Jumat, 20 Desember 2013

Hukum mencuci pembalut seblum dibuang

Petanyaan:
Asallamu’allaikum
Apakah darah haid di pembalut harus dibersihkan terlebih dahulu sebelum dibuang?

Adakah hadis sahih yang menerangkan bahwa rambut yang rontok dan memotong kuku pada saat haid harus dikumpulkan serta ikut dicuci/dibersihkan pada saat bersuci nanti?

Jawaban:
Wa’alaikumussalam
Pertanyaan yang sama pernah disampaikan di Fatawa Islam. Keterangan yang disampaikan:

Tidak dijumpai satupun ulama yang diakui keilmuannya yang memberikan menjelaskan bahwa para wanita dianjurkan untuk membersihkan bekas pembalut yang menampung darah haid ketika hendak dibuang dan tidak lagi digunakan. Bahkan yang nampak dari perbuatan para sahabat wanita, mereka tidak mencuci pembalut itu, padahal bisa dipastikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memahaminya. Dan tidak dijumpai riwayat beliau melarang mereka.

Dari Abu Said al-Khudri, bahwa sahabat bertanya: “Bolehkah kami berwudhu dengan air di sumur budha’ah, di sumur ini menjadi tempat pembuangan bekas haid, bangkai anjing, dan bangkai binatang?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi jawaban dengan kaidah:

إِنَّ الْمَاءَ طَهُورٌ لا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ


“Sesungguhnya air itu suci, dan tidak bisa berubah jadi najis oleh sesuatu apapun.” (HR. An-Nasai, Turmudzi, Abu Daud).

Yang dimaksud ‘bekas haid’ (dalam hadis diungkapkan dengan : al-hiyadh) adalah pembalut yang digunakan ketika haid, sebagaimana penjelasan al-Mubarokfuri ketika menjelaskan hadis ini di Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan Tirmidzi.

Teks hadis ini menunjukkan bahwa para sahabat membuang pembalut dalam kondisi masih penuh dengan darah haid. Karena para sahabat yang menanyakan sumur budha’ah meyakini bahwa air sumur itu bercampur dengan darah haid, sehingga mereka menanyakan status kesucian air itu.

Fatwa Islam, no. 20009

Catatan:

Tentang sumur budha’ah, Imam Abu Daud, membawakan keterangan dari Qutaibah bin Sa’d (wafat 240 H) yang pernah mengunjungi sumur ini.
Beliau pernah bertanya kepada orang yang tinggal dekat dengan sumur budha’ah tentang dalamnya? Beliau menjawab:

أَكْثَرُ مَا يَكُونُ فِيهَا الْمَاءُ إِلَى الْعَانَةِ، فَإِذَا نَقَصَ، دُونَ الْعَوْرَةِ


“Maksimal sampai bulu kemaluan dan jika airnya sedikit di bawah kemaluan.”

Imam Abu Daud (wafat 275 H), penulis kitab Sunan Abu Daud, juga pernah mengunjungi sumur ini. Beliau mengukur diameter sumur budha’ah dengan selendangnya, dan beliau ukur. Ternyata panjangnya 6 hasta (sekitar 30 m). Abu Daud bertanya kepada penjaga pintu taman tempat sumur tersebut: “Apakah bangunan sumur ini telah diubah dari sebelumnya?.” Juru kunci itu menjawab: “Belum berubah.” Abu Daud melanjutkan, “Saya lihat warna airnya telah berubah.” (Sunan Abu Daud, Hadis no. 67).

Dalam Fatwa Islam no. 104456 ditegaskan, bahwa para sahabat bukan dengan sengaja membuang benda-benda najis tersebut ke sumur itu. Tapi sumur ini bersambung dengan saluran pembuangan di kota Madinah. Sehingga terkadang ada bangkai dan bekas pembalut haid yang mengalir ke sana. Karena airnya sangat banyak, najis yang masuk ke sumur itu, tidak sampai mengubah bau, rasa dan warnanya.
------------------------------------

Pada dasarnya tidak ada ketentuan bagi wanita yang haidh untuk membersihkan pembalut yang digunakan sebelum membuangnya.

Sebab fungsi pembalut itu bukan semata-mata sekedar menampung keluarnya darah, tetapi juga untuk menjaga kebersihan seorang wanita.

Jadi kalau kemudian pembalut itu menjadi kotor dengan darah, tentu tidak perlu lagi dibersihkan. Pembalut itu bisa langsung dibuang, karena memang dibuat dan dirancang untuk sekali pemakaian.

Kira-kira fungsinya seperti kertas tissue yang hanya sekali pakai. Apa pernah ada orang menggunakan kertas tissue berkali-kali, dipakai lalu dibersihkan lagi, lalu dipakai lagi? Tentu tidak pernah, bukan?

Sebab kertas tissue itu memang dirancang oleh penemunya untuk pemakaian sekali saja lalu dibuang.

Kalau masih penasaran, kita bisa ambil perbandingan dengan prilaku Rasulullah SAW saat berisitinja' dengan batu. Di dalam ilmu fiqih, istilah yang lazim digunakan adalah istijmar.

Rasulullah SAW tidak pernah memerintahkan umatnya untuk membersihkan batu-batu yang telah digunakan untuk beristinja', bukan?

Perintahnya hanya sekedar menggunakan batu saja, tapi tidak diikuti dengan perintah untuk membersihkan batu itu setelah dipakai.

Dan logikanya bisa kita pakai dalam kasus pembalut wanita itu. Di mana salah satu fungsinya adalah untuk membersihkan kotoran atau darah wanita. Sekali pakai dan silahkan dibuang.

Allahu a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar