Muslimedianews.com ~ Pengikut Wahhabiyah merupakan orang-orang
yang “getol” membid’ahkan amalan-amalan kaum Muslimin seperti tahlilan
dan sebagainya. Mereka sangat over ketika membesar-besarkan masalah
khilafiyah dan tidak segan-segan menyebut kaum Muslimin yang berbeda
paham sebagai ahli bid’ah, yang mereka sesatkan. Kaum Muslimin yang
melakukan tahlilan juga mereka sebut sebagai kelompok ahli bid’ah yang
sesat. Namun, pernahkah bertanya kenapa aliran wahhabiyah ini begitu
over dalam menuding-nuding kaum Muslimin ? .
Wahhabiyah [1] juga dikenal sebagai aliran Mujassimah (menjisimkan Allah Ta’alaa), aliran ini juga dikenal dengan nama Musyabbihah. Berdasarkan hal ini, maka sebenarnya mereka terkategori sebagai pelaku bid’ah Muharramah (bid’ah yang hukumnya haram). Sebagaiaman yang sudah dijelaskan oleh al-Imam Shulthanul ‘Ulama ‘Izzuddin bin Abdissalaam rahimahullah :
وللبدع المحرمة أمثلة منها: مذاهب القدرية والجبرية والمرجئة والمجسمة والرد على هؤلاء من البدع الواجبة
“dan diantara contoh-contoh bid’ah al-muharramah (bid’ah yang haram) adalah : aliran Qadariyyah, aliran Jabariyyah, aliran Murji’ah dan aliran Mujassimah, sedangkan membantah mereka merupakan bagian dari bid’ah wajibah (bid’ah yang dihukumi wajib)”. [2]
Kategori bid’ah muharramah (bid’ah yang haram) adalah kategori bid’ah yang memang berdosa, berbeda halnya jika hanya sekedar bid’ah makruhah (bid’ah yang makruh). Sedangkan membantah aliran mujassimah atau musyabbihah terkategori sebagai bid’ah wajibah (bid’ah yang wajib). Oleh karena itu, perlu digalakkan membantah mereka dan meluruskan mereka, sebab ini memang merupakan kewajiban bagi kaum Muslimin, termasuk juga menyelamatkan kaum Muslimin yang memang tidak mengerti (masih awam) dari paham-paham mereka.
Adapun kewajiban kita hanyalah mengangkat mereka (menyelamatkan) mereka dari paham-paham sesat, sedangkan apabila mereka keras kepala atau hatinya membantu, maka kita serahkan kepada Allah sebagai Sang Pemberi dan Pemilik Hidayah.
Wahhabiyah [1] juga dikenal sebagai aliran Mujassimah (menjisimkan Allah Ta’alaa), aliran ini juga dikenal dengan nama Musyabbihah. Berdasarkan hal ini, maka sebenarnya mereka terkategori sebagai pelaku bid’ah Muharramah (bid’ah yang hukumnya haram). Sebagaiaman yang sudah dijelaskan oleh al-Imam Shulthanul ‘Ulama ‘Izzuddin bin Abdissalaam rahimahullah :
وللبدع المحرمة أمثلة منها: مذاهب القدرية والجبرية والمرجئة والمجسمة والرد على هؤلاء من البدع الواجبة
“dan diantara contoh-contoh bid’ah al-muharramah (bid’ah yang haram) adalah : aliran Qadariyyah, aliran Jabariyyah, aliran Murji’ah dan aliran Mujassimah, sedangkan membantah mereka merupakan bagian dari bid’ah wajibah (bid’ah yang dihukumi wajib)”. [2]
Kategori bid’ah muharramah (bid’ah yang haram) adalah kategori bid’ah yang memang berdosa, berbeda halnya jika hanya sekedar bid’ah makruhah (bid’ah yang makruh). Sedangkan membantah aliran mujassimah atau musyabbihah terkategori sebagai bid’ah wajibah (bid’ah yang wajib). Oleh karena itu, perlu digalakkan membantah mereka dan meluruskan mereka, sebab ini memang merupakan kewajiban bagi kaum Muslimin, termasuk juga menyelamatkan kaum Muslimin yang memang tidak mengerti (masih awam) dari paham-paham mereka.
Adapun kewajiban kita hanyalah mengangkat mereka (menyelamatkan) mereka dari paham-paham sesat, sedangkan apabila mereka keras kepala atau hatinya membantu, maka kita serahkan kepada Allah sebagai Sang Pemberi dan Pemilik Hidayah.
Sumber : Tahlilan Menurut Madzhab Imam al-Syafi'i (Ebook)
Catatan Kaki :
[1] Pencetus awal istilah Wahhabiyah yang benar adalah saudara (kakak) kandung dari Muhammad bin Abdul Wahab yaitu Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahab rahimahullah. Beliau ulama Hanbali yang pertama kali menggunakan istilah Wahhabiyah didalam kitabnya As-Shawaiq al-Ilahiyyah untuk menyebut ajaran adiknya yang dianggapnya menyimpang. Istilah ini digunakan bukan tanpa pertimbangan tetapi dengan pertimbangan yang matang terkait baik dan buruknya terhadap ajaran Islam yang telah beliau jelaskan diawal-awal kitabnya, yang kemudian istilah ini di ikuti (digunakan) oleh para ulama Ahl As-Sunnah lainnya untuk melakukan bantahan terhadap pemikiran dan orang-orang yang mengikutinya, sehingga tersebarlah ratusan kitab yang dikarang oleh para ulama Ahl As-Sunnah yang memuat bantahan terhadap aliran Wahhabiyah. Jadi, istilah Wahhabiyah berasal dari pihak keluarga Muhammad bin Abdul Wahab sendiri bukan dari luar, juga pihak Madzhab Hanbali sendiri karena Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahab adalah bermadzhab Hanbali, bukan dari luar madzhab Hanbali, juga dari kaum Muslimin Ahl Sunnah wal Jama'ah sendiri bukan dari luar Islam. Oleh karena itu, bohong besar jika dikatakan bahwa istilah Wahhabiyah berasal dari non-Islam yang memusuhi Islam.
[2] Lihat : Tahdzibul Asmaa’ wal Lughaat [3/22-23]. Imam an-Nawawi ; Qawaidul Ahkam lil-Imam ‘Izzuddin bin ‘Abdissalaam [2/ 204]
[1] Pencetus awal istilah Wahhabiyah yang benar adalah saudara (kakak) kandung dari Muhammad bin Abdul Wahab yaitu Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahab rahimahullah. Beliau ulama Hanbali yang pertama kali menggunakan istilah Wahhabiyah didalam kitabnya As-Shawaiq al-Ilahiyyah untuk menyebut ajaran adiknya yang dianggapnya menyimpang. Istilah ini digunakan bukan tanpa pertimbangan tetapi dengan pertimbangan yang matang terkait baik dan buruknya terhadap ajaran Islam yang telah beliau jelaskan diawal-awal kitabnya, yang kemudian istilah ini di ikuti (digunakan) oleh para ulama Ahl As-Sunnah lainnya untuk melakukan bantahan terhadap pemikiran dan orang-orang yang mengikutinya, sehingga tersebarlah ratusan kitab yang dikarang oleh para ulama Ahl As-Sunnah yang memuat bantahan terhadap aliran Wahhabiyah. Jadi, istilah Wahhabiyah berasal dari pihak keluarga Muhammad bin Abdul Wahab sendiri bukan dari luar, juga pihak Madzhab Hanbali sendiri karena Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahab adalah bermadzhab Hanbali, bukan dari luar madzhab Hanbali, juga dari kaum Muslimin Ahl Sunnah wal Jama'ah sendiri bukan dari luar Islam. Oleh karena itu, bohong besar jika dikatakan bahwa istilah Wahhabiyah berasal dari non-Islam yang memusuhi Islam.
[2] Lihat : Tahdzibul Asmaa’ wal Lughaat [3/22-23]. Imam an-Nawawi ; Qawaidul Ahkam lil-Imam ‘Izzuddin bin ‘Abdissalaam [2/ 204]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar