Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Bagaimana hukum membaca surat Al-Faatihah pada shalat fardlu dengan bacaan yang tidak lazim sebagaimana para ulama Nahdliyin pada umumnya. Di daerah kami ada salah seseorang menjadi imam besar salah satu masjid agung dengan bacaan “ghoiril maghdluba” bukan “ghairil maghdlubi” sebagaimana yang dibaca Imam-imam shalat pada umumnya.
Sepengetahuan kami bacaan “ghoril maghdluba” hanya diperbolehkan di luar shalat menurut qaidah ilmu nahwu-shorof. Bagaimanakah hukum shalat dengan bacaan tersebut di atas? Apakah makmum wajib melakukan i'adah setelah mengetahui akan bacaan tersebut di atas ? Wassalamu'alaikum Wr. Wb. (Fakhri Herdiansyah)
وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته
Bapak Fakhri Herdiansyah yang kami hormati. Al-Fatihah adalah surat yang menjadi rukun dalam shalat dan selalu ada di setiap rakaat. Bacaan Al-Fatihah di dalam shalat haruslah sesuai dengan kaidah tajwid. Haruslah jelas panjang, pendek, syiddah dan lain-lain.
Dalam bacaan Al-Fatihah tidak boleh ada perubahan kata yang bisa merubah makna seperti An’amta dirubah menjadi An’amtu.
Adapun perubahan kata yang tidak berpengaruh pada perubahan makna maka
sebagian ulama memperbolehkan. Ini dapat kita lihat dalam kitab I’anatuth Tholibin hal. 140 sebagai berikut:
قوله:
يغير المعنى) المراد به نقل الكلمة من معنى إلى معنى آخر، كضم تاء أنعمت
أو كسرها، أو نقلها إلى ما ليس له معنى كالدين بالدال بدل الذال
وخرج
به ما لا يغير كالعالمون بدل العالمين، والحمد لله بضم الهاء، ونعبد بفتح
الدال وكسر الباء والنون، وكالصراط بضم الصاد، فلا تبطل الصلاة بذلك مع
القدرة والعلم والتعمد
Artinya: (Yang mengubah makna) maksudnya adalah mengubah kata
yang menyebabkan perubahan dari makna yang satu ke makna yang lain,
seperti membaca dhommah atau kasroh pada ta’ yang terdapat pada kata "an’amta", atau mengganti kata dengan kata yang tidak memiliki makna seperti "alladiina" menggunakan dal sebagai ganti dari dzal. Adapun perubahan yang tidak berpengaruh pada perubahan makna seperti “‘Aalamuun” sebagai ganti dari “‘Aalamiin”, Alhamdulillaahu dengan dhommah pada ha lafadh jalalah, dan “na’budu” menjadi “ni’bida” dengan “dal” fathah serta kasroh pada “nun” dan “ba’”, “Ash-shirooth” menjadi “Ash-shurooth” dengan dhommah pada “shod”, maka hal yang demikiaan tidak membatalkan sholat walaupun musholli (orang yang shalat) sebenarnya mampu, tahu dan hal itu disengaja.
Dengan demikian, bacaan sebagaimana yang disebutkan dalam pertanyaan di atas tidak menyebabkan sholat itu batal. Kemudian, shalat makmum tentunya tidak batal dan tidak perlu i’adah(mengulang shalat).
Namun demikian, kami tetap menyarankan kepada imam terutama jika memimpin jamaah yang diikuti banyak orang dari berbagai tempat agar membaca surat Al-Fatihah atau ayat-ayat yang dibaca setelahnya dengan bacaan atau dengan cara membaca yang umum, agar tidak membingungkan para makmum atau menjadi pertanyaan di kalangan masyarakat.
Demikian jawaban kami, semoga memberi pencerahan bagi kita semua. Aamiin…
والله أعلم بالصواب والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Ihya’ Ulumuddin
Berita Terkait
- Posisi Imam Memimpin Doa Bersama Setelah Shalat
- Dzikir-Doa Bersama Setelah Shalat, Apakah Bid'ah?
- Doa dan Waktu yang Pas untuk Berjimak
- Cara Bersuci Seorang yang Sakit-sakitan
- Bolehkan Wanita Haid Mengajar Al-Qur’an?
- Fasal Zakat Profesi
- Menjawab Adzan Dulu, Atau Langsung Shalat Sunnah?
- Menyimak Al-Qur’an Lewat Kaset
- Apakah Makmum Tetap Membaca Al-Fatihah?
- Bolehkan Suntik Penunda Haid untuk Puasa Ramadhan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar