Kamis, 26 Desember 2013

Sayang suami dan anak tiri

Satu petunjuk Nabi yang sangat detail tentang mencari istri

Ini salah satu petunjuk Nabi yang sangat detail tentang mencari istri dan bisa juga untuk bahan koreksi bagi setiap muslimah yang telah menjadi istri. Sekaligus bukti bahwa tidak ada petunjuk yang sedetail, seindah, dan sedalam bimbingan wahyu kecuali jika kita mau mendengar Rasulullah. Beliau memberi pelajaran sekaligus rekomendasi yang pasti tidak diragukan kualitasnya.

خَيْرُ نِسَاءٍ رَكِبْنَ الْإِبِلَ، صَالِحُ نِسَاءِ قُرَيْشٍ أَحْنَاهُ عَلَى وَلَدٍ فِي صِغَرِهِ، وَأَرْعَاهُ عَلَى زَوْجٍ فِي ذَاتِ يَدِهِ

“Sebaik-baik wanita yang mengendari unta adalah wanita sholeh dari Suku Quraisy; paling lembut kepada anak di usia kecil dan paling menjaga pada harta suami.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Yang dimaksud dengan wanita yang mengendarai unta adalah wanita Arab. Al Qostholani dalam Irsyadus Sary menjelaskan, “Dikhususkan Arab di antara manusia lain dan dikhususkan Quraisy di antara Arab sebuah petunjuk bahwa Arab paling mulia di antara manusia dan yang paling mulianya adalah Quraisy.”

Rasulullah berasal dari Quraisy. Al Quran sendiri diturunkan dengan Bahasa Arab dengan logat Quraisy. Salah satu surat yang menyebut suku dalam Al Quran adalah Surat Quraisy. Di mana Allah mengisyaratkan beberapa kelebihan mereka.

Ini bukan pembicaraan fanatisme kesukuan. Nabi menyampaikan dalam khutbah beliau bahwa tidak ada kelebihan Arab di atas non Arab. Tetapi syariat juga yang menyebutkan beberapa kelebihan suku-suku lain. Seperti saat Al Quran menyebut keistimewaan para sahabat Anshor (Madinah) dan Muhajirin (Mekah) dalam Surat Al Hasyr. Demikian juga keistimewaan masyarakat Mesir, Yaman dan lain sebagainya. Di antara yang beliau sebutkan adalah Quraisy. Dan inilah yang memutuskan dialog hangat antar sahabat di Saqifah Bani Sa’idah saat mereka memilih pemimpin sepeninggal Nabi. Di mana dibacakan hadits yang menjadi hakim atas dialog itu,“Kami (Quraisy) adalah pemimpin dan kalian (Anshor) adalah pembantu pemimpin.” Para sahabat pun sepakat tanpa ada perbedaan setelah diingatkan oleh hadits tersebut.

Di majlis itu Abu Bakar menjelaskan lebih dalam, “Mereka adalah Arab yang menempati wilayah di tengah dan memiliki kehebatan nasab paling baik.”

Pembahasan hadits di atas, Nabi menjelaskan bagi setiap muslim yang ingin mencari istri istimewa. Nabi kembali menunjuk wanita sholihah dari kalangan Quraisy.

Abu Huroiroh menjelaskan bahwa Maryam tidak pernah mengendarai unta sama sekali (Shohih Muslim). Ini menunjukkan bahwa Maryam tidak masuk dalam perbandingan ini. Karena seperti dalam kalimat Rasul yang lain bahwa Maryam adalah satu-satunya wanita yang mencapai tingkat sempurna.

Dalam Shohih Muslim dari Abu Huroiroh bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melamar Ummu Hani’ (dari Quraisy). Ummu Hani’ menjawab: “Ya Rasulullah, engkau lebih aku cintai dari pada pendengaranku dan penglihatanku. Sementara hak suami itu besar. Aku takut jika sedang melayani suamiku, aku melalaikan urusanku dan anakku. Jika aku sedang mengurus anakku, aku mengabaikan hak suami.”

Rasul menjawab: “Sesungguhnya sebaik-baik wanita yang mengendari unta adalah wanita sholih dari Suku Quraisy; paling lembut kepada anak di usia kecil dan paling menjaga pada harta suami.”

Ini pujian untuk Ummu Hani’ yang berasal dari kalangan wanita sholihah dari Suku Quraisy. Seperti yang tercermin pada kalimatnya, sebagai seorang janda beranak kecil ia tidak mau mengurangi perhatiannya pada anak. Di satu sisi ia sadar betul bahwa hak suami begitu besar. Walau ia sangat mencintai Rasulullah, tetapi Ummu Hani’ menyampaikan keberatannya. Rosul pun tidak jadi menikahinya.

Wanita Sholih dari Suku Quraisy mempunyai dua kelebihan,

Pertama, paling lembut kepada anak-anak di usia kecilnya. Inilah usia yang sangat memerlukan kesabaran, kelembutan, kasih sayang dan fokus. Kelembutan dan kasih sayang wanita Quraisy tidak terbatas pada anak kandungnya saja. Al Qostholany dalam Irsyadus Sary menjelaskan, “Kata walad (anak) dalam bentuk nakiroh (tidak definitif), sebuah isyarat bahwa ia bersikap lembut kepada anak manapun, walaupun itu anak (bawaan) suaminya.” Sikap lembut dan kasih itu merupakan karakter aslinya yang terpatri dalam dirinya. Adapun dalam riwayat lain disebut anak yatim dan anak kecil, bukan berarti kasih sayang hanya sebatas saat anak masih kecil atau sudah yatim. Berikut penjelasan Ibnu Hajar dalam Fathul Bary, “Hadits menggunakan kata anak yatim dan anak kecil, sesungguhnya sifat lembut pada anak itu menetap dalam dirinya. Tetapi disebutkan dua keadaan itu (yatim dan kecil), dikarenakan (lembut) sangat diperlukan pada kedua keadaan itu.”

Kedua, pandai dan mampu menjaga harta suami. Inilah yang dimaksud oleh kalimat tersebut, “Paling melindungi dan menjaga amanahnya, memelihara dan meninggalkan mubadzir dalam menafkahkan.” (Ibnu Hajar dalam Fathul Bary).  Semua suami sangat suka dengan istri yang seperti ini.

Petunjuk Nabi ini menjadi rekomendasi tingkat tinggi dari beliau. Jaminan mutu tak mungkin kecewa. Wanita sholih Quraisy. Jika ada yang bisa mendapatkannya, maka jangan lagi ragu untuk mengambilnya.

Tapi, kalaupun bukan dari Suku Quraisy Nabi telah membuka dua keistimewaan wanita sholih Quraisy.
_________________________________________


Tulang Rusuk Bengkok Itu Bernama Wanita

 “Berbuat baiklah kepada wanita, karena sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk, dan sesungguhnya tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas.Maka sikapilah para wanita dengan baik,” (HR al-Bukhari Kitab an-Nikah no 5186)

TENTU kita sudah paham betul dengan inti dari hadist ini yang kemudian banyak dikutip untuk berbagai syair; lagu ataupun puisi. Sebenarnya maksud dari diciptakan dari tulang rusuk yang paling bengkok ini apa ya?

Ini adalah perintah untuk para suami, para ayah, saudara saudara laki laki dan lainnya untuk menghendaki kebaikan untuk kaum wanita, berbuat baik terhadap mereka, tidak mendzalimi mereka dan senantiasa memberikan ha-hak mereka serta mengarahkan mereka kepada kebaikan. Ini yang diwajibkan atas semua orang berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam, “Berbuat baiklah kepada wanita.”

Hal ini jangan sampai terhalangi oleh perilaku mereka yang adakalanya bersikap buruk terhadap suaminya dan kerabatnya, baik berupa perkataan maupun perbuatan karena para wanita itu diciptakan dari tulang rusuk, sebagaimana dikatakan oleh Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam bahwa tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas.

Sebagaimana diketahui, bahwa yang paling atas itu adalah yang setelah pangkal rusuk, itulah tulang rusuk yang paling bengkok, itu jelas. Maknanya, pasti dalam kenyataannya ada kebengkokkan dan kekurangan. Karena itulah disebutkan dalam hadits lain dalam ash-Shahihain.

“Aku tidak melihat orang orang yang kurang akal dan kurang agama yang lebih bias menghilangkan akal laki laki yang teguh daripada salah seorang diantara kalian (para wanita).” (HR. Al Bukhari no 304 dan Muslim no. 80)

Hadits Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam yang disebutkan dalam ash shahihain dari hadits Abu Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu. Makna “kurang akal” dalam sabda Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam adalah bahwa persaksian dua wanita sebanding dengan persaksian seorang laki laki. Sedangkan makna “kurang agama” dalam sabda beliau adalah bahwa wanita itu kadang selama beberapa hari dan beberapa malam tidak shalat, yaitu ketika sedang haidh dan nifas. Kekurangan ini merupakan ketetapan Allah pada kaum wanita sehingga wanita tidak berdosa dalam hal ini.

Maka hendaknya wanita sendiri harus mengakui hal ini sesuai dengan petunjuk nabi shalallahu ‘alayhi wasallam walaupun ia berilmu dan bertaqwa, karena nabi shalallahu ‘alayhi wasallam tidak berbicara berdasarkan hawa nafsu, tapi berdasar wahyu yang Allah berikan kepadanya, lalu beliau sampaikan kepada ummatnya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

“Demi bintang ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak keliru, dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (Qs. An-Najm:4). [Sumber: 
Majmu Fatawa wa Maqadat Mutanawwi’ah juz 5 hall 300-301, Syaikh Ibn Baaz Fatwa fatwa Terkini Jilid 1 Bab Perlakuan Terhadap Istri penerbit Darul Haq]
________________________________


Belajar Dari Wanita Quraisy

INDAHNYA belajar parenting dari Rasulullah Saw. Beliau memberikan kepada kita panduan hingga potret di lapangan. Kali ini beliau ingin agar kita belajar dari para wanita Quraisy. Sebelumnya perlu dijelaskan bahwa ketika Nabi menyebut kelebihan Quraisy di atas suku lain bukan merupakan tindakan rasis atau fanatisme kesukuan. Tetapi ini bicara tentang fakta kehebatan dan kelebihan sebuah suku. Karena Allah menciptakan kita bersuku-suku dan setiap suku mempunyai kelebihan. Itulah mengapa Nabi terakhir berasal dari suku terbaik; Quraisy.

Kelebihan suku Quraisy tidak hanya pada kaum laki-lakinya. Tetapi juga pada kaum wanitanya. Islam lah yang kembali mengungkap kelebihan kaum wanitanya setelah mereka dahulu dinomor duakan di masyarakat.

Berikut ini kelebihan wanita Quraisy seperti yang diungkapkan Rasul untuk menjadi pelajaran bagi setiap keluarga muslim, khususnya kaum wanita,

“Sebaik-baik wanita yang mengendarai unta adalah wanita shalih dari Quraisy; paling sayang pada anak di usia kecilnya dan paling menjaga suami pada yang dimilikinya.” (Muttafaq ‘alaih).

Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menjelaskan,

“Sabda beliau tentang wanita yang mengendari unta, merupakan isyarat tentang Arab. Karena mereka adalah orang-orang yang banyak mengendarai unta. Dan sebagaimana yang diketahui bahwa Arab lebih baik dari yang lainnya secara mutlak dan umum. Maka, bisa diambil pelajaran darinya keutamaan wanita Quraisy secara mutlak di atas seluruh wanita.”

Abul Abbas Al Qurthubi berkata,

“Yang dimaksud dengan sholih adalah baik agamanya, baik interaksinya dengan suami dan yang lainnya, sebagaimana ditunjukkan dalam kata: Paling sayang dan paling menjaga.” (Thorhut Tatsrib fi Syarhit Taqrib, Zainuddin Al Iraqi).

Kini kita dengarkan penjelasan tentang kata: Paling sayang pada anak di usia kecilnya,

“Yaitu sayang kepada anak-anak, lembut, baik dalam mendidik mereka, memberikan hak-hak mereka kalau mereka yatim dan sebagainya.” (An Nawawi dalam al Minhaj).

Adapun makna paling menjaga yang dimiliki suami,

“Memperhatikan suami mereka, menjaga harta. Hal itu dikarenakan kemuliaan jiwa para istri, sedikitnya kesalahan pada suami mereka, sucinya mereka dari tipu daya kepada suami dan mendebat mereka.” (Ibnu Baththal).

Begitulah penjelasan para ulama kita tentang petunjuk Nabi di atas. Beliau sangat ingin para muslimah ini belajar dari kelebihan para wanita Quraisy. Jika kita simpulkan, kelebihan para wanita Quraisy adalah:

1. Wanita yang baik agamanya.

2. Wanita yang sangat lembut dan menyayangi anak-anaknya.

3. Wanita yang mendidik anak-anaknya dengan baik.

4. Wanita yang memberikan penuh perhatiannya kepada suami.

5. Wanita yang menjaga harta suami.

6. Wanita yang tidak banyak berbuat kesalahan pada hak suami.

7. Wanita yang tidak membantah suami,

Bacalah berulang-ulang ke-7 poin tersebut. Dan renungilah, kemuliaan puncak seorang wanita terletak pada kebaikan dan kehebatannya dalam hal anak dan suami.

Bukan yang lainnya!
__________________________________

Belajar Dari Keluarga Ibrahim ‘Alaihissalam

keluarga qurani Belajar Dari Keluarga Ibrahim Alaihissalam

Idul Adha adalah salah satu hari raya umat Islam yang setiap tahun senantiasa dirayakan oleh kaum muslimin di seluruh dunia. Selain ibadah haji ke Mekkah, Idul Adha juga identik dengan peristiwa penyembelihan hewan kurban. Namun, yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana refleksi Idul Adha ini dalam kehidupan berkeluarga. Di mana, karena kekuatan akidah mampu melahirkan ketaatan, kesabaran, pengorbanan dan rasa ikhlas hanya karena Allah semata. Tentu, sudah sepatutnya kita belajar dari keluarga Ibrahim yang mulia itu.

Ibrahim, sejak muda ia adalah seorang lelaki yang teguh dalam mencari hakikat kebenaran. Ia tak tunduk dalam kejumudan tradisi penyembah berhala. Ia mencari kebenaran dan teguh memegangnya meskipun nyala api dikobarkan Namrud untuk membakar jasadnya. Pun setelah ia menjadi utusan Allah. Kecintaannya pada Allah melebihi kecintaannya pada keluarga, istri maupun buah hati yang amat dicintainya.

Sesungguhnya, secara fitri setiap manusia memiliki apa yang disebut dengan naluri untuk memiliki (gharizatu tamalluk) dan naluri untuk mempertahankan jenis (gharizatu nau’). Perwujudan dari naluri-naluri ini adalah berupa kecintaannya pada harta benda, kecintaannya pada anak dan istri, juga keinginannya untuk memiliki kedudukan, jabatan, penghormatan dan lain sebagainya. Sebagaimana dijelaskan dalam al Qur’an;

“Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik.” (TQS. Ali Imran [3] : 14)

Dengan naluri itu pula, secara fitri manusia akan terdorong untuk melakukan berbagai upaya untuk mendapatkan harta kekayaan, mencari pasangan hidup dan melahirkan keturunan serta berupaya untuk meraih jabatan dan penghormatan. Itu pula yang terjadi pada diri Nabiyullah Ibrahim alayhi salaam. Di usianya yang kian senja, Ibrahim selalu berharap dan berdoa kepada Allah untuk memperoleh keturunan yang shalih. Sebagaimana dikisahkan dalam al-Quran, beliau berdoa dan memohon dengan penuh kesungguhan.

“Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang yang shalih.” (TQS. Ash-Shaffat [37] : 100).

Hingga Allah Yang Maha Kuasa pun mengabulkan doanya. Mengaruniakan katurunan kepada lelaki tua yang telah membelanjakan hidupnya untuk menyebarluaskan risalah-Nya itu.

“Maka Kami beri kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang sangat sabar (Isma’il).” (TQS, Ash-Shaffat [37] : 101).

Sejatinya, peristiwa  Idul Adha memang tidak bisa dipisahkan dari keluarga Ibrahim AS. Di mana, Idul Adha merupakan momen peringatan pengorbanan dan ketaatan keluarga Ibrahim terhadap perintah Allah untuk menyembelih puteranya, Isma’il.  Perintah ini tentu sangat berat.  Baginya, Isma’il tentu bukan hanya seorang anak. Isma’il adalah buah hati, harapan dan kecintaannya yang sudah lama dirindukan dan dimohonkan oleh Ibrahim dan isterinya Hajar. Hingga, tatkala usia Ibrahim sudah mulai senja, Isma’il baru lahir dari rahim istri beliau, Hajar.

Sungguh, begitu bahagia keluarga ini menerima karunia Allah yang sangat dirindukan dan diidam-idamkannya.  Namun, ketika Isma’il mulai tumbuh berkembang sebagai seorang anak, turunlah sebuah perintah Allah supaya Nabi Ibrahim menyembelih putra yang didambanya itu.

“Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, Ibrahim berkata, ‘Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu’” (TQS, Ash-Shaffat [37] : 102)

Betapa ini adalahlah ujian ketaatan seorang hamba terhadap perintah Tuhannya?  Dan keluarga Nabi Ibrahim mampu melewati ujian ini.  Allah pun membalas ketaatan ini dengan digantinya Isma’il dengan seekor domba. Dan penyembelihan kurban dan ibadah haji inilah yang pada akhirnya disyariatkan kepada Rasulullah Muhammad SAW untuk dilakukan oleh umat Islam. Jadi, selayaknyalah bahwa keluarga Nabi Ibrahim AS merupakan contoh keluarga yang diliputi oleh totalitas ketaatan atas perintah Allah SWT.

Pelajaran Berharga

Sungguh bila ada pertanyaan; ”Pelajaran apakah yang bisa kita ambil dari contoh keluarga Ibrahim AS bagi kehidupan berkeluarga kita saat ini?” Subhanallah, tentu kita akan menemukan begitu  banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah Nabi Ibrahim dan keluarganya.

Pertama, sosok Nabi Ibrahim sebagai seorang suami dan ayah yang mampu mendidik keluarganya (anak dan isteri) sehingga menjadi orang-orang yang ridha dan taat pada perintah Allah semata.  Hal ini nampak pada perbincangan Nabi Ibrahim dengan putra beliau, Isma’il;

“Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, Ibrahim berkata, ‘Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!’ Dia (Isma’il) menjawab. ’Wahai Ayahku! lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang  yang sabar.’ (TQS, Ash-Shaffat [37] : 102)

Lalu, adakah sesuatu yang seharusnya bisa kita contoh kenapa Isma’il, seorang anak yang masih belia rela menyerahkan jiwanya? Dan bagaimanakah Isma’il mampu memiliki kepatuhan yang begitu tinggi? Rupanya, untuk itu Ibrahim senantiasa berdoa memohon kepada Allah untuk dianugerahi anak yang shalih;

“Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang yang shalih.” (TQS. Ash-Shaffat [37] : 100)

Maka Allah pun mengkabukan doanya;

“Maka Kami beri kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang sangat sabar (Isma’il).” (TQS, Ash-Shaffat [37] : 101)

Inilah rahasia kepatuhan Isma’il meskipun masih belia ia ikhlas dan sabar menerima apa yang telah Allah perintahkan kepada bapaknya. Semua ini tentu  tidak lepas dari peran serta orang tuanya dalam proses bimbingan dan pendidikan yang senantiasa diliputi kasih sayang, kesabaran dan ketaatan hanya kepada Allah semata.

Demikian pula Nabi Ibrahim telah berhasil mendidik isterinya, Hajar sebagai seorang wanita yang yakin pada janji Allah.  Wanita yang patuh dan taat kepada suami semata-mata karena kecintaanya kepada Allah, bukan yang lain. Maka tatkala telah pasti bahwa perintah untuk meninggalkan dia dan anaknya di gurun pasir yang gersang adalah perintah Allah, dia ridho dan yakin.

“Apakah Allah yang memerintahkan hal ini kepadamu?” Ibrahim menjawab, “Ya” Hajar berkata, “Kalau begitu Allah tidak akan menyia-nyiakan kami” (HR Bukhari)

Kedua, sosok isteri sholihah yang ada pada diri Hajar.  Hajar, dialah wanita yang diberikan kepada Ibrahim dari pembesar Mesir. Ibrahim pun menikahinya. Hajar adalah seorang istri yang taat dan patuh pada suaminya. Kewajiban taat seorang istri kepada suami di sini tentu bukanlah ketaatan yang buta.

Ketaatan tersebut semata dalam rangka ketaatannya pada perintah Allah.  Inilah yang akan meringankan dan melapangkan isteri ketika melaksanakan perintah suami, seberat apapun perintah suaminya tersebut.  Isteri shalihah yakin bahwa dalam memenuhi perintah Allah pasti ada jaminan kemaslahatan dan pahala dari-Nya. Di mana Allah pasti tidak akan menyia-nyiakannya.

Ketiga, keluarga Ibrahim adalah gambaran sebuah keluarga yang solid dan komit terhadap perintah Allah. Memiliki visi dan misi hidup yang jelas, semata untuk ibadah kepada Allah dengan segala perintah dan aturan yang telah Allah turunkan. (TQS.Al-An’am [6]: 162).

Sungguh, bangunan keluarga muslim yang kokoh akan terwujud jika ditopang oleh sosok ayah atau suami yang mampu menjadi pemimpin (qowwam) bagi anak dan isterinya; hadirnya isteri shalihah yang akan menjadi pendamping dan pendukung perjuangan suami serta pendidik putera-puteri tercinta; serta anak-anak yang shalih yang menyenangkan hati kedua orang tuanya semata-mata karena ketaatannya pada perintah Rabbnya.

Kekuatan Iman Membentuk Keluarga Idaman

Ketaatan total kepada Allah yang dibuktikan oleh keluarga Nabi Ibrahim adalah wujud dari keimanan yang kokoh.  Hal ini nampak jelas dalam perbincangan antara Nabi Ibrahim dengan isterinya maupun dengan puteranya (Ismail), bahwa semuanya senantiasa memastikan “Apakah ini perintah Allah?”. Inilah kekuatan keimanan yang lahir dari aqidahnya (TQS.Ash-Shaffat [37]:111).

Iman yang kuat bukan hanya tersimpan dalam hati. Tapi, iman tersebut akan mampu mendorong untuk senantiasa tunduk terhadap ketetapan yang telah diimaninya serta mematuhi setiap yang diperintahkan-Nya. Keimanan yang melahirkan ketaatan dan keridhaan (sami’na wa ‘atho’na).  Dan ketaatan yang melahirkan anugerah; ditebusnya Isma’il dengan seekor domba. Ibrahim pun dijadikan pujian di kalangan orang-orang kemudian, dan dilimpahi kesejahteraan (TQS.Ash-Shaaffat [37]:107-110).

Beliau dengan istrinya; Hajar dan anaknya-Isma’il, di samping istri yang lainnya Sarah dan anaknya-Ishaq adalah contoh keluarga yang berhasil membangun kehidupan atas dasar keyakinan kepada Allah SWT. Mereka juga dapat membangun idealisme dan cita-cita yang sangat tinggi disertai dengan pengorbanan yang tanpa mengenal pamrih, kecuali hanya mengharap ridha Allah SWT.

Pilar-pilar yang dibangun oleh keluarga teladan ini diungkapkan oleh Allah SWT secara perinci pada QS ash-Shaffat [37] : 99-112;

Pertama, memiliki visi dan misi yang jelas, yaitu saling menjaga dan saling memelihara dalam ketaatan kepada Allah SWT. Nabi Ibrahim sebagai sosok ayah yang bertanggung jawab kepada keluarga.  Namun, demi ketaatannya terhadap perintah Allah SWT maka dengan penuh keyakinan akan Maha Kasih Sayang Allah, ia rela meninggalkan anak dan isterinya di tengah gurun pasir yang sepi tiada kehidupan sama sekali.

Demikian juga Hajar, contoh isteri shalihah yang senantiasa mendorong dan mendukung suami. Sosok isteri yang menjadi sayap kanan suami.

Kedua, selalu berdoa dan memohon kepada Allah SWT agar mendapatkan anak dan keturunan yang shalih dan shalihah sebagai pewaris dan penerus perjuangan orang tuanya. Tentu, mereka diharapkan juga mampu mendirikan shalat dan perintah Allah yang lain dengan sebaik-baiknya.

Ketiga, membangun keyakinan akan turunnya pertolongan Allah SWT yang dilandasi dengan kegigihan berusaha dan berikhtiar. (TQS. Muhammad[47] : 7). Sebagai contoh, ketika mencari air untuk memenuhi kebutuhan anaknya yang masih kecil (Isma’il). Hajar berlari-lari kecil antara bukit Safa dan bukit Marwah. Dengan izin-Nya, akhirnya keluarlah mata air yang tidak pernah diduga sebelumnya, yaitu air zamzam yang tidak pernah lekang sepanjang zaman.

Itulah nasrullah yang dijanjikan kepada hamba-Nya yang menolong agama-Nya.  Hajar yakin bahwa kepergian suaminya bukan untuk menelantarkan dirinya juga anaknya, namun semata untuk menjalankan perintah Allah, menyampaikan risalah-Nya kepada umat manusia, Karenanya, Allah pasti akan memberikan pertolongan dan mengeluarkannya dari kesulitan.

Keempat, membudayakan diskusi dan musyawarah di antara sesama anggota keluarga sehingga timbul pemahaman dan pengertian yang baik. Sebagai contoh, ketika Ibrahim bermimpi untuk menyembelih anaknya (yang diyakininya sebagai perintah Allah SWT), Ibrahim berdialog dan berkomunikasi dengan Isma’il. Lalu, keduanya melaksanakan ketentuan Allah SWT ini dengan penuh kesadaran dan keikhlasan.

Dalam keluarga harus terbangun komunikasi yang harmonis baik antara suami-isteri maupun antara orang tua dengan anak.  Namun bukan komunikasi yang bebas-lepas tanpa kendali.  Melainkan komunikasi yang harmonis penuh penghormatan dengan tetap merujuk kepada aturan Allah.

Kelima, membangun semangat berkorban untuk menumbuhkan kecintaan kepada Allah SWT dan kecintaan kepada sesama manusia. Berkorban tidak saja berupa harta benda dan tenaga tapi juga jiwa yang lahir dari kecintaan kepada Allah semata.

Inilah beberapa pilar utama dalam membangun keluarga yang kuat yang telah dicontohkan oleh keluarga Ibrahim AS untuk dijadikan pelajaran dan suri teladan bagi orang-orang beriman yang menginginkan keluarganya bahagia sejahtera atas dasar ketundukan dan kepatuhan kepada Allah SWT semata.

Mari Berkurban Tuk Tegaknya Panji Islam

Sebagaimana sebuah nashid yang dipopulerkan oleh grup nashid SNADA, “Belajar dari Ibrahim”, yang harus kita tiru dari keluarga Ibrahim adalah ketaatan total pada seluruh aturan Allah. Kita meneladani pribadi-pribadi agung yang kokoh dalam keimanan, taat terhadap semua aturan, dan sabar dalam ujian.

Mencontoh keluarga Ibrahim dalam kehidupan berkeluarga secara menyeluruh yang sarat dengan pembinaan keimanan dan pemberian contoh dalam ketaatan baik dari seorang ayah maupun ibu serta kerelaan untuk berkorban.  Dan yang tidak kalah pentingnya adalah ketaatan dalam melaksanakan aturan kemasyarakatan.

Bagi kita tidak ada kata lain, kecuali; Sami’na wa atha’na, kami dengar dan kami taat. Kita tidak lagi memilih-milih. Siapakah yang lebih dicintai, Allah atau Isma’il? Siapakah yang lebih kita sayangi, Allah atau diri kita sendiri? Siapakah yang lebih kita turuti, hawa nafsu kita ataukah perintah Allah? Dan hukum buatan siapakah yang seharusnya kita terapkan, hukum buatan manusia atau hukum buatan Allah? Karenanya, tidak lagi ada pilihan bagi kita di hadapan perintah dan larangan Allah, kecuali patuh.

”Dan tidaklah layak bagi orang Mukmin laki-laki maupun bagi orang Mukmin perempuan, jika Allah dan rasul-Nyat telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) dalam urusan mereka. Barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat, dengan kesesatan yang nyata.”

Untuk itu, marilah kita jujur, bagaimanakah sikap kita saat ini? Apakah kita telah memiliki ketaatan total kepada Allah dan Rasul-Nya? Sudahkah kita menaati Allah dan Rasul-Nya dalam setiap perintah dan larangan-Nya? Sudahkah kita menerapkan seluruh aturan Allah dan Rasul-Nya dalam seluruh aspek kehidupan kita?

Ketika Allah memerintahkan kita shalat, kita segera melaksanakannya. Ketika Allah memerintahkan kita berpuasa, kita juga segera melaksanakannya. Ketika Allah memerintahkan kita haji dan berkurban, kita berupaya-berusaha untuk melaksanakknya. Pun ketika kita dilarang memakan babi dan meminum khamr kita pun segera meninggalkannya.

Lalu, mengapa ketika Allah memerintahkan kita untuk menerapkan hukum dan aturan-Nya, kemudian kita abai? Mengapa ketika Allah memerintahkan kita melaksanakan sistem ekonomi berdasarkan hukum-hukum-Nya, kita tidak menunaikannya? Begitu pun ketika Allah memerintahkan kita melaksanakan sistem pemerintahan berdasarkan hukum-hukum-Nya, kita malah tidak melaksanakannya?

Bukankah kita tahu, bahwa hanya dengan hukum dan aturan-Nyalah kehidupan kita akan menjadi lebih baik, mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat? Bukankah kita juga tahu, bahwa hanya sistem pemerintahan Islamlah yang mampu mempersatukan umat, yakni Khilafah Islamiyah? Dan kini kita lemah dan hina karena tidak ada sistem yang melindungi kita dan menjadi junnah, perisai kaum muslimin.

Inilah saatnya kita berkurban. Mengurbankan segala apa yang kita punya. Tampil ke depan membawa panji-panji Islam.

“Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu.” (TQS. Al-Hajj [22] : 37)

Mari kita berkurban. Tidak hanya berhenti pada penyembelihan kambing, sapi, atau unta. Namun pengorbanan harta, waktu, jiwa dan raga kita demi tegaknya agama Allah di muka bumi ini. Berjuang dengan segenap daya dan kemampuan menyonsong kemenangan yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya.
________________________________________


Meneladani Keluarga Nabi Ibrahim as

padang pasir Meneladani Keluarga Nabi Ibrahim asBULAN Dzulhijjah meru­pakan bulan istimewa bagi umat Islam. Di dalamnya, umat Islam melaksanakan ibadah haji, kurban, dan mendirikan shalat Idul Adha seraya mengumandangkan takbir, tahmid dan tahlil.

Menariknya, rangkaian ibadah itu erat kaitannya dengan kisah perjalanan hidup Nabi Ibrahim AS. Jika diper­hatikan, keluarga Nabi Ib­rahim merupakan salah satu profil keluarga ideal yang dikisahkan dalam Alquran.

Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari kisah perjalanan hidup keluarga Nabi Ibrahim AS. Di anta­ranya, pertama: ketelanan Nabi Ibrahim sebagai suami dan ayah. Dalam keluaganya, Nabi Ibrahim adalah kepala keluarga. Ia membina keluar­ganya sesuai dengan tuntunan Allah.

Sebagai suami, Ibrahim berlaku adil kepada istrinya. Kedua istrinya, Sarah dan Hajar, taat kepada Nabi Ibrahim. Ketaatan istri terse­but tentu tidak terlepas dari kemuliaan pribadi dan keta­atan Nabi Ibrahim AS kepada Allah SWT.

Hal ini mengajarkan kepa­da kita bahwa jika ingin ditaati oleh istri, seorang suami harus mampu menam­pilkan dirinya sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab, berkepribadian luhur, cinta pada keluarga, dan berperilaku sesuai dengan tuntunan agama.

Akan sulit bagi seorang suami yang menginginkan istrinya taat dan shalehah, sementara suami sendiri memiliki akhlak yang buruk. Akan sia-sia jika suami lebih menginginkan istrinya beru­bah ke arah yang lebih baik, sementara pribadi sang sua­mi tersebut tidak pula mampu mengubah kebiasaan-kebia­saan buruk yang ia lakukan. Sejatinya, ubahlah diri sendiri, maka Allah akan memper­mu­dah jalannya untuk mengubah orang-orang yang dipimpinnya, termasuk istri dan anak-anaknya.

Sebagai seorang ayah, Nabi Ibrahim AS tampil sebagai pendidik yang penuh kasih sayang, demokratis, dan menjadi teladan. Perhati­kanlah dialog Nabi Ibrahim ketika menjalankan perintah Allah untuk menyembelih Ismail.

Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibra­him, Ibrahim berkata: “Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang dipe­rintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapa­tiku termasuk orang-orang yang sabar” (Qs. ash-Shaffat/37: 102).

Dalam dialog yang dike­mu­kakan Alquran di atas, terlihat Nabi Ibrahim sangat menyayangi dan anaknya dan bersifat demokratis. Sifat kasih sayang itu tergambar dari pilihan kata yang diguna­kannya ketika menyeru buah hatinya: ya bunayya (hai anakku). Penggunakan kata ya bunayya merupakan pang­gi­lan penuh kasih sayang kepada anaknya.

Kemudian, Ibrahim me­min­ta pendapat kepada anak­nya ketika diperintah untuk menyembelih sang anak terse­but. Tampak jiwa demokratis seorang ayah yang sebe­lum­nya telah berupaya mena­namkan nilai-nilai pendidikan yang baik kepada Ismail.

Jangankan mengajak un­tuk kebaikan yang mengun­tungkan secara lahiriah, keti­ka diajak untuk mengor­bankan nyawa sekali pun, sang anak rela tanpa protes. Kita tentu bertanya, upaya apa yang dilakukan oleh Ibrahim sehingga anaknya setaat itu?

Semua itu tidak terlepas dari doa, usaha, dan ketela­danan yang dilakukan oleh Nabi Ibarahim. Alquran me­nga­­badikan doa Nabi Ibrahim,rabbi habli minashshalihin, Wahai Tuhanku, anugerahkan kepadaku anak yang shaleh (Qs. ash-Shaffat/37: 100).

Hal ini mengajarkan kepa­da kita agar senantiasa ber­doa untuk memperoleh anak yang shaleh. Anak adalah amanah. Ia bisa menjadi fitnah (al-Anfal/8: 28). Karena itu, berdoa dan berlindunglah kepada Allah agar kita diberi kekuatan dan kemampuan untuk mendidik anak yang shaleh sehingga ia tidak men­jadi fitnah yang merugi­kan.

Doa itu juga diiringi de­ngan usaha. Usaha itu bisa berupa upaya yang ditempuh Nabi Ibrahim dalam memilih jodoh. Siti Hajar, meskipun berkulit hitam, berstatus budak, tetapi imannya teguh, akhlaknya mulia, taat bera­gama dan patuh pada suami­nya.

Usaha seperti ini juga diajarkan dalam Alquran. Allah menegaskan bahwa seorang budak yang beriman jauh lebih berharga dari pada seseorang yang musyrik, mes­ki­pun menarik hati (Qs. al-Baqarah/2: 221).

Karena itu, jika mengi­nginkan anak yang shaleh, mulailah dari memilih jodoh. Jika istri yang dipilih biasa mengabaikan perintah Allah, bagaimana mungkin ia akan mampu mendidik anak yang shaleh. Bukankah ibu merupa­kan guru pertama bagi seorang anak?

Nabi Ibrahim juga men­jadi teladan bagi anaknya. Ibrahim membawa Ismail untuk membangun Ka’bah lalu berdiam di sekitarnya (Qs. Ibrahim/14: 37). Nabi Ibrahim memberi contoh secara lang­sung bagaimana cara beri­badah kepada Allah, bukan sekedar nasihat.

Upaya ini sejatinya kita teladani dengan konsisten menjadi contoh yang baik kepada anak keturunan kita; bukan sekedar menceritakan contoh kebaikan saja.

Kedua, profil Siti Hajar sebagai ibu yang pendidik. Siti Hajar memainkan perannya sebagai ibu yang bertanggung jawab dalam mendidik anak­nya. Ia seorang ibu yang tang­guh, pantang menyerah dan tak kenal putus asa.

Ketika bayinya meronta kehausan, Siti Hajar berlari-lari mencari air. Dari Shafa ke Marwa, berulang-ulang untuk mencari air demi me­me­­nuhi kebutuhan jasmaniah anaknya. Peristiwa itu kemu­dian diabadikan dalam ritual ibadah Sa’i ketika Haji dan Umrah.

Siti Hajar juga menyerang Iblis dengan lontaran batu ketika Iblis mencoba untuk merusak ruhaniyah anaknya agar menolak keputusan Ibrahim menyembelih Ismail atas perintah Allah. Lontaran batu itu juga menjadi ibadah melontar jumrah dalam iba­dah Haji.

Hal ini menunjukkan bah­wa Siti Hajar melindungi fisik dan ruhaniyah anaknya. Siti Hajar menjadi pendidik perta­ma dan laksana sekolah bagi anaknya. Al-Ummu Madrasah, Ibu adalah sekolah.

Siti Hajar juga menampil­kan dirinya sebagai sosok istri yang patuh pada suami dan taat kepada Allah. Meskipun terasa berat menerima kepu­tusan Ibrahim untuk taat pada perintah Allah agar menyembelih putra semata wayangnya, tetapi demi kepa­tuhannya kepada sang suami dan ketaatannya pada Allah, Siti Hajar rela tanpa banta­han sekecil apa pun.

Sikap ini seharusnya dite­la­dani oleh setiap istri. Seorang istri harus patuh pada suami selagi tidak bertentangan dengan ketaatan pada Allah SWT.

Ketiga, profil Nabi Ismail sebagai anak shaleh. Nabi Ismail tidak membantah perintah ayahnya. Malah Ismail menguatkan hati ayah­nya agar tabah menjalankan perintah tersebut. Ia berkata: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepa­da­mu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.

Kesalahen Ismail sejatinya menjadi inspirasi dan taula­dan bagi generasi muda saat ini. Seorang pemuda harus siap berkorban apa saja untuk berbakti kepada orang tua. Waktu, pikiran, tenaga, bah­kan jiwanya sekali pun ia korban­kan demi baktinya pada orang tua sehingga mereka bangga memiliki anak seperti dia. Namun kepatuhan pada orang tua itu tidak boleh berten­tangan dengan perintah Allah.

Seorang anak harus bang­ga melihat orang tuanya taat kepada Allah, meskipun harus mengorbankan hal-hal yang dicintainya di dunia ini. Karena itu, seorang anak perlu pula memberi dukungan dan semangat kepada orang tuanya agar tetap konsisten mene­gakkan kebenaran.

Dengan begitu ketaatan dan kemuliaan pribadi sang anak akan memberi energi positif kepada orang tuanya. Inilah kebanggan orang tua yang tak ternilai harganya.

Kepatuhan, ketaatan, pe­ngor­banan, dan keteladanan merupakan kata kunci dari keberhasilan keluarga Nabi Ibrahim as. Karena itu, Allah menganugerahkan keba­ha­giaan pada keluarganya. Bahkan melalui istri pertama, Siti Sarah, juga melahirkan Ishaq yang kelak juga menjadi nabi.

Semua itu pun disyukuri oleh Nabi Ibrahim a.s. “Sega­la puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua (ku) Ismail dan Ishaq”. Namun rasa syukur itu tetap diringi dengan kepas­rahan sepenuh hati kepada Allah seraya berdoa: Ya Tu­han­ku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah do’aku (Ibrahim/14: 39-40).

Sejatinya, pelaksanaan Hari Raya Idul Adha/Hari Raya Kurban di tahun ini, menjadi momentum bagi kita untuk mengevaluasi keluarga kita masing-masing. Kisah teladan Nabi Ibrahim hendak­nya menjadi inspirasi dan motivasi bagi kita untuk membentuk keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah, da­lam ridha Allah SWT. Amin.
______________________________________________

Mendidik Anak Cara Nabi Ibrahim

Sabtu 19 Rejab 1433 / 9 Juni 2012 05:20

Keluarga Teladan yang Dcintai Allah1 300x216 Mendidik Anak Cara Nabi Ibrahim“KAWINILAH wanita yang kamu cintai lagi subur (banyak melahirkan) karena aku akan bangga dengan banyaknya kamu terhadap umat lainnya,” (HR. Al-Hakim). Begitulah anjuran Rasulullah saw kepada umatnya untuk memiliki anak keturunan.

Sehingga lahirnya anak bukan saja penantian kedua orang tuanya, tetapi suatu hal yang dinanti oleh Rasulullah saw. Dan tentu saja anak yang dinanti adalah anak yang akan menjadi umatnya Muhammad saw. Berarti, ada satu amanah yang dipikul oleh kedua orang tua, yaitu bagaimana menjadikan atau mentarbiyah anak—yang titipan Allah itu—menjadi bagian dari umat Muhammad saw.

Untuk menjadi bagian dari umat Muhammad saw. harus memiliki karakteristik yang disebutkan oleh Allah swt.:

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu menjadikan tanaman itu Kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya Karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar,” (QS. Al-Fath, 48: 29).

Jadi karakteristik umat Muhammad saw adalah: [1] keras terhadap orang Kafir, keras dalam prinsip, [2] berkasih sayang terhadap sesama umat Muhammad, [3] mendirikan shalat, [4] terdapat dampak positif dari aktivitas shalatnya, sehingga orang-orang yang lurus, yang hanif menyukainya dan tentu saja orang-orang yang turut serta mentarbiyahnya.

Untuk mentarbiyah anak yang akan menjadi bagian dari Umat Muhammad saw. bisa kita mengambil dari caranya Nabi Ibrahim, yang Allah ceritakan dari isi doanya Nabi Ibrahim dalam surat Ibrahim berikut ini:

“Ya Tuhan kami, Sesungguhnya Aku Telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, Ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, Mudah-mudahan mereka bersyukur.

Ya Tuhan kami, Sesungguhnya Engkau mengetahui apa yang kami sembunyikan dan apa yang kami lahirkan; dan tidak ada sesuatupun yang tersembunyi bagi Allah, baik yang ada di bumi maupun yang ada di langit.

Segala puji bagi Allah yang Telah menganugerahkan kepadaku di hari tua (ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku, benar-benar Maha mendengar (memperkenankan) doa.

Ya Tuhanku, jadikanlah Aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, Ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku.

Ya Tuhan kami, beri ampunlah Aku dan kedua ibu bapaku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat),” [Ibrahim: 37-41]

Dari doanya itu kita bisa melihat bagaimana cara Nabi Ibrahim mendidik anak, keluarga dan keturunannya yang hasilnya sudah bisa kita ketahui, kedua anaknya—Ismail dan Ishaq—menjadi manusia pilihan Allah:

Cara pertama mentarbiyah anak adalah mencari, membentuk biah yang shalihah. Representasi biah, lingkungan yang shalihah bagi Nabi Ibrahim Baitullah [rumah Allah], dan kalau kita adalah masjid [rumah Allah]. Maka, kita bertempat tinggal dekat dengan masjid atau anak-anak kita lebih sering ke masjid, mereka mencintai masjid. Bukankah salah satu golongan yang mendapat naungan Allah di saat tidak ada lagi naungan adalah pemuda yang hatinya cenderung kepada masjid.

Kendala yang mungkin kita akan temukan adalah teladan—padahal belajar yang paling mudah itu adalah meniru—dari ayah yang berangkat kerjanya ba’da subuh yang mungkin tidak sempat ke masjid dan pulangnya sampai rumah ba’da Isya, praktis anak tidak melihat contoh shalat di masjid dari orang tuanya. Selain itu, kendala yang sering kita hadapi adalah mencari masjid yang ramah anak, para pengurus masjid dan jamaahnya terlihat kurang suka melihat anak dan khawatir terganggu kekhusu’annya, dan ini dipengaruhi oleh pengalamannya selama ini bahwa anak-anak sulit untuk tertib di masjid.

Cara kedua adalah mentarbiyah anak agar mendirikan shalat. Mendirikan shalat ini merupakan karakter umat Muhammad saw sebagaimana yang uraian di atas. Nabi Ibrahim bahkan lebih khusus di ayat yang ke-40 dari surat Ibrahim berdoa agar anak keturunannya tetap mendirikan shalat. Shalat merupakan salah satu pembeda antara umat Muhammad saw dengan selainnya. Shalat merupakan sesuatu yang sangat penting, mengingat Rasulullah saw memberikan arahan tentang keharusan pembelajaran shalat kepada anak: suruhlah anak shalat pada usia 7 tahun, dan pukullah bila tidak shalat pada usia 10 tahun. Rasulullah saw membolehkan memukul anak di usia 10 tahun kalau dia tidak melakukan shalat dari pertama kali disuruh di usia 7 tahun. Ini artinya ada masa 3 tahun, orang tua untuk mendidik anak-anaknya untuk shalat. Dan waktu yang cukup untuk melakukan pendidikan shalat.

Proses tarbiyah anak dalam melakukan shalat, sering mengalami gangguan dari berbagai kalangan dan lingkungan. Dari pendisiplinan formal di sekolah dan di rumah, kadang membuat kegiatan [baca: pendidikan] shalat menjadi kurang mulus dan bahkan fatal, terutama cara membangun citra shalat dalam pandangan anak. Baru-baru ini, ada seorang suami yang diadukan oleh istrinya tidak pernah shalat kepada ustadzahnya, ketika ditanya penyebabnya, ternyata dia trauma dengan perintah shalat. Setiap mendengar perintah shalat maka terbayang mesti tidur di luar rumah, karena ketika kecil bila tidak shalat harus keluar rumah. Sehingga kesan yang terbentuk di kepala anak kegiatan shalat itu tidak enak, tidak menyenangkan, dan bahkan menyebalkan. Kalau hal ini terbentuk bertahun-tahun tanpa ada koreksi, maka sudah bisa dibayangkan hasilnya, terbentuknya seorang anak [muslim] yang tidak shalat.

Cara keempat adalah mentarbiyah anak agar disenangi banyak orang. Orang senang bergaul dengan anak kita, seperti yang diperintahkan oleh Rasulullah saw: “Berinteraksilah dengan manusia dengan akhlaq yang baik.” [HR. Bukhari]. Anak kita diberikan cerita tentang Rasulullah saw, supaya muncul kebanggaan dan kekaguman kepada nabinya, yang pada gilirannya menjadi Rasulullah menjadi teladannya. Kalau anak kita dapat meneladani Rasulullah saw berarti mereka sudah memiliki akhlaq yang baik karena—sebagaimana kita ketahui—Rasulullah memiliki akhlaq yang baik seperti pujian Allah di dalam al-Quran: “Sesungguhnya engkau [Muhammad] berakhlaq yang agung.” [Al-Qalam, 68: 4]

Cara ketiga adalah mentarbiyah anak agar dapat menjemput rezki yang Allah telah siapkan bagi setiap orang. Anak ditarbiyah untuk memiliki life skill [keterampilan hidup] dan skill to life [keterampilan untuk hidup]. Rezki yang telah Allah siapkan Setelah itu anak diajarkan untuk bersyukur.

Cara keempat adalah mentarbiyah anak dengan mempertebal terus keimanan, sampai harus merasakan kebersamaan dan pengawasan Allah kepada mereka.

Cara kelima adalah mentarbiyah anak agar tetap memperhatikan orang-orang yang berjasa—sekalipun sekadar doa—dan peduli terhadap orang-orang yang beriman yang ada di sekitarnya baik yang ada sekarang maupun yang telah mendahuluinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar