Senin, 26 Mei 2014

Berkalung Jimat (Tabaruk)

Seorang pakar pidana dari Unair Sby, I Wayan Titip, mengatakan bahwa beberapa TKI yang bekerja di Timur Tengah dan kedapatan membawa jimat, mereka dikenai hukuman mati. Benarkah jimat dihukumi syirik? Abi, Sby
Jawaban:
Dalam sebuah hadis Rasulullah Saw bersabda:
مَنْ عَلَّقَ تَمِيْمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ (رواه أحمد وأبو يعلى بإسناد جيد قال الهيثمي : رجال أحمد ثقات عن عقبة بن عامر الجهني)
“Baragsiapa yang mengalungkan jimat, maka telah berbuat seperti perbuatan orang musyrik” (HR Ahmad, para perawinya terpercaya)
 
Begitu pula hadis:
 
إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ (أخرجه أحمد رقم 3615، وأبو داود رقم 3883، وابن ماجه رقم 3530، والحاكم رقم 8290 وقال : صحيح الإسناد على شرط الشيخين . والبيهقى رقم 19387 . وأخرجه أيضًا : أبو يعلى رقم 5208 عن ابن مسعود) .
 “Sesungguhnya ruqyah (pengobatan dengan doa), jimat dan tiwalah (sejenis susuk daya pikat) adalah perbuatan yang meyebabkan syirik” 
(HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, al-Hakim, al-Baihaqi dan Abu Ya’la)
 
 Ruqyat dan jimat memiliki beberapa persamaan, diantaranya menjadi penyebab kesyirikan, keduanya sudah dilakukan dimasa Jahiliyah, dan sebagainya.
Kesyirikan yang dimaksud sebagaimana yang dilakukan di masa Jahiliyah adalah adanya keyakinan bahwa jimat itulah yang memberi kesembuhan, mengobati penyakit, melindungi gangguan syetan dan sebagainya. Artinya mereka telah menyekutukan Allah dan menjadikan jimat seperti Tuhan.
Namun Rasulullah menjelaskan diperbolehkannya hal diatas selama tidak mengandung unsur syirik. Kendatipun hadis di bawah ini hanya menyebut ruqyat namun pada hakikatnya antara ruqyat dan jimat memiliki kesamaan, yaitu:
 
كُنَّا نَرْقِي فِي الْجَاهِلِيَّة ، فَقُلْنَا : يَا رَسُول اللَّه ، كَيْف تَرَى فِي ذَلِكَ ؟ فَقَالَ  اعْرِضُوا عَلَىَّ رُقَاكُمْ لا بَأْسَ بِالرُّقَى ما لم يَكُنْ فيه شِرْكٌ (أخرجه مسلم رقم 2200 وأبو داود رقم 3886 وأخرجه أيضًا : ابن حبان رقم 6094 والحاكم رقم 7485 وقال : صحيح الإسناد . والبيهقى رقم 9380 عن عَوْفِ بن مَالِك الأَشْجَعِىِّ)
“Kami melakukan ruqyah saat kami di masa Jahiliyah. Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat anda? Rasulullah menjawab: Berikan ruqyah kalian padaku. Tidak apa-apa dengan ruqyah, selama tidak mengandung kesyirikan” 
(HR Muslim, Abu Dawud, Ibnu Hibban dan al-Hakim)
 
Rasulullah Saw sendiri membaca ayat-ayat al-Quran saat beliau sakit, sebagaimana dalam riwayat Aisyah:
عَنْ عَائِشَةَ - رضى الله عنها - أَنَّ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - كَانَ يَنْفِثُ عَلَى نَفْسِهِ فِى مَرَضِهِ الَّذِى قُبِضَ فِيهِ بِالْمُعَوِّذَاتِ ، فَلَمَّا ثَقُلَ كُنْتُ أَنَا أَنْفِثُ عَلَيْهِ بِهِنَّ ، فَأَمْسَحُ بِيَدِ نَفْسِهِ لِبَرَكَتِهَا (رواه البخارى رقم 5751)
“Rasulullah Saw meniup pada diri beliau sendiri saat beliau sakit menjelang wafatnya dengan ayat-ayat perlindungan. Ketika sakit beliau semakin parah maka saya meniupkannya kemudian  saya usapkan dengan tangan beliau, karena keberkahan tangan beliau” (HR al-Bukhari No 5751)
 
Dari sekian bayak hadis dalam masalah ini, ahli hadis Amirul Mu’minin fi al-Hadits al-Hafidz Ibnu Hajar memberi kesimpulan bahwa point utama dalam larangan tersebut adalah kesyirikan, dan jika tidak ada unsur kesyirikan maka tidak dilarang. Beliau berkata:
هَذَا كُلّه فِي تَعْلِيق التَّمَائِم وَغَيْرهَا مِمَّا لَيْسَ فِيهِ قُرْآن وَنَحْوه ، فَأَمَّا مَا فِيهِ ذِكْر اللَّه فَلَا نَهْي فِيهِ فَإِنَّهُ إِنَّمَا يُجْعَل لِلتَّبَرُّكِ بِهِ وَالتَّعَوُّذ بِأَسْمَائِهِ وَذِكْره (فتح الباري لابن حجر ج 9 / ص 210)
“Dilarangnya mengalungkan jimat dalam hadis adalah ketika di dalam jimat tersebut bukan dari ayat al-Quran. Sementara jika dalam jimat tersebut terdapat dzikir kepada Allah maka tidak dilarang. Sebab hal itu untuk mencari berkah dan mencari perlindungan dengan nama Allah dan dzikir kepada Allah” (Fath al-Baarii 9/210)
 
Begitu pula tafsil dari Ibnu Taimiyah:
 
 وَأَمَّا مُعَالَجَةُ الْمَصْرُوْعِ بِالرُّقَى وَالتَّعَوُّذَاتِ فَهَذَا عَلَى وَجْهَيْنِ فَإِنْ كَانَتِ الرُّقَى وَالتَّعَاوِيْذُ مِمَّا يُعْرَفُ مَعْنَاهَا وَمِمَّا يَجُوْزُ فِى دِيْنِ اْلاِسْلاَمِ أَنْ يَتَكَلَّمَ بِهَا الرَّجُلُ دَاعِيًا للهِ ذَاكِرًا لَهُ وَمُخَاطِبًا لِخَلْقِهِ وَنَحْوِ ذَلِكَ فَإِنَّهُ يَجُوْزُ أَنْ يَرْقِى بِهَا الْمَصْرُوْعَ وَيُعَوِّذَ فَاِنَّهُ قَدْ ثَبَتَ فِى الصَّحِيْحِ عَنِ النَّبِى أنَّهُ أَذِنَ فِى الرُّقَى مَا لَمْ تَكُنْ شِرْكًا وَقَالَ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَنْفَعَ أَخَاهُ فَلْيَفْعَلْ وَاِنْ كَانَ فِى ذَلِكَ كَلِمَاتٌ مُحَرَّمَةٌ مِثْلَ أَنْ يَكُوْنَ فِيْهَا شِرْكٌ أَوْ كَانَتْ مَجْهُوْلَةَ الْمَعْنَى يَحْتَمِلُ أَنْ يَكُوْنَ فِيْهَا كُفْرٌ فَلَيْسَ لأَحَدٍ أَنْ يَرْقِىَ بِهَا (مجموع الفتاوى ج 24 / ص 277)
“Pengobatan orang yang kesurupan dengan doa maupun perlindungan diperinci sebagai berikut; jika doa tersebut diketahui maknanya dan diperbolehkan dalam Islam untuk mengucapkannya, sebagai doa dan dzikir kepada Alla dan sebagainya, maka diperbolehkan. Sebab telah diriwayatkan dalam hadis sahih bahwa Rasulullah mengizinkan ruqyat selama tidak mengandung kesyirikan. Dan bila terdiri dari kalimat-kalimat yang diharamkan, seperti mengandung kesyirikan, atau tidak diketaui maknanya yang dimungkinkan ada kekufuran, maka tidak tiperbolehkan melakukan ruqyat dengan cara tersebut” (Majmu’ Fatawa 24/227)
 
 Sebagai kesimpulan khilaf dalam masalah ini, al-Mubarakfuri berkata:
 
وَقَدْ اِخْتَلَفَ فِي ذَلِكَ أَهْلُ الْعِلْمِ . قَالَ السَّيِّدُ الشَّيْخُ أَبُو الطَّيِّبِ صِدِّيقُ بْنُ حَسَنٍ الْقَنُوجِيُّ فِي كِتَابِهِ الدِّينِ الْخَالِصِ : اِخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ مِنْ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ فَمَنْ بَعْدَهُمْ فِي جَوَازِ تَعْلِيقِ التَّمَائِمِ الَّتِي مِنْ الْقُرْآنِ ، وَأَسْمَاءِ اللَّهِ تَعَالَى وَصِفَاتِهِ ، فَقَالَتْ طَائِفَةٌ : يَجُوزُ ذَلِكَ ، وَهُوَ قَوْلُ اِبْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ ، وَهُوَ ظَاهِرُ مَا رُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ ، وَبِهِ قَالَ أَبُو جَعْفَرٍ الْبَاقِرُ وَأَحْمَدُ فِي رِوَايَةٍ ، وَحَمَلُوا الْحَدِيثَ يَعْنِي حَدِيثَ اِبْنِ مَسْعُودٍ قَالَ : سَمِعْت رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ رَوَاهُ أَحْمَدُ وَابْنُ مَاجَهْ وَابْنُ حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ وَقَالَ صَحِيحٌ ، وَأَقَرَّهُ الذَّهَبِيُّ عَلَى التَّمَائِمِ الَّتِي فِيهَا شِرْكٌ . وَقَالَتْ طَائِفَةٌ : لَا يَجُوزُ ذَلِكَ وَبِهِ قَالَ اِبْنُ مَسْعُودٍ وَابْنُ عَبَّاسٍ وَهُوَ ظَاهِرُ قَوْلِ حُذَيْفَةَ وَعُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ وَابْنِ عُكَيْمٍ ، وَبِهِ قَالَ جَمَاعَةٌ مِنْ التَّابِعِينَ مِنْهُمْ أَصْحَابُ اِبْنِ مَسْعُودٍ وَأَحْمَدَ فِي رِوَايَةٍ اِخْتَارَهَا كَثِيرٌ مِنْ أَصْحَابِهِ . وَجَزَمَ بِهِ الْمُتَأَخِّرُونَ وَاحْتَجُّوا بِهَذَا الْحَدِيثِ وَمَا فِي مَعْنَاه (تحفة الأحوذي - ج 5 / ص 349)
“Ulama berbeda pendapat dalam masalah jimat yang berupa ayat al-Quran, nama-nama Allah dan sifatNya, baik dari kalangan sahabat, tabiin dan sebagainya. Sekelompok ulama berkata: Boleh, yaitu pendapat Abdullah bin Amr bin Ash, juga Aisyah, Abu Ja’far al-Baqir dan Ahmad dalam satu riwayat. Mereka menilai bahwa hadis tentang ruqyat, jimat dan daya pikat syirik, adalah jimat yang didalamnya ada unsur kesyirikan. Sekelompok ulama yang lain berkata: Tidak boleh, yaitu pendapat Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Hudzifah, Uqbah bin Amir, begitu pula sekelompok Tabiin dari murid-murid Ibnu Mas’ud, Ahmad yang dipilih oleh banyak muridnya. Begitu pula ditegaskan oleh ulama kalangan akhir dan mereka berhujjah dengan hadis tadi” (Tuhfat al-Ahwadzi 5/349)
 

  1. Assalamu'alaikum ustad Makruf..
    Masalah jimat merupakan masalah yang urgen. Harus dijelaskan kepada masyarakat dengan sejelas-jelasnya, terlebih warga NU.
    Saya katakan, mengapa warga NU? Karena hampir mayoritas warga NU memiliki hal ini, walau mereka memiliki ilmu agama sekalipun. Hal ini tidak lepas dari keyakinan 'tabaruk'.
    Saya selalu berhusnuzon, terlebih kepada para ulama dan santrinya bahwa mereka melakukan itu untuk tabaruk, bukan untuk penyekutuan. Namun, di sisi lain, saya khawatir jika ini tidak dipahami oleh awamnya.
    Maka saya berharap kepada ustad Makluf, untuk menjelaskan dengan sejelas-jelasnya tentang perkara ini.
    Mana yang haram?
    Mana yang termasuk 'tabaruk'?

    Saya berharap ustad juga membuat tulisan tentang 'kedudukan rajah'...
    Jazakumullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar