Seorang pakar pidana dari
Unair Sby, I Wayan Titip, mengatakan bahwa beberapa TKI yang bekerja di Timur
Tengah dan kedapatan membawa jimat, mereka dikenai hukuman mati. Benarkah jimat
dihukumi syirik? Abi, Sby
إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ (أخرجه أحمد رقم 3615، وأبو داود رقم 3883، وابن ماجه رقم 3530، والحاكم رقم 8290 وقال : صحيح الإسناد على شرط الشيخين .
والبيهقى رقم 19387 . وأخرجه أيضًا : أبو يعلى رقم 5208 عن
ابن مسعود) .
Jawaban:
Dalam sebuah hadis Rasulullah
Saw bersabda:
مَنْ عَلَّقَ تَمِيْمَةً
فَقَدْ أَشْرَكَ (رواه أحمد وأبو يعلى بإسناد جيد قال
الهيثمي : رجال أحمد ثقات عن
عقبة بن عامر الجهني)
“Baragsiapa yang
mengalungkan jimat, maka telah berbuat seperti perbuatan orang musyrik” (HR
Ahmad, para perawinya terpercaya)
Begitu pula hadis:
“Sesungguhnya ruqyah (pengobatan dengan doa),
jimat dan tiwalah (sejenis susuk daya pikat) adalah perbuatan yang meyebabkan syirik”
(HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, al-Hakim, al-Baihaqi dan Abu Ya’la)
Ruqyat dan jimat memiliki
beberapa persamaan, diantaranya menjadi penyebab kesyirikan, keduanya sudah
dilakukan dimasa Jahiliyah, dan sebagainya.
Kesyirikan yang dimaksud
sebagaimana yang dilakukan di masa Jahiliyah adalah adanya keyakinan bahwa
jimat itulah yang memberi kesembuhan, mengobati penyakit, melindungi gangguan
syetan dan sebagainya. Artinya mereka telah menyekutukan Allah dan menjadikan
jimat seperti Tuhan.
Namun Rasulullah
menjelaskan diperbolehkannya hal diatas selama tidak mengandung unsur syirik.
Kendatipun hadis di bawah ini hanya menyebut ruqyat namun pada hakikatnya
antara ruqyat dan jimat memiliki kesamaan, yaitu:
كُنَّا نَرْقِي فِي الْجَاهِلِيَّة ، فَقُلْنَا : يَا رَسُول
اللَّه ، كَيْف تَرَى فِي ذَلِكَ ؟ فَقَالَ اعْرِضُوا عَلَىَّ رُقَاكُمْ لا بَأْسَ
بِالرُّقَى ما لم يَكُنْ فيه شِرْكٌ (أخرجه مسلم رقم 2200 وأبو داود رقم 3886
وأخرجه أيضًا : ابن حبان
رقم 6094 والحاكم رقم 7485
وقال : صحيح الإسناد .
والبيهقى رقم 9380 عن عَوْفِ بن مَالِك الأَشْجَعِىِّ)
“Kami melakukan ruqyah
saat kami di masa Jahiliyah. Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat anda?
Rasulullah menjawab: Berikan ruqyah kalian padaku. Tidak apa-apa dengan ruqyah,
selama tidak mengandung kesyirikan”
(HR Muslim, Abu Dawud, Ibnu Hibban dan
al-Hakim)
Rasulullah Saw sendiri
membaca ayat-ayat al-Quran saat beliau sakit, sebagaimana dalam riwayat Aisyah:
عَنْ عَائِشَةَ - رضى الله عنها - أَنَّ النَّبِىَّ - صلى الله
عليه وسلم - كَانَ يَنْفِثُ عَلَى نَفْسِهِ فِى مَرَضِهِ الَّذِى قُبِضَ فِيهِ
بِالْمُعَوِّذَاتِ ، فَلَمَّا ثَقُلَ كُنْتُ أَنَا أَنْفِثُ عَلَيْهِ بِهِنَّ ،
فَأَمْسَحُ بِيَدِ نَفْسِهِ لِبَرَكَتِهَا (رواه البخارى
رقم 5751)
“Rasulullah Saw meniup
pada diri beliau sendiri saat beliau sakit menjelang wafatnya dengan ayat-ayat
perlindungan. Ketika sakit beliau semakin parah maka saya meniupkannya
kemudian saya usapkan dengan tangan
beliau, karena keberkahan tangan beliau” (HR al-Bukhari No 5751)
Dari sekian bayak hadis
dalam masalah ini, ahli hadis Amirul Mu’minin fi al-Hadits al-Hafidz Ibnu Hajar
memberi kesimpulan bahwa point utama dalam larangan tersebut adalah kesyirikan,
dan jika tidak ada unsur kesyirikan maka tidak dilarang. Beliau berkata:
هَذَا كُلّه فِي تَعْلِيق التَّمَائِم وَغَيْرهَا مِمَّا لَيْسَ فِيهِ
قُرْآن وَنَحْوه ، فَأَمَّا مَا فِيهِ ذِكْر اللَّه فَلَا نَهْي فِيهِ فَإِنَّهُ إِنَّمَا
يُجْعَل لِلتَّبَرُّكِ بِهِ وَالتَّعَوُّذ بِأَسْمَائِهِ وَذِكْره (فتح الباري
لابن حجر ج 9 / ص 210)
“Dilarangnya mengalungkan
jimat dalam hadis adalah ketika di dalam jimat tersebut bukan dari ayat
al-Quran. Sementara jika dalam jimat tersebut terdapat dzikir kepada Allah maka
tidak dilarang. Sebab hal itu untuk mencari berkah dan mencari perlindungan dengan
nama Allah dan dzikir kepada Allah” (Fath al-Baarii 9/210)
Begitu pula tafsil dari
Ibnu Taimiyah:
وَأَمَّا مُعَالَجَةُ الْمَصْرُوْعِ بِالرُّقَى
وَالتَّعَوُّذَاتِ فَهَذَا عَلَى وَجْهَيْنِ
فَإِنْ كَانَتِ الرُّقَى وَالتَّعَاوِيْذُ مِمَّا يُعْرَفُ مَعْنَاهَا وَمِمَّا يَجُوْزُ
فِى دِيْنِ اْلاِسْلاَمِ أَنْ يَتَكَلَّمَ بِهَا الرَّجُلُ دَاعِيًا للهِ ذَاكِرًا
لَهُ وَمُخَاطِبًا لِخَلْقِهِ وَنَحْوِ ذَلِكَ فَإِنَّهُ يَجُوْزُ أَنْ يَرْقِى بِهَا
الْمَصْرُوْعَ وَيُعَوِّذَ فَاِنَّهُ قَدْ ثَبَتَ فِى الصَّحِيْحِ عَنِ النَّبِى أنَّهُ
أَذِنَ فِى الرُّقَى مَا لَمْ تَكُنْ شِرْكًا وَقَالَ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ
يَنْفَعَ أَخَاهُ فَلْيَفْعَلْ وَاِنْ كَانَ فِى ذَلِكَ كَلِمَاتٌ مُحَرَّمَةٌ مِثْلَ
أَنْ يَكُوْنَ فِيْهَا شِرْكٌ أَوْ كَانَتْ مَجْهُوْلَةَ الْمَعْنَى يَحْتَمِلُ أَنْ
يَكُوْنَ فِيْهَا كُفْرٌ فَلَيْسَ لأَحَدٍ أَنْ يَرْقِىَ بِهَا (مجموع
الفتاوى ج 24 / ص 277)
“Pengobatan orang yang
kesurupan dengan doa maupun perlindungan diperinci sebagai berikut; jika doa
tersebut diketahui maknanya dan diperbolehkan dalam Islam untuk mengucapkannya,
sebagai doa dan dzikir kepada Alla dan sebagainya, maka diperbolehkan. Sebab
telah diriwayatkan dalam hadis sahih bahwa Rasulullah mengizinkan ruqyat selama
tidak mengandung kesyirikan. Dan bila terdiri dari kalimat-kalimat yang
diharamkan, seperti mengandung kesyirikan, atau tidak diketaui maknanya yang
dimungkinkan ada kekufuran, maka tidak tiperbolehkan melakukan ruqyat dengan
cara tersebut” (Majmu’ Fatawa 24/227)
Sebagai kesimpulan khilaf dalam masalah ini,
al-Mubarakfuri berkata:
وَقَدْ اِخْتَلَفَ فِي ذَلِكَ أَهْلُ الْعِلْمِ . قَالَ السَّيِّدُ الشَّيْخُ أَبُو
الطَّيِّبِ صِدِّيقُ بْنُ حَسَنٍ الْقَنُوجِيُّ فِي كِتَابِهِ الدِّينِ الْخَالِصِ
: اِخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ مِنْ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ فَمَنْ بَعْدَهُمْ
فِي جَوَازِ تَعْلِيقِ التَّمَائِمِ الَّتِي مِنْ الْقُرْآنِ ، وَأَسْمَاءِ
اللَّهِ تَعَالَى وَصِفَاتِهِ ، فَقَالَتْ طَائِفَةٌ : يَجُوزُ ذَلِكَ ، وَهُوَ
قَوْلُ اِبْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ ، وَهُوَ ظَاهِرُ مَا رُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ
، وَبِهِ قَالَ أَبُو جَعْفَرٍ الْبَاقِرُ وَأَحْمَدُ فِي رِوَايَةٍ ، وَحَمَلُوا
الْحَدِيثَ يَعْنِي حَدِيثَ اِبْنِ مَسْعُودٍ قَالَ : سَمِعْت رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ
وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ رَوَاهُ أَحْمَدُ وَابْنُ مَاجَهْ وَابْنُ حِبَّانَ
وَالْحَاكِمُ وَقَالَ صَحِيحٌ ، وَأَقَرَّهُ الذَّهَبِيُّ عَلَى التَّمَائِمِ
الَّتِي فِيهَا شِرْكٌ . وَقَالَتْ طَائِفَةٌ : لَا يَجُوزُ ذَلِكَ وَبِهِ قَالَ
اِبْنُ مَسْعُودٍ وَابْنُ عَبَّاسٍ وَهُوَ ظَاهِرُ قَوْلِ حُذَيْفَةَ وَعُقْبَةَ
بْنِ عَامِرٍ وَابْنِ عُكَيْمٍ ، وَبِهِ قَالَ جَمَاعَةٌ مِنْ التَّابِعِينَ
مِنْهُمْ أَصْحَابُ اِبْنِ مَسْعُودٍ وَأَحْمَدَ فِي رِوَايَةٍ اِخْتَارَهَا
كَثِيرٌ مِنْ أَصْحَابِهِ . وَجَزَمَ بِهِ الْمُتَأَخِّرُونَ وَاحْتَجُّوا بِهَذَا
الْحَدِيثِ وَمَا فِي مَعْنَاه (تحفة الأحوذي - ج 5
/ ص 349)
“Ulama berbeda
pendapat dalam masalah jimat yang berupa ayat al-Quran, nama-nama Allah dan
sifatNya, baik dari kalangan sahabat, tabiin dan sebagainya. Sekelompok ulama
berkata: Boleh, yaitu pendapat Abdullah bin Amr bin Ash, juga Aisyah, Abu
Ja’far al-Baqir dan Ahmad dalam satu riwayat. Mereka menilai bahwa hadis
tentang ruqyat, jimat dan daya pikat syirik, adalah jimat yang didalamnya ada
unsur kesyirikan. Sekelompok ulama yang lain berkata: Tidak boleh, yaitu
pendapat Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Hudzifah, Uqbah bin Amir, begitu pula
sekelompok Tabiin dari murid-murid Ibnu Mas’ud, Ahmad yang dipilih oleh banyak
muridnya. Begitu pula ditegaskan oleh ulama kalangan akhir dan mereka berhujjah
dengan hadis tadi” (Tuhfat al-Ahwadzi 5/349)
Masalah jimat merupakan masalah yang urgen. Harus dijelaskan kepada masyarakat dengan sejelas-jelasnya, terlebih warga NU.
Saya katakan, mengapa warga NU? Karena hampir mayoritas warga NU memiliki hal ini, walau mereka memiliki ilmu agama sekalipun. Hal ini tidak lepas dari keyakinan 'tabaruk'.
Saya selalu berhusnuzon, terlebih kepada para ulama dan santrinya bahwa mereka melakukan itu untuk tabaruk, bukan untuk penyekutuan. Namun, di sisi lain, saya khawatir jika ini tidak dipahami oleh awamnya.
Maka saya berharap kepada ustad Makluf, untuk menjelaskan dengan sejelas-jelasnya tentang perkara ini.
Mana yang haram?
Mana yang termasuk 'tabaruk'?
Saya berharap ustad juga membuat tulisan tentang 'kedudukan rajah'...
Jazakumullah