawih akan diampuni dosanya dan dosa ke-2 orang tuanya jika keduanya mukmin

-----

malam ke 3

وفى الليلة الثالثة ينادي ملك من تحت العرش استأنف العمل غفر الله ما تقدم من ذنبك

pada malam yang ke 3
malaikat dibawah arasy berseru,mulailah melakukan amal kebaikan (sholat tarawih)
maka ALLOH akan mengampuni dosamu
------

malam ke 4

وفى الليلة الرابعة له من الاجر مثل قراءة التورات والانجيل والزبور والفرقان


pada malam yg ke 4
bagi yg melakukan tarawih dapat pahala sebagaimana pahala orang yg membaca kitab taurot,injil,zabur dan alqur'an
-----

malam ke 5

وفى الليلة الخامسة اعطاه الله تعالى مثل من صلى فى المسجد الحرام و المسجد المدينة والمسجد الاقصى

pada malam yg ke 5
ALLOH memberikan pahala bagi yg tarawih sebagaimana pahalanya orang yg sholat
dimasjidil harom,masjid madinah/nabawi dan masjidil aqsho
-----

malam ke 6

وفى الليلة السادسة اعطاه الله تعالى ثواب من طاف بالبيت المعمور ويستغفر له كل حجر ومدر

pada malam yg ke 6
ALLOH memberikan pahala pada yg bertarawih sebagaimana pahalanya orang yg thowaf dibaitul makmur dan setiap batu dan tanah memintakan ampunan padanya
------

malam ke 7

وفى الليلة السابعة فكأنما ادرك موسى عليه السلام ونصره على فرعون وهامان


pasa malam yg ke 7
yg melakukan tarawih seakan-akan menemui zaman nabi Musa as dan menolongnya dari serangan fir'aun dan haman
-------

malam ke 8

وفى الليلة الثامنة اعطاه الله تعالى ما اعطى ابراهيم عليه السلام

pada malam yg ke 8
ALLOH akan memberi anugrah sebagaimana anugrah yg diberikan pada Nabi Ibrohim alaihis salam
-------

malam ke 9

وفى الليلة التاسعة فكأنما عبد الله تعالى عبادة النبى عليه الصلاة والسلام

pada malam yg ke 9
seolah2 orang yg tarawih beribadah pada ALLOH sebagaimana ibadahnya para Nabi alaihis sholatu was salam
-------

malam ke 10

وفى اليلة العاشرة يرزقه الله تعالى خيرى الدنيا والآخرة

pada malam yg ke 10
ALLOH akan memberi rizki yg lebih bagus didunia maupun akhirat bagi yg tarawih
-------

malam ke 11

وفى الليلة الحادى عشرة يخرج من الدنيا كيوم ولد من بطن امه

pada malam yg ke 11

orang yg tarawih kelak ia akan keluar dari dunia (mati) seperti hari dimana ia baru dilahirkan dari perut ibunya
-------

malam ke 12

وفى الليلة الثانية عشرة جاء يوم القيامة ووجهه كالقمر ليلة البدر

pada malam yg ke 12

pada saat hari kiamat datang wajahnya orang yg tarowih bersinar bagaikan rembulan dimalam purnama
-----

malam ke 13

وفى الليلة الثالثة عشرة جاء يوم القيامة أمنا من كل سوء

Pada malam yang ke 13

pada saat hari kiamat tiba orang yg tarawih akan selamat dari segala macam keburukan
------

malam ke 14

وفى الليلة الرابعة عشرة جاءت الملائكة يشهدون له انه قد صلى التراويح فلا يحاسبه الله يوم القيامة

pada malam yg ke 14

malaikat pada menjadi saksi bagi yg tarawih bahwa ia sudah melakukan sholat tarawih maka ALLOH tidak menghisabnya besok dihari kiamat
------

malam ke 15

وفى الليلة الخامسة عشرة تصلى عليه الملائكة وحملة العرش والكرسى

pada malam yg ke 15

para malaikat dan para malaikat penyangga arasy dan para malaikat penjaga kursi kerajaan langit pada memintakan ampunan pada orang yg sholat tarawih
-------

malam ke 16

وفى الليلة السادسة عشرة كتب الله له براءة النجاة من النار وبراءة الدخول من الجنة

pada malam yg ke 16

ALLOH akan mencatat kebebasan selamat dari neraka dan kebebasan masuk surga bagi yg tarawih
-----

malam ke 17

وفى الليلة السابعة عشرة يعطى مثل ثواب الانبياء

pada malam yg ke 17

yg tarawih akan diberi pahala sebagaimana pahalanya para nabi
-----

malam ke 18

وفى الليلة الثامنة عشر نادى ملك ياعبد الله ان الله رضى عنك وعن والديك

pada malam yg ke 18

malaikat telah berseru (pada yg tarawih) wahai hamba ALLOH,sesungguhnya ALLOH telah meridloimu dan ke-2 orang tuamu
------

malam ke 19

وفى الليلة التاسعة عشرة يرفع الله درجاته فى الفردوس

pada malam yg ke 19

ALLOH akan mengangkat derajat-derajat yg tarowih disurga firdaus
-------

malam ke 20

وفى الليلة العشرين يعطى ثواب الشهداء والصالحين

pada malam yg ke 20

orang tarawih akan diberi pahala seperti pahala orang-orang yg mati shahid dan orang-orang sholih
--------

malam ke 21

فى الليلة الحادية والعشرين بنى الله له بيتا فى الجنة من النور

pada malam yg ke 21

ALLOH akan membangunkan rumah disurga yg terbuat dari cahaya untuk yg tarawih
--------

malam ke 22

وفى الليلة الثانية والعشرين جاء يوم القيامة امنا من كل غم وهم

pada malam yg ke 22

jika hari kiamat tiba maka yg tarawih akan selamat dari segala bentuk kesusahan dan kebingungan
---------

malam ke 23

وفى الليلة الثالثة والعشرين بنى الله له مدينة فى الجنة

pada malam yg ke 23

ALLOH akan membangunkan kota didalam surga bagi yg tarawih
-------

malam ke 24

وفى الليلة الرابعة والعشرين كان له اربع وعشرون دعوة مستجابة

pada malam yg ke 24

orang yg tarawih akan memperoleh 24 doa yg mustajab/manjur
------

malam ke 25

وفى الليلة الخامسة والعشرين يرفع الله تعالى عنه عذاب القبر

pada malam yg ke 25
ALLOH akan menghilangkan siksa kubur dari orang yg tarawih
------

malam ke 26.

وَفِى اللَّيْلَةِ السَّادِسَةِ وَاْلعِشْرِيْنَ يَرْفَعُ اللهُ لَهُ ثَوَابَهُ اَرْبَعِيْنَ عَامًا.

pada malam yg ke 26
ALLOH meningkatkan baginya pahala selama empat puluh tahun.
-----

malam ke 27

وَفِى اللَّيْلَةِ السَّابِعَةِ وَاْلعِشْرِيْنَ جَازَ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ عَلَى الصِّرَاطِ كَاْلبَرْقِ اْلخَاظِفِ.

pada malam yg ke 27
dihari qiyamat dia melewati jembatan (syirathal mustaqiim) dengan mudah lagi cepat laksana halilintar menyambar.
------

malam ke 28

. وَفِى اللَّيْلَةِ الثَّامِنَةِ وَاْلعِشْرِيْنَ يَرْفَعُ اللهُ لَهُ اَلْفَ دَرَجَةٍ فِى اْلجَنَّةِ.

pada malam yg ke 28
ALLOH mengangkat seribu derajat baginya didalam surga.
-------

malam ke 29

. وَفِى اللَّيْلَةِ التَّاسِعَةِ وَاْلعِشْرِيْنَ أَعْطَاهُ اللهُ ثَوَابَ اَلْفِ حِجَّةٍ مَقْبُوْلَةٍ.

pada malam yg ke 29
ALLOH memberikan kepadnya pahala seribu ibadah haji yang diterima.
------

malam ke 30

. وَفِى اللَّيْلَةِ الثَّلاَثِيْنَ يَقُوْلُ اللهُ " يَاعَبْدِى كُلْ مِنْ ثِمَارِ اْلجَنَّةِ وَاغْتَسِلْ مِنْ مَاءِ السَّلْسَبِيْلِ وَاشْرَبْ مِنَ اْلكَوْثَرِ مِنَ اْلكَوْثَرِ اَنَارَبُّكَ وَاَنْتَ عَبْدِى.

pada malam yg ke 30
ALLOH berfirman :”makanlah buah-buahan surga, mandilah dengan air salsabil dan minumlah dari telaga kautsar, aku adalah Tuhanmu dan Engkau adalah hambaku”.

(Durrotun Nashihin)

walloohu a'lam

Problematika Bilangan Rakaat Shalat Tarawih

Bulan Ramadhan adalah bulan termulia; bulan turunnya Al-Qur'an untuk pertama kali, bulan penuh ampunan, rahmah serta ridho Allah Subhanahu wa Ta'ala, bulan yang penuh dengan momen-momen terkabulnya doa, di bulan ini terdapat lailatul qadar, yakni suatu malam yang lebih baik daripada seribu bulan.

Bulan Ramadhan merupakan kesempatan emas bagi umat Islam untuk memperbanyak pahala dengan melakukan berbagai macam amal ibadah.

Diantara ibadah yang mendapat penekanan khusus pada bulan Ramadhan adalah qiyam Ramadhan. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ


"Barangsiapa melaksanakan qiyam pada (malam) bulan Ramadhan karena meyakini keutamaannya dan karena mencari pahala (bukan karena tujuan pamer atau sesamanya), maka diampuni dosa-dosanya yang telah lewat". (Muttafaq 'alaih).

Qiyam Ramadhan yang dimaksud pada hadis di atas bisa dilaksanakan dengan shalat Tarawih atau ibadah lainnya.(1)

Kontroversi Jumlah Rakaat Shalat Tarawih

Perdebatan seputar jumlah rakaat shalat tarawih bukanlah hal baru dalam kajian hukum Islam. Perdebatan itu adalah perdebatan klasik dan telah ada sejak masa para ulama salaf. Imam Ishaq bin Manshur pernah bertanya kepada Imam Ahmad bin Hanbal tentang jumlah rakaat shalat qiyam Ramadhan yang beliau kerjakan. Beliau menjawab: "Ada sekitar empat puluh pendapat mengenai masalah ini." Imam al-'Aini menyebutkan sebelas pendapat ulama seputar jumlah raka'at shalat Tarawih.(2)

Walaupun terjadi perbedaan semacam itu, perlu diketahui, shalat Tarawih boleh untuk dilakukan hanya dua rakaat saja atau berpuluh-puluh rakaat.(3) Syekh Ibnu Taimiyah berkata : "Barangsiapa yang menduga bahwa sesungguhnya qiyam Ramadhan memiliki bilangan tertentu yang ditentukan oleh Nabi shallallahu alihi wa sallam, tidak boleh ditambah atau dikurangi, maka sungguh dia telah salah."(4) Para ulama hanya berbeda pendapat dalam menentukan jumlah rakaat yang paling utama.(5) Kebanyakan ulama memilih dua puluh rakaat.(6) Namun ada juga beberapa pendapat yang memilih selain dua puluh, seperti sebelas (delapan rakaat Tarawih dan tiga rakaat Witir) dan lain-lain.(7) Ibnu Taimiyah menganggap semuanya baik dan boleh dikerjakan.(8)

Perbedaan ini muncul karena di dalam hadis-hadis yang shahih, tidak ada kejelasan berapa rakaat Nabi shallallahu alaihi wa sallam melakukan qiyam Ramadhan. Yang jelas Nabi shallallahu alaihi wa sallam melakukan qiyam Ramadhan yang kemudian dikenal dengan shalat Tarawih itu selama dua atau tiga malam saja dengan berjamaah di masjid. Malam ketiga atau keempat, beliau ditunggu-tunggu, tetapi beliau tidak keluar. Sejak saat itu, sampai beliau wafat bahkan sampai pada awal masa Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu, tidak ada yang melakukan shalat Tarawih secara berjamaah dengan satu imam di masjid.(9)


Dalil Tarawih 20 Rakaat

Mayoritas ulama berpendapat bahwa bilangan rakaat shalat Tarawih yang paling afdhal adalah dua puluh rakaat.
Berikut ini adalah dalil-dalil yang di jadikan pijakan untuk mendukung pendapat tersebut.

1.      Hadis mauquf.

وعن ابن شهاب عن عروة بن الزبير عن عبد الرحمن بن عبد القاري، أَنَّهُ قَالَ : خَرَجْت مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إلَى الْمَسْجِدِ ، فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ ، يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ ، وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ . فَقَالَ عُمَرُ : إنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ، ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ . ثُمَّ خَرَجْت مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ . قَالَ عُمَرُ : نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ...

"Diriwayatkan dari Ibnu Syihab, dari 'Urwah bin al-Zubair, dari Abd. Rahman bin Abd. al-Qari, ia berkata: "Pada suatu malam di bulan Ramadhan, saya keluar ke masjid bersama Umar bin al-Khatthab. Kami mendapati masyarakat terbagi menjadi beberapa kelompok yang terpisah-pisah. Sebagian orang ada yang shalat sendirian. Sebagian yang lain melakukan shalat berjamaah dengan beberapa orang saja.
Kemudian Umar berkata: "Menurutku akan lebih baik jika aku kumpulkan mereka pada satu imam." Lalu Umar berketetapan dan mengumpulkan mereka pada Ubay bin Ka'ab. Pada kesempatan malam yang lain, aku (Rahman bin Abd. al-Qari) keluar lagi bersama Umar. (dan aku menyaksikan) masyarakat melakukan shalat secara berjamaah mengikuti imamnya. Umar berkata: "Ini adalah sebaik-baik bid'ah..." (HR. Bukhari).

Di dalam hadis yang lain disebutkan, bilangan rakaat shalat Tarawih yang dilaksanakan pada masa Khalifah Umar bin al-Khatthab adalah dua puluh.

عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : (كَانُوا يَقُومُونَ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ بِعِشْرِينَ رَكْعَةً

"Diriwayatkan dari al-Sa'ib bin Yazid radhiyallahu 'anhu. Dia berkata : "Mereka (para shahabat) melakukan qiyam Ramadhan pada masa Umar bin al-Khatthab sebanyak dua puluh rakaat."

Hadis kedua ini diriwayatkan oleh Imal al-Baihaqi di dalam al-Sunan al-Kubro, I/496. dengan sanad yang shahih sebagaimana dinyatakan oleh Imam al-'Aini, Imam al-Qasthallani, Imam al-Iraqi, Imam al-Nawawi, Imam al-Subki, Imam al-Zaila'i, Imam Ali al-Qari, Imam al-Kamal bin al-Hammam dan lain-lain.(10)

Menurut disiplin ilmu hadis, hadis ini di sebut hadis mauquf (Hadis yang mata rantainya berhenti pada shahabat dan tidak bersambung pada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam). Walaupun mauquf, hadis ini dapat dijadikan sebagai hujjah dalam pengambilan hukum (lahu hukmu al-marfu'). Karena masalah shalat Tarawih termasuk jumlah rakaatnya bukanlah masalah ijtihadiyah (laa majala fihi li al-ijtihad), bukan pula masalah yang bersumber dari pendapat seseorang (laa yuqolu min qibal al-ra'yi).(11)

2.      Ijma' para shahabat Nabi. 

Ketika Sayyidina Ubay bin Ka'ab mengimami shalat Tarawih sebanyak dua puluh rakaat, tidak ada satupun shahabat yang protes, ingkar atau menganggap bertentangan dengan sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Apabila yang beliau lakukan itu menyalahi sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, mengapa para shahabat semuanya diam? Ini menunjukkan bahwa mereka setuju dengan apa yang dilakukan oleh Sayyidina Ubay bin Ka'ab. Anggapan bahwa mereka takut terhadap Sayyidina Umar bin al-Khatthab adalah pelecehan yang sangat keji terhadap para shahabat. Para shahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah orang-orang yang terkenal pemberani dan tak kenal takut melawan kebatilan, orang-orang yang laa yakhofuna fi Allah laumata laa'im. Bagaimana mungkin para shahabat sekaliber Sayyidina Ali bin Abi Thalib, Sayyidina Utsman bin Affan, Sayyidina Abu Hurairah, Sayyidah A'isyah dan seabrek shahabat senior lainnya (radhiyallahu 'anhum ajma'in) kalah berani dengan seorang wanita yang berani memprotes keras kebijakan Sayyidina Umar bin al-Khatthab yang dianggap bertentangan dengan Al-Qur'an ketika beliau hendak membatasi besarnya mahar?(12)
Konsensus (ijma') para shahabat ini kemudian diikuti oleh para tabi'in dan generasi setelahnya. Di masjid al-Haram Makkah, semenjak masa Khalifah Umar bin al-Khatthab radhiyallahu 'anhu hingga saat ini, shalat Tarawih selalu dilakukan sebanyak dua puluh rakaat. KH. Ahmad Dahlan, pendiri Perserikatan Muhammadiyah juga melakukan shalat Tarawih sebanyak dua puluh rakaat, sebagaimana informasi dari salah seorang anggota Lajnah Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang sekaligus pembantu Rektor Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA. Para ulama salaf tidak ada yang menentang hal ini. Mereka hanya berbeda pendapat mengenai kebolehan melakukan shalat Tarawih melebihi dua puluh rakaat.(13)
Imam Ibnu Taimiyah yang di agung-agungkan oleh kelompok pendukung Tarawih delapan rakaat, dalam kumpulan fatwanya mengatakan:
"Sesungguhnya telah tsabit (terbukti) bahwa Ubay bin Ka'ab mengimami shalat pada bulan Ramadhan dua puluh rakaat dan Witir tiga rakaat. Maka banyak ulama berpendapat bahwa hal itu adalah sunnah, karena Ubay bin Ka'ab melakukannya di hadapan para shahabat Muhajirin dan Anshar dan tidak ada satupun di antara mereka yang mengingkari..."(14)

Di samping kedua dalil yang sangat kuat di atas, ada beberapa dalil lain yang sering digunakan oleh para pendukung Tarawih dua puluh rakaat. Namun, menurut hemat penulis, tidak perlu mencantumkan semua dalil-dalil tersebut. Karena di samping dha'if, kedua dalil di atas sudah lebih dari cukup.


Dalil Tarawih 8 Rakaat

Sebagian ulama ada yang berpendapat shalat Tarawih delapan rakaat lebih afdhal. Bahkan ada yang ekstrim, yaitu sebagian umat Islam yang berkeyakinan shalat Tarawih tidak boleh melebihi delapan rakaat. Syekh Muhammad Nashir al-Din al-Albani berpendapat bahwa shalat Tarawih lebih dari sebelas rakaat itu sama saja dengan shalat Zhuhur lima rakaat.(15)
Berikut ini adalah beberapa dalil yang biasa mereka gunakan untuk membenarkan pendapatnya sekaligus sanggahannya.

1.      Hadis Ubay bin Ka'ab :

أخبرنا أحمد بن علي بن المثنى ، قال : حدثنا عبد الأعلى بن حماد ، قال : حدثنا يعقوب القمي ، قال : حدثنا عيسى بن جارية ، حدثنا جابر بن عبد الله ، قال : جاء أبي بن كعب إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال : يا رسول الله ، إنه كان مني الليلة شيء - يعني في رمضان - قال : وما ذاك يا أبي ؟ قال : نسوة في داري قلن : إنا لا نقرأ القرآن ، فنصلي بصلاتك ، قال : فصليت بهن ثماني ركعات ، ثم أوترت ، قال : فكان شبه الرضا ، ولم يقل شيئا.

Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata : "Ubay bin Ka'ab datang menghadap Nabi shallallahu alaihi wa sallam lalu berkata : "Wahai Rasulullah tadi malam ada sesuatu yang saya lakukan, maksudnya pada bulan Ramadhan." Nabi shallallahu alaihi wa sallam kemudian bertanya: "Apakah itu, wahai Ubay?" Ubay menjawab : "Orang-orang wanita di rumah saya mengatakan, mereka tidak dapat membaca Al-Qur'an. Mereka minta saya untuk mengimami shalat mereka. Maka saya shalat bersama mereka delapan rakaat, kemudian saya shalat Witir." Jabir kemudian berkata : "Maka hal itu sepertinya diridhai Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan beliau tidak berkata apa-apa." (HR. Ibnu Hibban).

Hadis ini kualitasnya lemah sekali. Karena di dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Isa bin Jariyah. Menurut Imam Ibnu Ma'in dan Imam Nasa'i, Isa bin Jariyah adalah sangat lemah hadisnya. Bahkan Imam Nasa'i pernah mengatakan bahwa Isa bin Jariyah adalah matruk (hadisnya semi palsu karena ia pendusta). Di dalam hadis ini juga terdapat rawi bernama Ya'qub al-Qummi. Menurut Imam al-Daruquthni, Ya'qub al-Qummi adalah lemah (laisa bi al-qawi).(16)

2.      Hadis Jabir :

حدثنا عثمان بن عبيد الله الطلحي قال نا جعفر بن حميد قال نا يعقوب القمي عن عيسى بن جارية عن جابر قال صلى بنا رسول الله صلى الله عليه و سلم في شهر رمضان ثماني ركعات وأوتر.

Dari Jabir, ia berkata : "Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah mengimami kami shalat pada bulan Ramadhan delapan rakaat dan Witir." (HR. Thabarani).(17)

Hadis ini kualitasnya sama dengan Hadis Ubay bin Ka'ab di atas, yaitu lemah bahkan matruk (semi palsu). karena di dalam sanadnya terdapat rawi yang sama, yaitu Isa bin Jariyah dan Ya'qub al-Qummi.(18)

3.      Hadis Sayyidah A'isyah tentang shalat Witir :

مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah menambahi, baik pada bulan Ramadhan maupun selain bulan Ramadhan, dari sebelas rakaat." (Muttafaq 'alaih).

Menurut kelompok pendukung Tarawih delapan rakaat, sebelas rakaat yang di maksud pada hadis ini adalah delapan rakaat Tarawih dan tiga rakaat Witir.
Dari segi sanad, hadis ini tidak diragukan lagi keshahihannya. Karena di riwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Imam Muslim dan lain-lain (muttafaq 'alaih). Hanya saja, penggunaan hadis ini sebagai dalil shalat Tarawih perlu di kritisi dan di koreksi ulang.
Berikut ini adalah beberapa kritikan dan sanggahan yang perlu diperhatikan oleh para pendukung Tarawih delapan rakaat : 

a.       Pemotongan hadis.

Kawan-kawan yang sering menjadikan hadis ini sebagai dalil shalat Tarawih, biasanya tidak membacanya secara utuh, akan tetapi mengambil potongannya saja sebagaimana disebutkan di atas. Bunyi hadis ini secara sempurna adalah sebagai berikut :

عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ أخبره أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ –رضي الله عنها- : كَيْفَ كَانَتْ صَلَاةُ رَسُولِ اللَّهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- فِي رَمَضَانَ ؟ قَالَتْ : مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً ، يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا ، قَالَتْ عَائِشَةُ : فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ ؟ فَقَالَ : يَا عَائِشَةُ ، إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلَا يَنَامُ قَلْبِي

dari Abi Salamah bin Abd al-Rahman, ia pernah bertanya kepada Sayyidah A'isyah radhiyallahu 'anha perihal shalat yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pada bulan Ramadhan. A'isyah menjawab : "Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah menambahi, baik pada bulan Ramadhan maupun selain bulan Ramadhan, dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat, dan jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian beliau shalat empat rakaat, dan jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian beliau shalat tiga rakaat. A'isyah kemudian berkata : "Saya berkata, wahai Rasulullah, apakah anda tidur sebelum shalat Witir?" Beliau menjawab : "Wahai A'isyah, sesungguhnya kedua mataku tidur, akan tetapi hatiku tidak tidur."

Pemotongan hadis boleh-boleh saja dilakukan, dengan syarat, orang yang memotong adalah orang alim dan bagian yang tidak disebutkan tidak berkaitan dengan bagian yang disebutkan. Dalam arti, pemotongan tersebut tidak boleh menimbulkan kerancuan pemahaman dan kesimpulan yang berbeda.(19) Pemotongan pada hadis di atas, berpotensi menimbulkan kesimpulan berbeda, karena jika di baca secara utuh, konteks hadis ini sangat jelas berbicara tentang shalat Witir, bukan shalat Tarawih, karena pada akhir hadis ini, A'isyah menanyakan shalat Witir kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.(20)

b.      Kesalahan dalam memahami maksud hadis.

Dalam hadis di atas, Sayyidah A'isyah dengan tegas menyatakan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah melakukan shalat melebihi sebelas rakaat baik pada bulan Ramadhan maupun pada bulan-bulan yang lain. Shalat yang dilakukan sepanjang tahun, baik pada bulan Ramadhan maupun bulan lainnya, tentu bukanlah shalat Tarawih. Karena shalat Tarawih hanya ada pada bulan Ramadhan. Oleh karena itu para ulama berpendapat bahwa hadis ini bukanlah dalil shalat Tarawih. Akan tetapi dalil shalat Witir.
Kesimpulan ini diperkuat oleh hadis lain yang juga diriwayatkan oleh Sayyidah A'isyah radhiyallahu 'anha.

عن عائشة - رضي الله عنها - : قالت : « كان النبيُّ -صلى الله عليه وسلم- يُصلِّي من الليل ثلاثَ عَشْرَةَ ركعة ، منها الوتْرُ وركعتا الفجر »

Dari A'isyah radhiyallahu 'anha, ia berkata : "Nabi shallallahu alaihi wa sallam shalat malam tiga belas rakaat, antara lain shalat Witir dan dua rakaat Fajar." (HR. Bukhari).(21)

c.       Pemenggalan Hadis.

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, kawan-kawan pendukung Tarawih delapan rakaat mengatakan bahwa maksud dari pada sebelas rakaat pada hadis di atas adalah delapan rakaat Tarawih dan tiga rakaat Witir. Hal ini tidak tepat. Karena ini berarti satu hadis yang merupakan dalil untuk satu paket shalat dipenggal menjadi dua, delapan rakaat Tarawih dan tiga rakaat Witir.(22)

Di sisi lain, jika kita menyetujui pemenggalan ini, maka kita harus menyetujui bahwa selama bulan Ramadhan Nabi shallallahu alaihi wa sallam hanya melakukan shalat Witir tiga rakaat saja. Ini tidak pantas bagi beliau yang merupakan tauladan bagi umat dalam hal ibadah. Imam al-Tirmidzi mengatakan : "Diriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam shalat Witir 13, 11, 9, 7, 5, 3 dan 1 rakaat."(23) Apabila di selain bulan Ramadhan saja beliau melakukan shalat Witir sebanyak 13 atau 11 rakaat, pantaskah beliau hanya melakukan shalat Witir hanya tiga rakaat saja pada bulan Ramadhan yang merupakan bulan ibadah?

d.      Inkonsisten dalam mengamalkan hadis.

Dalam hadis di atas secara jelas dinyatakan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah melakukan shalat melebihi sebelas rakaat baik pada bulan Ramadhan maupun pada bulan-bulan yang lain. Kalau mau konsisten, kawan-kawan yang memahami bahwa sebelas rakaat pada hadis di atas maksudnya adalah delapan rakaat Tarawih dan tiga rakaat Witir, seharusnya mereka melakukan shalat Tarawih dan Witir sepanjang tahun, dan bukan pada bulan Ramadhan saja. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Entah dasar apa yang mereka pakai untuk memenggal hadis tersebut pada bulan Ramadhan saja.

e.       Kontradiksi dengan pemahaman para shahabat Nabi.

Pemenggalan hadis seperti itu juga bertentangan dengan konsensus (ijma') para shahabat radhiyallahu 'anhum termasuk diantaranya Khulafa' al-Rasyidin yang melakukan shalat Tarawih dua puluh rakaat. Hal itu berarti juga bertentangan dengan tuntunan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk mengikuti jejak para Khulafa' al-Rasyidin. Dalam sebuah hadis disebutkan :

عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ مِنْ بَعْدِي

"Ikutilah sunnahku dan sunnah al-Khulafa' al-Rasyidin setelahku!" (HR. Ahmad, Abu Dawud, al-Tirmidzi, Ibnu Majah,  Ibnu Hibban dan al-Hakim).(24)

Dalam hadis yang lain disebutkan :

اقْتَدُوا بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِى أَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ

"Ikutilah orang-orang setelahku, yaitu Abu Bakar dan Umar!" (HR. Ahmad, al-Tirmidzi, Ibnu Majah dan lain-lain).(25)

Dalam hadis yang lain juga disebutkan :

إن الله جعل الحق على لسان عمر وقلبه

"Sesungguhnya Allah menjadikan kebenaran pada lisan dan hati Umar." (HR. Ahmad, Abu Dawud, al-Hakim, al-Tirmidzi dan lain-lain).(26)

f.        Kerancuan linguistik.

Kata tarawih dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari kata tarwihah, yang secara kebahasaan berarti mengistirahatkan atau istirahat sekali. Jika di jamakkan, maka akan berarti istirahat beberapa kali, minimal tiga kali. Karena minimal jamak dalam bahasa Arab adalah tiga. Shalat qiyam Ramadhan disebut dengan shalat Tarawih, karena orang-orang yang melakukannya beristirahat tiap sehabis empat rakaat.(27)[i] Maka Dari sudut bahasa, shalat Tarawih adalah shalat yang banyak istirahatnya, minimal tiga kali. Hal ini pada gilirannya menunjukkan bahwa rakaat shalat Tarawih lebih dari delapan, minimal enam belas. Karena jika seandainya shalat Tarawih hanya delapan rakaat, maka istirahatnya hanya sekali. Tentu hal ini sangatlah rancu ditinjau dari segi kebahasaan.(28)

Kesimpulan

Dari uraian di atas, jelas sekali bahwa shalat Tarawih dua puluh rakaat lebih afdhal dibanding delapan rakaat. Dengan dalil ijma' shahabat di dukung hadis mauquf  berkualitas shahih yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi di dalam al-Sunan al-Kubro. Sementara tidak ada dalil shahih yang mendukung keutamaan shalat Tarawih delapan rakaat atas shalat Tarawih dua puluh rakaat. Yang ada hanyalah dalil-dalil dha'if, bahkan matruk (semi palsu) atau dalil shahih yang di salah-pahami.

Namun perlu di ingat, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, perbedaan ini hanyalah berkisar seputar mana yang lebih afdhal? Jadi, tidak selayaknya kelompok yang lebih memilih melaksanakan shalat Tarawih dua puluh rakaat melecehkan atau menyesatkan kelompok yang memilih melakukannya delapan rakaat. Begitu pula sebaliknya. Apalagi sampai saling mengkafirkan. Sungguh sangat disesalkan, di bulan Ramadhan yang agung, bulan untuk berlomba-lomba mencari pahala, berkah, rahmah dan ampunan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, justru dikotori dengan saling hina, saling menyalahkan bahkan saling mengkufurkan antara kelompok masyarakat yang lebih memilih shalat Tarawih sebanyak dua puluh rakaat dengan kelompok masyarakat yang memilih delapan rakaat saja. Apakah kiranya yang mendorong kedua kelompok ini untuk tidak pernah berhenti bertikai? Manakah yang lebih berharga bagi mereka antara persatuan sesama Muslim dibanding sikap arogan, egois, fanatik serta pembelaan mati-matian terhadap madzhab yang mereka anut? Mengapa toleransi antar umat beragama yang berbeda lebih mereka perjuangkan daripada persatuan saudara seagama? Apakah umat non Muslim lebih layak untuk dihormati dan diayomi dibanding saudara sendiri sesama Muslim?

Sebenarnya kalau mau introspeksi, ada hal yang jauh lebih penting yang harus mereka perhatikan daripada mengurusi jumlah rakaat shalat Tarawih orang lain. Yaitu kebiasaan berlomba-lomba untuk terburu-buru dalam melaksanakan shalat Tarawih serta berbangga diri ketika shalat Tarawihnya selesai terlebih dahulu. Tidak jarang karena terlalu cepatnya shalat Tarawih yang mereka lakukan, mengakibatkan sebagian kewajiban tidak dilaksanakan. Seperti melaksanakan ruku', i'tidal dan sujud tanpa thuma'ninah atau membaca al-Fatihah dengan sangat cepat sehingga menggugurkan salah satu hurufnya atau menggabungkan dua huruf menjadi satu. Dengan begitu, shalat yang mereka laksanakan menjadi tidak sah, sehingga mereka tidak mendapatkan apa-apa darinya kecuali rasa capek (tuas kesel : Jawa). Ironisnya mereka tidak mengerti akan hal itu bahkan membanggakannya, sehingga mereka tidak pernah mengakui kesalahannya.(29)
Dari itu, waspadalah dan sadarlah wahai saudara-saudaraku..! Marilah kita bersatu dan saling mengingatkan antara satu sama lain bi al-hikmah wa al-mau'idzah al-hasanah. Marilah kita laksanakan shalat Tarawih dan shalat-shalat lainnya dengan benar. Marilah kita laksanakan shalat dengan khusyu', khudhur, memenuhi segala syarat dan rukun serta penuh adab. Jangan biarkan syetan menguasai kita..! karena sesungguhnya syetan tidak dapat menguasai orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Tuhannya. Syetan hanya dapat menguasai orang-orang yang mengasihinya dan orang-orang yang musyrik. Maka janganlah kita termasuk diantara mereka.

WA ALLAH A'LAM BI AL-SHAWAB.

Catatan Kaki :

(1)   Badrudin al-'Aini, 'Umdah al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari, Beirut : Dar Ihya' al-Turats al-Arabi, tt., XI/124. Ibnu Hajar al-'Asqalani, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, Cairo : Dar al-Rayyan li al-Turats, 1407 H., IV/296.
(2)     Badrudin al-'Aini, op.cit., XI/126-127. 'Ala'uddin Abu al-Hasan Ali bin Muhammad al- Dimasyqi, al-Ikhtiyarat al-Fiqhiyyah min Fatawa Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah, Alexanderia : Dar al-Iman, 2005 M, hal. 315-316. 'Ala'uddin Abu al-Hasan Ali bin Sulaiman al- Mardawi, al-Inshaf fi Ma'rifah al-Rajih min al-Khilaf, Beirut : Dar Ihya' al-Turats al-Arabi, 1419 H, II/128.
(3)     Menurut madzhab Syafi'i, shalat Tarawih boleh dikerjakan mulai dari dua rakaat dan maksimalnya adalah dua puluh rakaat. Lihat antara lain: Said bin Muhammad Ba'asyan, Busyra al-Karim, Jeddah : Dar al-Minhaj, 1429 H/2008 M, hal. 316. Ibnu Hajar al-Haitami, al-Manhaj al-Qawim, Mesir : al-Mathba'ah al-'Amirah al-Syarafiyah, tt., II/469. periksa juga komentar al-Kurdi dan al-Tarmasi pada halaman yang sama.
(4)     Mulla Ali al-Qari, Mirqat al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashabih, hal. 175. Abd. Qadir Isa Diyab, al-Mizan al-'Adil li Tamyiz al-Haq min al-Bathil, Damaskus : Dar al-Taqwa, 1425 H/2005 M, hal. 247. Dr. Yusuf Khatthar Muhammad, al-Mausu'ah al-Yusufiyah, Damaskus : Dar al-Taqwa, tt., hal. 634.
(5)     Abd. Qadir Isa Diyab, op.cit., hal. 246-248. Dr. Yusuf Khatthar Muhammad, loc.cit. Husain bin Ibrahim al-Maghribi, Qurrah al-'Ain bi Fatawa Ulama' al-Haramain, Maktabah 'Arafat, tt., hal.
(6)     Ibnu Abdil Bar al-Andalusi, al-Istidzkar, Abu Dabi : Mu'assasah al-Nida', 1422 H, II/317-319. Muhammad Mahfuzh al- Tarmasi, Mauhibah Dzi al-Fadhl, Mesir : al-Mathba'ah al-'Amirah al-Syarafiyah, tt., II/465-467. Abd. Qadir 'Isa Diyab, op.cit., hal. 243-247.
(7)     Muhammad Abd al-Rahman al-Mubarokfuri, Tuhfah al-Ahwadzi Syarh Jami' al-Tirmidzi, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt., III/438-450.
(8)     Ibnu Taimiyah, Majmu' al-Fatawa, Editor : Anwar al-Baz dan Amir al-Jazzar, Dar al-Wafa', 1426 H/2005 M, XXIII/112-113. Mulla Ali al-Qari, loc.cit.
(9)     KH. Ali Mustafa Yaqub, Hadis-hadis Bermasalah, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2007, hal. 148.
(10)   Abd. Qadir Isa Diyab, op.cit., hal. 242. Dr. Yusuf Khatthar Muhammad, op.cit., hal. 632. KH. Ali Mustafa Yaqub, op.cit., hal. 148.
(11)   Abdur Rahman al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi, Beirut : Dar al-Fikr, 1414 H/1993 M, hal. 121. KH. Ali Mustafa Yaqub, op.cit., hal. 149.
(12)   KH. Ali Mustafa Yaqub, loc.cit. menukil dari Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an al-Adzim, Riyadh : Dar 'Alam al-Kutub, 1418/1998, I/571.
(13)   KH. Ali Mustafa Yaqub, op.cit., hal. 155. Dr. Yusuf Khatthar Muhammad, op.cit., hal. 635.
(14)   Ibnu Taimiyah, loc.cit.
(15)   KH. Ali Mustafa Yaqub, op.cit., hal. 156.
(16)   KH. Ali Mustafa Yaqub, op.cit., hal. 139-140. menukil dari al-Dzahabi, Mizan al-I'tidal fi Naqd al-Rijal, Editor Ali Muhammad al-Bijawi, Beirut : dar al-Fikr, 1382 H/1963 M, III/311. Abd. Qadir Isa Diyab, op.cit., hal. 241.
(17)   Abu al-Qasim Sulaiman bin Ahmad al-Thabarani, al-Mu'jam al-Ausath, Editor : Thariq bin 'Awadh, Cairo : Dar al-Haramain, 1415 H, IV/108.
(18)   KH. Ali Mustafa Yaqub, op.cit., hal. 140. Abd. Qadir Isa Diyab, loc.cit.
(19)   Abdur Rahman al-Suyuthi, op.cit., hal. 303.
(20)   KH. Ali Mustafa Yaqub, op.cit., hal. 143.
(21)   Ibid.
(22)   Ibid., hal. 146.
(23)   Muhammad bin Isa al-Tirmidzi, al-Jami' al-Shahih, Editor : Ahmad Muhammad Syakir dkk., Beirut : Dar Ihya' al-Turats al-Arabi, tt., II/319.
(24)   Ibnu Hajar al-Asqalani, al-Talkhish al-Habir fi Takhrij Ahadits al-Rafi'i al-Kabir.
(25)   Abdur Rahman al-Suyuthi, al-Jami' al-Shaghir. Isma'il bin Muhammad al-Ajluni, Kasyf al-Khafa' wa Muzil al-Ilbas, Beirut : Dar Ihya' al-Turats al-Arabi, tt., I/160
(26)   Abdur Rahman al-Suyuthi, Jami' al-Ahadits. Isma'il bin Muhammad al-Ajluni, op.cit., I/223.
(27)   Ibnu Mandzur, Lisan al-'Arab, Beirut : Dar Sadir, tt., II/455. Muhammad Murtadha al-Zabidi, Taj al-'Arus min Jawahir al-Qamus. Ahmad al-Fayyumi, al-Mishbah al-Munir fi Gharib al-Syarh al-Kabir. Majma' al-Lughah al-Arabiyah, al-Mu'jam al-Wasith, Cairo : Maktabah al-Syuruq al-Dauliyah, 1425 H/2004 M, hal. 380. Dr. Muhammad Rowa Qal'ah Jie dan Dr. Hamid Shadiq Qunaibi, Mu'jam Lughah al-Fuqaha', Amman : Dar al-Nafa'is, tt., I/127. Ibnu Faris, Maqayis al-Lughah, Editor : Abd al-Salam Muhammad Harun, Ittihad al-Kitab al-'Arab, 1423 H/2002 M, II/378.
(28)   Dr. Ali Gom'ah, al-Bayan lima Yusyghil al-Adzhan, Mi'ah Fatwa li Radd Ahamm Syubah al-Kharij wa Lamm Syaml al-Dakhil, Cairo : Dar al-Moqattham, 2009 M, hal. 272-273. KH. Ali Mustafa Yaqub, op.cit., hal. 137.
(29)     Disarikan dari nasehat Imam Abdullah bin Alawi al-Haddad di dalam kitab beliau, Nasha'ih al-Diniyah wa al-Washaya al-Imaniyah, hal. 175

TASBIH DALAM RUKU’ DAN SUJUD DIBACA SATU KALI

PERTANYAAN
Socieb Najamuddin
assalamu’alaikum
tanya dikit tadz, apakah bacaan sujud dan ruku’ itu boleh dibaca 1x dan apakah bacaan duduk diantara 2 sujud itu boleh tdak dibaca ?

JAWABAN
Wa’alaikumsalam
a. Boleh.
* kasyifatus saja hal. 54

؛{ واعلم }؛


أنه يجب في الركوع أن لا يقصد به غيره فقط ، ويسن أن يقول فيه سبحان ربي العظيم وبحمده ، وأقله مرة واحدة ، والاقتصار عليها خلاف الأولى ، ويأتي بالثلاث وإن لم يرض المأمومون فإذا زاد عليها بغير رضاهم كره ، والأكمل منها خمس إلى إحدى عشرة .. الخ 

 

ketahuilah :

bahwa sesungguhnya diwajibkan di dalam ruku’ untuk tidak menyengaja dengan ruku’ terhadap selainnya ruku’.

dan disunnahkan di dalam ruku’ agar seseorang mengucapkan :

سبحان ربي العظيم وبحمده


paling sedikit 1x, namun ketika hanya meringkas 1x hukumnya khilaful aula (menyalahi yang lebih utama)

ketika seseorang berposisi sebagai imam, maka bacalah 3x, meskipun para ma’mum tidak ada yang rela. apabila menambahi lebih dari tiga tanpa kerelaan para ma’mum hukumnya makruh.

yang paling sempurna adalah dibaca 5x hingga 11x.

* kasyifatus saja hal. 55

؛{ التاسع السجود مرتين }؛ أي في كل ركعة ، ويسن أن يقول فيه سبحان ربي الأعلى وبحمده ، فقد وردت عن عتبة بن عامر أنه قال : لما نزلت ” فسبح باسم ربك العظيم ” قال صلى الله عليه وسلم : اجعلوها في ركوعكم ، ولم نزلت ” سبح اسم ربك الأعلى ” قال : اجعلوها في سجودكم ، ويحصل أصل السنة بمرة ، وأدنى الكمال ثلاث ثم خمس ثم سبع ثم تسع ثم إحدى عشرة ، ولا يزيد أحد على ذلك سوى المنفرد وإمام قوم محصورين راضين بالتطويل


¤¤ fokus ¤¤

ويحصل أصل السنة بمرة

dan mendapatkan asal kesunatan hanya dengan 1x

b. Boleh.

hukum membaca : “robbigh fir lii warcham nii wajbur warfa’ nii nii warzuq nii wahdi nii wa ‘aafi nii wa’fu ‘annii.” itu sunnah dan yang paling sempurna.

minimal dalam duduk diantara dua sujud itu harus tuma’ninah yakni keadaan diam setelah geraknya anggota-anggota tubuh.

* fathul qarib hal. 14

؛{ و } الحادي عشر { الجلوس بين السجدتين } في كل ركعة سواء صلى قائما أو قاعدا أو مضطجعا ، وأقله سكون بعد حركة أعضائه ، وأكمله الزيادة على ذلك بالدعاء الوارد فيه ، فلو لم يجلس بين السجدتين بل صار إلى الجلوس أقرب . . لم يصح


* kasyifatus saja hal. 55

وأكمله أن يقول : رب اغفر لي وارحمني واجبر ني وارفعني وارزقني واهدني وعافني واعف عني


PELAKSANAAN SHALAT TARAWIH DENGAN CEPAT


Al Habib Munzir Al Musawa:
mengenai pelaksanaan Tarawih dg cepat adalah fatwa Madzhab Syafii, karena mesti dibuat lebih ringan dan cepat daripada shalat fardhu, karena tarawih adalah shalat sunnah yg dilakukan secara berjamaah, maka tidak boleh disamakan dengan shalat fardhu, Ihtiraaman wa ta'dhiiman lishalatilfardh (demi memuliakan shalat fardhu) diatas shalat sunnah.

Melakukan shalat sunnah dg cepat adalah diperbolehkan bahkan pernah dilakukan oleh Rasul saw,
dalilnya adalah bahwa riwayat Aisyah ra bahwa Rasul saw pernah melakukan shalat sunnah sedemikian cepatnya seakan beliau tidak shalat dari cepatnya. (Shahih Bukhari).
riwayat lainnya bahwa Rasul saw melakukan shalat sedemikian cepatnya seakan beliau saw tak membaca fatihah, akan tetapi beliau tetap menyempurnakan rukuk dan sujudnya (Shahih Bukhari)

Demikian riwayat riwayat diatas memberikan kefahaman bagi kita bahwa shalat sunnah boleh cepat,
dan pada madzhab Syafii bahwa shalat Tarawih berjamaah hendaknya dipercepat agar tak disamakan dengan shalat fardhu, juga sekaligus mengenalkan kembali sunnah Nabi saw, bahwa Nabi saw pun sering melakukan shalat sunnah dg cepat.

Pengingkaran dimasa kini adalah karena muslimin sudah tidak lagi mengetahui bahwa shalat sunnah dg cepat itu adalah sunnah Nabi saw, maka perlu dihidupkan dan dimakmurkan agar muslimin tidak alergi dan kontra terhadap sunnah Nabinya saw.

mengenai orang tua yg tak mampu mengikuti cepatnya gerakan Imam sebaiknya duduk, shalatnya tetap sah karena shalat sunnah boleh dilakukan sambil duduk walaupun tidak udzur sekalipun, berbeda dg shalat fardhu yg tak boleh dilakukan sambil duduk kecuali ada udzur.

Tarawih Cepat? Mengapa Tidak! Ini Panduannya


Di bulan Ramadhan, selalu saja diwarnai dengan pandangan 'negatif' terhadap pelaksanaan shalat tarawih yang dilakukan dengan cepat. Padahal shalat cepat bisa saja dilakukan bila memahami aturan yang dijelaskan ulama madzhab. Dahulu, para ulama pun shalat ratusan, bahkan ribuan raka'at hanya dalam satu malam.
Selama syarat dan rukun shalat terpenuhi dengan baik, maka shalat apapun hukumnya sah secara fiqh, baik shalat cepat maupun lambat. Adapun soal diterima atau tidak oleh Allah SWT, itu hak prerogratif Allah untuk menerima atau sebaliknya.
Memang, seringkali shalat cepat mengabaikan salah satu rukun daripada shalat. Namun, pada dasarnya pengabaian terhadap bagian dari rukun shalat itu bukan disebabkan cepat atau lambatnya shalat, tetapi kebanyakan karena kurang memahami terhadap rukun (fardlu) shalat.
Shalat cepat, mengapa tidak! Di dalam shalat, rukun (fardlu) yang bersifat qauliyah, antara lain takbiratul ihram, surah al-Fatihah, tasyahud dan shalawat dalam tasyahud, serta salam. Adapun bacaan lainnya termasuk daripada sunnah-sunnah shalat yang tidak akan menyebabkan shalat tidak sah atau batal bila meninggalkannya.
Ada beberapa tips secara fiqih sebagai aturan dalam melaksanakan shalat dengan cepat.
1. Niat dan Takbir
Takbiratul Ihram dilakukan bersamaan dengan niat di dalam hati. Keduanya merupakan bagian daripada rukun shalat. Lafadz takbiratul Ihram adalah Allahu Akbar (الله أكبر) atau Allahul Akbar (الله الأكبر). Dua lafadz takbir ini diperbolehkan, kecuali oleh Imam Malik, sehingga ulama menyarankan agar hanya menggunakan lafadz "Allahu Akbar", untuk menghindari khilaf ulama.
Niat di dalam hati. Adapun melafadzkan niat dihukumi sunnah agar lisan bisa membantu hati dalam menghadirkan niat. Niat shalat wajib hanya perlu memenuhi 3 unsur, yaitu: (1). Qashdul fi'il (menyengaja suatu perbuatan) seperti lafadh Ushalli (sengaja aku shalat...); (2). Ta'yin (menentukan jenis shalat), seperti Dhuhur, 'Asar, dan lain-lain; dan (3) Fardliyyah (menyatakan kefardluannya), seperti lafadz 'Fardlan'.
Sedangkan shalat sunnah (kecuali sunnah muthlaq) hanya perlu memenuhi 2 unsur, yaitu Qashdul Fi'li dan Ta'yin. Misalnya shalat tarawih, maka niatnya cukup dengan lafadh "sengaja aku shalat tarawih" atau "sengaja aku shalat qiyam ramadlan", sudah mencukupi.
Setelah takbir disunnahkan membaca do'a Iftitah, dan ini bisa ditinggalkan.
2. Membaca Surah Al-Fatihah
Membaca surah al-Fatihah hukumnya wajib, tidak bisa ditinggalkan. Dalam hadits shahih dijelaskan "لا صَلاَة إِلاَّ بِفَاتِحَة الكِتابِ (Tidak shalat kecuali dengan surah Al-Fatihah)". Dalam hal ini, diperlukan kemahiran membaca cepat dengan tetap menjaga makhrijul huruf dan tajwidnya. Bila mampu, boleh saja membaca dengan satu kali nafas atau washol seluruhnya selama tidak mengubah makna.
Membaca surah al-Qur'an setelah al-Fatihah, hukumnya sunnah. Bila ditinggalkan maka tidak disunnahkan sujud sahwi. Oleh karena, Imam hendaknya tetap membaca surah walaupun pendek, bahkan walaupun satu ayat.
Sedangkan bagi makmum, sering kali tidak memiliki cukup waktu membaca surah Al-Fatihah bila menunggu imam selesai. Oleh karena itu, makmum hendaknya bisa memperkirakan lama bacaan surah Imam atau membaca al-Fatihah bersamaan dengan Imam, atau pada pertengahan bacaan Al-Fatihah imam lalu disambung kembali saat selesai mengucapkan amin.
Dalam membaca surah al-Fatihah, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, di antaranya:
a. Ulama Syafi'i dan ulama lainnya memperbolehkan membaca surah Al-Fatihah dalam shalat dengan salah satu qira'ah sab'ah, dan tidak membolehkan qira'ah syaddah. Namun apabila membaca dengan qira'ah syaddah tanpa terjadi perubahan pada maknanya, tidak ada tambahan atau pengurangan huruf maka shalatnya tetap sah.
b. Wajib membaca surah Al-Fatihah dengan keseluruhan huruf-hurufnya dan tasydid-tasydinya yang berjumlah 14 tasydid.
c. Apabila membaca dengan Lahn (irama/langgam) yang mengubah makna maka tidak sah bacaan dan shalatnya bila disengaja. Bila tidak sengaja maka wajib diulang bacaannya.
3. Ruku', I'tidal, Sujud dan Duduk Diantara Dua Sujud
Yang terpenting dari rukun-rukun shalat diatas adalah thuma'ninah. Thuma'niah adalah berhenti sejenak setelah bergerak, lamanya sekadar membaca tasbih (Subhanallah). Kira-kira 1 detik atau tidak sampai 1 detik.
Bacaan dalam ruku', i'tidal, sujud dan duduk diantara dua sujud hukumnya sunnah, sehingga bisa ditinggalkan. Namun shalat cepat, bacaan tersebut sangat mencukupi untuk membacanya sehingga sebaiknya tidak ditinggalkan.
4. Tasyahud
Tasyahud akhir hukumnya wajib, sehingga tidak boleh ditinggalkan. Sedangkan tasyahhud awal bagi shalat yang lebih dari 2 raka'at hukumnya sunnah, sehingga bisa saja ditinggalkan, tetapi disunnahkan sujud sahwi, baik ditinggalkan karena lupa maupun sengaja. Tasyahhud dibaca secara sir (lirih) berdasarkan ijma' kaum muslimin.
Shalat tarawih dikerjakan dengan 2 raka'at satu kali salam, artinya hanya ada tasyahhud akhir.
Bacaan Tasyahhud
Ada beberapa bacaan tasyahhud sebagaimana dalam riwayat-riwayat hadits. Diantaranya :
a. Riwayat Ibnu Mas'ud : التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ، وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّباتُ، السَّلامُ عَلَيْكَ أيُّهَا النَّبيُّ ورحمة الله وبركاته، السلام علينا وعلى عباد چلله الصالحين، أشهدُ أنْ لا إِلهَ إِلاَّ اللَّهُ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
b. Riwayat Ibnu 'Abbas : التَّحِيَّاتُ المُبارَكاتُ، الصَّلَواتُ الطَّيِّباتُ لِلَّهِ، السَّلامُ عَلَيْكَ أيُّهَا النَّبيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وبركاته، السلام علينا وعلى عِبادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ، أشهدُ أنْ لا إِلهَ إِلاَّ اللَّه، وأن مُحَمَّداً رَسُولُ اللَّهِ
c. Riwayat Abu Musa al-Asy'ari : التَّحِيَّاتُ الطَّيِّباتُ الصَّلَوَاتُ لِلَّهِ، السَّلامُ عَلَيْكَ أيُّهَا النبي ورحمة الله وبركاته، السلام علينا وعلى عِبادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ، أشهدُ أنْ لا إِلهَ إِلاَّ اللَّه وأنَّ محَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
d. Riwayat lainnya : التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّباتُ، السَّلامُ عَلَيْكَ أيُّهَا النَّبيُّ وَرَحْمَةُ الله وبركاته، السلام علينا وعلى عِبادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ، أشهدُ أنْ لا إِلهَ إِلاَّ اللَّهُ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُه
e. التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ، الزَّاكِياتُ لِلَّهِ، الطَّيِّباتُ الصَّلَوَاتُ لِلَّهِ، السَّلامُ عَلَيْكَ أيُّهَا النَّبيُّ وَرَحْمَةُ الله وبركاته، السلام علينا وعلى عِبادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ، أشهدُ أنْ لا إِلهَ إِلاَّ اللَّه وحدَه لا شريكَ له، وأشهدُ أنَّ محمدا عَبْدُهُ ورَسُولُهُ
f. التَّحِيَّاتُ الطَّيِّباتُ الصَّلَوَاتُ الزَّاكِياتُ لِلَّهِ، أشْهَدُ أنْ لا إِلهَ إِلاَّ اللَّه وأن محمدا عبده ورسوله، السلام عليك أيها النبي ورحمة الله وبركاته، السلام علينا وعلى عِبادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ
g. التَّحِيَّاتُ الصَّلَوَاتُ الطَيِّباتُ الزَّاكِياتُ لِلَّهِ، أشْهَدُ أنْ لا إِلهَ إِلاَّ اللَّه وحدَه لا شريك له، وأن محمدا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، السَّلامُ عليك أيها النبي ورحمة الله وبركاته، السلام علينا وعلى عِبادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ
h. بسم اللَّهِ، التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ، الصَّلَوَاتُ لِلَّهِ، الزَّاكِيات لِلَّهِ، السَّلامُ على النَّبِيّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكاتُهُ، السَّلامُ عَلَيْنا وَعلى عِبادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ، شَهِدْتُ أنْ لا إلهَ إِلاَّ اللَّهُ، شَهِدْتُ أنَّ مُحَمَّداً رَسُولُ اللَّهِ
Imam Al-Baihaqi mengatakan bahwa yang tsabit dari Rasulullah Saw ada tiga hadits: hadits Ibnu Ma'sud, Ibnu 'Abbas dan Abu Musa al-Asy'ari. Ulama lainnya mengatakan bahwa ketiganya shahih, dan yang paling shahih hadits Ibnu Mas'ud.
Imam al-Nawawi mengatakan, boleh memakai tasyahhud yang mana saja, sebagaimana nash Imam al-Syafi'i dan ulama lainnya. Namun, menurut Imam al-Syafi'i, yang paling utama (afdlol) adalah hadits Ibnu 'Abbas karena ada tambahan lafadh al-Mubarakatu (المُبارَكاتُ).
Bolehkah Membuang Bagian Daripada Tasyahhud?
Dalam hal ini, ada beberapa rincian, bahwa lafadz al-Mubarakatu, al-Shalawatu, al-Thayyibatu, dan al-Zakiyyatu (المباركات، والصلوات، والطيبات والزاكيات) hukumnya sunnah, bukan syarat daripada tasyahhud.
Seandainya pun membuang semuanya lalu mempersingkatnya menjadi "At-Tahiyyatu Lillahi Assalamu'alaika Ayyuhannabiyyu... dan seterusnya (التحيات للَّه السلام عليك أيُّها النبيّ ... إلى آخره), maka hukumnya boleh. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan didalam madzhab Syafi'iyah.
Sedangkan lafadh "Assalamu'alaika Ayyuhannabiyyu .. dan seterusnya (السلام عليك أيُّها النبيُّ ... إلى آخره), wajib dibaca semuanya. Tetapi dalam dalam ini pun masih ada pengecualian yaitu pada lafadh "Wa Rahmatullah wa Barakatuh (ورحمة الله وبركاته)".
Bolehkah Membuang Lafadh "ورحمة الله وبركاته"?
Dalam hal ini, setidaknya ada tiga pendapat:
Pertama, pendapat yang paling shahih, adalah tidak boleh membuang satu pun dari lafadh tersebut.
Kedua, boleh membuang dua lafadh tersebut"ورحمة الله وبركاته".
Ketiga, boleh membuang lafadh "wa Barakatuh ( وبركاته)", tetapi tidak boleh membuang lafadh "wa Rahmatullah (رحمة الله)".
Diantara ulama Syafi'iyah, ada yang mengatakan bahwa boleh mempersingkat tasyahhud dengan semisal lafadh التحيات للَّه، سلام عليك أيّها النبيّ، سلام على عِبادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ، أشهدُ أنْ لا إِلهَ إِلاَّ اللَّه وأنَّ محمداً رسول الله.
Lafadh Salam dalam Tasyahhud
Lafadh salam dalam banyak riwayat menggunakan Alif Lam (AL), yaitu السلام عليك أيُّها النبيّ dan السلام علينا.., namun sebagian riwayat ada yang tidak menyertakan Ali Lam (AL) yaitu سلام.
Sebagian ulama Syafi'iyah mengatakan, keduanya (baik dengan AL atau tanpa AL) hukumnya boleh, namun yang paling utama (afdlol) adalah menggunakan Alil Lam (AL) karena riwayatnya lebih banyak dan dalam rangka kehati-hatian (ihtiyath).
Tertib dalam Membaca Tasyahhud
Tertib (urut) dalam membaca tasyahhud hukumnya sunnah, tidak wajib. Seandainya pun mendahulukan bagian satu dengan yang lain, maka diperbolehkan menurut pendapat yang shahih yang dipilih (al-shahih al-mukhtar). Tetapi ada pula pendapat yang tidak memperbolehkan.
5. Shalawat Kepada Nabi Saw
Shalawat kepada Nabi Muhammad Saw setelah tasyahhud akhir hukumnya wajib, sehingga tidak sah shalat seseorang apabila meninggalkan shalawat. Sedangkan shalawat kepada keluarga Nabi tidak wajib dalam madzhab Syafi'i, namun hukumnya sunnah menurut pendapat yang shahih serta masyhur. Sebagian ulama Syafi'i mengatakan tetap wajib.
Lafadh shalawat yang afdlol adalah
اللَّهُمَّ صَلِّ على مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُولِكَ النَّبِيّ الأُمِّي، وَعَلى آلِ مُحَمَّدٍ وَأزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِه، كما صَلَّيْتَ على إِبْرَاهِيمَ وَعلى آلِ إِبْرَاهِيمَ وَبارِكْ على مُحَمَّدٍ النَّبِيّ الأُمِّيّ، وَعَلى آلِ مُحَمَّدٍ وَأزْوَاجِهِ وَذُرّيَّتِهِ، كما بارَكْتَ على إِبْرَاهِيمَ، وَعَلى آلِ إِبْرَاهِيمَ فِي العَالَمِينَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
Diantaranya juga yang wajib adalah boleh menggunakan lafadh اللَّهمّ صلِّ على النبي atau صلى الله على محمد atau صلى الله على رسوله atau صلى الله على النبي, tetapi didalam madzhab Syafi'i ada yang tidak membolehkan lafadh tersebut kecuali lafadh Allahumma Shalli 'alaa Muhammad (اللَّهم صلِّ على محمد).
Do'a setelah tasyahhud hukum sunnah, sehingga bisa ditinggalkan.
6. Salam
Salam dalam rangka keluar dari shalat termasuk bagian daripada rukun/fardlu shalat. Bila ditinggalkan maka tidak sah shalat seseorang. Salam yang sempurna menggunakan lafadh Assalamu'alaikum wa Rahmatullah السَّلامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ ke kanan satu kali dan ke kiri satu kali.
Salam yang wajib hanya satu kali, sedangkan salam kedua hukumnya sunnah sehingga bila ditinggalkan tidak akan merusak shalat.
Lafadh Salam
Lafadh salam adalah Assalamu'alaikum (السلام عليكم). Bila mengucapkan salam dengan Salamun 'Alaikum (سلام عليكم) tidak mencukupi menurut pendapat yang lebih shahih (Ashoh), tetapi menurut pendapat yang Ashoh, boleh seandainya mengucapkan salam dengan lafadh 'Alaikumussalam (عليكم السَّلام).
Demikian beberapa hal terkait dengan mempersingkat shalat, namun tetap menjaga aturan-aturan yang sudah diterangkan oleh para ulama. Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar