Kamis, 30 April 2015

Malaikat tidak bisa mencatat pahala puasa

1. Mengapa Malaikat Tak Mampu Mencatat Pahala Puasa?

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عن أبى هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم  كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ. وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ


“Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya. Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku. Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan yaitu kebahagiaan ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi.” (HR. Bukhari no. 1904, 5927 dan Muslim no. 1151)

Puasa adalah menyifati diri dengan sifat yang tidak kita miliki; yaitu menyifati diri dengan sifat yang berlawanan dengan sifat diri kita (tawashuf bikhilafi ma nahnu fihi). Hakekat kita adalah zat dengan sifat yang membutuhkan (al-faqir). Dengan puasa, sebenarnya kita lagi menyifati diri [1] kita dengan  sifat yang tidak sesuai dengan zat diri kita, yaitu sifat tidak membutuhkan (al-ghaniy), karena al-ghaniy(maha kaya) adalah sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala[2] semata.

Ketika berpuasa kita  tidak membutuhkan makanan yang mengisi perut dan minuman yang membasahi tenggorokan kita. Bukankah Allah tidak membutuhkan makan dan minum?!

Jangan heran! Bukan kita saja yang sering menyifati diri kita dengan sifat Allah, Allahpun juga terkadang suka menyifati diri-Nya dengan sifat hamba-Nya. Contohnya pada ayat berikut ini Allah lagi menyifati dirinya dengan makhluk yang lagi membutuhkan.

مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا

“Siapakah yang mau meminjamkan Allah (uang atau harta) dengan pinjaman yang baik?!” (Al-Baqarah: 245)

Juga pada hadits ini, Allah lagi menyifati dirinya dengan sifat kita.

يَا ابْنَ آدَمَ مَرِضْتُ فَلَمْ تَعُدْنِي … يَا ابْنَ آدَمَ اسْتَطْعَمْتُكَ فَلَمْ تُطْعِمْنِي… يَا ابْنَ آدَمَ اسْتَسْقَيْتُكَ فَلَمْ تَسْقِنِي

“Wahai anak Adam, aku sakit tapi kamu tidak menjengukku... Wahai anak Adam, aku lapar tapi kamu tidak memberiku makan… Wahai Anak Adam, aku haus tapi kamu tidak memberiku minum” (Riwayat Muslim)[3]

Di alquran Allah juga menyifati diri-Nya dengan penyabar (ash-Shobur), sementara sabar tidak terjadi kecuali jika ada kesusahan (masyaqqah), sementara Allah tidaklah mungkin tertimpa kesusahan.

Dari ayat dan hadits di atas, jangan dipahami secara zhohir bahwa Allah butuh uang, Allah sakit, Allah lapar dan Allah haus, tetapi Allah lagi bertanazul dengan para hamba, yaitu Allah lagi mendekati hambanya dengan menurunkan sifat-Nya kepada sifat hamba dan pada saat yang bersamaan Allah juga mendekatkan hamba-Nya kepada-Nya dengan menaikkan sifatnya kepada sifat-Nya.[4]

Tanazul ini saya umpamakan ketika kita menyapa anak-anak kita yang sedang bermain di atas pasir, kita ikut turun ke atas pasir, memperlakukan anak-anak kita bukan dengan sifat kita; sifat orang dewasa, tetapi dengan sifat anak-anak yang lagi bermain di atas pasir. Ini terjadi secara otomatis jika kita mencintai anak-anak kita. Begitu pulalah Allah ketika Allah mensifatkan diri-Nya dengan sifat hamba sebenarnya Allah lagi mendekati hamba-Nya (taqarruban), merealisasikan cinta-Nya (tahabbuban) dan menyentuh hamba dengan merasakan kelembutan sifat-Nya (talathufan).

Murid-muridku yang kucintai…

Di antara sifat Allah adalah puasa (shoum) karena puasa adalah imsak, yaitu imtina’ (tidak makan dan minum). Ketika Allah menyuruh kita berpuasa, sebenarnya Allah menyuruh kita untuk bersifat dengan sifat Allah, untuk berakhlak dengan akhlak Allah.

Begitu pula puasa adalah istighna’; yaitu tidak membutuhkan segala sesuatu. Istighna’ adalah sifat Allah, dimana Allah tidak membutuhkan segala sesuatu. Jadi ketika puasa, kita sebenarnya lagi melatih diri untuk bersifat dengan sifat Allah, walaupun pada hakekatnya kita membutuhkan segala sesuatu. Namun Allah ingin membiasakan kepada kita: “Berpuasalah kamu, bersifatlah dengan sifat-Ku walaupun hanya sekali-sekali[5] kamu bersifat dengan sifat-Ku, contohlah Aku hingga kamu mengenal dan mencintai Aku."

Puasa adalah ibadah agung untuk bertakhalluq [6] dengan akhlak Allah, tasyakkul [7] dan tanazul [8] dengan sifat Allah Ta’ala secara majaziah karena sifat-sifat itu pada hakekatnya bukanlah sifat kita.

Jadi hakekat puasa adalah sifat Allah, oleh karena itulah tak ada malaikat yang mampu mencatat pahalanya. Berbeda dengan sedekah, sholat, berbuat baik kepada orang tua, baca alquran dan semuanya ditentukan rinci pahalanya, ada yang sepuluh kali lipat, ada yang tujuh puluh kali lipat, ada yang tujuh ratus kali lipat dan seterusnya. Sementara puasa, Allah tidak memberi tahu. Allah hanya mengatakan dalam hadits:

وَأَنَا أَجْزِي بِهِ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا... (رواه البخاري)

“…dan Aku yang akan membalasnya dan sementara kebaikan selain puasa itu pahalanya sepuluh kali lipat…”

Hadits di atas adalah sebuah isyarat yang agung bahwa Allah ingin mengatakan pada kita; Takhalluq (bersifat) dengan sifat Allah tidak bisa ditimbang pahalanya, bahkan pada hari kiamatpun pahala puasa ini tidak bisa ditimbang dengan mizan sementara amal-amal yang lain semuanya dapat ditimbang. Siapakah yang dapat menimbang beratnya sifat Allah?! Tak mungkin, itu mustahil. Tak ada satu makhlukpun yang dapat mengukur seberapa besar beratnya timbangan sifat Allah. Mustahil!!!

Oleh karena itulah Allah mensifati orang-orang yang bersifat dengan sifat-Nya sebagai Rabbaniyun:

وَلَكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ...(آل عمران: 79) 

“Akan tetapi jadilah kamu seorang hamba yang bersifat dengan sifat-sifat Rabbmu.”

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ


“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az Zumar: 10)

Selamat menjalankan ibadah puasa.

Oleh: Sidi Syaikh Muhammad 'Iwadh al-Manqusy hafizhahullah dalam majelis beliau, pembacaan Shohih Bukhari di Hay al-Asyir Nashr City Cairo.

Catatan kaki:

[1] Tawashuf bukan tasybih/tamtsil, sebab yang tawashuf dalam lingkup sifat-sifat maknawi, sementara tasybih/tamtsil dalam lingkup sifat-sifat jusmani.
[2] Inilah yang dimaksudkan orang-orang sufi denganتخلقوا بأخلاق الله
 “Berakhlaklah kamu dengan akhlak Allah”, maksudnya adalah bersifatlah kamu dengan sifat Allah seperti sayang, kasih, pemberi, pemaaf dan penolong.
[3] Lebih lengkapnya hadits tersebut adalah:

يَا ابْنَ آدَمَ مَرِضْتُ فَلَمْ تَعُدْنِي قَالَ يَا رَبِّ كَيْفَ أَعُودُكَ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ قَالَ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ عَبْدِي فُلَانًا مَرِضَ فَلَمْ تَعُدْهُ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّكَ لَوْ عُدْتَهُ لَوَجَدْتَنِي عِنْدَهُ يَا ابْنَ آدَمَ اسْتَطْعَمْتُكَ فَلَمْ تُطْعِمْنِي قَالَ يَا رَبِّ وَكَيْفَ أُطْعِمُكَ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ قَالَ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّهُ اسْتَطْعَمَكَ عَبْدِي فُلَانٌ فَلَمْ تُطْعِمْهُ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّكَ لَوْ أَطْعَمْتَهُ لَوَجَدْتَ ذَلِكَ عِنْدِي يَا ابْنَ آدَمَ اسْتَسْقَيْتُكَ فَلَمْ تَسْقِنِي قَالَ يَا رَبِّ كَيْفَ أَسْقِيكَ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ قَالَ اسْتَسْقَاكَ عَبْدِي فُلَانٌ فَلَمْ تَسْقِهِ أَمَا إِنَّكَ لَوْ سَقَيْتَهُ وَجَدْتَ ذَلِكَ عِنْدِي


[4] Tanazul tidak sama dengan tasybih yang dilakukan oleh orang-orang mujassimah. Karena tanazul adalah dalam lingkup sifat-sifat maknawi seperti penyayang, pengasih, pemaaf dan penolong sementara tasybih adalah dalam lingkup jusmani seperti berwajah, bermata, bertangan dan berkaki. Maha suci Allah daripada penyerupaan terhadap makhluk.
[5] Setahun sekali (Ramadhan), seminggu dua kali (senin & kamis), sebulan tiga kali (13, 14, & 15 tiap-tiap bulan Hijriyah, dan puasa-puasa sunnah lainnya seperti puasa nishfu sya’ban, ‘asyura, puasa 6 hari di bulan syawal dan seterusnya.
[6] berakhlak
[7] menyerupai
[8] yaitu Allah lagi mendekati hambanya dengan menurunkan sifat-Nya kepada sifat hamba dan pada saat yang bersamaan Allah juga mendekatkan hamba-Nya kepada-Nya dengan menaikkan sifatnya kepada sifat-Nya.

2. Maksud Hadits Lima Perkara Yang Membatalkan (pahala) Puasa


Bulan suci Ramadhan telah tiba, bulan penuh rahmat dan ampunan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kesempatan sangat berharga untuk meraih ampunan besar dari Allah Ta’ala dengan menjalankan ibadah puasa sebaik mungkin secara zahir dan bathin yakni dengan menjaga zahir kita dari melakukan perkara yang membatalkan puasa dan menjaga bathin kita dari perkara yang merusak pahala puasa sehingga puasa kita menjadi sempurna zahir dan bathin.

Berbicara tentang perkara yang membatalkan puasa, maka sudah maklum diketahui dalam kitab-kitab feqah yang ada dari kalangan empat mazhab seperti murtad, haid, nifas, bersetubuh, makan minum dan lainnya.  Lalu bagaimana dengan dosa-dosa semisal berdusta, sumpah palsu, berkata kotor, mengghibah dan semisalnya, apakah membatalkan puasa atau pahala puasa sahaja ? Seperti hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini :

خمس يفطرن الصائم الكذب والغيبة والنميمة واليمين الكاذبة والنظر بشهوة


“ Lima perkara yang membatalkan orang yang berpuasa ; dusta, ghibah, adu domba, sumpah palsu dan melihat dengan syahwat “.

Dan bagaimana kedudukan hadits tersebut ?

Jumhur fuqaha dari mazhab Syafi’iyyah, Hanafiyyah, Malikiyyah dan Hanbaliyyah mengatakan bahwa perkara ma’shiat semacam itu tidak membatalkan puasa, kecuali imam al-Awza’i beliau mengatakan bahwa ghibah dapat membatalkan puasa dan wajib diqadhai, beliau mendasarinya salah satunya dengan dalil hadits di atas dan juga hadits berikut :

من لم يدع قول الزور والعمل به فليس لله حاجة في أن يدع طعامه وشرابه


“ Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan berbuat dusta, maka Allah tidak peduli ia meninggalkan makan dan minumnya “.(HR. Bukhari)

Pendapat al-Awza’i dijawab oleh para ulama sebagaimana disebutkan oleh imam an-Nawawi berikut :

وأجاب أصحابنا عن هذه الأحاديث سوى الأخير بأن المراد أن كمال الصوم وفضيلته المطلوبة إنما يكون بصيانته عن اللغو والكلام الرديء لا أن الصوم يبطل به . وأما الحديث الأخير ، خمس يفطرن الصائم ” فحديث باطل لا يحتج به ، وأجاب عنه الماوردي والمتولي وغيرهما بأن المراد بطلان الثواب لا نفس الصوم


“ Para sahabat kami (ulama Syafi’iyyah) menjawab tentang hadits-hadits tersebut selain hadits yang terakhir, bahwasanya yang dimaksud adalah sesungguhnya kesempurnaan puasa dan keutamaan yang dituntut adalah dapat diperoleh dengan menjaga dari perbuatan sia-sia dan ucapan kotor, bukan puasa dapat batal dengannya. Adapun hadits terakhir yakni ; “ Lima perkara yang membatalkan orang yang berpuasa “, maka hadits itu bathil tidak boleh dibuat hujjah. Maka dijawab oleh imam al-Mawardi , al-Mutawalli dan selain keduanya, bahwasanya yang dimaksud hadits itu adalah membatalkan pahala puasa bukan dzatnya puasa itu sendiri “.[1]

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ibnul Jauzi dalam al-Maudhu’atnya dari hadits ‘Anbasah, dan ia mengatakan hadits itu palsu. Ibnu Ma’in mengatakan, “ Sa’id seorang yang pendusta, dan dari Sa’id sampai ke Anas, semua perawinya tertuduh. Ibnu Abi Hatim mengatakan dalam kitab ‘Ilalnya, “ Aku bertanya kepada ayahku tentang hadits tersbut yang diriwayatkan oleh Baqiyyah dari Muhammad al-Hajjaj dari Maisarah bin Abd Rabbih dari Jaban dari Anas…maka beliau menjawab, “ Ini adalah pendusta…” [2]

Sedangkan imam as-Subuki menilainya dhaif meskipun maknanya sahih :

قال السبكي: وحديث خمس يفطرن الصائم الغيبة والنميمة إلى آخره ضعيف وإن صح


“ Imam as-Subuki mengatakan, “ Dan hadits “ Lima perkara yang membatalkan (pahala) puasa, yakni ghibah, adu domba dan seterusnya adalah dhaif walaupun sahih (maknanya) “[3]

Dari keterangan imam Nawawi, dipahami bahwasanya ghibah dan ucapan kotor tidak membatalkan puasa, adapun hadits “ Lima perkara yang membatalkan orang yang berpuasa…”, maka dijawab oleh para ulama bahwa hadits itu bathil dan tidak bisa dijadikan hujjah untuk menetapkan batalnya puasa. Akan tetapi, imam al-Mawardi dan imam al-mutawalli menjawab bahwa yang dimaksud hadits itu adalah perkara yang membatalkan pahala puasa bukan puasanya.

Artinya walaupun hadits itu dinilai bathil, namun masih bisa menerima takwil yakni bahwa yang dimaksudkan adalah membatalkan pahala puasa bukan puasanya itu sendiri.  Dengan demikian jika ada orang yang menggunakan hadits tersebut sebagai hujjah untuk menetapkan batalnya puasa, maka hujjahnya tertolak karena jumhur ulama sudah menetapkan berdasarkan hadits-hadits sahih bahwasanya perkara maksyiat semacam ghibah, dusta dan lainnya tidak membatlkan puasa. Namun apabila ada orang yang menggunakan hadits tersebut sebagai hujjah untuk menetapkan batalnya pahala orang yang berpuasa, maka hal ini tidak bisa ditolak, karena imam al-Mawardi, imam al-Mutawawlli dan ulama lainnya membolehkannya dengan menerima makna takwilannya yaitu yang dimaksud adalah membatalkan pahala puasa bukan puasanya.

Hal yang mendasari hal ini adalah banyaknya hadits-hadits sahih tentang bahayanya lima perkara tersebut. Ghibah, adu domba, dusta, sumpah palsu dan melihat dengan syahwat memanglah haram dan wajib dijauhi walaupun tidak dalam keadaan berpuasa dari sisi menjauhi perbuatan maksyiat, dan lebih ditekankan untuk dijauhi bagi orang yang berpuasa akan tetapi dari sisi merusak pahala puasa. Maka dengan demikian di saat puasa pun lebih wajib untuk meninggalkan semua perbuatan dosa termasuk lima perkara tersebut, karena bulan puasa pahala ibadah dilipat gandakan demikian juga dosa perbuatan maksyiat.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالعَمَلَ بِهِ وَالجَهْلَ فَلَيْسَ للهِ حَاجَةٌ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ


“ Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapapan dusta, perbuatan dusta dan perbuatan bodoh, maka Allah tidak perduli dengan ia meninggalkan makan dan minumnya “.(HR. Bukari)

Imam ash-Shan’ani mengomentarinya :

الحديثُ دليلٌ على تحريم الكذب والعملِ به، وتحريمِ السفَهِ على الصائم، وهما محرَّمان على غير الصائم ـ أيضًا ـ، إلَّا أنَّ التحريم في حقِّه آكَدُ كتأكُّد تحريم الزنا مِنَ الشيخ والخُيَلَاءِ مِنَ الفقير


“ Hadits tersebut dalil atas keharaman berdusta dan berbuat dusta dan keharaman berbuat bodoh atas orang yang berpuasa, keduanya adalah haram bagi orang yang tidak berpuasa juga, akan tetapi keharamannya bagi orang yang berpuasa lebih ditekankan seperti keharaman berzina bagi seorang syaikh (tua) dan sifat sombong bagi orang yang faqir “.[4]

Para ulama lainnya pun seperti imam Ibn Ash-Shabbagh mengomentari hadits lima perkara tersebut sebagai berikut :

وأما الخبر: فالمراد به: أنه يسقط ثوابه، حتى يصير في معنى المفطر، كقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «من قال لأخيه والإمام يخطب: أنصت.. فلا جمعة له» . ولم يرد: أن صلاته تبطل، وإنما أراد: أن ثوابه يسقط، حتى يصير في معنى من لم يصل


“ Adapu hadits tersebut, maka yang dimaksud adalah menggugurkan pahala puasa, sehingga menjadi makna perkara yang membatalkan puasa, sebagaimana contoh hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : “ Barangsiapa yang berkata kepada saudaranya sedangkan imam berkhutbah, “ Diamlah “, maka tidak ada jum’at baginya “, hadits ini tidak bermaksud sholatnya batal, akan tetapi yang dimaksud adalah bahwasanya pahala jum’atnya gugur sehingga menjadi makna orang yang tidak sholat “.[5]

Maka tidak salah jika ada seorang ustadz yang membawakan hadits tersebut dalam konteks sebagaimana disebutkan para ulama di atas yakni menjelaskan rusaknya pahala puasa bukan puasanya itu sendiri, karena ia bukan sedang membawakan hujjah untuk menyatakan batalnya puasa sebagaimana pendapat al-Awza’i. Karena makna seperti itu (merusak pahala puasa) telah disaksikan (syawahid) oleh banyak hadits sahih lainnya, di antaranya :

من لم يدع قول الزور والعمل به فليس لله حاجة في أن يدع طعامه وشرابه


“ Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan berbuat dusta, maka Allah tidak peduli ia meninggalkan makan dan minumnya “.(HR. Bukhari)

Nabi juga bersabda :

رب صائم ليس له من صيامه إلا الجوع والعطش


“ Berapa banyak orang yang berpuasa, tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali rasa lapar dan haus “ (HR. Al-Hakim; sahih ‘ala syartil Bukhari)

Juga hadits :

الصائم في عبادة من حين يصبح إلى أن يُمسي ما لم يغتب، فإذا اغتاب خرق صومه


“ Orang yang berpuasa di dalam beribadah sejak pagi hingga sore hari semenjak ia tidak berghibah, jika ia berghibah maka ia telah merusak (pahala[6]) puasanya “. (Hadits ini diisyaratkan dhaif oleh imam as-Suyuthi)

Kesimpulannya : Puasa adalah menahan diri dari perkara yang membatalkan puasa seperti makan, minum dan lainnnya, dan juga menahan diri dari semua perkara haram yang dapat merusak kesempurnaan puasa seperti ghibah, dusta, sumpah palsu, melihat yang diharamkan dan lainnya. Walaupun maksyiat semacam itu haram dilakukan di setiap waktu dan kapanpun, akan tetapi lebih diharamkan lagi bagi orang yang berpuasa sebagaima hadits-hadits di atas supaya tidak dapat merusak pahala puasanya.

[1] Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, an-Nawawi : 6/356
[2] (Nashbu ar-Rayah : 2/483)
[3] Al-Iqna fi Hilli Alfadzi Abi Syuja’ : 1/220
[4] Subul as-Salam, ash-Shan’ani : 2/320
[5] Al-Bayan fi Mazhab imam Syafi’i : 3/536
[6] At-Taisir Bi syarh al-Jami’ ash-Shagir, al-Manawi   : 2/201

Tidak ada komentar:

Posting Komentar