Senin, 13 Oktober 2014

Tahlilan Jalan terus

Jawaban Untuk Wahabi Anti Tahlilan tentang Tasyabbuh dan Shalat di Waktu Matahari Terbit dan Terbenam
Tulisan Ustadz Muhammad Idrus Ramli ternyata mendapat respon dari ustadz Wahhabi bernama Anshari Taslim https://www.facebook.com/anshari.taslim/posts/10205237389205011?fref=nf . Dalam facebooknya (12/10/2014), ustadz wahhabi tersebut menulis sebagai berikut :
Sebanarnya Siapa sih Yang Meludahi Wajah Sendiri?

Sunni : Kita tidak boleh shalat ketika matahari tepat terbit dan matahari tepat terbenam karena matahari terbit dan terbenam antara dua tanduk setan, dan orang kafir sujud pada saat itu, maka kita dilarang tasyabbuh(menyerupai,meniru) kepadanya.

Bid'i : “Itu karena Anda tidak mengerti maksud tasyabbuh. Tasyabbuh itu bisa terjadi, apabila perbuatan yang dilakukan oleh kaum Muslimin pada saat tersebut persis dengan apa yang dilakukan oleh orang kafir. Shalat kaum muslimin dgn kaum kafir kan beda.”

Sunni: Tapi waktunya kan sama?

Bid'i : “Ya ini, karena Anda baru belajar ilmu agama. Kesimpulan hukum seperti Anda, yang mudah mengkafirkan orang karena kesamaan soal waktu, bisa berakibat mengkafirkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.”

Sunni : Bagaimana mengkafirkan, orang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam orang Rasulullah sendiri yang mengatakan demikian coba baca hadits riwayat Muslim nomor 832 ttg sejarah masuk Islamnya Amr bin Abasah:

«صَلِّ صَلَاةَ الصُّبْحِ، ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلَاةِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ حَتَّى تَرْتَفِعَ، فَإِنَّهَا تَطْلُعُ حِينَ تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، وَحِينَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ،
"Lakukan shalat Subuh kemudian berhentilah shalat sampai terbitnya matahari hingga dia agak naik meninggi, karena matahari itu terbit antara dua tanduk setan dan saat itulah orang-orang kafir sujud.:

Kemudian beliau juga bersabda di hadits yg sama:

ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلَاةِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ، فَإِنَّهَا تَغْرُبُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، وَحِينَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ»
"Kemudian hentikan shalat sampai terbenam matahari karena dia terbenam antara dua tanduk setan dan saat itulah orang-orang kafir bersujud."


Bid'i : “Owh, itu karena Anda baru belajar ilmu agama. Coba Anda belajar di pesantren Ahlussunnah Wal-Jama’ah, Anda tidak akan bertindak sekasar ini. Anda pasti malu dengan tindakan Anda yang kasar, dan sangat tidak Islami. Ingat, Islam itu mengedepankan akhlaqul karimah, budi pekerti yang mulia. Bukan sikap kasar seperti Anda.”

Sunni : Lho dimana letak kasarnya, kan saya mengutip hadits Rasulullah ttg larangan tasyabbuh kepada orang kafir dan beliau memperhatikan masalah tasyabbuh ini sampai-sampai dalam masalah waktu shalat, padahal shalat itu adalah ibadah yg paling utama tapi kenapa kita dilarang untuk shalat di waktu-waktu itu? Mari kita simak penjelasan salah seorang ulama yang dijadikan rujukan oleh sebagian kalian yaitu Syekh Ahmad Al Ghumari dalam kitabnya, "Al-Istinfar li Ghazwit Tasyabbuh bil Kuffar" hal. 33:

قال العلماء : نهى صلى الله عليه وسلم عن الصلاة في هذين الوقتين الذين يسجد فيهما الكفار للشمس وإن كان المؤمن لا يسجد إلا لله تعالى حسما لمادة المشابهة وسدا للذريعة. وفيه تنبيه على أن كل ما يفعله المشركون ينهى المؤمن عن ظاهره وإن لم يقصد التشبه فرارا من الموافقة في الصورة والظاهر.
“Para ulama mengatakan, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang shalat di kedua waktu yang bersujud padanya orang-orang kafir kepada matahari, meskipun orang mukmin tidak sujud kecuali kepada Allah Ta’ala. Tujuannya adalah untuk memutus materi musyabahah (penyerupaan) dan menutup jalan. Di dalamnya juga ada peringatan bahwa setiap yang dilakukan kaum musyrikin maka kaum mukmin dilarang melakukannnya dari sisi zahir yang sama meski dia tidak bermaksud menyerupai (orang musyrik itu) demi menghindarkan diri dari ketersesuaian dalam bentuk dan dalam zahir (fenomena).”

Bukan hanya itu Ibnu Katsir ASY-SYAFI'I pun juga mengatakan hal itu dilarang karena penyerupaan (tasyabbuh) terhadap perbuatan orang kafir coba baca kitab Al-Bidayah wan Nihayah jilid 3 hal. 73, beliau berkata:

وَالْمَقْصُودُ مِنْ هَذِهِ الْأَخْبَارِ عَمَّا يَقَعُ مِنَ الْأَقْوَالِ وَالْأَفْعَالِ الْمَنْهِيِّ عَنْهَا شَرْعًا مِمَّا يُشَابِهُ أَهْلَ الْكِتَابِ قَبْلَنَا فَإِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يَنْهَيَانِ عَنْ مُشَابِهَتِهِمْ فِي أَقْوَالِهِمْ وَأَفْعَالِهِمْ حَتَّى وَلَوْ كَانَ قَصْدُ الْمُؤْمِنِ خَيْرًا، لَكِنَّهُ تَشَبَّهَ بِفِعْلِهِ فِي الظَّاهِرِ مِنْ فِعْلِهِمْ. وَكَمَا نُهِيَ عَنِ الصَّلَاةِ عِنْدَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَعِنْدَ غُرُوبِهَا; لِئَلَّا يُشَابِهَ الْمُشْرِكِينَ الَّذِينَ يَسْجُدُونَ لِلشَّمْسِ حِينَئِذٍ، وَإِنْ كَانَ الْمُؤْمِنُ لَا يَخْطُرُ بِبَالِهِ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ بِالْكُلِّيَّةِ.
" Maksud dari bahasan ini adalah informasi tentang perbuatan dan perkataan yang dilarang dalam syariat yang menyerupai ahli kitab sebelum kita. Sebab, Allah dan Rasul-Nya melarang kita menyerupai mereka dalam hal perkataan dan perbuatan mereka, meskipun maksud si mukmin itu adalah baik, tapi dia menyerupai perbuatan mereka yang zahir.

Sama halnya dengan larangan shalat ketika terbit dan terbenamnya matahari agar tidak menyerupai kaum musyrikin yang menyembah matahari kala itu, meskipun seorang mukmin tidak akan terbetik dalam pikirannya untuk mengikuti mereka secara keseluruhan."


Bid'i: Owh begitu ya, jadi terlarang menyerupai kebiasaan orang kafir dalam hal waktu atau momen, meski kita membedakan isinya?

Sunni : Ya begitulah, cukup jelas dari perkataan Al-Ghumari dan Ibnu Katsir di atas.

Bid'i : Jadi bagaimana dengan memperingati hari kematian seseorang 3, 7 100 hari dan tahunan? Sudah jelas itu ada di kitab agama Hindu?

Sunni : Nah itulah, silahkan diqiyaskan dari kasus shalat yang dianggap tasyabbuh di atas. Coba Anda belajar di pesantren Ahlussunnah Wal-Jama’ah, Anda tidak akan bertindak seceroboh ini. Anda pasti malu dengan tindakan Anda yang ceroboh, dan sangat tidak Islami. Ingat, Islam itu mengedepankan ittiba' kepada petunjuk Rasulullah, bukan mengada-ngadakan hal baru dalam agama apalagi mengikuti dgn sedikit merenovasi kebiasaan orang-orang kafir seperti anda.
Sebelum membaca jawaban Ustadz Muhammad Idrus Ramli. Baca terlebih dahulu beberapa tulisan berikut : 

 
JAWABAN TERHADAP WAHABI ANTI TAHLILAN

Beberapa waktu yang lalu, setelah kami menulis status tentang dalil-dalil bolehnya dzikir Tahlilan tujuh hari, hari ke-40, 100 dan 1000, dan bahwa hal tersebut tidak termasuk tasyabbuh yang dilarang, ada sebagian Wahabi yang menulis bantahan, dan mengutip dari kitab al-Istinfar karya Syaikh Ahmad al-Ghumari, dan al-Bidayah wa al-Nihayah karya al-Hafizh Ibnu Katsir al-Syafi’i. akan tetapi setelah kami lihat, ternyata argument bantahan tersebut sama sekali tidak mengena terhadap persoalan yang dibahas. Oleh karena itu, di sini kami tulis jawaban secara ilmiah.

WAHABI: Kita tidak boleh shalat ketika matahari tepat terbit dan matahari tepat terbenam karena matahari terbit dan terbenam antara dua tanduk setan, dan orang kafir sujud pada saat itu, maka kita dilarang tasyabbuh kepadanya.

صَلِّ صَلَاةَ الصُّبْحِ، ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلَاةِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ حَتَّى تَرْتَفِعَ، فَإِنَّهَا تَطْلُعُ حِينَ تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، وَحِينَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ

"Lakukan shalat Subuh kemudian berhentilah shalat sampai terbitnya matahari hingga dia agak naik meninggi, karena matahari itu terbit antara dua tanduk setan dan saat itulah orang-orang kafir sujud.:

Kemudian beliau juga bersabda di hadits yg sama:

ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلَاةِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ، فَإِنَّهَا تَغْرُبُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، وَحِينَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ

"Kemudian hentikan shalat sampai terbenam matahari karena dia terbenam antara dua tanduk setan dan saat itulah orang-orang kafir bersujud."

SUNNI: “Sholat memang beda dengan dzikir dan Tahlilan. ketika matahari tepat terbit dan matahari tepat terbenam, sholat sunnah tidak boleh dilakukan. Tetapi untuk dzikir dan tahlilan justru dianjurkan. Dalam kitab-kitab dijelaskan:

عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: من صلى الفجر فى جماعة ثم قعد يذكر الله حتى تطلع الشمس ثم يصلى ركعتين كانت له كأجر حجة وعمرة تامة تامة تامة رواه الترمذى وقال حسن غريب

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barang siapa yang menunaikan shalat fajar (shubuh), kemudian duduk berdzikir kepada Allah hingga Matahari terbit, kemudian shalat dua raka’at, maka ia memperoleh pahala seperti pahala haji dan umroh sempurna sempurna sempurna.” (HR al-Tirmidzi, [586], dan berkata ini hadits hasan gharib).

عَنْ سَهْلِ بْنِ مُعَاذِ بْنِ أَنَسٍ الْجُهَنِىِّ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَنْ قَعَدَ فِى مُصَلاَّهُ حِينَ يَنْصَرِفُ مِنْ صَلاَةِ الصُّبْحِ حَتَّى يُسَبِّحَ رَكْعَتَىِ الضُّحَى لاَ يَقُولُ إِلاَّ خَيْرًا غُفِرَ لَهُ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ أَكْثَرَ مِنْ زَبَدِ الْبَحْرِ ». أخرجه أبو داود ، والطبرانى ، والبيهقى . وأخرجه أيضًا : أحمد

“Dari Sahal bin Mu’adz bin Anas al-Juhani, dari ayahnya, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang duduk di tempat shalatnya ketika selesai shalat shubuh sampai menunaikan dua rakaat shalat dhuha, ia tidak berkata kecuali kebaikan, maka dosa-dosanya diampuni meskipun lebih banyak dari pada buih di lautan.” (HR. Abu Dawud [1287], al-Thabarani [442], al-Baihaqi [4686] dan Ahmad [15661]).

عَنْ أَبِي أُمَامَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لأَنْ أَقْعُدَ أَذْكُرُ اللهَ وَأُكَبِّرُهُ وَأَحْمَدُهُ وَأُسَبِّحُهُ وَأُهَلِّلُهُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتِقَ رَقَبَتَيْنِ أَوْ أَكْثَرَ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ وَمِنْ بَعْدِ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتِقَ أَرْبَعَ رِقَابٍ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ

“Dari Abu Umamah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seandainya aku duduk berdzikir kepada Allah, mengagungkan-Nya, memuji-Nya, bertasbih dan bertahlil kepada-Nya hingga matahari terbit, lebih aku cintai daripada aku memerdekatan dua budak atau lebih dari keturunan Ismail. Dan dari setelah shalat ashar hingga matahari terbenam, lebih aku senangi daripada aku memerdekakan empat orang budak dari keturunan Ismail.” (HR Ahmad [22194], dan sanadnya hasan).

Dalam hadits-hadits di atas, dan hadits-hadits lain yang tidak kami sebutkan di sini, sangat jelas, bahwa waktu dzikir, termasuk tahlilan dan yasinan, lebih luwes dan lebih longgar dari pada waktu shalat. Meskipun orang-orang kafir sedang menyembah Matahari, atau orang Hindu sedang melakukan ritual keagamaan, dzikir seperti tahlilan tetap dianjurkan. Oleh karena itu, perkatan Syekh Ahmad Al Ghumari dalam kitabnya, "Al-Istinfar li Ghazwit Tasyabbuh bil Kuffar" hal. 33:

قال العلماء : نهى صلى الله عليه وسلم عن الصلاة في هذين الوقتين الذين يسجد فيهما الكفار للشمس وإن كان المؤمن لا يسجد إلا لله تعالى حسما لمادة المشابهة وسدا للذريعة. وفيه تنبيه على أن كل ما يفعله المشركون ينهى المؤمن عن ظاهره وإن لم يقصد التشبه فرارا من الموافقة في الصورة والظاهر.

“Para ulama mengatakan, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang shalat di kedua waktu yang bersujud padanya orang-orang kafir kepada matahari, meskipun orang mukmin tidak sujud kecuali kepada Allah Ta’ala. Tujuannya adalah untuk memutus materi musyabahah (penyerupaan) dan menutup jalan. Di dalamnya juga ada peringatan bahwa setiap yang dilakukan kaum musyrikin maka kaum mukmin dilarang melakukannnya dari sisi zahir yang sama meski dia tidak bermaksud menyerupai (orang musyrik itu) demi menghindarkan diri dari ketersesuaian dalam bentuk dan dalam zahir (fenomena).”

Perkataan tersebut tidak dapat diartikan secara mutlak, mencakup terhadap semua bentuk ibadah seperti dzikir. Karena dzikir memang berbeda dengan sholat. Dalam hadits lain tentang dzikir, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda:

عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لَيْسَ يَتَحَسَّرُ أَهْلُ الْجَنَّةِ إِلا عَلَى سَاعَةٍ مَرَّتْ بِهِمْ لَمْ يَذْكُرُوا اللهَ فِيهَا. رواه الحكيم ، الطبرانى والبيهقى فى شعب الإيمان الديلمى. قال الحافظ الدمياطي: إسناده جيد.

“Mu’adz bin Jabal berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak pernah menyesal penduduk surge kecuali karena satu waktu yang mereka lalui, sedangkan mereka tidak mengisinya dengan dzikir kepada Allah.” (HR. al-Hakim al-Tirmidzi (4/106), al-Thabarani [182], al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman [513], dan al-Dailami [5244]. Al-Hafizh al-Dimyathi berkata: sanad hadits ini jayyid. Lihat, al-Matjar al-Rabih hlm 205).

Hadits ini memberikan pesan, bahwa dzikir dianjurkan setiap saat, tanpa dibatasi dengan waktu. Oleh karena itu perkataan Syaikh al-Ghumari dalam al-Istinfar, demikian pula perkataan al-Hafizh Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa al-Nihayah, keduanya sepertinya mengutip dari Ibnu Taimiyah dalam Iqtidha’ al-Shirath al-Mustaqim, tidak dapat diartikan secara mutlak. Bahkan Syaikh Ibnu Taimiyah sendiri, mengamalkan dzikir sejak selesai shalat shubuh sampai Matahari naik ke atas. Syaikh Umar bin Ali al-Bazzar, murid Syaikh Ibnu Taimiyah berkata dalam al-A’lam al-‘Aliyyah fi Manaqib Ibn Taimiyah (hal. 37-39):

فَإِذَا فَرَغَ مِنَ الصَّلاةِ أَثْنَى عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ هُوَ وَمَنْ حَضَرَ بِمَا وَرَدَ مِنْ قَوْلِهِ الَلَّهُمَّ اَنْتَ السَّلامُ وَمِنْكَ السَّلامُ تَبَارَكْتَ يَا ذَا الْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ ثُمَّ يُقْبِلُ عَلَى الْجَمَاعَةِ ثُمَّ يَأْتِيْ بِالتَّهْلِيْلاَتِ الْوَارِدَاتِ حِيْنَئِذٍ ثُمَّ يُسَبِّحُ اللهَ وَيَحْمَدُهُ وَيُكَبِّرُهُ ثَلاثًا وَثَلاثِيْنَ وَيَخْتِمُ الْمِائَةَ بِالتَّهْلِيْلِ كَمَا وَرَدَ وَكَذَا الْجَمَاعَةُ ثُمَّ يَدْعُو اللهَ تَعَالى لَهُ وَلَهُمْ وَلِلْمُسْلِمِيْنَ. وَكَانَ قَدْ عُرِفَتْ عَادَتُهُ؛ لاَ يُكَلِّمُهُ أَحَدٌ بِغَيْرِ ضَرُوْرَةٍ بَعْدَ صَلاةِ الْفَجْرِ فَلاَ يَزَالُ فِي الذِّكْرِ يُسْمِعُ نَفْسَهُ وَرُبَّمَا يُسْمِعُ ذِكْرَهُ مَنْ إِلَى جَانِبِهِ، مَعَ كَوْنِهِ فِيْ خِلاَلِ ذَلِكَ يُكْثِرُ فِي تَقْلِيْبِ بَصَرِهِ نَحْوَ السَّمَاءِ. هَكَذَاَ دَأْبُهُ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَمْسُ وَيزُوْلَ وَقْتُ النَّهْيِ عَنِ الصَّلاةِ. وَكُنْتُ مُدَّةَ إِقَامَتِيْ بِدِمَشْقَ مُلاَزِمَهُ جُلَّ النَّهَارِ وَكَثِيْراً مِنَ اللَّيْلِ. وَكَانَ يُدْنِيْنِيْ مِنْهُ َحتَّى يُجْلِسَنِيْ إِلَى جَانِبِهِ، وَكُنْتُ أَسْمَعُ مَا يَتْلُوْ وَمَا يَذْكُرُ حِيْنَئِذٍ، فَرَأَيْتُهُ يَقْرَأُ الْفَاتِحَةَ وَيُكَرِّرُهَا وَيَقْطَعُ ذَلِكَ الْوَقْتَ كُلَّهُ ـ أَعْنِيْ مِنَ الْفَجْرِ إِلَى ارْتِفَاعِ الشَّمْسِ ـ فِيْ تَكْرِيْرِ تِلاَوَتِهَا. فَفَكَّرْتُ فِيْ ذَلِكَ؛ لِمَ قَدْ لَزِمَ هَذِهِ السُّوْرَةَ دُوْنَ غَيْرِهَا؟ فَبَانَ لِيْ ـ وَاللهُ أَعْلَمُ ـ أَنَّ قَصْدَهُ بِذَلِكَ أَنْ يَجْمَعَ بِتِلاَوَتِهَا حِيْنَئِذٍ مَا وَرَدَ فِي اْلأَحَادِيْثِ، وَمَا ذَكَرَهُ الْعُلَمَاءُ: هَلْ يُسْتَحَبُّ حِيْنَئِذٍ تَقْدِيْمُ اْلأَذْكَارِ الْوَارِدَةِ عَلَى تِلاَوَةِ الْقُرْآنِ أَوِ الْعَكْسُ؟ فرَأَى أَنَّ فِي الْفَاتِحَةِ وَتِكْرَارِهَا حِيْنَئِذٍ جَمْعاً بَيْنَ الْقَوْلَيْنِ وَتَحْصِيْلاً لِلْفَضِيْلَتَيْنِ، وَهَذَا مِنْ قُوَّةِ فِطْنَتِهِ وَثَاقِبِ بَصِيْرَتٍهٍ، اهـ (عمر بن علي البزار، الأعلام العلية في مناقب ابن تيمية، ص/37-39).

“Apabila Ibn Taimiyah selesai shalat shubuh, maka ia berdzikir kepada Allah bersama jamaah dengan doa yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Allahumma antassalam . . . Lalu ia menghadap kepada jamaah, lalu membaca tahlil-tahlil yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu tasbih, tahmid dan takbir, masing-masing 33 kali. Dan diakhiri dengan tahlil sebagai bacaan yang keseratus. Ia membacanya bersama jamaah yang hadir. Kemudian ia berdoa kepada Allah SWT untuk dirinya dan jamaah serta kaum Muslimin. Kebiasaan Ibn Taimiyah telah maklum, ia sulit diajak bicara setelah shalat shubuh kecuali terpaksa. Ia akan terus berdzikir pelan, cukup didengarnya sendiri dan terkadang dapat didengar oleh orang di sampingnya. Di tengah-tengah dzikir itu, ia seringkali menatapkan pandangannya ke langit. Dan ini kebiasaannya hingga matahari naik dan waktu larangan shalat habis. Aku selama tinggal di Damaskus selalu bersamanya siang dan malam. Ia sering mendekatkanku padanya sehingga aku duduk di sebelahnya. Pada saat itu aku selalu mendengar apa yang dibacanya dan dijadikannya sebagai dzikir. Aku melihatnya membaca al-Fatihah, mengulang-ulanginya dan menghabiskan seluruh waktu dengan membacanya, yakni mengulang-ulang al-Fatihah sejak selesai shalat shubuh hingga matahari naik. Dalam hal itu aku merenung. Mengapa ia hanya rutin membaca al-Fatihah, tidak yang lainnya? Akhirnya aku tahu –wallahu a’lam–-, bahwa ia bermaksud menggabungkan antara keterangan dalam hadits-hadits dan apa yang disebutkan para ulama; yaitu apakah pada saat itu disunnahkan mendahulukan dzikir-dzikir yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam daripada membaca al-Qur’an, atau sebaliknya? Beliau berpendapat, bahwa dalam membaca dan mengulang-ulang al-Fatihah ini berarti menggabungkan antara kedua pendapat dan meraih dua keutamaan. Ini termasuk bukti kekuatan kecerdasannya dan pandangan hatinya yang jitu.” (Syaikh Umar bin Ali al-Bazzar, murid Syaikh Ibnu Taimiyah berkata dalam al-A’lam al-‘Aliyyah fi Manaqib Ibn Taimiyah (hal. 37-39).

Kesimpulan dari riwayat ini, sehabis shalat shubuh Ibn Taimiyah berdzikir secara berjamaah, dan berdoa secara berjamaah pula seperti layaknya warga nahdliyyin. Pandangannya selalu diarahkan ke langit (yang ini tidak dilakukan oleh warga nahdliyyin). Sehabis itu, ia membaca surah al-Fatihah hingga matahari naik ke atas.

Rutinitas Syaikh Ibnu Taimiyah tersebut memberikan kesimpulan, bahwa dzikir tetap dianjurkan meskipun orang kafir sedang menyembah Matahari, atau orang Hindu sedang melakukan ritual keagamaan.

Dzikir Tahlilan tetap berjalan kapan saja, termasuk tujuh hari, hari ke-40, 100, 1000 dan lain-lain. Wallahu a’lam.


Oleh : Ustadz Muhammad Idrus Ramli
Semoga bermanfaat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar