“Mayoritas ulama fiqih menyatakan bahwa sunnahnya adalah bersedekap
ketika shalat.
Dalam satu riwayat dari Imam Malik itu, sunnahnya tidak bersedekap. Terkait dimana bersedekapnya, dalam Madzhab Hanafi dan satu riwayat dari Imam Ahmad dikatakan bahwa sedekapnya adalah dibawah pusar. Sedangkan dalam Madzhab Syafi’i dan satu riwayat dari Imam Malik bahwa sedekapnya adalah diatara dada dan pusar.
Riwayat lain dari Imam Ahmad menyatakan bahwa, kita boleh memilih diantara keduanya” Keterangan salah seorang ustadz.
“Ustadz, kenapa kita tidak shalat sebagaimana Nabi shalat saja?” tanya salah satu jamaah.
“Maksudnya?” Selidik sang ustadz.
“Saya membaca di salah satu buku sifat shalat Nabi, katanya Nabi itu kalo shalat meletakkan tangannya diatas dada, haditsnya shahih.
Jadi kita mengikuti Nabi, tidak taklid kepada ulama, ustadz. Dan shalatnya bisa sama”
Memang salah satu tantangan menyampaikan fiqih lintas madzhab adalah dituduh taklid, plin-plan serta sering menyebabkan perpecahan ummat.
Sifat Shalat Ulama itu Sifat Shalat Nabi
Pertanyaan seperti tadi sebenarnya punya konsekwensi cukup serius, itu sama artinya menuduh para ulama fiqih itu tidak mengikuti Nabi dalam shalatnya.
Dengan logika sederhana, sebenarnya siapakah yang lebih mengetahui sifat shalat Nabi dan para shahabatnya?
Apakah Imam Abu Hanifah (w. 150 H), Imam Malik bin Anas (w. 179 H) yang mereka hidup masih di abad ke-2 Hijriyyah dan mendapatkan hadits Nabi dari mulut para muhaddits, atau ulama yang hidup sekarang yang mendapatkan hadits dari buku-buku?
Ini Adalah Masalah yang Luwes Menurut Para Ulama
Sebenarnya, masalah ini sudah dibahas oleh para ulama sejak dahulu. Mereka semua sepakat bahwa meletakkan tangan ketika shalat itu hukumnya sunnah, artinya shalat seseorang tetap sah walaupun tidak melakukan hal ini.
Justru salah satu kelemahan membaca cara shalat Nabi langsung dari hadits-hadits; sebagaimana buku sifat shalat Nabi adalah tidak adanya keterangan yang cukup gamblang ketika menjelaskan macam-macam perbuatan Nabi ketika shalat. Manakah yang termasuk rukun, mana wajib dan mana sunnah.
Ini berimbas pada kerancuan pemahaman sehingga menganggap shalat Nabi yang ada hanya seperti itu, tidak boleh dikurang ataupun ditambah. Tidak sesuai itu, artinya menyelisihi ‘sunnah’. Menyelisihi sunnah berarti shalatnya tidak sah.
Padahal sifat shalat yang telah ditulis oleh para ulama, itulah sifat shalat Nabi.
Terkait luwesnya dimana tangan diletakkan ketika shalat, Imam Abu Isa at-Tirmidzi (w. 279 H) menjelaskan:
Hal itu sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H) dari Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H):
Jadi, para ulama cukup luas dan luwes ketika membahas masalah ini. Sebuah masalah yang masih dimungkinkan untuk berbeda antara ijtihad satu ulama dengan ulama lainnya.
(Yahya bin Hubairah as-Syaibani w. 560 H, Ikhtilaf al-Aimmah al-Ulama’, h. 1/ 107).
Berikut pendapat ulama dari masing-masing madzhab:
Pendapat ini juga dipilih oleh Hasan al-Bashri, an-Nakhai, al-Laits bin Sa’ad, Ibnu Juraij, Imam al-Baqir, an-Nashiriyyah. (Imam an-Nawawi w. 676 H, Syarah Shahih Muslim, h. 2/ 39).
Pendapat ini juga termasuk salah satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal (Ibnu Quddamah al-Maqdisi w. 620 H, al-Mughni, h. 1/ 515),
Imam al-Kasani al-Hanafi (w. 587 H) menyebutkan:
Pendapat yang masyhur dan dipilih oleh mayoritas Ulama Hanbali adalah meletakkan tangan dibawah pusar (Alauddin al-Mardawi al-Hanbali w. 885 H, al-Inshaf fi Ma’rifat ar-Rajihi min al-Khilaf, h. 2/ 46).
Sebagaimana diungkapkan oleh al-Khiraqi (w. 334 H):
Imam al-Muzani as-Syafi’i (w. 264 H) menyebutkan:
Sebagaimana Imam an-Nawawi (w. 676 H) menyebutkan bahwa meletakkan tangan diantara dada dan pusar adalah pendapat yang shahih dan mansush dalam Madzhab Syafi’i. (Yahya bin Syaraf an-Nawawi w. 676 H, al-Majmu’, h. 3/ 310).
Dalam Madzhab Maliki, ada beberapa riwayat yang menyebutkan bahwa Imam Malik juga berpendapat seperti pendapat Madzhab as-Syafi’i. Sebagaimana Riwayat dari Ashab dari Imam Malik (Muhammad bin Yusuf al-Gharnathi al-Maliki w. 897 H, at-Taj wa al-Iklil, h. 2/ 240).
Hal ini diungkapkan oleh Imam Abdul Wahab al-Baghdadi al-Maliki (w. 422 H):
Meski ada riwayat juga yang menyebutkan bahwa makruh meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri ketika shalat fardhu, sunnahnya adalah irsal atau tidak bersedekap (Muhammad bin Ahmad Abu Abdillah al-Maliki w. 1299 H, Minah al-Jalil, h. 1/ 262) .
Disebutkan juga dalam kitab al-Mudawwanah:
Keempat, Boleh dibawah pusar atau diatasnya: Riwayat ketiga dari Imam Ahmad bin Hanbal.
Pendapat ini dipilih juga oleh al-Auza’i, Atha’, Ibnu al-Mundzir (as-Syaukani w. 1250 H, Nail al-Authar, h. 2/ 188).
Imam Abu Daud as-Sajistani (w. 275 H) meriwayatkan perkataan Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitabnya al-Masa’il:
Kelima, Diatas dada: Ulama kontemporer
Ini adalah pendapat dari as-Shan’ani (w. 1182 H) dalam kitabnya Subul as-Salam, h. 1/168, al-Mubarakfuri (w. 1352 H) dalam kitabnya Tuhfat al-Ahwadzi, h. 2/84, al-Adzim abadi (w. 1329 H) dalam kitabnya Aunul Ma’bud, h. 1/ 325, as-Syaukani (w. 1250 H) dalam kitabnya Nail al-Authar, h. 1/ 189, termasuk juga al-Albani (w. 1420 H) dalam kitabnya Sifat Shalat Nabi, h. 69.
Pendapat ini muncul dari ulama-ulama kontemporer. Meskipun ada yang menisbatkan pendapat ini kepada ulama salaf, tetapi kurang tepat penisbatan itu. Misalnya Imam al-Qurthubi (w. 671 H) menisbatkan pendapat ini kepada Shahabat Ali bin Abi Thalib (al-Qurthubi w. 671 H, Tafsir al-Qurthubi, h. 8/ 7311). Tetapi penisbatan ini tidak tepat. (Muhammad Syamsul Haq al-Adzimabadi w. 1329 H, at-Ta’liq al-Mughni, h. 1/ 285).
Sebagaimana Imam Ali bin Abu Bakar al-Marghinani al-Hanafi (w. 593 H) menisbatkan pendapat ini kepada Imam as-Syafi’i (w. 204 H) dalam kitabnya al-Hidayah fi Syarh Bidayat al-Mubtadi’, h. 1/ 47.
Penisbatan ini tidak tepat, karena pendapat Imam as-Syafi’i sebagaimana dinyatakan oleh ulama-ulama as-Syafi’iyyah tidak seperti itu (Lihat: Ismail bin Yahya al-Muzani w. 264 H, Mukhtashar al-Muzani, h. 107).
Nashiruddin al-Albani (w. 1420 H) menisbatkan pendapat ini kepada Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H) dalam kitabnya Irwa’ al-Ghalil, h. 2/ 71. Penisbatan ini juga tidak tepat, karena menurut Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H) justru yang lebih kuat secara dalil adalah meletakkan tangan dibawah pusar. (Ishaq bin Manshur al-Maruzi al-Kausaj w. 251 H, Masa’il al-Imam Ahmad wa Ishaq bin Rahawaih, h. 2/ 552).
Dalam masalah ini, bisa diambil sedikit gambaran bahwa malahan tak ada satupun ulama fiqih madzhab empat yang berpendapat meletakkan tangan diatas dada saat shalat.
Bahkan, dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa meletakkan tangan diatas dada bagi Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) saat shalat hukumnya makruh.
Madzhab Hanbali: Makruh Meletakkan Tangan di Dada
Imam Ibnu Muflih al-Hanbali (w. 763 H) menyebutkan:
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah al-Hanbali (w. 751 H) menambahkan:
Hal senada juga dinyatakan oleh al-Buhuti al-Hanbali (w. 1051 H):
Ini adalah pendapat empat madzhab terkait dimanakah tangan diletakkan ketika shalat. Bagaimana dengan dalil-dalilnya?
Setelah kita baca pendapat para ulama terkait dimana tangan diletakkan ketika shalat, kita akan bicarakan dalil mereka. Para ulama memang berbeda dalam masalah ini. Tapi perlu dicatat, para ulama salaf yang benar-benar salaf terdahulu, tidak saling menyalahkan hasil ijtihad satu sama lain. Hal itu karena memang hukum dari bersedekap sendiri ini sunnah, boleh dilakukan boleh juga ditinggalkan.
Maka, paling tidak ada beberapa sebab perbedaan diatara para ulama; pertama terkait status keshahihan hadits, kedua terkait makna dari hadits tersebut.
Secara umum, banyak yang menyebut bahwa dalil-dalil dalam kaitan dimanakah tangan diletakkan itu haditsnya lemah.
Ibnu al-Mundzir (w. 319 H) menyebutkan:
Maka sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam at-Tirmidzi (w. 279 H) bahwa; ada sebagian ulama yang meletakkan diatas pusar, sebagian lain lagi dibawah pusar. Ini adalah masalah yang luas diantara mereka. (Muhammad bin Isa at-Tirmidzi w. 279 H, Sunan at-Tirmidzi, h. 2/ 32).
Kadang sebuah masalah sepele menjadi tidak sepele ditangan orang-orang sepele. Keluasan pendapat menjadi sebuah hal yang sempit bagi orang-orang yang berpemikiran sempit. Hukum fiqih yang asalnya luas dan boleh berbeda, menjadi yang berbeda pasti salah.
Dalil yang dipakai ulama yang menyatakan bahwa sunnahnya malah tidak bersedekap adalah sebuah hadits:
Tempat asal tulang tangan tidaklah diatas dada atau dibawah pusar. Maka setelah orang itu takbir, tangan kembali ke posisi semula, artinya tidak bersedekap. Inilah penafsiran dari sebagaian ulama madzhab Maliki. Meski masih diperdebatkan kesahihan penisbatannya kepada Imam Malik bin Anas (w. 179 H).
Tapi pendapat ini dibantah dengan hadits-hadits yang shahih yang menyatakan bahwa Nabi bersedekap ketika shalat.
Dalil Meletakkan Tangan Dibawah Pusar
Diriwayatkan oleh Ahmad, h. 1/110, Abu Daud no. 756, Ibnu Abi Syaibah, h. 1/343/3945, Ad-Daraquthny, h. 1/286, Al-Maqdasy no. 771,772 dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid, h. 20/77. Dan dalam sanadnya ada rawi yang bernama ‘Abdurrahman bin Ishak Al-Wasity yang para ulama telah sepakat untuk melemahkannya sebagaimana di dalam Nashbur Rayah (Jamaluddin az-Zailaghi w. 762 H, Nushbu ar-Rayah, h. 1/314, lihat pula: an-Nawawi w. 676 H, al-Majmu’, h. 3/313).
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu beliau berkata:
Diriwayatkan oleh Abu Daud no. 758. Dan dalam sanadnya juga terdapat ‘Abdurrahman bin Ishak Al-Wasity di atas.
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, beliau berkata:
Ibnu Hazm menyebutkannya secara Mu’allaq (tanpa sanad) dalam kitab Al-Muhalla, h. 4/157.
Hampir semua dalil pendapat ini ada kelemahannya.
Hanya saja, dalil itu dimaknai tidak pas diatas dada. Tetapi dibawah dada dan diatas pusar. Sebagaimana hadits lain riwayat Imam al-Baihaqi (w. 458 H):
Selanjutnya, apakah benar bahwa hadits tentang tangan diatas dada itu shahih?
Dalam menjelaskan sifat shalat Nabi, hadits Shahabi Wa’il bin Hujr memang banyak sekali dijadikan patokan dalil oleh para ulama. Hal itu karena memang haditsnya cukup lengkap.
Wa’il bin Hujr adalah seorang shahabat Nabi dari Hadhramaut, Yaman. (Syamsuddin ad-Dzahabi w. 748 H, Siyar A’lam an-Nubala’, h. 2/ 572).
Ada komentar menarik dari Ibrahim an-Nakhai (w. 96 H) terhadap Wa’il bin Hujr terkait hadits shalat Nabi. Ibrahim an-Nakhai berkata:
Tapi ini masih praduga dari Ibrahim an-Nakhai (w. 96 H) saja. Terlepas dari itu, terkait meletakkan tangan saat shalat, hadits yang cukup panjang dari seorang Shahabi Wa’il bin Hujr memang banyak yang shahih. Misalnya: dalam kitab Shahih Muslim, h. 1/ 301, Kitab Musnad Ahmad, h. 31/ 168, dan masih banyak lagi.
Tetapi dari sekian banyak riwayat itu, hampir tidak ada yang menyebutkan bahwa meletakkan tangannya adalah “diatas dada”.
Jikapun ada, maka hadits itu hanya diriwayatkan melalui jalan Muammal bin Ismail (w. 206 H). Hadits tersebut adalah:
Riwayat dari Muammal bin Ismail ini mempunyai catatan tersendiri. Tambahan “diatas dada” ini hanya ada pada riwayat Muammal bin Ismail saja. Dalam riwayat lain tidak disebutkan seperti itu.
Sedangkan dia menyelisihi 2 orang rawi lainnya yang meriwayatkan juga dari Sufyan ats-Tsaury; yaitu:
‘Abdullah bin Al-Walid (diriwayatkan oleh Imam Ahmad, h. 4/318)
Muhammad bin Yusuf Al-Firiyaby (Al-Mu’jamul Kabir/Ath-Thobarony no. 78).
Dan Muammal bin Ismail (w. 206 H) juga meyelisihi 10 orang rawi yang meriwayatkan dari ‘Ashim bin Kulaib, kesepuluh orang tersebut adalah:
‘Abdul Wahid bin Ziyad, diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya, h. 4/316 dari jalan Yunus bin Muhammad darinya, Imam Al-Baihaqy dalam kitab Sunan-nya, h. 2/72 dari jalan Abul Hasan ‘Ali bin Ahmad bin ‘Abdan dari Ahmad bin ‘Ubeid Ash-Shoffar dari ‘Utsman bin ‘Umar Adh-Dhobby dari Musaddad darinya.
‘Abdullah bin Idris, diriwayatkan oleh Ibnu Hibban di dalam Shohih-nya (Al-Ihsan 3/308/hadits no. 1936) dari jalan Muhammad bin ‘Umar bin Yusuf dari Sallam bin Junadah darinya (‘Abdullah bin Idris).
Abu ‘Awanah, diriwayatkan oleh Imam Ath-Thobarany dalam kitab Al-Mu’jamul Kabir, 22/34/90 dari 2 jalan ; Dari jalan ‘Ali bin ‘Abdil ‘Aziz dari Hajjaj bin Minhal darinya, dan dari jalan Al-Miqdam bin Daud dari Asad bin Musa darinya.
Bisyr bin Al-Mufadhdhol, diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, dalam Sunan-nya, h. 1/456 no. 726, 1/578 no. 957 dari jalan Musaddad darinya (Bisyr bin Al-Mufadhdhol) dan An-Nasa`i dalam Sunan-nya, h. 3/35 hadits no. 1265 dari jalan Isma’il bin Mas’ud darinya.
Ghailan bin Jami’, diriwayatkan oleh Ath-Thobarany, h. 22/34/88 dari jalan Al-Hasan bin ‘Alil Al-‘Anazy dan Muhammad bin Yahya bin Mandah Al-Ashbahany dari Abu Kuraib dari Yahya bin Ya’la dari ayahnya darinya.
Kholid bin Abdullah Ath-Thohhan, diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqy dalam Sunan-nya, h. 2/131 dari 2 jalan; yaitu dari jalan Abu Sa’id Muhammad bin Ya’qub Ats-Tsaqofy dari Muhammad bin Ayyub dari Musaddad darinya, dan dari jalan Abu ‘Abdillah Al-Hafizh dari ‘Ali bin Himsyadz dari Muhammad bin Ayyub dan seterusnya seperti jalan di atas.
Qois Ar-Robi’, diriwayatkan oleh Ath-Thobarany dalam kitab Al-Mu’jamul Kabir, h. 22/34/79 dari jalan Al-Miqdam bin Daud dari Asad bin Musa darinya.
Sallam bin Sulaim Abul Ahwash, diriwayatkan oleh: Imam Abu Daud Ath-Thoyalisy di dalam Musnad-nya, h. 137/hadits 1060 darinya dan Ath-Thobrany (Al-Mu’jamul Kabir 22/34/80) dari jalan Al-Miqdam bin Daud dari Asad bin Musa darinya.
Zaidah bin Qudamah, diriwayatkan oleh Imam Ahmad, h. 4/318 dari jalan ‘Abdushshomad darinya.
Zuhair bin Mu’awiyah diriwayatkan oleh Imam Ahmad, h. 4/318 dari jalan Aswad bin ‘Amir darinya dan Ath-Thobarany di dalam Al-Mu’jamul Kabir, 22/26/84 dari jalan ‘Ali bin ‘Abdul ‘Aziz dari Abu Ghossan Malik bin Isma’il darinya.
Jadi, hanya riwayat dari jalan Muammal bin Ismail (w. 206 H) saja yang ada tambahan “diatas dada” dan menyelisihi matan hadits dari jalan lain yang lebih tsiqah.
Muammal bin Isma’il (w. 206 H) sendiri adalah rowi yang dikritisi hafalannya. Al-Hafizh Ibnu Hajar (w. 852 H) dalam kitab Taqrib at-Tahdzib memberikan kesimpulan: “Shoduqun Sayyi`ul Hifzh”; seorang yang shaduq tetapi hafalannya jelek. (Ibnu Hajar al-Asqalani w. 852 H, Taqrib at-Tahdzib, h. 555)
Ibnu at-Turkumani (w. 750 H) menyebutkan alasan Muammal bin Ismail (w. 206 H) ini banyak salah dalam meriwayatkan hadits, karena kitab-kitabnya dikubur. Maka dia meriwayatkan hanya berdasarkan hafalannya saja. Padahal hafalannya lemah, maka dia banyak salahnya. (Ibnu at-Turkumani w. 750 H, al-Jauhar an-Naqiy, h. 2/ 30)
Ada jalan lain bagi hadits Wa`il bin Hujr ini yaitu diriwayatkan oleh Al-Baihaqy dalam Sunan-nya, h.2/30 dari jalan Muhammad bin Hujr Al-Hadhromy dari Sa’id bin ‘Abdil Jabbar bin Wa`il dari ayahnya dari ibunya dari Wa`il bin Hujr.
Tetapi terdapat beberapa kelemahan didalamnya. Diantaranya Muhammad bin Hujr lemah haditsnya, bahkan Imam Adz-Dzhaby (w. 748 H) dalam kitab Mizan al-I’tidal, h. 3/ 511 mengatakan: “Lahu manakir (Meriwayatkan hadits-hadits mungkar)”.
Sa’id bin ‘Abdul Jabbar di dalam kitab At-Taqrib disebutkan bahwa ia adalah rawi dho’if, sebagaimana disebutkan oleh al-Hafidz al-Mizzi (w. 742 H) dalam kitab Tahdzib al-Kamal, h. 10/ 522. Selain itu, Ibnu Turkumany (w. 750 H) mengomentari Ibu dari Abdil Jabbar dalam kitabnya Al-Jauhar An-Naqy, h. 2/ 30: “Saya tidak tahu keadaan dan namanya”.
2. Hadits Yahya bin Said dari Hulb at-Thai’y:
Qobishoh bin Hulb, meskipun mendapatkan tautsiq dari sebagian ulama, tetapi tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Simak bin Harab. Imam Ibnu Hajar (w. 852 H) berkata di dalam At-Taqrib : “Maqbul”, artinya riwayatnya bisa diterima kalau ada pendukungnya, kalau tidak ada maka riwayatnya lemah.
Tetapi riwayat yang hasan tersebut tanpa ada tambahan lafazh: “Meletakkan tangannya di atas dada”.
Hadits ini diriwayatkan dari Hulb Ath-Tho’iy oleh anaknya Qobishoh dan dari Qobishoh hanya oleh Simak bin Harb selanjutnya dari Simak bin Harb diriwayatkan oleh 6 orang, yaitu:
Sufyan Ats-Tsaury, akan disebutkan takhrijnya.
Abul Ahwash, diriwayatkan oleh At-Tirmidzy no. 252, Ibnu Majah no. 809, Ahmad 5/227, ‘Abdullah bin Ahmad dalam Zawa`id Al-Musnad 5/227, Ath-Thobrony 22/165/424, Al-Baghawy 3/31 dan Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq.
Syu’bah bin Al-Hajjaj, diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim dalam Al-Ahad wal Matsany no. 2495 dan Ath-Thobarany 22/163/416.
Syarik bin ‘Abdillah, diriwayatkan oleh Ahmad 5/226, Ibnu Abi ‘Ashim dalam Al-Ahad wal Matsanyno. 2493, Ibnu Qoni’ dalam Mu’jam Ash-Shohabah 3/198, Ath-Thobarony 22/16/426 dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid 20/73
Asbath bin Nashr, diriwayatkan oleh Ath-Thobarany 22/165/422.
Hafsh bin Jami’, diriwayatkan oleh Ath-Thobarany 22/165/423.
Za`idah bin Qudamah, diriwayatkan oleh Ibnu Qoni’ dalam Mu’jam Ash-Shohabah 3/198.
Dari ketujuh orang ini tidak ada yang meriwayatkan lafazh: “meletakkan ini atas yang ini, di atas dadanya” kecuali riwayat Yahya bin Sa’id Al-Qoththon dari Sufyan Ats-Tsaury, yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad, h. 5/226 dan Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 434.
Selain itu, dari Qabishah hanya Simak bin Harb yang meriwayatkan hadits ini. Meskipun banyak ulama yang mengatakan tsiqah Simak bin Harb; seperti Abu Hatim, Ibnu Ma’in, tetapi Imam an-Nasa’i berkata:
Yahya bin Sa’id Al-Qoththon juga bersendirian dalam meriwayatkan lafazh tersebut dan menyelisihi 5 rowi tsiqoh lainnya dari Sufyan Ats-Tsaury, dimana ke-5 orang tersebut meriwayatkan hadits ini tanpa tambahan lafazh: “Meletakkannya di atas dada”. Dan ke-5 rowi tersebut adalah:
Waki’ bin Jarrah diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 1/342/3934, Ahmad 5/226, 227, Ibnu Abi ‘Ashim no. 2494, Ad-Daraquthny 1/285, Al-Baihaqy 2/29, Al-Baghawy 3/32 dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam AT-Tamhid 20/74.
Abdurrahman bin Mahdy diriwayatkan oleh Ad-Daraquthny 1/285.
‘Abdurrazzaq dalam Al-Mushonnaf 2/240/3207 dan dari jalannya Ath-Thobarany 22/163/415
Muhammad bin Katsir diriwayatkan oleh Ath-Thobarany 22/165/421.
Al-Husain bin Hafsh diriwayatkan oleh Al-Baihaqy 2/295.
Kesimpulan:
Yahya bin Sa’id bersendirian dalam meriwayatkan lafazh: “meletakkan ini atas yang ini, di atas dadanya”, dan menyelisihi 6 orang lainnya dari Sufyan Ats-Tsaury dan menyelisihi Ashab (baca: murid-murid) Simak bin Harb yang lainnya seperti: Za`idah bin Qudamah, Syu’bah, Abul Ahwash, Asbath bin Nashr, Syarik bin ‘Abdillah dan Hafsh bin Jami’.
Perlu diketahui juga, Yahya bin Said al-Qathan dalam fiqih malah mengikuti Madzhab Hanafi. Az-Zirikly (w. 1396 H) menyatakan:
Madzhab Abu Hanifah dalam hal ini meletakkanya dibawah pusar. Ditambah lagi, Sufyan at-Tsauri dalam masalah ini juga mengikuti Madzhab Hanafi yaitu dibawah pusar. (Abu Bakar Muhammad bin Ibrahim bin Mundzir w. 319 H, al-Ausath fi as-Sunan wa al-Ijma’ wa al-Ikhtilaf, h. 3/ 94).
Maka jelaslah bahwa riwayat tersebut terdapat kesalahan sehingga riwayat tersebut dihukumi sebagai riwayat yang Syadz (ganjil) atau Mudraj. Tapi kami tidak bisa menentukan dari mana asal kesalahan ini dan kepada siapa ditumpukan. Wallahu A’lam.
3. Dalil ketiga, hadits Mursal Thawus bin Kaisan (w. 101 H), dia berkata:
4. Hadits ‘Ali bin Abi Thalib tentang firman Allah:
Ali bin Abi Thalib disebutkan pernah berkata:
Atsar ini dikeluarkan oleh: Ibnu Jarir dalam Tafsir-nya, h. 30/326, Al-Bukhary dalam Tarikh-nya, h. 3/2/437 dan Al-Baihaqy, dalam Sunan-nya, h. 2/30.
Ibnu Turkumany (w. 750 H) dalam Al-Jauhar An-Naqy berkomentar: “Di dalam sanad dan matannya ada kontradiksi”. (Ibnu at-Turkumany w. 750 H, al-Jauhar an-Naqiy, h. 2/ 30)
Berikut ini rincian lemah dan kontradiksinya atsar ini:
Atsar ini telah diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf, h. 1/343, Ad-Daraquthny, h. 1/285, Al-Hakim, h. 2/586, Al-Baihaqy, h. 2/29, Al-Maqdasy dalam Al-Mukhtaroh no. 673, dan Al-Khatib dalam Mudhih Auham Al-Jama’ wa At-Tafriq 2/340.
Semuanya tidak ada yang menyebutkan kalimat: “di atas dada”, bahkan riwayat Ibnu ‘Abdil Barr (w. 463 H) dalam At-Tamhid malahan dengan lafazh: “di bawah pusar”. (Ibnu Abdil Barr w. 463 H, at-Tamhid, h. 20/ 78)
Sandaran atsar ini pada seorang rawi yang bernama ‘Ashim bin Al-‘Ujaj Al-Jahdary. Dan dari biografinya bisa disimpulkan bahwa ia adalah seorang rawi yang maqbul
‘Ashim ini kontradiktif dalam meriwayatkan hadits ini. Kadang dia meriwayatkan dari ‘Uqbah bin Zhohir, kadang dari ‘Uqbah bin Zhobyan, kadang dari ‘Uqbah bin Shohban dan kadang dari ayahnya dari ‘Uqbah bin Zhobyan. (ad-Daraquthni w. 385 H, ‘Ilal, h. 4/98-99).
Maka atsar ini adalah lemah. Ibnu Katsir (w. 774 H) juga menyebutkan dalam tafsirnya bahwa atsar ini menyelisihi kebanyakan Mufassirin (Ibnu Katsir ad-Dimasyqi w. 774 H, Tafsir Ibnu Katsir, h. 8/ 503).
Dari paparan beberapa dalil diatas, bisa dikatakan tidak ada hadits yang tsabit dari Nabi terkait dimana tangan diletakkan. Selanjutnya kita akan bicarakan beberapa kurang tepatan penisbatan pendapat dalam bab ini. Dalam tulisan: ...
Sufyan at-Tsauri (w. 161 H) Tidak Meletakkan Tangan Diatas Dada
Sufyan at-Tsauri (w. 161 H) adalah termasuk salah satu rawi yang meriwayatkan hadits daitas dada. Tetapi malah Ibnu al-Mundzir (w. 319 H) menyebutkan:
Kekurang Tepatan Tafsir al-Albani (w. 1420 H) Terhadap Perbuatan Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H)
Bisa dikatakan tokoh kontemporer yang cukup dianut dalam kaitan meletakkan tangan diatas dada adalah Muhammad Nashiruddin al-Albani (w. 1420 H). Hal itu bisa dilacak dalam kitabnya Sifat Shalat Nabi dan kitab Irwa’ al-Ghalil.
Bahkan dalam kitab Irwa’ al-Ghalil, beliau berani memastikan bahwa yang “shahih” dari Nabi adalah meletakkan tangan diatas dada.
Pernyataan beliau adalah:
Kita dapati al-Albani (w. 1420 H) dengan cukup yakin menyatakan bahwa inilah sifat shalatnya Nabi. Darimanakah keyakinan itu dibangun?
Menurut al-Albani (w. 1420 H), salah satu ulama yang paling mengamalkan sunnah Nabi ini adalah Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H). Al-Albani (w. 1420 H) berargumentasi dan berujar:
Disini al-Albani (w. 1420 H) cukup provokatif dengan mengatakan bahwa "sunnah yang shahih" terkait meletakkan tangan diatas dada ini telah dilakukan oleh Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H).
Apakah benar seperti itu?
Pertama, tidak tepat jika pernyataan al-Maruzi al-Hanbali (w. 251 H) dipakai sebagai dalil bahwa Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H) meletakkan tangan diatas dada ketika shalat. Karena al-Maruzi (w. 251 H) dalam hal ini, sedang membicarakan tentang mengangkat tangan ketika doa qunut di bulan Ramadhan. Lebih jelasnya kita baca secara lengkap pernyataan al-Maruzi (w. 251 H) dalam kitab al-Masail:
Jadi maksud meletakkan tangan diatas kedua susu yang dilakukan oleh Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H) adalah mengangkat tangan setinggi kedua susu/ dada saat doa qunut. Maka istidlal al-Albani (w. 1420 H) dengan apa yang dilakukan oleh Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H) adalah kurang tepat dan cenderung dipaksa-paksakan.
Kedua, masih dalam kitab yang sama, bahkan al-Maruzi (w. 251 H) malah menyatakan bahwa pendapat Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H) tidak seperti yang dinyatakan oleh al-Albani (w. 1420 H). al-Maruzi (w. 251 H) menuliskan:
Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H) malah berpendapat bahwa meletakkan tangan dibawah pusar itu yang lebih kuat secara dalil hadits, bukan seperti yang dinyatakan oleh al-Albani (w. 1420 H). Hal ini senada dan cocok dengan apa yang diungkapkan oleh Ibnu al-Mundzir an-Naisaburi (w. 319 H). (Abu Bakar Muhammad bin Ibrahim bin Mundzir w. 319 H, al-Ausath fi as-Sunan wa al-Ijma’ wa al-Ikhtilaf, h. 3/ 94).
Maka, pernyataan bahwa Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H) telah mengamalkan "sunnah shahihah"; meletakkan tangan di dada saat shalat ini kuranglah tepat.
Ta’ashub antara Fiqih Madzhabi dan Fiqih non-Madzhabi
Ada hal lain yang kita bisa simpulkan disini. Dalam belajar fiqih madzhabi, kita dituntut untuk menghormati pendapat madzhab lain, jika memang perbedaan pendapat itu disertai dalil. Perbedaan antar madzhab tidak menjadikan perpecahan diantara mereka. Dan mereka tidak ta’ashub terhadap pendapat pribadinya.
Justru sebaliknya, fiqih non-madzhabi mencoba menghilangkan perbedaan-perbedaan pandangan itu. Lantas mengajak pandangan lain untuk meyakini kebenaran pendapatnya sendiri. Bukankah itu namanya ainu at-ta’asshub; sejatinya ta’ashub. Disini kita bisa lihat, sebenarnya siapakah yang lebih ta’ashub?
Bersedekap dalam shalat hukumnya sunnah, tetapi dalil yang ada, yang lebih shahih adalah dalil bersedekap. Hal ini adalah pendapat dari jumhur ulama
Adapun terkait dimana tangan diletakkan ketika sedekap, para ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan dibawah pusar, diatas pusar dibawah dada dan ada yang di dada.
Jika memang meyakini bahwa salah satu tempat bersedekap itu lebih shahih secara dalil, silahkan dilakukan.
waAllahu a’lam
Dalam satu riwayat dari Imam Malik itu, sunnahnya tidak bersedekap. Terkait dimana bersedekapnya, dalam Madzhab Hanafi dan satu riwayat dari Imam Ahmad dikatakan bahwa sedekapnya adalah dibawah pusar. Sedangkan dalam Madzhab Syafi’i dan satu riwayat dari Imam Malik bahwa sedekapnya adalah diatara dada dan pusar.
Riwayat lain dari Imam Ahmad menyatakan bahwa, kita boleh memilih diantara keduanya” Keterangan salah seorang ustadz.
“Ustadz, kenapa kita tidak shalat sebagaimana Nabi shalat saja?” tanya salah satu jamaah.
“Maksudnya?” Selidik sang ustadz.
“Saya membaca di salah satu buku sifat shalat Nabi, katanya Nabi itu kalo shalat meletakkan tangannya diatas dada, haditsnya shahih.
Jadi kita mengikuti Nabi, tidak taklid kepada ulama, ustadz. Dan shalatnya bisa sama”
Memang salah satu tantangan menyampaikan fiqih lintas madzhab adalah dituduh taklid, plin-plan serta sering menyebabkan perpecahan ummat.
Sifat Shalat Ulama itu Sifat Shalat Nabi
Pertanyaan seperti tadi sebenarnya punya konsekwensi cukup serius, itu sama artinya menuduh para ulama fiqih itu tidak mengikuti Nabi dalam shalatnya.
Dengan logika sederhana, sebenarnya siapakah yang lebih mengetahui sifat shalat Nabi dan para shahabatnya?
Apakah Imam Abu Hanifah (w. 150 H), Imam Malik bin Anas (w. 179 H) yang mereka hidup masih di abad ke-2 Hijriyyah dan mendapatkan hadits Nabi dari mulut para muhaddits, atau ulama yang hidup sekarang yang mendapatkan hadits dari buku-buku?
Ini Adalah Masalah yang Luwes Menurut Para Ulama
Sebenarnya, masalah ini sudah dibahas oleh para ulama sejak dahulu. Mereka semua sepakat bahwa meletakkan tangan ketika shalat itu hukumnya sunnah, artinya shalat seseorang tetap sah walaupun tidak melakukan hal ini.
Justru salah satu kelemahan membaca cara shalat Nabi langsung dari hadits-hadits; sebagaimana buku sifat shalat Nabi adalah tidak adanya keterangan yang cukup gamblang ketika menjelaskan macam-macam perbuatan Nabi ketika shalat. Manakah yang termasuk rukun, mana wajib dan mana sunnah.
Ini berimbas pada kerancuan pemahaman sehingga menganggap shalat Nabi yang ada hanya seperti itu, tidak boleh dikurang ataupun ditambah. Tidak sesuai itu, artinya menyelisihi ‘sunnah’. Menyelisihi sunnah berarti shalatnya tidak sah.
Padahal sifat shalat yang telah ditulis oleh para ulama, itulah sifat shalat Nabi.
Terkait luwesnya dimana tangan diletakkan ketika shalat, Imam Abu Isa at-Tirmidzi (w. 279 H) menjelaskan:
ورأى بعضهم أن يضعهما فوق السرة، ورأى بعضهم: أن يضعهما تحت السرة، وكل ذلك واسع عندهم
Imam at-Tirmidzi (w. 279 H) berkomentar: Ada sebagian ulama yang meletakkan diatas pusar, sebagian lain lagi dibawah pusar. Ini adalah masalah yang luas diantara mereka. (Muhammad bin Isa at-Tirmidzi w. 279 H, Sunan at-Tirmidzi, h. 2/ 32)Hal itu sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H) dari Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H):
وعنه أبو طالب سألت أحمد أين يضع يده إذا كان يصلي؟ قال: "على السرة أو أسفل وكل ذلك واسع عنده إن وضع فوق السرة أو عليها أو تحتها
Dari Abu Thalib dia bertanya kepada Imam Ahmad, dimanakah beliau meletakkan tangan ketika shalat? Beliau menjawab: Diatas pusar atau dibawahnya. Hal ini merupakan masalah yang luas, bisa dibawah pusar, pas dipusar atau diatasnya. (Ibnu Qayyim al-Jauziyyah w. 751 H, Badai’ al-Fawaidh, h. 3/ 91).Jadi, para ulama cukup luas dan luwes ketika membahas masalah ini. Sebuah masalah yang masih dimungkinkan untuk berbeda antara ijtihad satu ulama dengan ulama lainnya.
Pendapat Madzhab Empat
Pendapat yang muktamad dari madzhab empat malah tidak ada yang menyebutkan diatas dada.(Yahya bin Hubairah as-Syaibani w. 560 H, Ikhtilaf al-Aimmah al-Ulama’, h. 1/ 107).
Berikut pendapat ulama dari masing-masing madzhab:
Pertama, Tidak Bersedekap: al-Malikiyyah
Ini memang pendapat yang masyhur dalam Madzhab Malikiyyah (Ibnu Abdil Barr w. 463 H, at-Tamhid, 20/ 76).Pendapat ini juga dipilih oleh Hasan al-Bashri, an-Nakhai, al-Laits bin Sa’ad, Ibnu Juraij, Imam al-Baqir, an-Nashiriyyah. (Imam an-Nawawi w. 676 H, Syarah Shahih Muslim, h. 2/ 39).
Kedua, Dibawah Pusar: al-Hanafiyyah dan Riwayat dari Hanabilah
Pendapat ini dipilih juga oleh Abu Hurairah (Ibnu Quddamah al-Maqdisi w. 620 H, al-Mughni, h. 1/ 515), Anas bin Malik (Ibnu Hazm al-Andulusi w. 456 H, al-Muhalla, h. 4/ 113), Imam Ali bin Abi Thalib (Imam an-Nawawi w. 676 H, Syarah Shahih Muslim, h. 2/ 39), Sufyan at-Tsauri (as-Syaukani w. 1250 H, Nail al-Authar, h. 2/ 188), Ishaq bin Rahawaih (Ibnu Quddamah al-Maqdisi w. 620 H, al-Mughni, h. 1/ 515).Pendapat ini juga termasuk salah satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal (Ibnu Quddamah al-Maqdisi w. 620 H, al-Mughni, h. 1/ 515),
Imam al-Kasani al-Hanafi (w. 587 H) menyebutkan:
وأما محل الوضع فما تحت السرة في حق الرجل والصدر في حق المرأة
Adapun tempat bersedekap, adalah dibawah pusar untuk laki-laki dan di dada untuk perempuan (Alauddin Abu Bakar al-Kasani al-Hanafi w. 587 H, Bada’i as-Shana’i, h. 1/ 201)Pendapat yang masyhur dan dipilih oleh mayoritas Ulama Hanbali adalah meletakkan tangan dibawah pusar (Alauddin al-Mardawi al-Hanbali w. 885 H, al-Inshaf fi Ma’rifat ar-Rajihi min al-Khilaf, h. 2/ 46).
Sebagaimana diungkapkan oleh al-Khiraqi (w. 334 H):
ثم يضع يده اليمنى على كوعه اليسرى ويجعلهما تحت سرته
Kemudian meletakkan tangan kanan diatas pergelangan tangan kiri, lalu meletakkannya dibawah pusar. (Umar bin Husain al-Khiraqi al-Hanbali w. 334 H, Mukhtshar al-Khiraqi, h. 22)Ketiga, di Bawah Dada dan Diatas Pusar: as-Syafi’iyyah dan Riwayat dari Malikiyyah
Pendapat ini juga dipilih oleh Said bin Jubair, salah satu riwayat dari Imam Malik bin Anas (Abu Muhammad Abdul Wahab al-Baghdadi al-Maliki w. 422 H, al-Isyraf ala Nukat Masail al-Khilaf, h. 1/ 241), salah satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal (Ibnu Quddamah al-Maqdisi w. 620 H, al-Mughni, h. 1/ 515).Imam al-Muzani as-Syafi’i (w. 264 H) menyebutkan:
ويرفع يديه إذا كبر حذو منكبيه ويأخذ كوعه الأيسر بكفه اليمنى ويجعلها تحت صدره
Dan mengangkat kedua tangan ketika takbir sampai sebatas pundak, lalu bersedekap dengan telapak tangan kanan memegang pergelangan tangan kiri. Lalu meletakkannya dibawah dada. (Ismail bin Yahya al-Muzani w. 264 H, Mukhtashar al-Muzani, h. 107).Sebagaimana Imam an-Nawawi (w. 676 H) menyebutkan bahwa meletakkan tangan diantara dada dan pusar adalah pendapat yang shahih dan mansush dalam Madzhab Syafi’i. (Yahya bin Syaraf an-Nawawi w. 676 H, al-Majmu’, h. 3/ 310).
Dalam Madzhab Maliki, ada beberapa riwayat yang menyebutkan bahwa Imam Malik juga berpendapat seperti pendapat Madzhab as-Syafi’i. Sebagaimana Riwayat dari Ashab dari Imam Malik (Muhammad bin Yusuf al-Gharnathi al-Maliki w. 897 H, at-Taj wa al-Iklil, h. 2/ 240).
Hal ini diungkapkan oleh Imam Abdul Wahab al-Baghdadi al-Maliki (w. 422 H):
فصل: وصفة وضع إحداهما على الأخرى أن تكون تحت صدره وفوق سرته
Meletakkan tangan ketika shalat adalah di bawah dada dan diatas pusar (Abu Muhammad Abdul Wahab al-Baghdadi al-Maliki w. 422 H, al-Isyraf ala Nukat Masail al-Khilaf, h. 1/ 241).Meski ada riwayat juga yang menyebutkan bahwa makruh meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri ketika shalat fardhu, sunnahnya adalah irsal atau tidak bersedekap (Muhammad bin Ahmad Abu Abdillah al-Maliki w. 1299 H, Minah al-Jalil, h. 1/ 262) .
Disebutkan juga dalam kitab al-Mudawwanah:
قال: وقال مالك: في وضع اليمنى على اليسرى في الصلاة؟ قال: لا أعرف ذلك في الفريضة وكان يكرهه ولكن في النوافل إذا طال القيام فلا بأس بذلك يعين به نفسه
Imam Malik berkata: Meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri saat shalat, ketika shalat fardhu maka makruh. Sedangkan jika shalatnya sunnah, maka tidak apa-apa (Malik bin Anas w. 179 H, al-Mudawwanah, h. 1/ 169)Keempat, Boleh dibawah pusar atau diatasnya: Riwayat ketiga dari Imam Ahmad bin Hanbal.
Pendapat ini dipilih juga oleh al-Auza’i, Atha’, Ibnu al-Mundzir (as-Syaukani w. 1250 H, Nail al-Authar, h. 2/ 188).
Imam Abu Daud as-Sajistani (w. 275 H) meriwayatkan perkataan Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitabnya al-Masa’il:
وسمعته، سئل عن وضعه، فقال: فوق السرة قليلا، وإن كان تحت السرة فلا بأس
Suatu ketika saya mendengar (Imam Ahmad bin Hanbal) ditanya dimakah tangan diletakkan saat shalat? Beliau menjawab: Diatas pusar sedikit. Kalaupun dibawahnya maka tidak apa-apa (Abu Daud Sulaiman as-Sajistani w. 275 H), Masa’il al-Imam Ahmad, h. 48)Kelima, Diatas dada: Ulama kontemporer
Ini adalah pendapat dari as-Shan’ani (w. 1182 H) dalam kitabnya Subul as-Salam, h. 1/168, al-Mubarakfuri (w. 1352 H) dalam kitabnya Tuhfat al-Ahwadzi, h. 2/84, al-Adzim abadi (w. 1329 H) dalam kitabnya Aunul Ma’bud, h. 1/ 325, as-Syaukani (w. 1250 H) dalam kitabnya Nail al-Authar, h. 1/ 189, termasuk juga al-Albani (w. 1420 H) dalam kitabnya Sifat Shalat Nabi, h. 69.
Pendapat ini muncul dari ulama-ulama kontemporer. Meskipun ada yang menisbatkan pendapat ini kepada ulama salaf, tetapi kurang tepat penisbatan itu. Misalnya Imam al-Qurthubi (w. 671 H) menisbatkan pendapat ini kepada Shahabat Ali bin Abi Thalib (al-Qurthubi w. 671 H, Tafsir al-Qurthubi, h. 8/ 7311). Tetapi penisbatan ini tidak tepat. (Muhammad Syamsul Haq al-Adzimabadi w. 1329 H, at-Ta’liq al-Mughni, h. 1/ 285).
Sebagaimana Imam Ali bin Abu Bakar al-Marghinani al-Hanafi (w. 593 H) menisbatkan pendapat ini kepada Imam as-Syafi’i (w. 204 H) dalam kitabnya al-Hidayah fi Syarh Bidayat al-Mubtadi’, h. 1/ 47.
Penisbatan ini tidak tepat, karena pendapat Imam as-Syafi’i sebagaimana dinyatakan oleh ulama-ulama as-Syafi’iyyah tidak seperti itu (Lihat: Ismail bin Yahya al-Muzani w. 264 H, Mukhtashar al-Muzani, h. 107).
Nashiruddin al-Albani (w. 1420 H) menisbatkan pendapat ini kepada Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H) dalam kitabnya Irwa’ al-Ghalil, h. 2/ 71. Penisbatan ini juga tidak tepat, karena menurut Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H) justru yang lebih kuat secara dalil adalah meletakkan tangan dibawah pusar. (Ishaq bin Manshur al-Maruzi al-Kausaj w. 251 H, Masa’il al-Imam Ahmad wa Ishaq bin Rahawaih, h. 2/ 552).
Dalam masalah ini, bisa diambil sedikit gambaran bahwa malahan tak ada satupun ulama fiqih madzhab empat yang berpendapat meletakkan tangan diatas dada saat shalat.
Bahkan, dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa meletakkan tangan diatas dada bagi Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) saat shalat hukumnya makruh.
Madzhab Hanbali: Makruh Meletakkan Tangan di Dada
Imam Ibnu Muflih al-Hanbali (w. 763 H) menyebutkan:
ويكره وضعهما على صدره نص عليه مع أنه رواه أحمد
Makruh meletakkan kedua tangan diatas dada, ini adalah nash dari Imam Ahmad padahal beliau meriwayatkan hadits itu. (Muhammad bin Muflih al-Hanbali w. 763 H, al-Furu’, h. 2/ 169)Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah al-Hanbali (w. 751 H) menambahkan:
ويكره أن يجعلهما على الصدر، وذلك لما روى عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه نهي عن التكفير وهو وضع اليد على الصدر
Makruh meletakkan kedua tangan diatas dada, karena telah ada riwayat dari Nabi yang menyebutkan bahwa beliau mencegah takfir; yaitu meletakkan tangan diatas dada. ( Ibnu Qayyim al-Jauziyyah al-Hanbali w. 751 H, Bada’i al-Fawaid, h. 3/ 91)Hal senada juga dinyatakan oleh al-Buhuti al-Hanbali (w. 1051 H):
ويكره) جعل يديه (على صدره) نص عليه، مع أنه رواه
Makruh meletakkan tangan diatas dada, sebagaimana nash dari Imam Ahmad bin Hanbal, padahal beliau meriwayatkan haditsnya. (Manshur bin Yunus al-Buhuti al-Hanbali w. 1051 H), Kassyaf al-Qina’, h. 1/ 334).Ini adalah pendapat empat madzhab terkait dimanakah tangan diletakkan ketika shalat. Bagaimana dengan dalil-dalilnya?
SEBAB PERBEDAAN DAN DALIL-DALILNYA
Setelah kita baca pendapat para ulama terkait dimana tangan diletakkan ketika shalat, kita akan bicarakan dalil mereka. Para ulama memang berbeda dalam masalah ini. Tapi perlu dicatat, para ulama salaf yang benar-benar salaf terdahulu, tidak saling menyalahkan hasil ijtihad satu sama lain. Hal itu karena memang hukum dari bersedekap sendiri ini sunnah, boleh dilakukan boleh juga ditinggalkan.
Maka, paling tidak ada beberapa sebab perbedaan diatara para ulama; pertama terkait status keshahihan hadits, kedua terkait makna dari hadits tersebut.
Secara umum, banyak yang menyebut bahwa dalil-dalil dalam kaitan dimanakah tangan diletakkan itu haditsnya lemah.
Ibnu al-Mundzir (w. 319 H) menyebutkan:
ليس في المكان الذي يضع عليه اليد خبر يثبت، عن النبي صلى الله عليه وسلم، فإن شاء وضعهما تحت السرة، وإن شاء فوقها
Dalam kaitan dimana tangan diletakkan saat shalat, tidak ada hadits yang berstatus shahih dari Nabi. Silahkan letakkan diatas atau dibawah pusar. (Abu Bakar Muhammad bin Ibrahim bin Mundzir w. 319 H, al-Ausath fi as-Sunan wa al-Ijma’ wa al-Ikhtilaf, h. 3/ 94)Maka sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam at-Tirmidzi (w. 279 H) bahwa; ada sebagian ulama yang meletakkan diatas pusar, sebagian lain lagi dibawah pusar. Ini adalah masalah yang luas diantara mereka. (Muhammad bin Isa at-Tirmidzi w. 279 H, Sunan at-Tirmidzi, h. 2/ 32).
Kadang sebuah masalah sepele menjadi tidak sepele ditangan orang-orang sepele. Keluasan pendapat menjadi sebuah hal yang sempit bagi orang-orang yang berpemikiran sempit. Hukum fiqih yang asalnya luas dan boleh berbeda, menjadi yang berbeda pasti salah.
Dalil Masing-Masing Madzhab
Dalil Tidak Meletakkan Tangan
Dalil yang dipakai ulama yang menyatakan bahwa sunnahnya malah tidak bersedekap adalah sebuah hadits:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا قام إلى الصلاة رفع يديه حتى يحاذي منكبيه، ثم كبر، واعتدل قائما حتى يقر كل عظم في موضعه معتدلا
Rasulullah dahulu ketika shalat beliau mengangkat kedua tangannya sampai sebatas kedua bahu beliau. Lalu beliau takbur dan berdiri tegak sampai setiap tulang kembali ke tempat asalnya. (Ibn Huzaimah w. 311, Shahih Ibn Huzaimah, h. 1/ 359)Tempat asal tulang tangan tidaklah diatas dada atau dibawah pusar. Maka setelah orang itu takbir, tangan kembali ke posisi semula, artinya tidak bersedekap. Inilah penafsiran dari sebagaian ulama madzhab Maliki. Meski masih diperdebatkan kesahihan penisbatannya kepada Imam Malik bin Anas (w. 179 H).
Tapi pendapat ini dibantah dengan hadits-hadits yang shahih yang menyatakan bahwa Nabi bersedekap ketika shalat.
Dalil Meletakkan Tangan Dibawah Pusar
Dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu beliau berkata:
إِنَّ مِنَ السُّنَّةِ فِي الصَّلاَةِ وَضَعَ الْأَكُفِّ عَلَى الْأَكُفِّ تَحْتَ السُّرَّةِ
“Sesungguhnya dari Sunnah dalam sholat adalah meletakkan telapak tangan di atas telapak tangan di bawah pusar”.Diriwayatkan oleh Ahmad, h. 1/110, Abu Daud no. 756, Ibnu Abi Syaibah, h. 1/343/3945, Ad-Daraquthny, h. 1/286, Al-Maqdasy no. 771,772 dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid, h. 20/77. Dan dalam sanadnya ada rawi yang bernama ‘Abdurrahman bin Ishak Al-Wasity yang para ulama telah sepakat untuk melemahkannya sebagaimana di dalam Nashbur Rayah (Jamaluddin az-Zailaghi w. 762 H, Nushbu ar-Rayah, h. 1/314, lihat pula: an-Nawawi w. 676 H, al-Majmu’, h. 3/313).
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu beliau berkata:
وَضْعُ الْكَفِّ عَلَى الْكَفِّ فِي الصَّلاَةِ تَحْتَ السُّرَّةِ مِنَ السُّنَّةِ
“Meletakkan telapak tangan di atas telapak tangan di dalam sholat di bawah pusar adalah sunnah”.Diriwayatkan oleh Abu Daud no. 758. Dan dalam sanadnya juga terdapat ‘Abdurrahman bin Ishak Al-Wasity di atas.
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, beliau berkata:
مِنْ أَخْلاَقِ النُّبُوَّةِ وَضْعُ الْيَمِيْنِ عَلَى الشِّمَالِ تَحْتَ السُّرَّةِ
“Termasuk akhlaq-akhlaq kenabian, meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di bawah pusar”.Ibnu Hazm menyebutkannya secara Mu’allaq (tanpa sanad) dalam kitab Al-Muhalla, h. 4/157.
Hampir semua dalil pendapat ini ada kelemahannya.
Dalil Meletakkan Tangan diantara Dada dan Pusar
Hadits yang dipakai oleh Madzhab as-Syafi’iyyah adalah hadits Wa’il bin Hujr yang akan dibahas dibawah. (Abu Ishaq as-Syairazi w. 476 H, al-Muhaddzab, h. 1/ 136, lihat pula: an-Nawawi w. 676 H, al-Majmu’, h. 3/ 310).
Hanya saja, dalil itu dimaknai tidak pas diatas dada. Tetapi dibawah dada dan diatas pusar. Sebagaimana hadits lain riwayat Imam al-Baihaqi (w. 458 H):
وأخبرنا أبو زكريا بن أبي إسحاق، أنبأ الحسن بن يعقوب، ثنا يحيى بن أبي طالب، أنبأ زيد، ثنا سفيان، عن ابن جريج، عن أبي الزبير قال: " أمرني عطاء أن أسأل، سعيدا: أين تكون اليدان في الصلاة؟ فوق السرة أو أسفل من السرة؟ فسألته عنه، فقال: " فوق السرة " يعني به سعيد بن جبير وكذلك قاله أبو مجلز لاحق بن حميد وأصح أثر روي في هذا الباب أثر سعيد بن جبير وأبي مجلز
Dari Abu Zubair, dia berkata: saya diperintahkan Atha’ untuk bertanya kepada Said, dimanakah tangan diletakkan saat shalat? Diatas pusar atau dibawahnya? Maka beliau menjawab: Diatas pusar. Al-Baihaqi mengomentari: Atsar yang paling shahih pada bab ini adalah atsar dari Said bin Jubair ini. (Abu Bakar al-Baihaqi w. 458 H, as-Sunan al-Kubro, h. 2/ 47).Selanjutnya, apakah benar bahwa hadits tentang tangan diatas dada itu shahih?
Dalil Meletakkan Tangan Diatas Dada
1. Hadits Muammal bin IsmailDalam menjelaskan sifat shalat Nabi, hadits Shahabi Wa’il bin Hujr memang banyak sekali dijadikan patokan dalil oleh para ulama. Hal itu karena memang haditsnya cukup lengkap.
Wa’il bin Hujr adalah seorang shahabat Nabi dari Hadhramaut, Yaman. (Syamsuddin ad-Dzahabi w. 748 H, Siyar A’lam an-Nubala’, h. 2/ 572).
Ada komentar menarik dari Ibrahim an-Nakhai (w. 96 H) terhadap Wa’il bin Hujr terkait hadits shalat Nabi. Ibrahim an-Nakhai berkata:
قال إبراهيم النخعي لرجل روى حديث وائل بن حجر: لعل وائلا لم يصل مع النبي - صلى الله عليه وسلم - إلا تلك الصلاة
Ibrahim an-Nakhai (w. 96 H) berkata kepada seorang yang meriwayatkan hadits dari Wa’il bin Hujr: Barangkali Wa’il tidak pernah shalat bersama Nabi kecuali hanya sekali itu saja. (Abu Muhammad Abdullah Ibn Quddamah al-Maqdisi al-Hanbali w. 620 H, al-Mughni, h. 1/ 358)Tapi ini masih praduga dari Ibrahim an-Nakhai (w. 96 H) saja. Terlepas dari itu, terkait meletakkan tangan saat shalat, hadits yang cukup panjang dari seorang Shahabi Wa’il bin Hujr memang banyak yang shahih. Misalnya: dalam kitab Shahih Muslim, h. 1/ 301, Kitab Musnad Ahmad, h. 31/ 168, dan masih banyak lagi.
Tetapi dari sekian banyak riwayat itu, hampir tidak ada yang menyebutkan bahwa meletakkan tangannya adalah “diatas dada”.
Jikapun ada, maka hadits itu hanya diriwayatkan melalui jalan Muammal bin Ismail (w. 206 H). Hadits tersebut adalah:
صَلَّيْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى يَدِهِ الْيُسْرَى عَلَى صَدْرِهِ
“Saya sholat bersama Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa Sallam dan beliau meletakkan tangan kanannya atas tangan kirinya di atas dadanya”.Catatan:
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah di dalam Shohih-nya, h. 1/243 no. 479 dari jalan Abu Musa (Al-‘Anazy) dari Muammal (bin Isma’il) dari Sufyan Ats-Tsaury (w. 161 H) dari ‘Ashim bin Kulaib dari bapaknya dari Wa`il bin Hujr radhiallahu ‘anhu.Riwayat dari Muammal bin Ismail ini mempunyai catatan tersendiri. Tambahan “diatas dada” ini hanya ada pada riwayat Muammal bin Ismail saja. Dalam riwayat lain tidak disebutkan seperti itu.
Sedangkan dia menyelisihi 2 orang rawi lainnya yang meriwayatkan juga dari Sufyan ats-Tsaury; yaitu:
‘Abdullah bin Al-Walid (diriwayatkan oleh Imam Ahmad, h. 4/318)
Muhammad bin Yusuf Al-Firiyaby (Al-Mu’jamul Kabir/Ath-Thobarony no. 78).
Dan Muammal bin Ismail (w. 206 H) juga meyelisihi 10 orang rawi yang meriwayatkan dari ‘Ashim bin Kulaib, kesepuluh orang tersebut adalah:
‘Abdul Wahid bin Ziyad, diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya, h. 4/316 dari jalan Yunus bin Muhammad darinya, Imam Al-Baihaqy dalam kitab Sunan-nya, h. 2/72 dari jalan Abul Hasan ‘Ali bin Ahmad bin ‘Abdan dari Ahmad bin ‘Ubeid Ash-Shoffar dari ‘Utsman bin ‘Umar Adh-Dhobby dari Musaddad darinya.
‘Abdullah bin Idris, diriwayatkan oleh Ibnu Hibban di dalam Shohih-nya (Al-Ihsan 3/308/hadits no. 1936) dari jalan Muhammad bin ‘Umar bin Yusuf dari Sallam bin Junadah darinya (‘Abdullah bin Idris).
Abu ‘Awanah, diriwayatkan oleh Imam Ath-Thobarany dalam kitab Al-Mu’jamul Kabir, 22/34/90 dari 2 jalan ; Dari jalan ‘Ali bin ‘Abdil ‘Aziz dari Hajjaj bin Minhal darinya, dan dari jalan Al-Miqdam bin Daud dari Asad bin Musa darinya.
Bisyr bin Al-Mufadhdhol, diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, dalam Sunan-nya, h. 1/456 no. 726, 1/578 no. 957 dari jalan Musaddad darinya (Bisyr bin Al-Mufadhdhol) dan An-Nasa`i dalam Sunan-nya, h. 3/35 hadits no. 1265 dari jalan Isma’il bin Mas’ud darinya.
Ghailan bin Jami’, diriwayatkan oleh Ath-Thobarany, h. 22/34/88 dari jalan Al-Hasan bin ‘Alil Al-‘Anazy dan Muhammad bin Yahya bin Mandah Al-Ashbahany dari Abu Kuraib dari Yahya bin Ya’la dari ayahnya darinya.
Kholid bin Abdullah Ath-Thohhan, diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqy dalam Sunan-nya, h. 2/131 dari 2 jalan; yaitu dari jalan Abu Sa’id Muhammad bin Ya’qub Ats-Tsaqofy dari Muhammad bin Ayyub dari Musaddad darinya, dan dari jalan Abu ‘Abdillah Al-Hafizh dari ‘Ali bin Himsyadz dari Muhammad bin Ayyub dan seterusnya seperti jalan di atas.
Qois Ar-Robi’, diriwayatkan oleh Ath-Thobarany dalam kitab Al-Mu’jamul Kabir, h. 22/34/79 dari jalan Al-Miqdam bin Daud dari Asad bin Musa darinya.
Sallam bin Sulaim Abul Ahwash, diriwayatkan oleh: Imam Abu Daud Ath-Thoyalisy di dalam Musnad-nya, h. 137/hadits 1060 darinya dan Ath-Thobrany (Al-Mu’jamul Kabir 22/34/80) dari jalan Al-Miqdam bin Daud dari Asad bin Musa darinya.
Zaidah bin Qudamah, diriwayatkan oleh Imam Ahmad, h. 4/318 dari jalan ‘Abdushshomad darinya.
Zuhair bin Mu’awiyah diriwayatkan oleh Imam Ahmad, h. 4/318 dari jalan Aswad bin ‘Amir darinya dan Ath-Thobarany di dalam Al-Mu’jamul Kabir, 22/26/84 dari jalan ‘Ali bin ‘Abdul ‘Aziz dari Abu Ghossan Malik bin Isma’il darinya.
Jadi, hanya riwayat dari jalan Muammal bin Ismail (w. 206 H) saja yang ada tambahan “diatas dada” dan menyelisihi matan hadits dari jalan lain yang lebih tsiqah.
Muammal bin Isma’il (w. 206 H) sendiri adalah rowi yang dikritisi hafalannya. Al-Hafizh Ibnu Hajar (w. 852 H) dalam kitab Taqrib at-Tahdzib memberikan kesimpulan: “Shoduqun Sayyi`ul Hifzh”; seorang yang shaduq tetapi hafalannya jelek. (Ibnu Hajar al-Asqalani w. 852 H, Taqrib at-Tahdzib, h. 555)
Ibnu at-Turkumani (w. 750 H) menyebutkan alasan Muammal bin Ismail (w. 206 H) ini banyak salah dalam meriwayatkan hadits, karena kitab-kitabnya dikubur. Maka dia meriwayatkan hanya berdasarkan hafalannya saja. Padahal hafalannya lemah, maka dia banyak salahnya. (Ibnu at-Turkumani w. 750 H, al-Jauhar an-Naqiy, h. 2/ 30)
Ada jalan lain bagi hadits Wa`il bin Hujr ini yaitu diriwayatkan oleh Al-Baihaqy dalam Sunan-nya, h.2/30 dari jalan Muhammad bin Hujr Al-Hadhromy dari Sa’id bin ‘Abdil Jabbar bin Wa`il dari ayahnya dari ibunya dari Wa`il bin Hujr.
Tetapi terdapat beberapa kelemahan didalamnya. Diantaranya Muhammad bin Hujr lemah haditsnya, bahkan Imam Adz-Dzhaby (w. 748 H) dalam kitab Mizan al-I’tidal, h. 3/ 511 mengatakan: “Lahu manakir (Meriwayatkan hadits-hadits mungkar)”.
Sa’id bin ‘Abdul Jabbar di dalam kitab At-Taqrib disebutkan bahwa ia adalah rawi dho’if, sebagaimana disebutkan oleh al-Hafidz al-Mizzi (w. 742 H) dalam kitab Tahdzib al-Kamal, h. 10/ 522. Selain itu, Ibnu Turkumany (w. 750 H) mengomentari Ibu dari Abdil Jabbar dalam kitabnya Al-Jauhar An-Naqy, h. 2/ 30: “Saya tidak tahu keadaan dan namanya”.
Kesimpulan:
Hadits yang menunjukkan bahwa tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri pada dada adalah lemah dari seluruh jalannya dan tidak bisa saling menguatkan. Wallahu A’lam.2. Hadits Yahya bin Said dari Hulb at-Thai’y:
حدَّثنا يحيى بن سعيد، عن سفيان، ثنا سِماك، عن قبيصة بن هلب، عن أبيه، قال: رأيتُ رسولَ الله -صلى الله عليْه وسلَّم- ينصرِف عن يَمينِه وعن يساره، ورأيتُه يضَع هذه على صدره
“Saya melihat Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wasallam meletakkan ini (tangannya) di atas dadanya”.Qobishoh bin Hulb, meskipun mendapatkan tautsiq dari sebagian ulama, tetapi tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Simak bin Harab. Imam Ibnu Hajar (w. 852 H) berkata di dalam At-Taqrib : “Maqbul”, artinya riwayatnya bisa diterima kalau ada pendukungnya, kalau tidak ada maka riwayatnya lemah.
Tetapi riwayat yang hasan tersebut tanpa ada tambahan lafazh: “Meletakkan tangannya di atas dada”.
Catatan:
Hadits ini dikeluarkan oleh Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya (5/226) dan Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 434, dari jalan Yahya bin Sa’id Al-Qoththon dari Sufyan Ats-Tsaury dari Simak bin Harb dari Qobishoh bin Hulb dari Hulb.Hadits ini diriwayatkan dari Hulb Ath-Tho’iy oleh anaknya Qobishoh dan dari Qobishoh hanya oleh Simak bin Harb selanjutnya dari Simak bin Harb diriwayatkan oleh 6 orang, yaitu:
Sufyan Ats-Tsaury, akan disebutkan takhrijnya.
Abul Ahwash, diriwayatkan oleh At-Tirmidzy no. 252, Ibnu Majah no. 809, Ahmad 5/227, ‘Abdullah bin Ahmad dalam Zawa`id Al-Musnad 5/227, Ath-Thobrony 22/165/424, Al-Baghawy 3/31 dan Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq.
Syu’bah bin Al-Hajjaj, diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim dalam Al-Ahad wal Matsany no. 2495 dan Ath-Thobarany 22/163/416.
Syarik bin ‘Abdillah, diriwayatkan oleh Ahmad 5/226, Ibnu Abi ‘Ashim dalam Al-Ahad wal Matsanyno. 2493, Ibnu Qoni’ dalam Mu’jam Ash-Shohabah 3/198, Ath-Thobarony 22/16/426 dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid 20/73
Asbath bin Nashr, diriwayatkan oleh Ath-Thobarany 22/165/422.
Hafsh bin Jami’, diriwayatkan oleh Ath-Thobarany 22/165/423.
Za`idah bin Qudamah, diriwayatkan oleh Ibnu Qoni’ dalam Mu’jam Ash-Shohabah 3/198.
Dari ketujuh orang ini tidak ada yang meriwayatkan lafazh: “meletakkan ini atas yang ini, di atas dadanya” kecuali riwayat Yahya bin Sa’id Al-Qoththon dari Sufyan Ats-Tsaury, yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad, h. 5/226 dan Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 434.
Selain itu, dari Qabishah hanya Simak bin Harb yang meriwayatkan hadits ini. Meskipun banyak ulama yang mengatakan tsiqah Simak bin Harb; seperti Abu Hatim, Ibnu Ma’in, tetapi Imam an-Nasa’i berkata:
قَالَ أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ النَّسَائِيُّ: إِذَا انْفردَ سِمَاكٌ بِأصلٍ لَمْ يَكُنْ حُجّةً
Abu Abdirrahman an-Nasai berkata: Ketiak Simak bin Harb menyendiri dalam sebuah hukum asal, maka dia tidak bisa menjadi hujjah. (Syamsuddin ad-Dzahabi w. 748 H, Siyar A’lam an-Nubala’, h. 5/ 248)Yahya bin Sa’id Al-Qoththon juga bersendirian dalam meriwayatkan lafazh tersebut dan menyelisihi 5 rowi tsiqoh lainnya dari Sufyan Ats-Tsaury, dimana ke-5 orang tersebut meriwayatkan hadits ini tanpa tambahan lafazh: “Meletakkannya di atas dada”. Dan ke-5 rowi tersebut adalah:
Waki’ bin Jarrah diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 1/342/3934, Ahmad 5/226, 227, Ibnu Abi ‘Ashim no. 2494, Ad-Daraquthny 1/285, Al-Baihaqy 2/29, Al-Baghawy 3/32 dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam AT-Tamhid 20/74.
Abdurrahman bin Mahdy diriwayatkan oleh Ad-Daraquthny 1/285.
‘Abdurrazzaq dalam Al-Mushonnaf 2/240/3207 dan dari jalannya Ath-Thobarany 22/163/415
Muhammad bin Katsir diriwayatkan oleh Ath-Thobarany 22/165/421.
Al-Husain bin Hafsh diriwayatkan oleh Al-Baihaqy 2/295.
Kesimpulan:
Yahya bin Sa’id bersendirian dalam meriwayatkan lafazh: “meletakkan ini atas yang ini, di atas dadanya”, dan menyelisihi 6 orang lainnya dari Sufyan Ats-Tsaury dan menyelisihi Ashab (baca: murid-murid) Simak bin Harb yang lainnya seperti: Za`idah bin Qudamah, Syu’bah, Abul Ahwash, Asbath bin Nashr, Syarik bin ‘Abdillah dan Hafsh bin Jami’.
Perlu diketahui juga, Yahya bin Said al-Qathan dalam fiqih malah mengikuti Madzhab Hanafi. Az-Zirikly (w. 1396 H) menyatakan:
يحيى بن سعيد بن فروخ القطان التميمي، أبو سعيد: من حفاظ الحديث، ثقة حجة. من أقران مالك وشعبة، من أهل البصرة. كان يفتي بقول أبي حنيفة
Yahya bin Said seorang yang hafidz, tsiqah. Sezaman dengan Imam Malik dan Syu’bah dari Bashrah. Beliau berfatwa dengan pendapatnya Imam Abu Hanifah (Khoiruddin az-Zirikly, al-A’lam, h. 8/ 147, lihat pula: Syamsuddin ad-Dzahabi w. 748 H, Siyar A’lam an-Nubala’, h. 9/ 176)Madzhab Abu Hanifah dalam hal ini meletakkanya dibawah pusar. Ditambah lagi, Sufyan at-Tsauri dalam masalah ini juga mengikuti Madzhab Hanafi yaitu dibawah pusar. (Abu Bakar Muhammad bin Ibrahim bin Mundzir w. 319 H, al-Ausath fi as-Sunan wa al-Ijma’ wa al-Ikhtilaf, h. 3/ 94).
Maka jelaslah bahwa riwayat tersebut terdapat kesalahan sehingga riwayat tersebut dihukumi sebagai riwayat yang Syadz (ganjil) atau Mudraj. Tapi kami tidak bisa menentukan dari mana asal kesalahan ini dan kepada siapa ditumpukan. Wallahu A’lam.
3. Dalil ketiga, hadits Mursal Thawus bin Kaisan (w. 101 H), dia berkata:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَضَعُ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى يَدِهِ الْيُسْرَى ثُمَّ يَشُدُّ بَيْنَهُمَا عَلَى صَدْرِهِ وَهُوَ فِي الصَّلاَةِ
“Adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wasallam beliau meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya kemudian mengeratkannya di atas dadanya dan beliau dalam keadaan Sholat”.Catatan:
Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Daud di dalam kitabnya As-Sunan, h. 2/ 71 no. 759 dan dalam Al-Marasil, h. 85 dari jalan Abu Taubah dari Al-Haitsam bin Humaid dari Tsaur bin Zaid dari Sulaiman bin Musa dari Thowus. Dan sanadnya shohih kepada Thowus tapi haditsnya mursal dan mursal bagian dari hadits yang lemah. Kecuali jika memang ada riwayat lain yang bisa menguatkannya.4. Hadits ‘Ali bin Abi Thalib tentang firman Allah:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah”. (QS. Al-Kautsar: 2)Ali bin Abi Thalib disebutkan pernah berkata:
وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى وَسَطِ سَاعِدِهِ الْيُسْرَى ثُمَّ وَضَعَهُمَا عَلَى صَدْرِهِ فِي الصَّلاَةِ
“Beliau meletakkan tangan kanannya di atas sa’id (setengah jarak pertama dari pergelangan ke siku) tangan kirinya, kemudian meletakkan keduanya di atas dadanya di dalam sholat”.Atsar ini dikeluarkan oleh: Ibnu Jarir dalam Tafsir-nya, h. 30/326, Al-Bukhary dalam Tarikh-nya, h. 3/2/437 dan Al-Baihaqy, dalam Sunan-nya, h. 2/30.
Catatan:
Ibnu Katsir (w. 774 H) dalam Tafsirnya mengatakan: “Tidak benar (atsar) ini diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Tholib”. (Ibnu Katsir ad-Dimasyqi w. 774 H, Tafsir Ibnu Katsir, h. 8/ 503).Ibnu Turkumany (w. 750 H) dalam Al-Jauhar An-Naqy berkomentar: “Di dalam sanad dan matannya ada kontradiksi”. (Ibnu at-Turkumany w. 750 H, al-Jauhar an-Naqiy, h. 2/ 30)
Berikut ini rincian lemah dan kontradiksinya atsar ini:
Atsar ini telah diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf, h. 1/343, Ad-Daraquthny, h. 1/285, Al-Hakim, h. 2/586, Al-Baihaqy, h. 2/29, Al-Maqdasy dalam Al-Mukhtaroh no. 673, dan Al-Khatib dalam Mudhih Auham Al-Jama’ wa At-Tafriq 2/340.
Semuanya tidak ada yang menyebutkan kalimat: “di atas dada”, bahkan riwayat Ibnu ‘Abdil Barr (w. 463 H) dalam At-Tamhid malahan dengan lafazh: “di bawah pusar”. (Ibnu Abdil Barr w. 463 H, at-Tamhid, h. 20/ 78)
Sandaran atsar ini pada seorang rawi yang bernama ‘Ashim bin Al-‘Ujaj Al-Jahdary. Dan dari biografinya bisa disimpulkan bahwa ia adalah seorang rawi yang maqbul
‘Ashim ini kontradiktif dalam meriwayatkan hadits ini. Kadang dia meriwayatkan dari ‘Uqbah bin Zhohir, kadang dari ‘Uqbah bin Zhobyan, kadang dari ‘Uqbah bin Shohban dan kadang dari ayahnya dari ‘Uqbah bin Zhobyan. (ad-Daraquthni w. 385 H, ‘Ilal, h. 4/98-99).
Maka atsar ini adalah lemah. Ibnu Katsir (w. 774 H) juga menyebutkan dalam tafsirnya bahwa atsar ini menyelisihi kebanyakan Mufassirin (Ibnu Katsir ad-Dimasyqi w. 774 H, Tafsir Ibnu Katsir, h. 8/ 503).
Dari paparan beberapa dalil diatas, bisa dikatakan tidak ada hadits yang tsabit dari Nabi terkait dimana tangan diletakkan. Selanjutnya kita akan bicarakan beberapa kurang tepatan penisbatan pendapat dalam bab ini. Dalam tulisan: ...
BENARKAH ISHAQ BIN RAHAWAH MELETAKKAN TANGAN DI DADA SAAT SHALAT
Sufyan at-Tsauri (w. 161 H) Tidak Meletakkan Tangan Diatas Dada
Sufyan at-Tsauri (w. 161 H) adalah termasuk salah satu rawi yang meriwayatkan hadits daitas dada. Tetapi malah Ibnu al-Mundzir (w. 319 H) menyebutkan:
عن أبي هريرة، قال: «من السنة أن يضع الرجل يده اليمنى على اليسرى تحت السرة في الصلاة» وبه قال سفيان الثوري، وإسحاق
Dari Abu Hurairah mengatakan: Termasuk sunnah adalah meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri dibawah pusar saat shalat. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Sufyan as-Tsauri dan Ishaq (Abu Bakar Muhammad bin Ibrahim bin Mundzir w. 319 H, al-Ausath fi as-Sunan wa al-Ijma’ wa al-Ikhtilaf, h. 3/ 94).Kekurang Tepatan Tafsir al-Albani (w. 1420 H) Terhadap Perbuatan Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H)
Bisa dikatakan tokoh kontemporer yang cukup dianut dalam kaitan meletakkan tangan diatas dada adalah Muhammad Nashiruddin al-Albani (w. 1420 H). Hal itu bisa dilacak dalam kitabnya Sifat Shalat Nabi dan kitab Irwa’ al-Ghalil.
Bahkan dalam kitab Irwa’ al-Ghalil, beliau berani memastikan bahwa yang “shahih” dari Nabi adalah meletakkan tangan diatas dada.
Pernyataan beliau adalah:
والذى صح عنه صلى الله عليه وآله وسلم فى موضع وضع اليدين إنما هو الصدر, وفى ذلك أحاديث كثيرة أوردتها فى تخريج صفة الصلاة
Yang shahih dari Nabi adalah meletakkan tangan diatas dada. Hal ini didasari dari hadits-hadits yang banyak yang telah saya sampaikan dalam kitab takhrij sifat shalat Nabi. (al-Albani w. 1420 H, Irwa’ al-Ghalil, h. 2/ 70)Kita dapati al-Albani (w. 1420 H) dengan cukup yakin menyatakan bahwa inilah sifat shalatnya Nabi. Darimanakah keyakinan itu dibangun?
Menurut al-Albani (w. 1420 H), salah satu ulama yang paling mengamalkan sunnah Nabi ini adalah Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H). Al-Albani (w. 1420 H) berargumentasi dan berujar:
وأسعد الناس بهذه السنة الصحيحة الإمام إسحاق بن راهويه, فقد ذكر المروزى فى " المسائل " (ص 222) : " كان إسحاق يوترُ بنا ... ويرفع يديه فى القنوت ويقنت قبل الركوع، ويضع يديه على ثدييه، أو تحت الثديين "
“Orang yang paling bahagia mengamalkan sunnah yang “shahih” ini adalah Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H). Al-Maruzi dalam kitabnya al-Masail menyebutkan: Ishaq suatu ketika pernah shalat witir bersama kami. Lalu beliau mengengkat tangannya ketika qunut, beliau qunut sebelum ruku’. Beliau meletakkan kedua tangannya diatas kedua susunya, atau dibawah susunya..”(al-Albani w. 1420 H, Irwa’ al-Ghalil, h. 2/ 70)Disini al-Albani (w. 1420 H) cukup provokatif dengan mengatakan bahwa "sunnah yang shahih" terkait meletakkan tangan diatas dada ini telah dilakukan oleh Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H).
Apakah benar seperti itu?
Pertama, tidak tepat jika pernyataan al-Maruzi al-Hanbali (w. 251 H) dipakai sebagai dalil bahwa Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H) meletakkan tangan diatas dada ketika shalat. Karena al-Maruzi (w. 251 H) dalam hal ini, sedang membicarakan tentang mengangkat tangan ketika doa qunut di bulan Ramadhan. Lebih jelasnya kita baca secara lengkap pernyataan al-Maruzi (w. 251 H) dalam kitab al-Masail:
وكان إسحاق يرى قضاء الوتر بعد الصبح ما لم يصل الفجر، ويرفع يديه في القنوت الشهر كله، ويقنت قبل الركوع، ويضع يديه على ثدييه أو تحت الثديين
Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H) berpendapat bahwa seorang boleh qadha’ shalat witir setelah masuknya waktu shubuh, asalkan belum shalat shubuh. Doa qunut itu dengan mengangkat kedua tangan sebulan penuh (Bulan Ramadhan), beliau qunut sebelum ruku’. Beliau meletakkan tangannya diatas kedua susu atau dibawahnya. (Ishaq bin Manshur al-Maruzi al-Kausaj w. 251 H, Masa’il al-Imam Ahmad wa Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H), h. 9/ 4851)Jadi maksud meletakkan tangan diatas kedua susu yang dilakukan oleh Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H) adalah mengangkat tangan setinggi kedua susu/ dada saat doa qunut. Maka istidlal al-Albani (w. 1420 H) dengan apa yang dilakukan oleh Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H) adalah kurang tepat dan cenderung dipaksa-paksakan.
Kedua, masih dalam kitab yang sama, bahkan al-Maruzi (w. 251 H) malah menyatakan bahwa pendapat Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H) tidak seperti yang dinyatakan oleh al-Albani (w. 1420 H). al-Maruzi (w. 251 H) menuliskan:
قال إسحاق: كما قال تحت السرة أقوى في الحديث وأقرب إلى التواضع
Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H) berkata: (meletakkan tangan saat shalat) dibawah pusar itu lebih kuat secara hadits dan lebih dekat kepada tawadhu’. (Ishaq bin Manshur al-Maruzi al-Kausaj w. 251 H, Masa’il al-Imam Ahmad wa Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H), h. 2/ 552)Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H) malah berpendapat bahwa meletakkan tangan dibawah pusar itu yang lebih kuat secara dalil hadits, bukan seperti yang dinyatakan oleh al-Albani (w. 1420 H). Hal ini senada dan cocok dengan apa yang diungkapkan oleh Ibnu al-Mundzir an-Naisaburi (w. 319 H). (Abu Bakar Muhammad bin Ibrahim bin Mundzir w. 319 H, al-Ausath fi as-Sunan wa al-Ijma’ wa al-Ikhtilaf, h. 3/ 94).
Maka, pernyataan bahwa Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H) telah mengamalkan "sunnah shahihah"; meletakkan tangan di dada saat shalat ini kuranglah tepat.
Ta’ashub antara Fiqih Madzhabi dan Fiqih non-Madzhabi
Ada hal lain yang kita bisa simpulkan disini. Dalam belajar fiqih madzhabi, kita dituntut untuk menghormati pendapat madzhab lain, jika memang perbedaan pendapat itu disertai dalil. Perbedaan antar madzhab tidak menjadikan perpecahan diantara mereka. Dan mereka tidak ta’ashub terhadap pendapat pribadinya.
Justru sebaliknya, fiqih non-madzhabi mencoba menghilangkan perbedaan-perbedaan pandangan itu. Lantas mengajak pandangan lain untuk meyakini kebenaran pendapatnya sendiri. Bukankah itu namanya ainu at-ta’asshub; sejatinya ta’ashub. Disini kita bisa lihat, sebenarnya siapakah yang lebih ta’ashub?
Kesimpulan:
Beberapa hal yang kita bisa simpulkan adalah:Bersedekap dalam shalat hukumnya sunnah, tetapi dalil yang ada, yang lebih shahih adalah dalil bersedekap. Hal ini adalah pendapat dari jumhur ulama
Adapun terkait dimana tangan diletakkan ketika sedekap, para ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan dibawah pusar, diatas pusar dibawah dada dan ada yang di dada.
Jika memang meyakini bahwa salah satu tempat bersedekap itu lebih shahih secara dalil, silahkan dilakukan.
waAllahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar