Shalat Berjamaah Lebih Utama 25 dan 27 Derajat
Keutamaan Shalat Berjamaah 25 Derajat
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Abdul A’la dari Ma’mar dari Az Zuhri dari Sa’id bin Musayyab dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:
(HR. Muslim no.1035, Bukhari no.457, Ahmad no.9769)
Keutamaan Shalat Berjamaah 27 Derajat
(HR. Muslim no.1039, Ahmad no.4441, Nasa’I no.828)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Kami belum mengerti secara penuh terkait keutamaan salat berjamaah 27 derajat. Apa sebenarnya maksud dari hadis tersebut?
Jawaban:
Rasulullah Saw sangat menganjurkan salat berjamaah diantaranya melalui sabdanya bahwa berjamaah lebih utama daripada salat sendiri dengan keutamaan 27 derajat, dalam riwayat lain 25 derajat, kedua hadis tersebut sahih. Maksud hadis tersebut adalah:
Sering pula ditanyakan mengapa 25 atau 27 derajat, bukan 100 derajat misalnya. Ibnu Baththal menjawab:
27 Derajat untuk Salat Berjamaah
Tulisan ini terinspirasi oleh ekspresi sebagian orang menandai hari dan waktu kepergian almarhum Gus Dur, pimpinan organisasi NU yang berlambangkan 9 bintang. Kemarin, Jumat (1/1/10) beredar SMS tentang hari wafatnya Gus Dur, yang kalau dirangkai akan menjadi ajaib. SMS itu bertuliskan begini: "Asmaul Husna ada 99. 9 adalah angka yang sangat luar biasa rahasianya. Penuh makna, Masya Allah... Gus Dur wafat jam 18.45 tanggal 30 bulan 12 tahun 09.
Kalau semua diamati, semua angka tersebut jika dikalikan dengan angka itu sendiri, jumlah adalah 9. 18 x 18= 324 = 3 + 2 + 4 = 9 45 x 45= 2025 = 2 + 0 + 2 + 5 = 9 30 x 30= 900 = 9 + 0 + 0 = 9 12 x 12= 144 = 1 + 4 + 4 = 9 18 x 45 x 30 x 12 x 09 = 2624400 = 2 + 6 + 2 + 4 + 4 + 0 + 0 = 18 = 1 + 8 = 9 Ada apa dengan jam 18.45? Lihat Qs. Al-Kahfi (18):45, ibaratkan air hujan yang turun dari langit dan memberi kesejukan atau perdamaian di bumi. Lalu kembali ke sisi Allah dengan kuasa-Nya.[bar/ims] Memandangkan nilai bilangan angka-angka intermezo di atas, tidak sedikit di antara kita yang tidak mengambil berat terhadap rahasia yang ada di sebalik bilangan angka-angka, padahal Nabi s.a.w di dalam hadis-hadisnya sering sekali menyatakan bilangan-bilangan tertentu walau tanpa menjelaskan lebih rinci apa makna bilangan-bilangan itu, seperti bilangan 40, 33, 27, dst. Dalam tulisan kali ini saya tertarik untuk sekedar utak-atik matuk ke atas bilangan 27 keutamaan salat berjamaan, bukan karena 2 + 7 = 9, tetapi karena bersesuaiannya dengan surah al-naml sebagai surah yang ke 27 dalam al-Qur'an, utamanya ayat yang ke 18 Dasar Normatif “Dan dirikanlah shalat dan tunaikan zakat serta ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.” (Al Baqarah:43) Dalam shahih Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Saya sangat ingin agar ada yang memimpin pelaksanaan shalat, kemudian saya pergi bersama beberapa orang sambil membawa kayu bakar mendatangi rumah-rumah orang yang tidak mengikuti shalat berjama’ah, kemudian kubakar rumah mereka.” Dalam sebuah hadist Rasulullah s.a.w. bersabda "Shalat Jamaah lebih utama dua puluh tujuh kali dibanding shalat sendiri" (H.R. Bukhari Muslim dll.).
Dalam riwayat Utsman Rasulullah s.a.w. bersabda "Barang siapa shalat Isya' dengan berjamaah, maka ia seperti mendirikan shalat selama setengah malam, barangsiapa shalat Subuh berjamaah, maka ia laksana shalat semalam suntuk" (H.R. Muslim dll.) Dari Aisyah r.a. Rasulullah s.a.w. "Barangsiapa mendirikan shalat Isya' dengan berjamaah, maka ia bagaikan melaksanakan shalat separuh malam; dan barangsiapa shalat shubuh berjamaah maka ia seperti mengerjakan shalat semalam suntuk.” (HR. Muslim). Hukum shalat Jamaah menurut mazhab Syafi'i: Fardlu kifayah, yaitu apabila tidak ada seorang pun yang mendirikan jamaah dalam satu kampung, maka seluruh kampung mendapatakn dosa. Mazhab Hanbali bahkan mengatakan shalat jamaah adalah fardlu ain, wajib bagi setiap muslim, karena kuat dan banyaknya dalil yang memerintahkan shalat jamaah. Mazhab Hanafi dan Maliki mengatakan shalat jamaah selain shalat jum'ah hukumnya sunnah mu'akkadah. Memang, utamanya shalat fardlu dilakukan secara berjamaah di masjid. Dalam sebuah hadist Rasulullah bersabda "Wahai umatku, shalatlah di rumah-rumah kalian, karena yang paling utama shalat seseorang adalah di rumahnya, kecuali shalat fardlu" (H.R. Bukhari Muslim).
Mereka yang menemukan takbiratul ihram bersama imam dalam shalat fardlu sangat besar pahalanya, seperti dalam sebuah hadist dikatakan "Barang siapa mendirikan shalat selama 40 hari dengan berjamaah, dengan mendapatkan takbiratul ihram bersama imam, maka ia akan dibebaskan dari dua perkara, yaitu dari neraka dan dari kemunafikan" (H.R. Tirmidzi). Semakin banyak jumlah peserta jamaah, semakin utama pula pahala jamaah, sebagaimana sebuah hadist menjelaskan "Shalat seseorang bersama seorang lebih utama dari shalat sendiri, dan shalat bersama dua orang lebih utama dari shalat bersama seorang, semakin banyak mereka berjamaah semakin dicintai Allah" (H.R. Ahmad, Abu Dawud).
Tentu shalat jamaah di masjid lebih banyak jamaahnya dibandingkan dengan di rumah. Hanya saja kalau repot, shalat berjamaah di rumah juga tetap sah, apalagi dengan tujuan agar isteri bisa ikut berjamaah. Bila suasana longgar dan tidak merepotkan, suami bisa bersama-sama isteri ke masjid ikut berjamaah. Sebaliknya bila kondisi tidak mendukung suami cukup berjamaah di rumah, pahalanya, insya Allah sama, 27 kali lebih utama dibanding shalat sendiri, hanya beda kualitasnya. Insya Allah dengan begitu seorang suami juga akan merasakan dua kenikmatan sekaligus, yaitu kenikmatan merasakan masjid sebagai rumah dan kenikmatan merasakan rumah sebagai masjid. Hikmah dan Keutamaan Sholat Berjamaah Di antara rahasia fadhilah shalat berjamaah di masjid itu adalah: Sebelum berjalan ke masjid, ketika seseorang berwudhu' di rumahnya, bukan berwudhu' di masjid, dia telah mendapatkan pahala atas wudhu'nya. Ketika dia memakai pakaian dan wewangian dengan niat karena akan masuk masjid, maka dia akan mendapat pahala tersendiri. Karena Allah SWT telah memerintahkan agar seseorang berhias setiap masuk masjid. Ketika seseorang berjalan ke masjid dengan melangkahkan kaki, maka tiap langkah kakinya itu mendapatkan kebaikan tersendiri yang mendatangkan pahala. Ketika masuk masjid, seseorang akan mendapat pahala bila membaca doa masuk masjid. Masih ketika masuk masjid, dia juga akan mendapatkan pahala ketika melangkah dengan kaki kanannya. Begitu masuk masjid, seseorang akan mendapat kesempatan mendapatkan pahala dari shalat tahiyatul masjid. Kemudian ketika seseorang duduk di masjid sambil menunggu datangnya waktu shalat, dia sudah terbilang melakukan i'tikaf bila dia meniatkannya. Menurut mazhab As-syafi'iyah, i'tikaf bisa dilakukan asalkan dengan niat dan berdiam di masjid, meski hanya sesaat saja. Begitu adzan berkumandang, dia juga akan mendapatkan kesempatan mendapatkan pahala tersendiri dengan mendengarkan adzan dan menjawabnya. Apalagi bila dia sendiri yang melakukan adzan. Setelah mendengar adzan, dia akan mendapatkan kesempatan mendapatkan kebaikan lagi ketika membaca doa setelah adzan. Selesai doa adzan, dia akan mendapatkan lagi kesempatan mendapat pahala dengan shalat sunnah qabliyah. Setelah iqamat didengungkan, lalu imam mengatur barisan, dia akan mendapatkan pahala lagi bila ikut memperhatikan imam dan mengatur barisannya agar lurus dan rapat. Pada saat shalat jamaah dilaksanakan, dia akan mengikuti semua gerakan imam dengan baik. Kalau imam berdiri, maka dia berdiri, kalau imam rukuk, maka dia rukuk, kalau imam sujud maka dia ikut sujud. Semua tindakannya mengikuti imam itusudah mendatangkan pahala tersendiri. Ketika imam sampai pada bacaan "waladhdhaallin", maka dia menjawab, "amiin." Jawaban itu mendatangkan pahala tersendiri. Dia juga akan mendapatkan pahala tersendiri ketika mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri, dibandingkan saat shalat sendirian di rumah, atau berjamaah di rumah. Karena salam itu doa untuk orang yang di kanan dan kirinya. Dan karena di masjid jumlah jamaahnya lebih banyak, maka doa yang akan diterimanya jauh lebih banyak. Selesai shalat wajib, dia akan mendapatkan pahala lagi bila membaca beberapa lafadz dzikir atau doa. Kemudian kesempatan berikutnya lagi adalah ketika dia melakukan shalat sunnah ba'diyah shalat. Di dalam masjid, dia tentu akan bertemu dengan banyak jamaah shalat lainnya. Ketika bertemu dan memberi salam, dia akan mendapatkan pahala tersendiri. Sambil memberi salam, apabila dia juga berjabat tangan, maka dia pun akan mendapatkan pahala tersendiri. Senyumnya kepada sesama saudaranya adalah sedekah. Dan ini akan menambahlagi kesempatannya untuk mendapatkan pahala. Ketika hendak berpisah dengan sesama jamaah di masjid, maka dia akan mendapat pahala bila mengucapkan salam atau membalas salam. Dia juga akan mendapatkan pahala bila diikuti dengan berjabat tangan ketika akan berpisah dengan sesama muslim. Ketika pulang dari masjid, dia membaca doa keluar masjid. Hal itu menambah lagi pahalanya. Di masjid terbuka kesempatan untuk berinfaq, maka bila dia memanfaatkan kesempatan itu, dia akan mendapatkan pahala tersendiri dari berinfaq. Di dalam masjid seringkali digelar khutbah atau majelis ilmu (kultum). Bila dia mendengarkan nasehat dan penyampaian ilmu dengan niat menjalankan perintah Allah SWT dan karena menuntut ilmu itu wajib hukumnya, maka dia akan mendapatkan kebaikan tersendiri. Ketika keluar, dia melangkah dengan kaki kirinya. Satu lagi tambahan pahala akan didapatnya. Ketika pulang, dia mengambil jalan lain yang tidak sama dengan jalan yang dilewati saat pergi ke masjid. Ini adalah sunnah Rasulullah SAW yang tentu mendatangkan pahala tersendiri. Setiap langkah kaki saat pulang dari masjid, maka dia akan mendapatkan pahala lain tersendiri. Sebanyak 27 butir-buitr kesempatan memetik pahala sebagaimana diisebutkan di atas bukan didapat dari nash yang sharih dan menyatu, melainkan dari berbagai dalil yang berserak-serak, kemudian dikumpulkan. Tentu saja jumlahnya tidak hanya 27 bagian saja, pasti akan ada lebih banyak lagi. Uraian di atas hanya sekedar memberikan contoh salah satu versi ijtihad pada ulama ketika menguraikan rahasia mengapa shalat berjamaah di masjid lebih utama dari shalat yang lainnya. Tentu saja tidak semua orang yang shalat di masjid berjamaah akan mendapatkan semua kesempatan itu. Sebab tidak semuanya melakukan hal-hal di atas. Sejak pertama kali shalat disyari’atkan, Rasulullah Saw. senantiasa melaksanakannya secara berjamaah. Rasulullah Saw. bukan hanya menginginkan kita untuk mendapatkan pahala lebih ketika melaksanakan shalat berjamaah, melainkan juga berbagai manfaat lain, di antaranya: -Meningkatkan kualitas shalat dan peluang diterima Allah lebih besar dibandingkan munfarid; -Melatih ketahanan mental dan menyelamatkan dari sifat munafik; -Membantu dalam menemukan solusi ketika sedang menghadai persoalan hidup; -Menumbuhkan loyalitas dan solidaritas. -Melatih kedisiplinan Barangkali tidak berlebihan sekiranya kita kaitkan antara berbagai manfaat di atas dengan bilangan angka 27 derajat keutamaan salat berjamaah. Makna 27 Derajat Keutamaan Salat Berjamaah Hadits Nabi SAW yang menyatakan keutamaan shalat berjamaah sebesar 27 derajat dibandingkan dengan shalat sendirian, bermakna nilai-nilai keutamaan yang sangat besar. Dua puluh tujuh derajat berbeda dengan 27 kali. Kalau hanya 27 kali lipat, berarti sama dengan orang yang melaksanakan shalat sendirian sebanyak 27 kali. 'Maknanya justru lebih dalam lagi dari hanya sekadar 27 kali. Jadi makna 27 derajat itu maksudnya keutamaan, bukan kelipatan. Sedangkan hadits Nabi SAW yang lebih kuat sanadnya (shahih) dalam menerangkan keutamaan shalat berjamaah ini berbunyi, ''Barangsiapa yang shalat di masjid (manapun), selama 40 hari berturut-turut (tanpa putus) dan selalu mendapatkan Imam akan bertakbiratul Ihram (awal waktu), maka Allah akan melepaskan sifat-sifat kemunafikan dan siksa neraka bagi orang tersebut.'' Maksud hadits tersebut adalah, besarnya kandungan nilai dan keutamaan shalat berjamaah. Dengan rutin selama 40 hari, berarti sama dengan menjalankan shalat selama 200 waktu, menunjukkan kebiasaan. Dengan demikian mereka yang bisa menjalankan shalat berjamaah selama 200 waktu (40 hari tanpa putus) akan membentuk pribadi yang rajin dan akan membekas pada dirinya untuk senantiasa melaksanakan ibadah shalat secara berjamaah, bahkan kebiasaan baik ini akan dibawa di dalam kehidupan bersosial dan bermasyarakat. Renungan ke atas surat An-naml (Q.S. 27) Surah An Naml adalah surah ke-27 dalam Al Qur'an. Surah ini terdiri atas 93 ayat, termasuk golongan surah-surah Makkiyyah dan diturunkan sesudah surah Asy Syu'araa'. Dinamai dengan An Naml yang bererti semut, kerana pada ayat 18 dan 19 terdapat perkataan An Naml (semut), di mana raja semut mengatakan kepada anak buahnya agar masuk sarangnya masing-masing, supaya jangan terpijak oleh Nabi Sulaiman a.s. dan tentaranya yang akan melewati tempat itu. Mendengar perintah raja semut kepada anak buahnya itu, Nabi Sulaiman tersenyum dan takjub atas keteraturan kerajaan semut itu dan beliau mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah melimpahkan nikmat kepadanya berupa kerajaan, kekayaan, memahami ucapan-ucapan binatang, mempunyai tentera yang terdiri atas jin, manusia, burung dan sebagainya.: Taa, siin. ini ialah ayat-ayat Al-Quran, juga Kitab yang jelas nyata (kandungannya dan kebenarannya), Menjadi hidayah petunjuk dan berita gembira bagi orang-orang yang beriman, Iaitu mereka yang tetap mendirikan sembahyang dan memberi zakat, sedang mereka pula percaya Dengan yakin akan hari akhirat. Hari itu di wadi an-naml, Nabi Sulaiman tengah mengkkordinasikan pasukannya, tiba-tiba dikejutkan oleh mobilisasi spektakuler yang dilakukan oleh panglima semut keatas pasukannya yang jumlahnya ribuan bahkan jutaan. Dengan satu komando, panglima semut mengintruksi agar seluruh pasukannya bertiarap dan bertahan di bentengnya masing-masing agar selamat dari terinjak-injak oleh pasukan Sulaiman. Nabi Sulaiman tersenyum melihatnya. “Hingga apabila mereka (Sulaiman as bersama bala tentaranya) sampai di lembah semut, berkatalah seekor semut: “Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarang kamu, agar kamu tidak dibinasakan oleh Sulaiman dan tentara-tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari.” (An Naml/27:18). Kisah jamaah semut di atas menarik untuk ditelisik. Kearifan dan hikmah macam apa yang bisa kita petik dari semut, sampai-sampai Allah SWT berkenan mengabadikan semut (an-Naml) sebagai surat yang ke 27 dalam Al Qur’an? Rupanya ada pelajaran yang sangat berharga dapat diperoleh dari semut, antaranya: sistem kehidupan sosial, sistem komunikasi, simbiosis, taktik perang dan bertahan, cara makan dan berburu, dll. (baca Harun Yahya dalam bukunya tentang semut) Hikmah Pertama, betapa sesuatu yang kelihatan musykil, sulit, atau tak mungkin ternyata bisa dilakukan, menjadi sesuatu yang nyata, dan benar-benar terjadi. Bukankah fakta bahwa semut yang kecil mampu mengangkat bangkai belalang yang besar, tidak lagi sebuah hal yang ganjil? Maka, sesuatu, sesulit apapun, bisa di-”taklukkan” jika kita mampu menemukan cara, metode, atau taktiknya, serta dibarengi dengan kemauan (bekerja) keras. Syaratnya, jika kita tidak pernah mengenal segala dalih yang menunjukkan kekerdilan diri dan pemojokkan pihak ketiga yang bernama “kambing hitam”. Kedua, semut mengajarkan bahwa kebersamaan merupakan senjata ampuh; yang dalam banyak hal akan mampu mengurai problem-problem. Bukankah seekor semut tidak akan mampu memindahkan bangkai belalang sendirian? Sementara dengan membentuk team work, akan terbangun sinergi besar sehingga terangkatlah bangkai belalang itu! Maka, jangan pandang dunia ini hanya berisi kita seorang! Jalinlah komunikasi, sambunglah silaturrahim, dan lakukan koordinasi. Sebab kita tidak akan pernah bisa menyelesaikan masalah sendirian; sementara problem hidup tak akan pernah sepi bagi mereka yang masih menggenggam kehidupan! Jangan pula kita merasa bisa hidup sendirian? Bukankah untuk sekedar sesuap nasi, kita perlu melakukan kerjasama yang melibatkan banyak pihak; mulai petani, pandai besi pembuat cangkul, produsen pupuk, pabrik penggilingan padi, jasa transportasi, pabrik plastik atau karung, pabrik kompor minyak atau kompor gas, kilang pengeboran minyak atau gas, pabrik panci, dan lainnya yang tidak bisa disebut satu persatu! Sekali-kali bayangkan, bagaimana jika serangkaian kerja panjang itu kita lakukan sendirian; hanya untuk sesuap nasi. Sementara kita harus pula menyiapkan sehelai kain untuk pakaian; mendirikan rumah, dan seterusnya, yang semuanya dikerjakan sendirian! Ketiga, kebersamaan itu meniscayakan kesiapan untuk saling berbagi. Tentu bukan hanya duka yang bi(a)sa kita bagi; suka pun harus disebarkan untuk kemaslahatan bersama. Ternyata, di samping memberi beberapa kearifan, sesungguhnya semut juga menyimpan sifat buruk. Sikap tercela semut yang tidak sepatutnya kita tiru adalah kebiasaan menimbun hasil jerih payahnya. Sikap menumpuk kekayaan untuk sebesar-besarnya kemakmuran pribadi bukanlah sikap yang kesatria jika kita menyadari betapa sesungguhnya kita tidak pernah akan bisa kaya dan menumpuk kekayaan jika kita hidup sendirian. Di dalam kekayaan itu terpendam jasa-jasa orang miskin. Para buruh pabrik, kulih angkut, petugas kebersihan, atau pembantu rumah tangga, adalah sebagian mereka yang berjasa atas kekeyaan kita itu. Keempat, kita tidak boleh berhenti mengagumi semut yang memberi contoh kearifan itu sebatas pandangan kaum materialisme. Bahwa di balik semut itu ada Allah SWT. Dia-lah sesungguhnya yang mengajarkan kearifan dan hikmah itu lewat simbol atau tanda berupa makhluk kecil bernama semut, cipataan-Nya itu. “Sesungguhnya Allah tidak malu membuat perumpamaan berupa kutu atau yang melebihinya yakni lebih rendah atau lebih besar daripada itu, yang boleh jadi diremehkan atau dianggap tidak wajar dan tepat oleh orang-orang kafir.” (Al Baqarah/2:26) Maka, semua fenomena atau peristiwa yang terjadi di lingkungan sekitar tidak semestinya diremehkan atau diabaikan. Sebab, pasti ada makna-makna di baliknya. Dalam bahasa Al Qur’an disebutkan, “Sesungguhnya di dalam penciptaan langit dan bumi serta perbedaan malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang yang mau berakal (ulil albab)” (Ali Imran/3:190) Akhirnya, kebangkitan ulama bersama-sama ummat boleh dipastikan dapat dibangun dengan senantiasa merapatkan barisan dalam melakukan aktifitas berjamaah, bagaikan semut di wadi al-naml, pun demikian yang dicontohkan oleh wali sembilan di tanah Jawa.
Wallahu a’lam.
Semoga bermanfaat
Keutamaan Shalat Berjamaah 25 Derajat
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Abdul A’la dari Ma’mar dari Az Zuhri dari Sa’id bin Musayyab dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تَفْضُلُ صَلَاةٌ فِي الْجَمِيعِ عَلَى صَلَاةِ الرَّجُلِ وَحْدَهُ خَمْسًا وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
“Shalat secara berjamaah lebih utama dua puluh lima derajat daripada shalat secara individual, “(HR. Muslim no.1035, Bukhari no.457, Ahmad no.9769)
Keutamaan Shalat Berjamaah 27 Derajat
وحَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى قَالَا حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ قَالَ أَخْبَرَنِي نَافِعٌ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلَاةُ الرَّجُلِ فِي الْجَمَاعَةِ تَزِيدُ عَلَى صَلَاتِهِ وَحْدَهُ سَبْعًا وَعِشْرِينَ
Dan telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Har dan Muhammad bin Al Mutsanna, katanya; telah menceritakan kepada kami Yahya dari ‘Ubaidullah katanya; telah mengabarkan kepadaku Nafi’ dari Ibnu Umar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Shalatnya seseorang dengan berjama’ah melebihi shalatnya yang dikerjakan secara sendiri sebanyak dua puluh tujuh derajat.”(HR. Muslim no.1039, Ahmad no.4441, Nasa’I no.828)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
“Shalat jama’ah lebih utama dari shalat sendirian sebanyak 27 derajat” (HR. Bukhari dan Muslim).قاَلَ الإمَامُ البُخاَرِي رَحِمَهُ اللهُ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ يُوسُفَ، قَالَ: أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلاَةَ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
(رواه البخارى)
Pertanyaa :Kami belum mengerti secara penuh terkait keutamaan salat berjamaah 27 derajat. Apa sebenarnya maksud dari hadis tersebut?
Jawaban:
Rasulullah Saw sangat menganjurkan salat berjamaah diantaranya melalui sabdanya bahwa berjamaah lebih utama daripada salat sendiri dengan keutamaan 27 derajat, dalam riwayat lain 25 derajat, kedua hadis tersebut sahih. Maksud hadis tersebut adalah:
(بِسَبْعٍ وَعِشْرِيْنَ دَرَجَةً)
الْمُرَادُ بِالدَّرَجَةِ الصَّلاَةُ فَتَكُونُ صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ بِمَثَابَةِ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ صَلاَةً
(تحفة الأحوذي 1 / 248)
"Yang dimaksud 'derajat' adalah salat. Maka salat berjamaah sama pahalanya dengan 27 kali salat (tanpa berjamaah)" (al-Mubarakfuri, Tuhfat al-Ahwadzi Syarah Sunan Turmudzi I/248)
Sering pula ditanyakan mengapa 25 atau 27 derajat, bukan 100 derajat misalnya. Ibnu Baththal menjawab:
مَا مَعْنَى اخْتِلاَفِ الدَّرَجَاتِ ؟ فَالْجَوَابُ أَنَّ الْفَضَائِلَ لاَ تُدْرَكُ بِالرَّأْىِ وَإِنَّمَا تُدْرَكُ بِالتَّوْقِيْفِ
(شرح صحيح البخارى لابن بطال 2 / 276)
"Apa makna perbedaan derajat tersebut? Jawabnya bahwa fadilah (keutamaan) tidaklah dapat diperoleh secara rasional, tetapi hanya dengan ajaran dari agama" (Syarah Sahih al-Bukhari II/276)
27 Derajat untuk Salat Berjamaah
Tulisan ini terinspirasi oleh ekspresi sebagian orang menandai hari dan waktu kepergian almarhum Gus Dur, pimpinan organisasi NU yang berlambangkan 9 bintang. Kemarin, Jumat (1/1/10) beredar SMS tentang hari wafatnya Gus Dur, yang kalau dirangkai akan menjadi ajaib. SMS itu bertuliskan begini: "Asmaul Husna ada 99. 9 adalah angka yang sangat luar biasa rahasianya. Penuh makna, Masya Allah... Gus Dur wafat jam 18.45 tanggal 30 bulan 12 tahun 09.
Kalau semua diamati, semua angka tersebut jika dikalikan dengan angka itu sendiri, jumlah adalah 9. 18 x 18= 324 = 3 + 2 + 4 = 9 45 x 45= 2025 = 2 + 0 + 2 + 5 = 9 30 x 30= 900 = 9 + 0 + 0 = 9 12 x 12= 144 = 1 + 4 + 4 = 9 18 x 45 x 30 x 12 x 09 = 2624400 = 2 + 6 + 2 + 4 + 4 + 0 + 0 = 18 = 1 + 8 = 9 Ada apa dengan jam 18.45? Lihat Qs. Al-Kahfi (18):45, ibaratkan air hujan yang turun dari langit dan memberi kesejukan atau perdamaian di bumi. Lalu kembali ke sisi Allah dengan kuasa-Nya.[bar/ims] Memandangkan nilai bilangan angka-angka intermezo di atas, tidak sedikit di antara kita yang tidak mengambil berat terhadap rahasia yang ada di sebalik bilangan angka-angka, padahal Nabi s.a.w di dalam hadis-hadisnya sering sekali menyatakan bilangan-bilangan tertentu walau tanpa menjelaskan lebih rinci apa makna bilangan-bilangan itu, seperti bilangan 40, 33, 27, dst. Dalam tulisan kali ini saya tertarik untuk sekedar utak-atik matuk ke atas bilangan 27 keutamaan salat berjamaan, bukan karena 2 + 7 = 9, tetapi karena bersesuaiannya dengan surah al-naml sebagai surah yang ke 27 dalam al-Qur'an, utamanya ayat yang ke 18 Dasar Normatif “Dan dirikanlah shalat dan tunaikan zakat serta ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.” (Al Baqarah:43) Dalam shahih Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Saya sangat ingin agar ada yang memimpin pelaksanaan shalat, kemudian saya pergi bersama beberapa orang sambil membawa kayu bakar mendatangi rumah-rumah orang yang tidak mengikuti shalat berjama’ah, kemudian kubakar rumah mereka.” Dalam sebuah hadist Rasulullah s.a.w. bersabda "Shalat Jamaah lebih utama dua puluh tujuh kali dibanding shalat sendiri" (H.R. Bukhari Muslim dll.).
Dalam riwayat Utsman Rasulullah s.a.w. bersabda "Barang siapa shalat Isya' dengan berjamaah, maka ia seperti mendirikan shalat selama setengah malam, barangsiapa shalat Subuh berjamaah, maka ia laksana shalat semalam suntuk" (H.R. Muslim dll.) Dari Aisyah r.a. Rasulullah s.a.w. "Barangsiapa mendirikan shalat Isya' dengan berjamaah, maka ia bagaikan melaksanakan shalat separuh malam; dan barangsiapa shalat shubuh berjamaah maka ia seperti mengerjakan shalat semalam suntuk.” (HR. Muslim). Hukum shalat Jamaah menurut mazhab Syafi'i: Fardlu kifayah, yaitu apabila tidak ada seorang pun yang mendirikan jamaah dalam satu kampung, maka seluruh kampung mendapatakn dosa. Mazhab Hanbali bahkan mengatakan shalat jamaah adalah fardlu ain, wajib bagi setiap muslim, karena kuat dan banyaknya dalil yang memerintahkan shalat jamaah. Mazhab Hanafi dan Maliki mengatakan shalat jamaah selain shalat jum'ah hukumnya sunnah mu'akkadah. Memang, utamanya shalat fardlu dilakukan secara berjamaah di masjid. Dalam sebuah hadist Rasulullah bersabda "Wahai umatku, shalatlah di rumah-rumah kalian, karena yang paling utama shalat seseorang adalah di rumahnya, kecuali shalat fardlu" (H.R. Bukhari Muslim).
Mereka yang menemukan takbiratul ihram bersama imam dalam shalat fardlu sangat besar pahalanya, seperti dalam sebuah hadist dikatakan "Barang siapa mendirikan shalat selama 40 hari dengan berjamaah, dengan mendapatkan takbiratul ihram bersama imam, maka ia akan dibebaskan dari dua perkara, yaitu dari neraka dan dari kemunafikan" (H.R. Tirmidzi). Semakin banyak jumlah peserta jamaah, semakin utama pula pahala jamaah, sebagaimana sebuah hadist menjelaskan "Shalat seseorang bersama seorang lebih utama dari shalat sendiri, dan shalat bersama dua orang lebih utama dari shalat bersama seorang, semakin banyak mereka berjamaah semakin dicintai Allah" (H.R. Ahmad, Abu Dawud).
Tentu shalat jamaah di masjid lebih banyak jamaahnya dibandingkan dengan di rumah. Hanya saja kalau repot, shalat berjamaah di rumah juga tetap sah, apalagi dengan tujuan agar isteri bisa ikut berjamaah. Bila suasana longgar dan tidak merepotkan, suami bisa bersama-sama isteri ke masjid ikut berjamaah. Sebaliknya bila kondisi tidak mendukung suami cukup berjamaah di rumah, pahalanya, insya Allah sama, 27 kali lebih utama dibanding shalat sendiri, hanya beda kualitasnya. Insya Allah dengan begitu seorang suami juga akan merasakan dua kenikmatan sekaligus, yaitu kenikmatan merasakan masjid sebagai rumah dan kenikmatan merasakan rumah sebagai masjid. Hikmah dan Keutamaan Sholat Berjamaah Di antara rahasia fadhilah shalat berjamaah di masjid itu adalah: Sebelum berjalan ke masjid, ketika seseorang berwudhu' di rumahnya, bukan berwudhu' di masjid, dia telah mendapatkan pahala atas wudhu'nya. Ketika dia memakai pakaian dan wewangian dengan niat karena akan masuk masjid, maka dia akan mendapat pahala tersendiri. Karena Allah SWT telah memerintahkan agar seseorang berhias setiap masuk masjid. Ketika seseorang berjalan ke masjid dengan melangkahkan kaki, maka tiap langkah kakinya itu mendapatkan kebaikan tersendiri yang mendatangkan pahala. Ketika masuk masjid, seseorang akan mendapat pahala bila membaca doa masuk masjid. Masih ketika masuk masjid, dia juga akan mendapatkan pahala ketika melangkah dengan kaki kanannya. Begitu masuk masjid, seseorang akan mendapat kesempatan mendapatkan pahala dari shalat tahiyatul masjid. Kemudian ketika seseorang duduk di masjid sambil menunggu datangnya waktu shalat, dia sudah terbilang melakukan i'tikaf bila dia meniatkannya. Menurut mazhab As-syafi'iyah, i'tikaf bisa dilakukan asalkan dengan niat dan berdiam di masjid, meski hanya sesaat saja. Begitu adzan berkumandang, dia juga akan mendapatkan kesempatan mendapatkan pahala tersendiri dengan mendengarkan adzan dan menjawabnya. Apalagi bila dia sendiri yang melakukan adzan. Setelah mendengar adzan, dia akan mendapatkan kesempatan mendapatkan kebaikan lagi ketika membaca doa setelah adzan. Selesai doa adzan, dia akan mendapatkan lagi kesempatan mendapat pahala dengan shalat sunnah qabliyah. Setelah iqamat didengungkan, lalu imam mengatur barisan, dia akan mendapatkan pahala lagi bila ikut memperhatikan imam dan mengatur barisannya agar lurus dan rapat. Pada saat shalat jamaah dilaksanakan, dia akan mengikuti semua gerakan imam dengan baik. Kalau imam berdiri, maka dia berdiri, kalau imam rukuk, maka dia rukuk, kalau imam sujud maka dia ikut sujud. Semua tindakannya mengikuti imam itusudah mendatangkan pahala tersendiri. Ketika imam sampai pada bacaan "waladhdhaallin", maka dia menjawab, "amiin." Jawaban itu mendatangkan pahala tersendiri. Dia juga akan mendapatkan pahala tersendiri ketika mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri, dibandingkan saat shalat sendirian di rumah, atau berjamaah di rumah. Karena salam itu doa untuk orang yang di kanan dan kirinya. Dan karena di masjid jumlah jamaahnya lebih banyak, maka doa yang akan diterimanya jauh lebih banyak. Selesai shalat wajib, dia akan mendapatkan pahala lagi bila membaca beberapa lafadz dzikir atau doa. Kemudian kesempatan berikutnya lagi adalah ketika dia melakukan shalat sunnah ba'diyah shalat. Di dalam masjid, dia tentu akan bertemu dengan banyak jamaah shalat lainnya. Ketika bertemu dan memberi salam, dia akan mendapatkan pahala tersendiri. Sambil memberi salam, apabila dia juga berjabat tangan, maka dia pun akan mendapatkan pahala tersendiri. Senyumnya kepada sesama saudaranya adalah sedekah. Dan ini akan menambahlagi kesempatannya untuk mendapatkan pahala. Ketika hendak berpisah dengan sesama jamaah di masjid, maka dia akan mendapat pahala bila mengucapkan salam atau membalas salam. Dia juga akan mendapatkan pahala bila diikuti dengan berjabat tangan ketika akan berpisah dengan sesama muslim. Ketika pulang dari masjid, dia membaca doa keluar masjid. Hal itu menambah lagi pahalanya. Di masjid terbuka kesempatan untuk berinfaq, maka bila dia memanfaatkan kesempatan itu, dia akan mendapatkan pahala tersendiri dari berinfaq. Di dalam masjid seringkali digelar khutbah atau majelis ilmu (kultum). Bila dia mendengarkan nasehat dan penyampaian ilmu dengan niat menjalankan perintah Allah SWT dan karena menuntut ilmu itu wajib hukumnya, maka dia akan mendapatkan kebaikan tersendiri. Ketika keluar, dia melangkah dengan kaki kirinya. Satu lagi tambahan pahala akan didapatnya. Ketika pulang, dia mengambil jalan lain yang tidak sama dengan jalan yang dilewati saat pergi ke masjid. Ini adalah sunnah Rasulullah SAW yang tentu mendatangkan pahala tersendiri. Setiap langkah kaki saat pulang dari masjid, maka dia akan mendapatkan pahala lain tersendiri. Sebanyak 27 butir-buitr kesempatan memetik pahala sebagaimana diisebutkan di atas bukan didapat dari nash yang sharih dan menyatu, melainkan dari berbagai dalil yang berserak-serak, kemudian dikumpulkan. Tentu saja jumlahnya tidak hanya 27 bagian saja, pasti akan ada lebih banyak lagi. Uraian di atas hanya sekedar memberikan contoh salah satu versi ijtihad pada ulama ketika menguraikan rahasia mengapa shalat berjamaah di masjid lebih utama dari shalat yang lainnya. Tentu saja tidak semua orang yang shalat di masjid berjamaah akan mendapatkan semua kesempatan itu. Sebab tidak semuanya melakukan hal-hal di atas. Sejak pertama kali shalat disyari’atkan, Rasulullah Saw. senantiasa melaksanakannya secara berjamaah. Rasulullah Saw. bukan hanya menginginkan kita untuk mendapatkan pahala lebih ketika melaksanakan shalat berjamaah, melainkan juga berbagai manfaat lain, di antaranya: -Meningkatkan kualitas shalat dan peluang diterima Allah lebih besar dibandingkan munfarid; -Melatih ketahanan mental dan menyelamatkan dari sifat munafik; -Membantu dalam menemukan solusi ketika sedang menghadai persoalan hidup; -Menumbuhkan loyalitas dan solidaritas. -Melatih kedisiplinan Barangkali tidak berlebihan sekiranya kita kaitkan antara berbagai manfaat di atas dengan bilangan angka 27 derajat keutamaan salat berjamaah. Makna 27 Derajat Keutamaan Salat Berjamaah Hadits Nabi SAW yang menyatakan keutamaan shalat berjamaah sebesar 27 derajat dibandingkan dengan shalat sendirian, bermakna nilai-nilai keutamaan yang sangat besar. Dua puluh tujuh derajat berbeda dengan 27 kali. Kalau hanya 27 kali lipat, berarti sama dengan orang yang melaksanakan shalat sendirian sebanyak 27 kali. 'Maknanya justru lebih dalam lagi dari hanya sekadar 27 kali. Jadi makna 27 derajat itu maksudnya keutamaan, bukan kelipatan. Sedangkan hadits Nabi SAW yang lebih kuat sanadnya (shahih) dalam menerangkan keutamaan shalat berjamaah ini berbunyi, ''Barangsiapa yang shalat di masjid (manapun), selama 40 hari berturut-turut (tanpa putus) dan selalu mendapatkan Imam akan bertakbiratul Ihram (awal waktu), maka Allah akan melepaskan sifat-sifat kemunafikan dan siksa neraka bagi orang tersebut.'' Maksud hadits tersebut adalah, besarnya kandungan nilai dan keutamaan shalat berjamaah. Dengan rutin selama 40 hari, berarti sama dengan menjalankan shalat selama 200 waktu, menunjukkan kebiasaan. Dengan demikian mereka yang bisa menjalankan shalat berjamaah selama 200 waktu (40 hari tanpa putus) akan membentuk pribadi yang rajin dan akan membekas pada dirinya untuk senantiasa melaksanakan ibadah shalat secara berjamaah, bahkan kebiasaan baik ini akan dibawa di dalam kehidupan bersosial dan bermasyarakat. Renungan ke atas surat An-naml (Q.S. 27) Surah An Naml adalah surah ke-27 dalam Al Qur'an. Surah ini terdiri atas 93 ayat, termasuk golongan surah-surah Makkiyyah dan diturunkan sesudah surah Asy Syu'araa'. Dinamai dengan An Naml yang bererti semut, kerana pada ayat 18 dan 19 terdapat perkataan An Naml (semut), di mana raja semut mengatakan kepada anak buahnya agar masuk sarangnya masing-masing, supaya jangan terpijak oleh Nabi Sulaiman a.s. dan tentaranya yang akan melewati tempat itu. Mendengar perintah raja semut kepada anak buahnya itu, Nabi Sulaiman tersenyum dan takjub atas keteraturan kerajaan semut itu dan beliau mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah melimpahkan nikmat kepadanya berupa kerajaan, kekayaan, memahami ucapan-ucapan binatang, mempunyai tentera yang terdiri atas jin, manusia, burung dan sebagainya.: Taa, siin. ini ialah ayat-ayat Al-Quran, juga Kitab yang jelas nyata (kandungannya dan kebenarannya), Menjadi hidayah petunjuk dan berita gembira bagi orang-orang yang beriman, Iaitu mereka yang tetap mendirikan sembahyang dan memberi zakat, sedang mereka pula percaya Dengan yakin akan hari akhirat. Hari itu di wadi an-naml, Nabi Sulaiman tengah mengkkordinasikan pasukannya, tiba-tiba dikejutkan oleh mobilisasi spektakuler yang dilakukan oleh panglima semut keatas pasukannya yang jumlahnya ribuan bahkan jutaan. Dengan satu komando, panglima semut mengintruksi agar seluruh pasukannya bertiarap dan bertahan di bentengnya masing-masing agar selamat dari terinjak-injak oleh pasukan Sulaiman. Nabi Sulaiman tersenyum melihatnya. “Hingga apabila mereka (Sulaiman as bersama bala tentaranya) sampai di lembah semut, berkatalah seekor semut: “Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarang kamu, agar kamu tidak dibinasakan oleh Sulaiman dan tentara-tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari.” (An Naml/27:18). Kisah jamaah semut di atas menarik untuk ditelisik. Kearifan dan hikmah macam apa yang bisa kita petik dari semut, sampai-sampai Allah SWT berkenan mengabadikan semut (an-Naml) sebagai surat yang ke 27 dalam Al Qur’an? Rupanya ada pelajaran yang sangat berharga dapat diperoleh dari semut, antaranya: sistem kehidupan sosial, sistem komunikasi, simbiosis, taktik perang dan bertahan, cara makan dan berburu, dll. (baca Harun Yahya dalam bukunya tentang semut) Hikmah Pertama, betapa sesuatu yang kelihatan musykil, sulit, atau tak mungkin ternyata bisa dilakukan, menjadi sesuatu yang nyata, dan benar-benar terjadi. Bukankah fakta bahwa semut yang kecil mampu mengangkat bangkai belalang yang besar, tidak lagi sebuah hal yang ganjil? Maka, sesuatu, sesulit apapun, bisa di-”taklukkan” jika kita mampu menemukan cara, metode, atau taktiknya, serta dibarengi dengan kemauan (bekerja) keras. Syaratnya, jika kita tidak pernah mengenal segala dalih yang menunjukkan kekerdilan diri dan pemojokkan pihak ketiga yang bernama “kambing hitam”. Kedua, semut mengajarkan bahwa kebersamaan merupakan senjata ampuh; yang dalam banyak hal akan mampu mengurai problem-problem. Bukankah seekor semut tidak akan mampu memindahkan bangkai belalang sendirian? Sementara dengan membentuk team work, akan terbangun sinergi besar sehingga terangkatlah bangkai belalang itu! Maka, jangan pandang dunia ini hanya berisi kita seorang! Jalinlah komunikasi, sambunglah silaturrahim, dan lakukan koordinasi. Sebab kita tidak akan pernah bisa menyelesaikan masalah sendirian; sementara problem hidup tak akan pernah sepi bagi mereka yang masih menggenggam kehidupan! Jangan pula kita merasa bisa hidup sendirian? Bukankah untuk sekedar sesuap nasi, kita perlu melakukan kerjasama yang melibatkan banyak pihak; mulai petani, pandai besi pembuat cangkul, produsen pupuk, pabrik penggilingan padi, jasa transportasi, pabrik plastik atau karung, pabrik kompor minyak atau kompor gas, kilang pengeboran minyak atau gas, pabrik panci, dan lainnya yang tidak bisa disebut satu persatu! Sekali-kali bayangkan, bagaimana jika serangkaian kerja panjang itu kita lakukan sendirian; hanya untuk sesuap nasi. Sementara kita harus pula menyiapkan sehelai kain untuk pakaian; mendirikan rumah, dan seterusnya, yang semuanya dikerjakan sendirian! Ketiga, kebersamaan itu meniscayakan kesiapan untuk saling berbagi. Tentu bukan hanya duka yang bi(a)sa kita bagi; suka pun harus disebarkan untuk kemaslahatan bersama. Ternyata, di samping memberi beberapa kearifan, sesungguhnya semut juga menyimpan sifat buruk. Sikap tercela semut yang tidak sepatutnya kita tiru adalah kebiasaan menimbun hasil jerih payahnya. Sikap menumpuk kekayaan untuk sebesar-besarnya kemakmuran pribadi bukanlah sikap yang kesatria jika kita menyadari betapa sesungguhnya kita tidak pernah akan bisa kaya dan menumpuk kekayaan jika kita hidup sendirian. Di dalam kekayaan itu terpendam jasa-jasa orang miskin. Para buruh pabrik, kulih angkut, petugas kebersihan, atau pembantu rumah tangga, adalah sebagian mereka yang berjasa atas kekeyaan kita itu. Keempat, kita tidak boleh berhenti mengagumi semut yang memberi contoh kearifan itu sebatas pandangan kaum materialisme. Bahwa di balik semut itu ada Allah SWT. Dia-lah sesungguhnya yang mengajarkan kearifan dan hikmah itu lewat simbol atau tanda berupa makhluk kecil bernama semut, cipataan-Nya itu. “Sesungguhnya Allah tidak malu membuat perumpamaan berupa kutu atau yang melebihinya yakni lebih rendah atau lebih besar daripada itu, yang boleh jadi diremehkan atau dianggap tidak wajar dan tepat oleh orang-orang kafir.” (Al Baqarah/2:26) Maka, semua fenomena atau peristiwa yang terjadi di lingkungan sekitar tidak semestinya diremehkan atau diabaikan. Sebab, pasti ada makna-makna di baliknya. Dalam bahasa Al Qur’an disebutkan, “Sesungguhnya di dalam penciptaan langit dan bumi serta perbedaan malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang yang mau berakal (ulil albab)” (Ali Imran/3:190) Akhirnya, kebangkitan ulama bersama-sama ummat boleh dipastikan dapat dibangun dengan senantiasa merapatkan barisan dalam melakukan aktifitas berjamaah, bagaikan semut di wadi al-naml, pun demikian yang dicontohkan oleh wali sembilan di tanah Jawa.
Wallahu a’lam.
Semoga bermanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar