Minggu, 12 Oktober 2014

Pilkada Langsung cocok dengan Kaidah di Kitab Alfiyah


Pemilihan kepala daerah ternyata termaktub dalam kitab kuning Alfiyah karya Ibnu Malik. Dalam kitab itu terdapat satu bait kaidah nahwu yang menjelaskan bahwa pilkada langsung merupakan bentuk demokrasi yang terbaik.

Direktur Lembaga Swadaya Masyarakat Santri Politika Abdul Hady J.M. menjelaskan sistem pilkada langsung terdapat di dalam kaidah nahwu yang berbunyi: “Wa fi ikhtiyarin la yajiul munfashil, idza taatta an yajial muttashil.” Artinya, selama masih ada dhamir muttashil (kata ganti bersambung/langsung), maka tidak boleh memakai dhamir munfashil (kata ganti yang terpisah/tidak langsung).

“Kaidah nahwu ini cocok dengan konsep pemilihan langsung,” kata Hady saat ditemui di kampus UIN Sunan Ampel, Surabaya, Ahad, 12 September 2014.

Menurut Hady, kaidah nahwu itu mengisyaratkan, selama masih bisa dilakukan pilkada langsung, tidak boleh dilakukan pilkada tidak langsung karena akan tambah kemudaratannya. “Jika dibandingkan antara pilkada langsung dan tidak langsung, yang kedua ini lebih besar mudaratnya,” kata Hady.

Dengan adanya kaidah seperti itu, Hady mengaku kurang mengetahui alasan mendetail kenapa Pengurus Besar Nahdlatul Ulama mengeluarkan rekomendasi supaya pilkada dikembalikan ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. “Padahal kaidah ini menguatkan pilkada langsung,” kata Hady.

Sebelumnya, hasil survei LSM Santri Politika menunjukkan sebanyak 85,4 persen santri setuju pemilihan kepala daerah harus tetap dipilih langsung oleh rakyat. Sebaliknya, hanya sebanyak 10,7 persen yang menghendaki dipilih DPRD, dan sisanya mengaku tidak tahu. Survei dilakukan sejak 30 September sampai 7 Oktober 2014 dengan jumlah koresponden 240 santri, yang diambil dari 24 pesantren yang tersebar di seluruh wilayah Jawa Timur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar