Kamis, 29 Mei 2014

Mengenal Turats Fiqih

Islam memang lahir di tengah-tengah umat yang dikenal dengan ummat ummiyyah (ummat buta huruf). Bahkan Nabi Muhammad SAW yang merupakan penyampai risalah Islam juga dengan tegas disebut oleh Al Qur’an sebagai Nabi yang Ummi. Maka ketika malaikat Jibril pertama kali datang menemui Muhammad untuk meminta beliau membaca, beliau menjawab, “Aku tak bisa membaca”.
Di tengah ummat yang tak pandai membaca, kepada seorang laki-laki yang juga tak pandai membaca, wahyu yang pertama kali turun justru adalah perintah untuk membaca. Dan kemudian sejarah melihat secara berangsur-angsur, ayat per ayat, surat per surat, wahyu itu dengan tuntas turun semuanya ke bumi. Dan himpunan semua wahyu yang turun ke bumi itu kemudian dikenal oleh kawan maupun lawan sebagai Al Qur’an. Secara harfiah, nama kitab suci tersebut bisa kita maknai sebagai ‘bacaan’.
Dengan turunnya ‘bacaan’, umat yang tak pandai membaca itu, selanjutnya justru berubah menjadi umat yang mendobrak tradisi. Sejarah kemudian menyaksikan umat tersebut berhasil mengalahkan dua imperium berperadaban besar pada saat itu; Romawi dan Persia. Lebih dari itu, pengaruh ‘bacaan’ semakin menyebar dan meluas hingga melintasi benua Asia, Afrika dan Eropa. Bahkan hari ini, lantunan indah ‘bacaan’ bisa kita dapati dan kita dengar dalam kopaja di tengah-tengah kemacetan kota Jakarta.
Penyebaran luas ‘bacaan’ tersebut dan juga ajaran-ajaran yang terdapat di dalamnya tidak lain adalah merupakan jasa tak terlupa dari perjuangan cerdas para ulama dan juga pengorbanan ikhlas para syuhada. Sebab, sebagaimana dikatakan oleh seorang pecinta dan pejuang Islam, “Keindahan peradaban Islam yang kita saksikan sepanjang belasan abad, adalah lukisan agung perpaduan dua warna; hitam tinta para ulama dan merah darah para syuhada”.
Salah satu hal yang seharusnya menjadi karakteristik umat Islam adalah aktivitas membaca. Bagaimana tidak, Al Qur’an yang secara harfiah tadi kita maknai sebagai ‘bacaan’ adalah sebuah kitab suci yang diawali dengan wahyu pertama berupa perintah membaca. Iqra’. Hal inilah yang disadari betul oleh para ulama kita dahulu. Sehingga Islam yang tampak saat itu, adalah Islam sebagai Ummat Qariah (umat pembaca).
Aktivitas membaca yang mendarah daging itu akhirnya melahirkan aktivitas baru; menulis. Maka sudah sejak dini sekali Al Qur’an dan juga hadits, selain selalu dibaca, dihafalkan diluar kepala, namun juga ditulis dalam bebatuan, tulang belulang, pelepah kurma dan lain sebagainya.
Turats Fiqih; Satu dari Dua Warna
Tradisi menulis yang dimasa-masa awal Islam belum terlalu kental, tiba-tiba berubah menjadi tradisi yang begitu melekat. Sehingga sejak masa pasca tabi’in, mulailah tumbuh benih-benih tulisan yang kemudian semakin membesar, berkembang dan akhirnya membentuk sebuah peradaban. Itulah olesan warna yang disumbangkan oleh para ulama dari tinta-tinta hitam mereka.
Diantara semua jenis tulisan, barangkali karya-karya fiqih merupakan warna yang paling dominan. Karena itulah tidak mengherankan jika salah seorang pemikir muslim pernah mengatakan, “Andaikan saja peradaban Islam bisa diungkapkan dengan salah satu produknya, maka kita akan menamakannya sebagai “Peradaban Fiqih” sebagaimana Yunani diidentikkan dengan “Peradaban Filsafat”
Dan karena begitu besarnya bangunan fiqih tersebut, sampai-sampai kita seakan tidak akan mampu untuk mengenal semuanya. Apalagi mau membaca semuanya. Itu belum lagi ditambah dengan banyaknya karya-karya fiqih yang hilang karena peristiwa penyerangan kaum Tatar ke wilayah Baghdad dulu.
Yang jelas, karya-karya fiqih yang masih tersisa pun, tak diketahui dengan pasti betapa banyak jumlahnya. Pada Senin 16 Mei 2011, sebuah seminar bertajuk Kaifa Nata’aamal ma’a Atturats Al Fiqhi (bagaimana berinteraksi dengan turats fiqih) pernah digelar oleh Institut Daarul ‘Uluum di Cairo. Dr. Muhammad Siraaaj dalam presentasinya mengungkapkan, “Turats kita yang telah terpublish baru sekitar 5 sampai 7 persen saja”.
Mengenal Ragam Penulisan dalam Turats Fiqih
Salah satu bentuk penghormatan terhadap turats fiqih yang perlu kita bangun adalah dengan berusaha untuk mengenal dan kemudian mempelajari secara ilmiah warisan-warisan intelektual kaum fuqaha itu dalam halaqah, pengajian, ta’lim, atau mungkin lingkar-lingkar diskusi kita.
Sebelum melakukan kajian lebih jauh, alangkah lebih baiknya jika kita mengenal terlebih dahulu istilah-istilah turats fiqih yang sering dipakai oleh para fuqaha dalam karya-karya fiqih mereka. Istilah-istilah yang dimaksud adalah istilah-istilah ragam penulisan kitab fiqih yang secara garis besar terdiri dari empat macam; Matan, Syarah, Hasyiyah dan Taqrir.
Adapun pembahasan lebih lanjut seperti tahrirat, tanqihat, tahqiqat, tahrijat, tarjihat dan lain-lain, merupakan pembahasan lebih dalam pada tema Musthalahat Al Aqwal Al Fiqhiyyah dan Musthalahat Al Alqab Al Fiqhiyah yang bisa dinikmati dalam sajian mata kuliah Bibliografi Fiqih di Kampus Syariah Rumah Fiqih Indonesia.
Matan
Dalam kajian hadits, setiap pembahasan tidak akan keluar dari kajian seputar sanad ataupun kajian tentang matan. Namun pengertian matan yang terdapat dalam kajian hadits tersebut memiliki makna yang berbeda dengan matan yang sedang menjadi objek tulisan ini. Kalau matan dalam studi hadits merujuk kepada makna; redaksi hadits-hadits nabawi, maka matan dalam turats fiqih memiliki beberapa makna.
Agak susah menemukan definisi matan dalam khazanah turats Islam, termasuk di dalamnya turats fiqih. Meski begitu, sebenarnya pemahaman kita tentang matan, bisa saja dibangun tanpa harus mengetahui definisinya yang baku. Salah satu definisi yang penulis temukan adalah apa yang dikemukakan oleh Dr. Abdullah ibn ‘Uwaiqil As Sullami dalam salah satu makalahnya.
Meski definisi yang dikemukakan oleh ibn ‘Uwaiqil ini masih perlu untuk didiskusikan ulang, bahkan sepertinya juga perlu ditinjau kembali untuk disebut sebagai definisi, minimal definisi matan yang diangkat tulisan ini memiliki sandaran yang bisa dirujuk kepada sumbernya. Ibn ‘Uwaiqil mendefinisikan matan sebagai berikut :
المتن : مصطلح يطلق عند أهل العلم على مبادئ فن من فنون جمعت في رسائل صغيرة خالية من الاستطراد والتفصيل والشواهد والأمثلة إلا في حدود الضرورة.
“Matan adalah istilah yang dikenal oleh para ulama untuk dasar-dasar sebuah disiplin ilmu yang dikumpulkan pada risalah kecil tanpa mengandung uraian panjang, penjelasan terperinci, dalil-dalil dan contoh-contoh kecuali sebatas keperluan saja.”
Dari definisi diatas, bisa kita simpulkan bahwa penulisan matan bertujuan untuk menghindari uraian yang melebar, agar apa yang tertulis dalam matan tersebut bisa dengan mudah dipahami, dihafalkan dan langsung dijadikan sebagai panduan beramal dan beribadah. Karena itulah matan terbaik dan paling diterima dalam turats fiqih adalah matan yang paling singkat namun padat.
Bahkan untuk lebih mempermudah lagi dalam proses menghafal, para fuqaha selain menulis matan dalam bentuk natsar (prosa), mereka juga menulis matan dalam bentuk nadzam (semacam puisi). Yaitu sebuah matan yang tertulis dalam bentuk bait-bait syair. Dalam dunia syair, matan mandzum (berbentuk nadzam) biasa dikenal dengan syair ta’limi. Dan biasanya nadzam ini menggunakan bahr (pola nada) rajaz, sehingga matan nadzam ini kemudian populer dengan sebutan Urjuzah.
Matan dalam dalam bentuk nadzam inilah yang cukup membantu dalam proses percepatan hafalan. Karena itulah beberapa pesantren menjadikan matan-matan mandzum itu sebagai muqarrar (diktat) yang wajib dihafal. Nadzam-nadzam itu kemudian menjadi ‘wirid’ yang secara rutin dan terjadwal dibaca sampai mereka hafal diluar kepala.
Matan dalam bentuk nadzam juga terbagi menjadi dua. Pertama, matan mandzum asli, yaitu matan yang sejak awal memang ditulis sebagai nadzam. Kedua, matan mandzum bentukan, yaitu matan mandzum yang awalnya adalah matan mantsur kemudian dibentuk dan disusun ulang menjadi matan mandzum.
Salah satu contoh matan mantsur adalah matan Abi Syuja’ atau matan Al Ghayah Wa At Taqrib. Dan matan mantsur ini oleh Syarafuddin Al ‘Imrithy pernah disusun menjadi matan mandzum dalam kitabnya Nihayah At Tadrib fi Nadzm Al Ghayah Wa At Taqrib. Matan mandzumnya Al ‘Imrithy ini adalah contoh matan mandzum bentukan. Sedangkan contoh matan mandzum asli adalah matan rahabiyah dalam fiqih mawaris.
Pada masa-masa awal penulisan fiqih, para fuqaha tidak terlalu akrab dengan istilah matan. Mereka biasanya menggunakan istilah; mukhtashar, yang secara substansi tidak berbeda sama sekali dengan matan. Namun dalam perkembangannya, istilah mukhtashar kemudian perlu dibedakan dengan istilah matan. Mukhtashar lebih dipahami sebagai ringkasan dari sebuah kitab lain, sedangkan matan adalah kitab asli (belum diberi syarah atau hasyiyah) yang bentuknya bisa saja mukhtashar (ringkas) ataupun muthawwal (panjang).
Syarah
الشرح : توضيح ما غمض من المتون وتفصيل ما أُجمل منها، وهو يتراوح بين الطول والقصر والسهولة والعسر، وفيه الوجيز والوسيط والبسيط.
“Penjelasan atas kerumitan yang terdapat di dalam matan, memperinci permasalahan dalam matan yang masing global dan umum. Penjelasan tersebut biasanya ada yang tertulis panjang atau pendek, mudah ataupun berat, ada yang amat singkat, sedang-sedang saja, dan ada yang sedikit singkat”
Contoh-contoh kitab syarah adalah; Al Hawi Al Kabir karya Imam Al Mawardi yang mensyarah Mukhtashar Al Muzani, Al Mughni karya Ibn Qudamah yang mensyarah kitab Mukhtashar Al Khiraqi, Mawahib Al Jalil karya Al Hatab Ar Ru’aini yang mensyarah Mukhtashar Al Khalil.
Hasyiyah
الحاشية : إيضاحات مطولة دعت إليها ظاهرة انتشار المتون والشروح، وقد قصد منها حل ما يستغلق من الشرح وتيسير ما يصعب فيه واستدراك ما يفوته والتنبيه على الخطأ، والإضافة النافعة وزيادة الأمثلة والشواهد.
“Penjelasan panjang yang ditulis karena adanya fenomena tersebarnya matan dan syarah, ditulis dengan tujuan untuk menguraikan syarah yang masih rumit, memudahkan syarah yang susah, melengkapi kandungan syarah yang terlewat, mengingatkan atas sebuah kekeliruan dalam syarah, memperkaya tambahan yang berfaidah dan memperbanyak contoh-contoh serta dalil-dalil”
Contoh-contoh hasyiyah adalah Futuhat Al Wahhab yang merupakan hasyiyah atas kitab Fath Al Wahhab karya Syaikhul Islam Zakariya Al Anshari. Hasyiyah yang ditulis oleh Sulaiman ibn ‘Umar Al Azhari ini lebih populer dengan nama Hasyiyah Al Jamal. Ada juga Hasyiyah Al Qolyubi dan hasyiyah Amirah. Dua hasyiyah yang sering tercetak bersama ini, adalah hasyiyah atas kitab Syarah Minhaj At Thalibin yang ditulis oleh Jalaluddin Al Mahalli.
Taqrir
التقرير : فهو بمثابة هوامش كان يسجلها العلماء والمصنفون على أطراف نسخهم مما يعن لهم من الخواطر والأفكار على نقطة معينة أو نقاط متعددة، وذلك أثناء قيامهم بالتدريس من الشروح والحواشي.
“Semacam catatan pinggir yang ditulis oleh para ulama penulis kitab pada tepian kitab-kitab mereka, berupa ide-ide dan gagasan yang terlintas atas sebuah poin tertentu atau beberapa poin beragam, ide dan gagasan pikiran itu terlewat di saat mengajar dengan syarah-syarah dan hasyiyah”
Warisan para fuqaha yang berupa taqrir tidak sebanyak warisan mereka yang berupa matan, syarah ataupun hasyiyah. Salah satu contoh kitab taqrir adalah taqrirat yang ditulis oleh Abdul Qadir Ar Rafi’i. Beliau menuliskan taqrir ini atas hasyiyah ibn Abdin dalam fiqih hanafi. Taqrir ini beliau tulis saat mengajarkan hasyiyah ibn Abdin (Radd Al Muhtar) hampir separuh umurnya. Taqrir ini kemudian atas izin beliau dikumpulkan oleh muridnya Muhammad Ar Rasyid Ar Rafi’i. Setelah dibaca ulang beberapa kali, akhirnya terbitlah taqrir atas hasyiyah ibn Abdin ini dengan nama ‘At Tahrir Al Mukhtar’. Namun taqrir ini kemudian lebih dikenal dengan nama Taqrirat Ar Rafi’i ‘Ala Hasyiyah ibn ‘Abdin.
Kitab, Bab, dan Fashl
Selain memahami istilah-istilah jenis penulisan turats fiqih diatas, perlu dipahami pula sistematika pembahasan yang dimiliki oleh masing-masing penulis kitab fiqih. Mungkin beberapa pembaca ada yang merasa sedikit janggal ketika mendapati sebuah kitab fiqih di dalamnya terdapat puluhan kitab. Hal ini dapat dimaklumi karena dua kata kitab dalam kalimat tersebut memang memiliki makna yang berbeda. Meski secara etimologi sama-sama bermakna ‘pengumpul’.
Secara mudah, kitab dalam frase ‘kitab Al Majmu’ bisa dimaknai sebagai; buku Al Majmu’. Yang mana ‘kitab’ tersebut ‘mengumpulkan’ didalamnya kitab-kitab, bab-bab, pasal-pasal, masalah-masalah fiqih secara umum dan menyeluruh dalam semua temanya. Sedangkan kitab dalam frase ‘kitab At Thaharah’ bisa dimaknai sebagai kelompok pembahasan yang ‘mengumpulkan’ bab-bab, pasal-pasal, masalah-masalah seputar tema taharah saja.
Di dalam Kitab Taharah terdapat kelompok-kelompok pembahasan yang lebih kecil bernama Bab Al Wudhu, Bab Al Ghusl (mandi), Bab Tayammum. Yang lebih kecil lagi dari kelompok tersebut adalah fashl. Di dalam Bab Wudhu misalnya, terdapat Fashl rukun-rukun wudhu, fashl sunnah-sunnah wudhu, fashl pembatal-pembatal wudhu, dan lain-lain.
Jelasnya adalah bahwa sebuah kitab fiqih -baik yang madzhabi (satu madzhab) maupun muqaran (perbandingan lintas madzhab)- akan memuat di dalamnya pembahasan-pembahasan fiqih yang terdistribusi dalam sebuah sistematika penulisan tertentu. Sistematika yang paling umum adalah Kitab, Bab dan Fashl. Kitab, sebagai kelompok pembahasan terbesar, akan memuat beberapa bab, dan masing-masing bab memuat beberapa fashl.
Salah satu kitab fiqih yang memiliki sistematika apik adalah Bidayah Al Mujtahid. Kitab fiqih muqaran ini ditulis oleh seorang faqih bermadzhab maliki dengan urutan kelompok pembahasan; Kitab (sebagai kelompok pembahasan terbesar), Jumlah, Bab, Fashl, Qism dan mas’alah. Distribusi seperti ini dilakukan jika tema pembahasannya memang besar dan lengkap. Jika tidak, maka beberapa kelompok pembahasan akan ditiadakan.
Mengenal istilah-istilah Kitab, Bab, Fashl atau matan, syarah, hasyiyah dan taqrir seperti yang diangkat dalam tulisan ini akan mempermudah pembaca kitab fiqih dalam memahami methodologi para fuqaha dalam menulis dan menyusun sebuah kitab fiqih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar