Jumat, 27 Desember 2013

Keharusan merujuk pada para ulama'

Para ulama rabbani, merekalah yang menjadi rujukan pada masalah-masalah yang penting, terutama pada masalah-masalah yang berkaitan dengan kemaslahatan umat Islam.

Dan sekiranya kamu melihat keadaan orang-orang yang terdahulu dari kalangan Salaf Sholih, niscaya engkau akan mendapati mereka sangat antusias untuk merujuk kepada para ulama besar di masa mereka, terlebih lagi pada hukum-hukum yang berkaitan dengan pembid’ahan dan pengkafiran. (1)

Contohnya Yahyä bin Ya’mar Al-Bashry dan Humaid bin ‘Abdirrahmän A1-Himyary Al-Bashry, tatkala munculnya kelompok Qadariyah pada masa mereka, dimana telah terdapat pada mereka berbagai penyelisihan terhadap prinsip-prinsip dasar Ahlus Sunnah wal Jamä’ah yang mengharuskan mereka untuk dikafirkan atau dianggap ahlul bid’ah dan dikeluarkan dari lingkup Ahlus Sunnah wal Jamä’ah. Keduanya tidak bersegera memberikan hukum terhadap keduanya, bahkan keduanya pergi  menemui orang yang merupakan rujukan ilmiyah dari kalangan ahli ilmu dan ahli fatwa, yaitu ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al-Khaththäb radhiyallähu ‘anhuma. Maka keduanya mengabarkan kepada beliau apa yang terjadi pada mereka (di negeri mereka). Akhirnya (‘Abdullah bin ‘Umar) mengeluarkan Fatwa tentang kesesatan dan penyimpangan kelompok Qadariyah.

Yahyä bin Ya’mur berkata : “Orang pertama yang berbicara tentang taqdir di Basrah adalah Ma’bad Al-Juhani. Maka berangkatlah aku  dan Humaid bin ‘Abdirrahmän Al-Himyary untuk berhaji atau ‘umrah.” Kami berkata : “Sekiranya kami menjumpai salah seorang dari shahabat Rasululläh shollallähu ‘alahi wa ‘alä älihi wa sallam, maka kami akan bertanya kepadanya tentang apa yang dikatakan  oleh mereka (kelompok Qodariyah) mengenai takdir,” maka kamipun diberi taufik untuk berjumpa dengan ‘Abdullah bin ‘Umar yang sedang memasuki masjid. Lalu aku dan temanku mendekatinya, salah seorang diantara kami di sebelah kanannya dan yang lainnya di sebelah kirinya. Dan aku berpendapat bahwa temanku akan menyerahkan padaku untuk berbicara, maka akupun berkata: “Wahai Abu Abdirrahmän (Ibnu Umar), sungguh telah nampak di negeri kami sekelompok orang yang membaca A1-Qur`än dan mencari ‘ilmu…dan beliau menyebutkan keadaan mereka (di antaranya) dan mereka berkeyakinan tidak ada takdir dan perkara itu terjadi dengan sendirinya.”

Maka (‘Abdullah bin ‘Umar) berkata, “Kalau engkau menjumpai mereka, maka sampaikan kepada mereka bahwa aku berlepas diri dari mereka dan merekapun berlepas diri dariku, demi Yang ‘Abdullah bin ‘Umar bersumpah dengan-Nya : ‘Andaikata salah seorang dan mereka memiliki emas semisal gunung Uhud, lalu ia menginfakkannya, niscaya Alläh tidak akan menerimanya hingga dia beriman kepada takdir.”  Kemudian beliau berkata : “Ayahku menceritakan kepadaku…”. (HR. Muslim no. 93)

(Contoh lain adalah) Zubaid bin Al-Härits Al-Yämy. Ketika kelompok Murji`ah mulai muncul pada masa beliau, dan beliau melihat bahwa mereka memiliki penyelisihan-penyelisihan terhadap prinsip-prinsip dasar Ahlus Sunnah wal Jamä’ah yang menuntut dikeluarkannya mereka dari lingkup Ahlus Sunnah wal Jamä’ah, dia (Zubaid bin Al-Härits) tidak bersegera/ buru-buru menghuku¬mi mereka, bahkan beliau pergi kepada ahi ilmu dan ahli fatwa yang merupakan rujukan ilmiyah pada masa beliau, yang telah menimba ilmu dari shahabat-shahabat yang terkemuka, dialah Abu Wä`il Syaqïq bin Salamah Al-Asady Al-Küfy. Maka Zubaid mengabarinya tentang apa yang telah terjadi, kemudian Abu Wä`il Syaqïq bin Salamah memberi fatwa berdasarkan suatu nash dari Rasululläh shollallähu ‘alahi wa ‘alä älihi wa sallam yang menunjukkan batilnya syubhat kelompok Murji`ah dan menunjukkan penyimpangan mereka dari Ahlus Sunnah, dimana Zubaid berkata : “Ketika kelompok Murji`ah muncul, maka akupun mendatangi Abu Wä`il, lalu saya sebutkan hal tersebut pada beliau”, maka beliau berkata : “Abdullah telah menyam¬paikan kepadaku bahwa Nabi shollallähu ‘alahi wa ‘alä älihi wa sallam bersabda:

سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوْقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ

“Mencela seorang muslim adalah suatu kefasikan dan membunuhnya adalah suatu kekufuran.” (HR. Al-Bukhari no. 48 dan Muslim no. 218)

Sesungguhnya bila engkau bandingkan antara keadaan mereka bersama para ahli ilmu dan ahli fatwa di masa mereka dengan keadaan kebanyakan orang yang guncang dalam taubat mereka  di masa kita saat ini, maka engkau akan mendapati perbedaan yang sangat menyolok antara keduanya.

Mereka itu sangatlah bersemangat untuk berada di atas aturan ini, dan tidak terburu-buru dalam menjatuhkan hukum pada seseorang dari orang-orang di masa mereka yang telah nampak suatu penyimpangan darinya, sampai mereka mengajukan hal tersebut kepada para ahli ilmu dan ahli fatwa dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jamä’ah. Bilamana mereka telah mendengar fatwa, merekapun menggigitnya dengan gigi geraham mereka, dan menghindari orang-0rang yang menyimpang lagi menyelisihi Ahlus Sunnah wal Jamä’ah tersebut.

Adapun saat sekarang, sangatlah sedikit engkau akan temukan orang yang bersemangat untuk berada di atas aturan ini, bahkan engkau akan mendapati orang-orang yang tidak memperdulikan ucapan para ahli ilmu dan ahli fatwa dalam mentahdzir (memberi peringatan) dari ahlul ahwä` wal bida` (pengikut hawa nafsu dan bid’ah). Mereka memerangi fatwa para ulama dan memalingkannya (menyelewengkannya). Kita memohon keselamatan dan afiyat kepada Alläh.
________________

(1) Ini tidaklah berarti bahwa seorang penuntut ilmu sama sekali tidak memberikan hukum terhadap suatu permasalahan. Akan tetapi yang dimaksud adalah tidak boleh memulai dalam menghukumi masalah kontemporer, terutama yang masih sangat samar. Adapun masalah-masalah yang jelas tanpa ada kesamaran, tidak harus merujuk kepada pada ulama dalam hal tersebut.

[Dinukil dari buku 'Wasiat Berharga Bagi yang Kembali ke Manhaj As-Salaf' wasiat ke-5 ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar