*Oleh: Hakam Ahmed ElChudrie*
Berdasarkan catatan sejarah, pesantren sejak era awal telah menggunakan kitab kuning, di sebagian tempat disebut pula sebagai kitab klasik untuk menyebut jenis kitab yang sama dan disebut juga kitab turast. Kitab-kitab tersebut umumnya tidak diberi harakat/syakal, sehingga tidak jarang disebut juga sebagai “kitab gundul”. Disebut kitab kuning karena pada umumnya kitab-kitab tersebut dicetak di atas kertas berwarna kuning.[1]
Penggunaan kitab kuning tersebut bahkan sebelum nama pesantren dikenal, minimal begitulah menurut Martin Van Bruinessen. Kitab-kitab tersebut biasanya terdiri dari karangan-karangan berafiliasi pada mazhab Syafi’i[2] atau yang sering disebut Syafi’iyah serta teologi yang beraliran Ash’ariyah dan Maturidiyah serta mistisisme al-Ghazali dan yang sejenis.[3]
Penggunaan kata kitab sendiri merujuk pada bahasa Arab kataba yang artinya menulis, dan kitab adalah bentuk mazdar (Kata Benda) dari fi’il (Kata Kerja) yang ada. Kitab berarti tulisan, buku karangan atau teks book. Dalam konteks pesantren penggunaan kata kitab digunakan untuk menunjuk pada buku-buku berbahasa Arab dan tidak digunakan untuk menunjuk buku-buku yang bertulisan latin. Buku-buku yang bertulisan Arab-lah yang memperoleh sebutan kitab. Hal ini menurut peneliti lebih dikarenakan pengenalan kata kitab dibawa dari Arab dan buku yang bertulis latin tetap disebut buku karena demikianlah asal katanya dalam bahasa latin, book.
Perbedaan penyebutan buku untuk tulisan yang memakai huruf latin dan kitab untuk menyebut tulisan berhuruf Arab juga menunjukkan bagaimana dua pengaruh kebudayaan mempengaruhi dunia intelektual nusantara. Buku-buku berhuruf latin di Indonesia sendiri baru dikenal setelah negeri ini mengalami penjajahan oleh bangsa Belanda. Sedangkan kitab-kitab berhuruf Arab bersamaan masuknya dengan penyebaran Islam di tanah air atau sudah lebih dahulu sekitar satu abad sebelum tulisan latin dikenal di Indonesia.
Dan penggunaan istilah kitab kuning pada kitab-kitab bertradisi klasik adalah karena kebanyakan kitab-kitab yang dimaksud dicetak di atas kertas berwarna kuning walaupun sekarang banyak juga yang dicetak menggunakan kertas putih.[4] Sebelum dunia percetakan dikenal di nusantara, kitab-kitab kuning diperbanyak dengan cara tulisan saduran yang dilakukan oleh para santri pada saat mengaji pada sang kyai. Teks inilah yang dijadikan pedoman oleh si santri dengan sambil menyetorkan hasil “belajar”-nya itu pada sang kyai atau biasa disebut tashih (Pembetulan), tashih ini juga berlaku pada kitab-kitab kuning yang tidak ditulis tapi dihafalkan lafadznya dan sampai saat sekarang ini banyak dari kalangan pesantren salaf yang menggunakan metode ini. Peng-ijazah-an juga seringkali dilakukan di pesantren sebagai upaya “pewarisan” hak mempelajari kitab dan ketersambungan kelimuan hingga ke tingkat penulisnya.
Kitab-kitab kuning tersebut ditulis dalam tulisan Arab[5] tanpa harakah atau shakal yang tentu saja membacanya membutuhkan kemampuan khusus agar bisa dibaca dan dipahami dengan baik. Kemampuan itu adalah kemampuan gramatikal bahasa Arab meliputi nahwu, sharf, dan balaghah[6] atau yang biasa disebut sebagai ilmu alat (karena ia adalah alat untuk membaca dan memahami).
Tentang definisi klasik dalam istilah kitab klasik atau nama lain dari kitab kuning, memang tidak ada klasifikasi pasti dari istilah klasik yang dipakai, tapi yang jelas kitab al-Um karya imam al-Syafi’ie ini menunjukkan bagaimana kitab ini juga disebut sebagai kitab kuning. Kitab al-Um sendiri dikarang pada zaman pertengahan Islam tepatnya pada masa Dinasti Abbasiyah pada masa Khalifah Harun al-Rasyid. Kitab ini menjadi penanda kitab kuning era awal walau juga sebelum itu, kitab al-Muwattha’ karya Imam Malik juga disebut sebagai kitab kuning.[7] Dan kitab-kitab kuning kebanyakan muncul pada masa sesudah kedua kitab tadi berasal dari kalangan mujtahid mazhab ataupun mujtahid muntasib[8] yang ditulis pada abad ke 10 sampai 15 M[9] tapi bukan berarti bahwa sesudah masa itu tidak ada kitab yang dihasilkan seperti tampak pada karya-karya belakangan seperti karangan Syekh Nawawi al-Bantani al-Jawi pada Abad ke-19,[10]
Sedangkan kitab-kitab yang dikarang pada abad ke-20-an seringkali disebut sebagai kitab muta’akhhirah (belakangan). Tentang kitab-kitab belakangan ini tidak dapat dikategorikan sebagai kitab kuning ataupun kitab klasik walau juga ada yang menyebutnya sebagai kitab kuning tapi bukan klasik.[11] Bagi penulis sendiri lebih menyetujui untuk menyebut kitab yang dikarang pada abad ke-20 sebagai kitab muta’akhirah.
Pada umumnya desain penulisan kitab-kitab kuning dimulai dengan teks dasar atau biasa disebut matan yang dikarang oleh seoranng ulama secara ‘mandiri’ dan tidak mengacu pada satu teks kitab lain,[12] dan kemudian sesudahnya berupa sharah (penjelas), kemudian Syarh al-Syarh (penjelasan penjelas) atau disebut khashiyah dan juga kemudian mukhtashar (ringkasan) yang biasanya merupakan ringkasan dari karya-karya tebal.[13] Di satu sisi hal seperti ini diakui sebagai bentuk penghormatan atas kitab-kitab terdahulunya dan juga bentuk jujur dari tradisi keilmuan serta kerendahan hati untuk mengakui kitab yang dirujuknya, tapi di sisi lain hal ini dianggap sebagai bentuk kemunduran dari tradisi Islam abad pertengahan yang memang banyak menghasilkan karya-karya independen dan tidak terikat dengan satu teks.
Bagaimanapun kitab kuning menjadi hal yang penting bagi kalangan pesantren bahkan bagi mereka yang mencap dirinya sebagai pesantren reformis semisal pesantren-pesantren milik organisasi Muhammadiyah dan juga pada pesantren yang berafilasi pada Islam puritan seperti milik Persis. Adapun pada pesantren-pesantren tradisional hingga saat sekarang masih tetap menggunakan kitab-kitab kuning ini sebagai bahan baku utama dalam pengajaran materi agama pada para santrinya. Pesantren yang berafilisi dengan Persis biasanya memiliki link yang lebih kuat dengan dunia Islam Timur Tengah kontemporer sehingga kitab-kitab muta’akhirah lebih banyak dipakai daripada pesantren salaf, sedangkan pada model pesantren reformis biasanya kitab-kitab yang digunakan berkisar pada tafsir dan hadist serta lebih mneyukai kitab-kitab terjemahan dalam bahasa Indoneisa dan bukannya pada kitab fiqih klasik berbahasa Arab walau juga untuk kategori ini kitab klasik juga ditemukan di pesantren reformis sebagai koleksi para santri secara pribadi.
[1] Departemen Agama, Dirjen Kelembagaan Agama Islam, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah, (Jakarta: Depag, 2003), hlm. 32.
[2] HM. Amin Haedari et.al. Masa Depan Pesantren, Dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Kmpleksitas Global, (Jakarta: IRD Press, 2005), hlm. 37.
[3]Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, (Bandung: Mizan, Cet.III, 1999), hlm. 19.
[4] Sahal Mahfud, Nuansa Fiqih Sosial, (Yogyakarta: LkiS,1994), hlm. 263.
[5] Ini juga bisa berarti akan keberadaan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa arab pegon (Melayu Arab, Jawa Arab)
[6]Yang dimaksud dengan Nahwu yaitu bidang ilmu kebahasaan yang menentukan bentuk kata kerja, kata benda, subjek, predikat dan objek. Sedangkan Sharaf adalah bidang ilu kebahasan yang menelusuri metamorfosa kata dan bentuk-bentuk kata. Sedangkan Balaghah adalah bidang ilmu kebahasaan yang melacak dari bidang sastra Arab dan pengertian bahasanya (makna).
[7]Walau tidak ada pesantren yang menjadikannya sebagai kitab resmi tapi kedua kitab ini telah menjadi koleksi tersendiri bagi para Kyai ataupun santri senior.
[8]Mujtahid Mazhab adalah mujtahid yang mendasarkan pendapatnya pada satu madhab, sedang mujtahid muntashib adalah mujtahid yang telah mencapai ketinggian ilmu tapi ia tetap berpegang pada metodologi mazhhab.
[9]Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, hlm. 30.
[10]Wafat pada 1896-7. beliau mengarang banyak syarah kitab-kitab fiqih berbahasa Arab dan banyak di antara kitab-kitab hasil karangannya yang dipergunakan di pesantren hingga sekarang.
[11] Sebutan untuk kitab muta’akhirah ini disebut sebagai kitab kuning penulis dapati dari beberapa santri di pondok pesantren di Jawa Timur yang mengaji kitab-kitab muta’akhirah dan menyebutnya sebagai kitab kuning.
[12] Tapi bukan berarti tidak mengacu pada satu manhaj atau mazhhab
[13] Ungkapan yang berarti sama juga diungkapakan Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, hlm. 141.
*sumber: http://hakamabbas.blogspot.com/2014/10/kitab-kuning.html
Berdasarkan catatan sejarah, pesantren sejak era awal telah menggunakan kitab kuning, di sebagian tempat disebut pula sebagai kitab klasik untuk menyebut jenis kitab yang sama dan disebut juga kitab turast. Kitab-kitab tersebut umumnya tidak diberi harakat/syakal, sehingga tidak jarang disebut juga sebagai “kitab gundul”. Disebut kitab kuning karena pada umumnya kitab-kitab tersebut dicetak di atas kertas berwarna kuning.[1]
Penggunaan kitab kuning tersebut bahkan sebelum nama pesantren dikenal, minimal begitulah menurut Martin Van Bruinessen. Kitab-kitab tersebut biasanya terdiri dari karangan-karangan berafiliasi pada mazhab Syafi’i[2] atau yang sering disebut Syafi’iyah serta teologi yang beraliran Ash’ariyah dan Maturidiyah serta mistisisme al-Ghazali dan yang sejenis.[3]
Penggunaan kata kitab sendiri merujuk pada bahasa Arab kataba yang artinya menulis, dan kitab adalah bentuk mazdar (Kata Benda) dari fi’il (Kata Kerja) yang ada. Kitab berarti tulisan, buku karangan atau teks book. Dalam konteks pesantren penggunaan kata kitab digunakan untuk menunjuk pada buku-buku berbahasa Arab dan tidak digunakan untuk menunjuk buku-buku yang bertulisan latin. Buku-buku yang bertulisan Arab-lah yang memperoleh sebutan kitab. Hal ini menurut peneliti lebih dikarenakan pengenalan kata kitab dibawa dari Arab dan buku yang bertulis latin tetap disebut buku karena demikianlah asal katanya dalam bahasa latin, book.
Perbedaan penyebutan buku untuk tulisan yang memakai huruf latin dan kitab untuk menyebut tulisan berhuruf Arab juga menunjukkan bagaimana dua pengaruh kebudayaan mempengaruhi dunia intelektual nusantara. Buku-buku berhuruf latin di Indonesia sendiri baru dikenal setelah negeri ini mengalami penjajahan oleh bangsa Belanda. Sedangkan kitab-kitab berhuruf Arab bersamaan masuknya dengan penyebaran Islam di tanah air atau sudah lebih dahulu sekitar satu abad sebelum tulisan latin dikenal di Indonesia.
Dan penggunaan istilah kitab kuning pada kitab-kitab bertradisi klasik adalah karena kebanyakan kitab-kitab yang dimaksud dicetak di atas kertas berwarna kuning walaupun sekarang banyak juga yang dicetak menggunakan kertas putih.[4] Sebelum dunia percetakan dikenal di nusantara, kitab-kitab kuning diperbanyak dengan cara tulisan saduran yang dilakukan oleh para santri pada saat mengaji pada sang kyai. Teks inilah yang dijadikan pedoman oleh si santri dengan sambil menyetorkan hasil “belajar”-nya itu pada sang kyai atau biasa disebut tashih (Pembetulan), tashih ini juga berlaku pada kitab-kitab kuning yang tidak ditulis tapi dihafalkan lafadznya dan sampai saat sekarang ini banyak dari kalangan pesantren salaf yang menggunakan metode ini. Peng-ijazah-an juga seringkali dilakukan di pesantren sebagai upaya “pewarisan” hak mempelajari kitab dan ketersambungan kelimuan hingga ke tingkat penulisnya.
Kitab-kitab kuning tersebut ditulis dalam tulisan Arab[5] tanpa harakah atau shakal yang tentu saja membacanya membutuhkan kemampuan khusus agar bisa dibaca dan dipahami dengan baik. Kemampuan itu adalah kemampuan gramatikal bahasa Arab meliputi nahwu, sharf, dan balaghah[6] atau yang biasa disebut sebagai ilmu alat (karena ia adalah alat untuk membaca dan memahami).
Tentang definisi klasik dalam istilah kitab klasik atau nama lain dari kitab kuning, memang tidak ada klasifikasi pasti dari istilah klasik yang dipakai, tapi yang jelas kitab al-Um karya imam al-Syafi’ie ini menunjukkan bagaimana kitab ini juga disebut sebagai kitab kuning. Kitab al-Um sendiri dikarang pada zaman pertengahan Islam tepatnya pada masa Dinasti Abbasiyah pada masa Khalifah Harun al-Rasyid. Kitab ini menjadi penanda kitab kuning era awal walau juga sebelum itu, kitab al-Muwattha’ karya Imam Malik juga disebut sebagai kitab kuning.[7] Dan kitab-kitab kuning kebanyakan muncul pada masa sesudah kedua kitab tadi berasal dari kalangan mujtahid mazhab ataupun mujtahid muntasib[8] yang ditulis pada abad ke 10 sampai 15 M[9] tapi bukan berarti bahwa sesudah masa itu tidak ada kitab yang dihasilkan seperti tampak pada karya-karya belakangan seperti karangan Syekh Nawawi al-Bantani al-Jawi pada Abad ke-19,[10]
Sedangkan kitab-kitab yang dikarang pada abad ke-20-an seringkali disebut sebagai kitab muta’akhhirah (belakangan). Tentang kitab-kitab belakangan ini tidak dapat dikategorikan sebagai kitab kuning ataupun kitab klasik walau juga ada yang menyebutnya sebagai kitab kuning tapi bukan klasik.[11] Bagi penulis sendiri lebih menyetujui untuk menyebut kitab yang dikarang pada abad ke-20 sebagai kitab muta’akhirah.
Pada umumnya desain penulisan kitab-kitab kuning dimulai dengan teks dasar atau biasa disebut matan yang dikarang oleh seoranng ulama secara ‘mandiri’ dan tidak mengacu pada satu teks kitab lain,[12] dan kemudian sesudahnya berupa sharah (penjelas), kemudian Syarh al-Syarh (penjelasan penjelas) atau disebut khashiyah dan juga kemudian mukhtashar (ringkasan) yang biasanya merupakan ringkasan dari karya-karya tebal.[13] Di satu sisi hal seperti ini diakui sebagai bentuk penghormatan atas kitab-kitab terdahulunya dan juga bentuk jujur dari tradisi keilmuan serta kerendahan hati untuk mengakui kitab yang dirujuknya, tapi di sisi lain hal ini dianggap sebagai bentuk kemunduran dari tradisi Islam abad pertengahan yang memang banyak menghasilkan karya-karya independen dan tidak terikat dengan satu teks.
Bagaimanapun kitab kuning menjadi hal yang penting bagi kalangan pesantren bahkan bagi mereka yang mencap dirinya sebagai pesantren reformis semisal pesantren-pesantren milik organisasi Muhammadiyah dan juga pada pesantren yang berafilasi pada Islam puritan seperti milik Persis. Adapun pada pesantren-pesantren tradisional hingga saat sekarang masih tetap menggunakan kitab-kitab kuning ini sebagai bahan baku utama dalam pengajaran materi agama pada para santrinya. Pesantren yang berafilisi dengan Persis biasanya memiliki link yang lebih kuat dengan dunia Islam Timur Tengah kontemporer sehingga kitab-kitab muta’akhirah lebih banyak dipakai daripada pesantren salaf, sedangkan pada model pesantren reformis biasanya kitab-kitab yang digunakan berkisar pada tafsir dan hadist serta lebih mneyukai kitab-kitab terjemahan dalam bahasa Indoneisa dan bukannya pada kitab fiqih klasik berbahasa Arab walau juga untuk kategori ini kitab klasik juga ditemukan di pesantren reformis sebagai koleksi para santri secara pribadi.
[1] Departemen Agama, Dirjen Kelembagaan Agama Islam, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah, (Jakarta: Depag, 2003), hlm. 32.
[2] HM. Amin Haedari et.al. Masa Depan Pesantren, Dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Kmpleksitas Global, (Jakarta: IRD Press, 2005), hlm. 37.
[3]Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, (Bandung: Mizan, Cet.III, 1999), hlm. 19.
[4] Sahal Mahfud, Nuansa Fiqih Sosial, (Yogyakarta: LkiS,1994), hlm. 263.
[5] Ini juga bisa berarti akan keberadaan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa arab pegon (Melayu Arab, Jawa Arab)
[6]Yang dimaksud dengan Nahwu yaitu bidang ilmu kebahasaan yang menentukan bentuk kata kerja, kata benda, subjek, predikat dan objek. Sedangkan Sharaf adalah bidang ilu kebahasan yang menelusuri metamorfosa kata dan bentuk-bentuk kata. Sedangkan Balaghah adalah bidang ilmu kebahasaan yang melacak dari bidang sastra Arab dan pengertian bahasanya (makna).
[7]Walau tidak ada pesantren yang menjadikannya sebagai kitab resmi tapi kedua kitab ini telah menjadi koleksi tersendiri bagi para Kyai ataupun santri senior.
[8]Mujtahid Mazhab adalah mujtahid yang mendasarkan pendapatnya pada satu madhab, sedang mujtahid muntashib adalah mujtahid yang telah mencapai ketinggian ilmu tapi ia tetap berpegang pada metodologi mazhhab.
[9]Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, hlm. 30.
[10]Wafat pada 1896-7. beliau mengarang banyak syarah kitab-kitab fiqih berbahasa Arab dan banyak di antara kitab-kitab hasil karangannya yang dipergunakan di pesantren hingga sekarang.
[11] Sebutan untuk kitab muta’akhirah ini disebut sebagai kitab kuning penulis dapati dari beberapa santri di pondok pesantren di Jawa Timur yang mengaji kitab-kitab muta’akhirah dan menyebutnya sebagai kitab kuning.
[12] Tapi bukan berarti tidak mengacu pada satu manhaj atau mazhhab
[13] Ungkapan yang berarti sama juga diungkapakan Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, hlm. 141.
*sumber: http://hakamabbas.blogspot.com/2014/10/kitab-kuning.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar