Kamis, 19 Desember 2013

Sahkah Nikah Siri Tanpa Diketahui Istri?

Hukum nikah siri tanpa diketahui istri pertama dalam islam
Pertanyaan:
Selamat Siang, perkenalkan nama saya Sylvia, saya beragama katolik (non muslim), dan saya juga sudah menikah secara katolik. Posisi saya dan suami beda tempat kerja sehingga kami hidup pisah kota.

Saya mau minta tolong, saya dikabari temen saya dan sudah terbukti (ada bukti foto-foto) kalau suami saya menikah siri dengan wanita lain di kota dia bekerja. Saya mau menanyakan apakah hal ini sah, dan bagaimana cara mengatasinya?

Pihak istri sirinya juga sebenarnya sudah tahu kalau suami sirinya (suami saya ed.) sudah menpunyai istri dan anak. Tapi mereka tetap melaksanakan nikah siri tanpa sepengetahuan saya.

Saya menanyakan ke suami saya katanya dia tidak pernah nikah siri. Saya mohon bantuannya untuk mengatasi masalah saya ini. Atas bantuannya saya ucapkan terima kasih.

Jawaban:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, wa ba’du

Sebelumnya perkenankan kami menyampaikan keheranan kami atas pertanyaan ini, seorang beragama katolik mengajukan pertanyaan melalui situs Islam. Meskipun sebenarnya hal ini bukan sesuatu yang aneh, mengingat sejak masa silam, umat beragama, diantaranya kaum musyrikin Quraisy dan umat Yahudi, telah mengakui bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang memiliki aturan paling lengkap dan paling sempurna.

Abu Thalib yang termasuk tokoh orang musyrik, dan sekaligus paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membuat syair, memuji agama yang didakwahkan oleh keponakannya:

ولقد علمت بـأن دين محمد                       من خير أديان البرية دينا


لولا الملامة أو حذاري سبة                     لوجدتني سمحا بذاك مبينا


Sungguh saya sadar, bahwa agama Muhammad adalah agama terbaik di muka bumi ini.

Andai bukan karena celaan dan takut hinaan, tentu engkau akan melihatku menerima agamu ini dengan penuh kelapangan dada  dan secara terang-terangan.

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari jalur Thariq bin Syihab, bahwa pernah ada orang Yahudi yang datang menemui Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu, dan mengatakan:

يا عمر، إنكم تقرءون آية في كتابكم، لو علينا معشر اليهود نزلت لاتخذنا ذلك اليوم عيدا


Wahai Umar, kalian membaca satu ayat di kitab kalian, andaikan ayat ini turun kepada kami kaum Yahudi, tentu akan kami jadikan hari turunnya ayat itu sebagai hari raya.

Umar bertanya: “Ayat apa itu?”

Jawab Yahudi: “Firman Allah,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي


“Pada hari dimana Aku sempurnakan agama kalian untuk kalian, dan aku penuhi nikmat-Ku (nikmat hidayah) untuk kalian…” (QS. Al-Maidah: 3)

Selanjutnya, khalifah Umar berkomentar,

والله إني لأعلم اليوم الذي نزلت على رسول الله صلى الله عليه وسلم، والساعة التي نزلت فيها على رسول الله صلى الله عليه وسلم، نزلت عَشية عَرَفَة في يوم جمعة


“Demi Allah, saya tahu hari dimana ayat ini turun kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, waktu dimana ayat ini turun kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ayat ini turun di siang hari Arafah, pada hari Jumat.” (HR. Ahmad no. 188).

Kami memohon kepada Allah, semoga Allah membimbing kita untuk meniti jalan kebenaran, untuk menggapai surganya.

Selanjutnya, terkait dengan pertanyaan yang Anda sampaikan, ada beberapa catatan yang bisa diperhatikan:

Pertama, Islam memang membolehkan poligami. Kami pun pernah mendengar bahwa dalam Katolik pun hal ini dibolehkan. Meskipun demikian, bukan berarti Islam hendak merendahkan derajat wanita atau mengizinkan lelaki untuk berbuat semena-mena kepada istrinya. Semuanya terikat dengan aturan yang jelas. Siapa yang melakukan poligami, namun tidak mengindahkan aturan ini, dia termasuk orang yang tidak baik.

Kedua, salah satu yang dituntut untuk dilakukan oleh suami yang melakukan poligami adalah bersikap adil secara materi dalam masalah nafkah lahir batin. Suami wajib memberikan nafkah yang memenuhi kelayakan yang sama kepada semua istrinya. Suami wajib memberikan jatah gilir waktu kunjungan yang sama. Jika tidak sanggup melakukan hal ini, Islam mengingatkan agar tidak melakukan poligami. Allah berfirman;

فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا


“Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka nikahlah dengan seorang wanita saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada sikap tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisa: 3).

Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam sikap tidak adil semacam ini. Dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَانَ لَهُ امْرَأَتَانِ يَمِيلُ لِإِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَدُ شِقَّيْهِ مَائِلٌ


“Siapa yang memiliki dua istri, namun dia hanya mementingkan salah satunya, maka dia akan datang pada hari kiamat, sementara salah satu sisi badannya condong. (jawa: sengkleh).” (HR. Ahmad, An-Nasai, Ibn Majah).

Ketiga, untuk mewujudkan semangat adil sebagaimana keterangan di atas, sebagian ulama mempersyaratkan bahwa suami yang hendak poligami harus diketahui oleh semua istrinya. Karena seseorang tidak mungkin bisa bersikap adil, sementara hubungan terhadap semua istrinya dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Dalam kenyataannya, mereka yang melakukan praktik poligami secara sembunyi-sembunyi, tidak diketahui istri pertama, sangat kesulitan untuk bisa bersikap adil. Jika tidak mementingkan istri pertama, dia lebih mengunggulkan istri kedua. Tentu saja, sikap sembunyi-sembunyi semacam ini telah menjerumuskan dia ke dalam jurang maksiat.

Meskipun, bukan syarat poligami harus diizinkan istri pertama. Dua hal yang perlu dibedakan, diketahui istri dan izin dari istri. Poligami harus diketahui istri, meskipun tidak diizinkan oleh istri. Hanya saja, sebagian ulama menegaskan, bahwa dalam rangka mewujudkan kemaslahatan di keluarga, membangun ketenangan dan kebahagiaan keluarga, selayaknya setiap suami yang hendak poligami meminta izin istrinya. Sebagaimana yang dinasehatkan Syaikh Sa’d al-Humaid (Fatwa Islam, no. 9479).

Anda sebagai lelaki, tentunya sangat tidak berharap, ketika Anda melakukan poligami, sementara Anda dan istri kedua Anda diteror oleh istri pertama atau keluarganya. Anda juga tidak berharap, ketika ada tuduhan di masyarakat bahwa istri kedua Anda merebut suami orang. Lantas kapan Anda bisa merasakan kebahagiaan dan ketenangan jika demikian?!

Keempat, Islam sebagai agama yang sempurna, tidak ketinggalan untuk memperhatikan martabat wanita. Islam memberikan hak kepada para wanita untuk menuntut suami agar menunaikan hak dan kewajibannya. Termasuk para istri dalam naungan poligami, mereka punya hak untuk menuntut suami bersikap adil dan memberikan materi yang memenuhi standar kelayakan. Jika tuntutan yang menjadi hak pokok istri ini tidak dipenuhi, istri berhak melakukan gugat cerai. Sebagaimana keterangan Syaikh Abdullah bin Jibrin (Fatwa Islam no. 1859).

Semua ini dalam rangka mewujudkan keadilan dan bersikap baik kepada sesama. Karena Allah hanya memerintahkan yang adil,

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ


“Sesungguhnya Allah hanya menyuruh (kamu) untuk berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl: 90)

Kelima, untuk menyelesaikan masalah ini, kami sarankan agar Anda bicarakan baik-baik dengan suami. Ketika suami Anda pulang, Anda bisa klarifikasi tentang kebenaran berita yang Anda dapatkan. Jika selanjutnya bisa dilakukan resolusi dengan baik antara Anda dan suami tanpa melibatkan orang lain, insya Allah ini pilihan terbaik. Namun jika tidak memungkinkan diselesaikan berdua, Anda bisa meminta bantuan orang tua suami Anda, untuk menyelesaikan permasalahan antara anda dengan suami.

Allahu a’lam

Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar