Islam memang lahir di tengah-tengah umat
yang dikenal dengan ummat ummiyyah (ummat buta huruf). Bahkan Nabi
Muhammad SAW yang merupakan penyampai risalah Islam juga dengan tegas
disebut oleh Al Qur’an sebagai Nabi yang Ummi. Maka ketika malaikat
Jibril pertama kali datang menemui Muhammad untuk meminta beliau
membaca, beliau menjawab, “Aku tak bisa membaca”.
Di tengah ummat
yang tak pandai membaca, kepada seorang laki-laki yang juga tak pandai
membaca, wahyu yang pertama kali turun justru adalah perintah untuk
membaca. Dan kemudian sejarah melihat secara berangsur-angsur, ayat per
ayat, surat per surat, wahyu itu dengan tuntas turun semuanya ke bumi.
Dan himpunan semua wahyu yang turun ke bumi itu kemudian dikenal oleh
kawan maupun lawan sebagai Al Qur’an. Secara harfiah, nama kitab suci
tersebut bisa kita maknai sebagai ‘bacaan’.
Dengan turunnya
‘bacaan’, umat yang tak pandai membaca itu, selanjutnya justru berubah
menjadi umat yang mendobrak tradisi. Sejarah kemudian menyaksikan umat
tersebut berhasil mengalahkan dua imperium berperadaban besar pada saat
itu; Romawi dan Persia. Lebih dari itu, pengaruh ‘bacaan’ semakin
menyebar dan meluas hingga melintasi benua Asia, Afrika dan Eropa.
Bahkan hari ini, lantunan indah ‘bacaan’ bisa kita dapati dan kita
dengar dalam kopaja di tengah-tengah kemacetan kota Jakarta.
Penyebaran luas ‘bacaan’ tersebut dan juga ajaran-ajaran yang terdapat
di dalamnya tidak lain adalah merupakan jasa tak terlupa dari perjuangan
cerdas para ulama dan juga pengorbanan ikhlas para syuhada. Sebab,
sebagaimana dikatakan oleh seorang pecinta dan pejuang Islam, “Keindahan
peradaban Islam yang kita saksikan sepanjang belasan abad, adalah
lukisan agung perpaduan dua warna; hitam tinta para ulama dan merah
darah para syuhada”.
Salah satu hal yang seharusnya menjadi
karakteristik umat Islam adalah aktivitas membaca. Bagaimana tidak, Al
Qur’an yang secara harfiah tadi kita maknai sebagai ‘bacaan’ adalah
sebuah kitab suci yang diawali dengan wahyu pertama berupa perintah
membaca. Iqra’. Hal inilah yang disadari betul oleh para ulama kita
dahulu. Sehingga Islam yang tampak saat itu, adalah Islam sebagai Ummat
Qariah (umat pembaca).
Aktivitas membaca yang mendarah daging itu
akhirnya melahirkan aktivitas baru; menulis. Maka sudah sejak dini
sekali Al Qur’an dan juga hadits, selain selalu dibaca, dihafalkan
diluar kepala, namun juga ditulis dalam bebatuan, tulang belulang,
pelepah kurma dan lain sebagainya.
Turats Fiqih; Satu dari Dua Warna
Tradisi menulis yang dimasa-masa awal Islam belum terlalu kental,
tiba-tiba berubah menjadi tradisi yang begitu melekat. Sehingga sejak
masa pasca tabi’in, mulailah tumbuh benih-benih tulisan yang kemudian
semakin membesar, berkembang dan akhirnya membentuk sebuah peradaban.
Itulah olesan warna yang disumbangkan oleh para ulama dari tinta-tinta
hitam mereka.
Diantara semua jenis tulisan, barangkali
karya-karya fiqih merupakan warna yang paling dominan. Karena itulah
tidak mengherankan jika salah seorang pemikir muslim pernah mengatakan,
“Andaikan saja peradaban Islam bisa diungkapkan dengan salah satu
produknya, maka kita akan menamakannya sebagai “Peradaban Fiqih”
sebagaimana Yunani diidentikkan dengan “Peradaban Filsafat”
Dan
karena begitu besarnya bangunan fiqih tersebut, sampai-sampai kita
seakan tidak akan mampu untuk mengenal semuanya. Apalagi mau membaca
semuanya. Itu belum lagi ditambah dengan banyaknya karya-karya fiqih
yang hilang karena peristiwa penyerangan kaum Tatar ke wilayah Baghdad
dulu.
Yang jelas, karya-karya fiqih yang masih tersisa pun, tak
diketahui dengan pasti betapa banyak jumlahnya. Pada Senin 16 Mei 2011,
sebuah seminar bertajuk Kaifa Nata’aamal ma’a Atturats Al Fiqhi
(bagaimana berinteraksi dengan turats fiqih) pernah digelar oleh
Institut Daarul ‘Uluum di Cairo. Dr. Muhammad Siraaaj dalam
presentasinya mengungkapkan, “Turats kita yang telah terpublish baru
sekitar 5 sampai 7 persen saja”.
Mengenal Ragam Penulisan dalam Turats Fiqih
Salah satu bentuk penghormatan terhadap turats fiqih yang perlu kita
bangun adalah dengan berusaha untuk mengenal dan kemudian mempelajari
secara ilmiah warisan-warisan intelektual kaum fuqaha itu dalam halaqah,
pengajian, ta’lim, atau mungkin lingkar-lingkar diskusi kita.
Sebelum melakukan kajian lebih jauh, alangkah lebih baiknya jika kita
mengenal terlebih dahulu istilah-istilah turats fiqih yang sering
dipakai oleh para fuqaha dalam karya-karya fiqih mereka. Istilah-istilah
yang dimaksud adalah istilah-istilah ragam penulisan kitab fiqih yang
secara garis besar terdiri dari empat macam; Matan, Syarah, Hasyiyah dan
Taqrir.
Adapun pembahasan lebih lanjut seperti tahrirat,
tanqihat, tahqiqat, tahrijat, tarjihat dan lain-lain, merupakan
pembahasan lebih dalam pada tema Musthalahat Al Aqwal Al Fiqhiyyah dan
Musthalahat Al Alqab Al Fiqhiyah yang bisa dinikmati dalam sajian mata
kuliah Bibliografi Fiqih di Kampus Syariah Rumah Fiqih Indonesia.
Matan
Dalam kajian hadits, setiap pembahasan tidak akan keluar dari kajian
seputar sanad ataupun kajian tentang matan. Namun pengertian matan yang
terdapat dalam kajian hadits tersebut memiliki makna yang berbeda dengan
matan yang sedang menjadi objek tulisan ini. Kalau matan dalam studi
hadits merujuk kepada makna; redaksi hadits-hadits nabawi, maka matan
dalam turats fiqih memiliki beberapa makna.
Agak susah menemukan
definisi matan dalam khazanah turats Islam, termasuk di dalamnya turats
fiqih. Meski begitu, sebenarnya pemahaman kita tentang matan, bisa saja
dibangun tanpa harus mengetahui definisinya yang baku. Salah satu
definisi yang penulis temukan adalah apa yang dikemukakan oleh Dr.
Abdullah ibn ‘Uwaiqil As Sullami dalam salah satu makalahnya.
Meski definisi yang dikemukakan oleh ibn ‘Uwaiqil ini masih perlu untuk
didiskusikan ulang, bahkan sepertinya juga perlu ditinjau kembali untuk
disebut sebagai definisi, minimal definisi matan yang diangkat tulisan
ini memiliki sandaran yang bisa dirujuk kepada sumbernya. Ibn ‘Uwaiqil
mendefinisikan matan sebagai berikut :
المتن : مصطلح يطلق عند أهل
العلم على مبادئ فن من فنون جمعت في رسائل صغيرة خالية من الاستطراد
والتفصيل والشواهد والأمثلة إلا في حدود الضرورة.
“Matan adalah
istilah yang dikenal oleh para ulama untuk dasar-dasar sebuah disiplin
ilmu yang dikumpulkan pada risalah kecil tanpa mengandung uraian
panjang, penjelasan terperinci, dalil-dalil dan contoh-contoh kecuali
sebatas keperluan saja.”
Dari definisi diatas, bisa kita
simpulkan bahwa penulisan matan bertujuan untuk menghindari uraian yang
melebar, agar apa yang tertulis dalam matan tersebut bisa dengan mudah
dipahami, dihafalkan dan langsung dijadikan sebagai panduan beramal dan
beribadah. Karena itulah matan terbaik dan paling diterima dalam turats
fiqih adalah matan yang paling singkat namun padat.
Bahkan untuk
lebih mempermudah lagi dalam proses menghafal, para fuqaha selain
menulis matan dalam bentuk natsar (prosa), mereka juga menulis matan
dalam bentuk nadzam (semacam puisi). Yaitu sebuah matan yang tertulis
dalam bentuk bait-bait syair. Dalam dunia syair, matan mandzum
(berbentuk nadzam) biasa dikenal dengan syair ta’limi. Dan biasanya
nadzam ini menggunakan bahr (pola nada) rajaz, sehingga matan nadzam ini
kemudian populer dengan sebutan Urjuzah.
Matan dalam dalam
bentuk nadzam inilah yang cukup membantu dalam proses percepatan
hafalan. Karena itulah beberapa pesantren menjadikan matan-matan mandzum
itu sebagai muqarrar (diktat) yang wajib dihafal. Nadzam-nadzam itu
kemudian menjadi ‘wirid’ yang secara rutin dan terjadwal dibaca sampai
mereka hafal diluar kepala.
Matan dalam bentuk nadzam juga
terbagi menjadi dua. Pertama, matan mandzum asli, yaitu matan yang sejak
awal memang ditulis sebagai nadzam. Kedua, matan mandzum bentukan,
yaitu matan mandzum yang awalnya adalah matan mantsur kemudian dibentuk
dan disusun ulang menjadi matan mandzum.
Salah satu contoh matan
mantsur adalah matan Abi Syuja’ atau matan Al Ghayah Wa At Taqrib. Dan
matan mantsur ini oleh Syarafuddin Al ‘Imrithy pernah disusun menjadi
matan mandzum dalam kitabnya Nihayah At Tadrib fi Nadzm Al Ghayah Wa At
Taqrib. Matan mandzumnya Al ‘Imrithy ini adalah contoh matan mandzum
bentukan. Sedangkan contoh matan mandzum asli adalah matan rahabiyah
dalam fiqih mawaris.
Pada masa-masa awal penulisan fiqih, para
fuqaha tidak terlalu akrab dengan istilah matan. Mereka biasanya
menggunakan istilah; mukhtashar, yang secara substansi tidak berbeda
sama sekali dengan matan. Namun dalam perkembangannya, istilah
mukhtashar kemudian perlu dibedakan dengan istilah matan. Mukhtashar
lebih dipahami sebagai ringkasan dari sebuah kitab lain, sedangkan matan
adalah kitab asli (belum diberi syarah atau hasyiyah) yang bentuknya
bisa saja mukhtashar (ringkas) ataupun muthawwal (panjang).
Syarah
الشرح : توضيح ما غمض من المتون وتفصيل ما أُجمل منها، وهو يتراوح بين الطول والقصر والسهولة والعسر، وفيه الوجيز والوسيط والبسيط.
“Penjelasan atas kerumitan yang terdapat di dalam matan, memperinci
permasalahan dalam matan yang masing global dan umum. Penjelasan
tersebut biasanya ada yang tertulis panjang atau pendek, mudah ataupun
berat, ada yang amat singkat, sedang-sedang saja, dan ada yang sedikit
singkat”
Contoh-contoh kitab syarah adalah; Al Hawi Al Kabir
karya Imam Al Mawardi yang mensyarah Mukhtashar Al Muzani, Al Mughni
karya Ibn Qudamah yang mensyarah kitab Mukhtashar Al Khiraqi, Mawahib Al
Jalil karya Al Hatab Ar Ru’aini yang mensyarah Mukhtashar Al Khalil.
Hasyiyah
الحاشية : إيضاحات مطولة دعت إليها ظاهرة انتشار المتون والشروح، وقد قصد
منها حل ما يستغلق من الشرح وتيسير ما يصعب فيه واستدراك ما يفوته والتنبيه
على الخطأ، والإضافة النافعة وزيادة الأمثلة والشواهد.
“Penjelasan
panjang yang ditulis karena adanya fenomena tersebarnya matan dan
syarah, ditulis dengan tujuan untuk menguraikan syarah yang masih rumit,
memudahkan syarah yang susah, melengkapi kandungan syarah yang
terlewat, mengingatkan atas sebuah kekeliruan dalam syarah, memperkaya
tambahan yang berfaidah dan memperbanyak contoh-contoh serta
dalil-dalil”
Contoh-contoh hasyiyah adalah Futuhat Al Wahhab
yang merupakan hasyiyah atas kitab Fath Al Wahhab karya Syaikhul Islam
Zakariya Al Anshari. Hasyiyah yang ditulis oleh Sulaiman ibn ‘Umar Al
Azhari ini lebih populer dengan nama Hasyiyah Al Jamal. Ada juga
Hasyiyah Al Qolyubi dan hasyiyah Amirah. Dua hasyiyah yang sering
tercetak bersama ini, adalah hasyiyah atas kitab Syarah Minhaj At
Thalibin yang ditulis oleh Jalaluddin Al Mahalli.
Taqrir
التقرير : فهو بمثابة هوامش كان يسجلها العلماء والمصنفون على أطراف نسخهم
مما يعن لهم من الخواطر والأفكار على نقطة معينة أو نقاط متعددة، وذلك
أثناء قيامهم بالتدريس من الشروح والحواشي.
“Semacam catatan
pinggir yang ditulis oleh para ulama penulis kitab pada tepian
kitab-kitab mereka, berupa ide-ide dan gagasan yang terlintas atas
sebuah poin tertentu atau beberapa poin beragam, ide dan gagasan pikiran
itu terlewat di saat mengajar dengan syarah-syarah dan hasyiyah”
Warisan para fuqaha yang berupa taqrir tidak sebanyak warisan mereka
yang berupa matan, syarah ataupun hasyiyah. Salah satu contoh kitab
taqrir adalah taqrirat yang ditulis oleh Abdul Qadir Ar Rafi’i. Beliau
menuliskan taqrir ini atas hasyiyah ibn Abdin dalam fiqih hanafi. Taqrir
ini beliau tulis saat mengajarkan hasyiyah ibn Abdin (Radd Al Muhtar)
hampir separuh umurnya. Taqrir ini kemudian atas izin beliau dikumpulkan
oleh muridnya Muhammad Ar Rasyid Ar Rafi’i. Setelah dibaca ulang
beberapa kali, akhirnya terbitlah taqrir atas hasyiyah ibn Abdin ini
dengan nama ‘At Tahrir Al Mukhtar’. Namun taqrir ini kemudian lebih
dikenal dengan nama Taqrirat Ar Rafi’i ‘Ala Hasyiyah ibn ‘Abdin.
Kitab, Bab, dan Fashl
Selain memahami istilah-istilah jenis penulisan turats fiqih diatas,
perlu dipahami pula sistematika pembahasan yang dimiliki oleh
masing-masing penulis kitab fiqih. Mungkin beberapa pembaca ada yang
merasa sedikit janggal ketika mendapati sebuah kitab fiqih di dalamnya
terdapat puluhan kitab. Hal ini dapat dimaklumi karena dua kata kitab
dalam kalimat tersebut memang memiliki makna yang berbeda. Meski secara
etimologi sama-sama bermakna ‘pengumpul’.
Secara mudah, kitab
dalam frase ‘kitab Al Majmu’ bisa dimaknai sebagai; buku Al Majmu’. Yang
mana ‘kitab’ tersebut ‘mengumpulkan’ didalamnya kitab-kitab, bab-bab,
pasal-pasal, masalah-masalah fiqih secara umum dan menyeluruh dalam
semua temanya. Sedangkan kitab dalam frase ‘kitab At Thaharah’ bisa
dimaknai sebagai kelompok pembahasan yang ‘mengumpulkan’ bab-bab,
pasal-pasal, masalah-masalah seputar tema taharah saja.
Di dalam
Kitab Taharah terdapat kelompok-kelompok pembahasan yang lebih kecil
bernama Bab Al Wudhu, Bab Al Ghusl (mandi), Bab Tayammum. Yang lebih
kecil lagi dari kelompok tersebut adalah fashl. Di dalam Bab Wudhu
misalnya, terdapat Fashl rukun-rukun wudhu, fashl sunnah-sunnah wudhu,
fashl pembatal-pembatal wudhu, dan lain-lain.
Jelasnya adalah
bahwa sebuah kitab fiqih -baik yang madzhabi (satu madzhab) maupun
muqaran (perbandingan lintas madzhab)- akan memuat di dalamnya
pembahasan-pembahasan fiqih yang terdistribusi dalam sebuah sistematika
penulisan tertentu. Sistematika yang paling umum adalah Kitab, Bab dan
Fashl. Kitab, sebagai kelompok pembahasan terbesar, akan memuat beberapa
bab, dan masing-masing bab memuat beberapa fashl.
Salah satu
kitab fiqih yang memiliki sistematika apik adalah Bidayah Al Mujtahid.
Kitab fiqih muqaran ini ditulis oleh seorang faqih bermadzhab maliki
dengan urutan kelompok pembahasan; Kitab (sebagai kelompok pembahasan
terbesar), Jumlah, Bab, Fashl, Qism dan mas’alah. Distribusi seperti ini
dilakukan jika tema pembahasannya memang besar dan lengkap. Jika tidak,
maka beberapa kelompok pembahasan akan ditiadakan.
Mengenal
istilah-istilah Kitab, Bab, Fashl atau matan, syarah, hasyiyah dan
taqrir seperti yang diangkat dalam tulisan ini akan mempermudah pembaca
kitab fiqih dalam memahami methodologi para fuqaha dalam menulis dan
menyusun sebuah kitab fiqih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar