Pertanyaan:
Saya diberi tahu teman bahwa berdoa
dengan kirim fatihah atau kirim pahala kepada Nabi Muhammad Saw tidak
boleh, yang boleh hanya salawat untuk Nabi (seperti ila hadlrati
an-Nabiyyi al-Musthafa…). Bagaimana pendapat anda dalam masalah ini?
IPNU Madiun (24/04/2014)
Jawaban:
Ada 2 hadis dalam masalah ini yang dijadikan landasan masalah diatas, yaitu:
- عَنْ
أَوْسِ بْنِ أَوْسِ الثَّقَفِى عَنِ النَّبِىِّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ – قَالَ : مِنْ أَفْضَلِ أَيَّامِكُمْ يَوْمُ الْجُمُعَةِ فِيهِ
خُلِقَ آدَمُ وَفِيهِ قُبِضَ وَفِيهِ النَّفْخَةُ وَفِيهِ الصَّعْقَةُ
فَأَكْثِرُوا عَلَىَّ مِنَ الصَّلاَةِ فِيهِ فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ
مَعْرُوضَةٌ عَلَىَّ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ تُعْرَضُ
عَلَيْكَ صَلاَتُنَا وَقَدْ أَرِمْتَ يَعْنِى وَقَدْ بَلِيتَ قَالَ إِنَّ
اللَّهَ حَرَّمَ عَلَى الأَرْضِ أَنْ تَأْكُلَ أَجْسَادَ الْاَنْبِيَاءِ
(رواه أحمد وأبو داود والنسائى وابن ماجه وابن خزيمة وابن حبان والحاكم
والطبرانى والبيهقى والضياء)
“Diriwayatkan dari Aus bin Aus
ats-Tsaqafi, Nabi Saw bersabda: “Diantara hari yang paling utama adalah
hari Jumat. Di hari itu Adam diciptakan, di hari itu ia meninggal, di
hari itu ditiupkan kiamat, dan di hari itu ada jeritan kematian. Maka
perbanyaklah membaca salawat kepadaku di hari itu. Sebab salawat kalian
akan sampai kepadaku.” Sahabat bertanya: “Bagaimana mungkin salawat kami
sampai kepadamu sedangkan jasadmu akan hancur?” Nabi menjawab:
“Sesungguhnya Allah melarang kepada tanah untuk memakan jasad para Nabi”
(HR Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, Ibnu
Hibban, al-Hakim, ath-Thabrani, al-Baihaqi dan Dliyauddin al-Maqdisi)
- عَنِ
ابْنِ عَمْرٍو عَنِ النَّبِىِّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ
إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا
عَلَىَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَىَّ صَلاَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
بِهَا عَشْرًا ثُمَّ سَلُوا اللَّهَ لِىَ الْوَسِيلَةَ فَإِنَّهَا
مَنْزِلَةٌ فِى الْجَنَّةِ لاَ تَنْبَغِى إِلاَّ لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ
اللَّهِ وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ فَمَنْ سَأَلَ لِىَ
الْوَسِيلَةَ حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ (رواه أحمد ومسلم وأبو داود
والترمذى والنسائى وابن حبان)
“Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr,
Nabi Saw bersabda: “Jika kalian mendengar penyeru adzan maka jawablah
seperti seruannya, lalu bersalawatlah kepadaku. Barang siapa bersalawat
kepadaku 1 kali, maka Allah akan merahmatinya 10 kali. Kemudian
mintakanlah kepada Allah untukku derajat ‘wasilah’. Ia merupakan tempat
di surga yang tidak layak kecuali untuk 1 hamba diantara hamba Allah.
Dan aku mengharap aku lah orang tersebut. Barangsiapa memintakan wasilah
untukku, maka ia akan mendapat syafaat” (HR Ahmad, Muslim, Abu Dawud,
at-Turmudzi, an-Nasai dan Ibnu Majah)
Dari 2 hadis ini para ulama Syafiiyah
dan lainnya berdalil diperbolehkannya mengirim pahala untuk Nabi Saw.
Imam Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafii berkata:
وَمَا
اُعْتِيدَ فِي الدُّعَاءِ بَعْدَهَا مِنْ جَعْلِ ثَوَابِ ذَلِكَ أَوْ
مِثْلِهِ مُقَدَّمًا إلَى حَضْرَتِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَوْ زِيَادَةً فِي شَرَفِهِ جَائِزٌ كَمَا قَالَهُ جَمَاعَاتٌ مِنْ
الْمُتَأَخِّرِينَ بَلْ حَسَنٌ مَنْدُوبٌ إلَيْهِ خِلَافًا لِمَنْ وَهَمَ
فِيهِ ؛ لِأَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذِنَ لَنَا
بِأَمْرِهِ بِنَحْوِ سُؤَالِ الْوَسِيلَةِ لَهُ فِي كُلِّ دُعَاءٍ لَهُ
بِمَا فِيهِ زِيَادَةُ تَعْظِيمِه (تحفة المحتاج في شرح المنهاج – ج 24 / ص
421)
“Kebiasaan dalam doa setelah baca
al-Quran dengan menjadikan pahalanya atau yang sepadan dengan bacaan
tersebut yang dihaturkan kepada Nabi Saw, atau sebagai tambahan bagi
kemuliaan beliau adalah diperbolehkan, sebagaimana disampaikan banyak
para ulama di kalangan mutaakhirin (generasi akhir ulama Syafiiyah),
bahkan hal itu adalah baik dan dianjurkan. Berbeda dengan ulama yang
tidak sependapat. Sebab Nabi Saw memberi izin kepada kita dengan
memerintahkan meminta pangkat Wasilah (di surga) dalam setiap doa dengan
tujuan menambah keagungannya” (Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfat al-Muhtaj,
24/421)
Begitu pula jawaban dari Imam Ramli:
( سُئِلَ )
عَمَّنْ قَرَأَ شَيْئًا مِنْ الْقُرْآنِ وَأَهْدَى ثَوَابَهُ لِلنَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلَ وَأَوْصَلَ إلَى حَضْرَتِهِ أَوْ
زِيَادَةً فِي شَرَفِهِ أَوْ مُقَدَّمًا بَيْنَ يَدَيْهِ أَوْ غَيْرَ
ذَلِكَ كَمَا جَرَتْ بِهِ الْعَادَةُ هَلْ ذَلِكَ جَائِزٌ مَنْدُوبٌ
يُؤْجَرُ فَاعِلُهُ أَوْ لَا وَمَنْ مَنَعَ ذَلِكَ مُتَمَسِّكًا بِأَنَّهُ
أَمْرٌ مُخْتَرَعٌ لَمْ يَرِدْ بِهِ أَثَرٌ وَلَا يَنْبَغِي أَنْ
يُجْتَرَأَ عَلَى مَقَامِهِ الشَّرِيفِ إلَّا بِمَا وَرَدَ كَالصَّلَاةِ
عَلَيْهِ وَسُؤَالِ الْوَسِيلَةِ هَلْ هُوَ مُصِيبٌ أَوْ لَا ؟ ( فَأَجَابَ
) نَعَمْ ذَلِكَ جَائِزٌ بَلْ مَنْدُوبٌ قِيَاسًا عَلَى الصَّلَاةِ
عَلَيْهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسُؤَالِ الْوَسِيلَةِ
وَالْمَقَامِ الْمَحْمُودِ وَنَحْوِهِ ذَلِكَ بِجَامِعِ الدُّعَاءِ
بِزِيَادَةِ تَعْظِيمِهِ وَقَدْ جَوَّزَهُ جَمَاعَاتٌ مِنْ
الْمُتَأَخِّرِينَ وَعَلَيْهِ عَمَلُ النَّاسِ وَمَا رَآهُ الْمُسْلِمُونَ
حَسَنٌ فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ فَالْمَانِعُ مِنْ ذَلِكَ غَيْرُ
مُصِيبٍ (فتاوى الرملي – ج 4 / ص 11)
“Ia (Ramli) ditanya: tentang seseorang
yang membaca al-Quran dan menghadiahkan pahalanya yang sepadan untuk
Nabi Saw, menghaturkan kepada beliau, atau untuk menambah kemulian
beliau, atau yang lainnya sebagaimana yang sudah menjadi tradisi, apakah
boleh dan dianjurkan yang pelakunya mendapat pahala ataukah tidak
boleh? Orang yang berpendapat demikian berpedoman bahwa hal tersebut
adalah sesuatu yang dibuat-buat yang tidak ada dasar riwayatnta, dan
tidak dianjurkan karena tidak boleh memberanikan diri terhadap kedudukan
Nabi yang mulia, kecuali dengan cara yang telah disyariatkan seperti
membaca salawat dan memintakan derajat Wasilah. Apakah ini benar? Ia
(Imam Ramli) menjawab: “Ya, hal itu adalah boleh, bahkan dianjurkan,
disamakan dengan membaca salawat kepada Nabi Saw, memintakan derajat
Wasilah, tempat yang terpuji dan lainnya, dengan persamaan sebagai doa
untuk menambah keagungannya. Hal ini telah diperbolehkan oleh banyak
ulama dari kalangan mutaakhirin dan telah diamalkan oleh banyak manusia.
Apa yang dipandang baik oleh umat Islam maka hal itu adalah baik disisi
Allah. Maka orang yang melarangnya adalah tidak benar” (Fatawa ar-Ramli
4/11)
Dan sudah menjadi kesepakatan dalam
madzhab Syafiiyah bahwa jika ada pendapat yang disepakati oleh Imam Ibnu
Hajar dan Imam Ramli maka pendapat tersebut adalah pendapat yang kuat.
Hal ini juga diperkuat oleh ahli hadis al-Hafidz al-Munawi:
جَازَ
الدُّعَاءُ عِنْدَ الْخَتْمِ بِنَحْوِ : اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ زِيَادَةً
فِي شَرَفِهِ لِأَنَّهُ وَإِنْ كَانَ كَامِلَ الشَّرَفِ فَكَمَالُهُ
نِسْبِيٌّ وَالْاِزْدِيَادُ فِيْهِ مُتَصَوِّرٌ بِخِلَافِ صِفَاتِهِ
تَعَالَى كَمَالُهَا فِي ذَاتِهَا لَا يَقْبَلُ زِيَادَةً وَلَا نُقْصَانًا
(فيض القدير – ج 2 / ص 103)
“Diperbolehkan membaca doa ketika
khataman al-Quran: “Ya Allah, jadikanlah al-Quran sebagai tambahan
kemuliaan Nabi”. Sebab meski Nabi memiliki kemuliaan yang sempurna, maka
kesempurnaan beliau adalah relatif, dan masih memungkinkan untuk
bertambah sempurna. Hal ini berbeda dengan sifat-sifat Allah yang
kesempurnaan dalam Dzat-Nya tidak bisa ditambah dan tidak bisa
dikurangi” (Faidl al-Qadir, 2/103)
Demikian halnya pendapat beberapa Madzhab Fikih Ahlisunnah:
- Madzhab Hanafi (Boleh):
مَطْلَبٌ
فِي إهْدَاءِ ثَوَابِ الْقِرَاءَةِ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ [ تَتِمَّةٌ ] ذَكَرَ ابْنُ حَجَرٍ فِي الْفَتَاوَى
الْفِقْهِيَّةِ أَنَّ الْحَافِظَ ابْنَ تَيْمِيَّةَ زَعَمَ مَنْعَ إهْدَاءِ
ثَوَابِ الْقِرَاءَةِ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لِأَنَّ جَنَابَهُ الرَّفِيعَ لَا يُتَجَرَّأُ عَلَيْهِ إلَّا بِمَا أَذِنَ
فِيهِ ، وَهُوَ الصَّلَاةُ عَلَيْهِ ، وَسُؤَالُ الْوَسِيلَةِ لَهُ قَالَ :
وَبَالَغَ السُّبْكِيُّ وَغَيْرُهُ فِي الرَّدِّ عَلَيْهِ ، بِأَنَّ
مِثْلَ ذَلِكَ لَا يَحْتَاجُ لِإِذْنٍ خَاصٍّ ؛ أَلَا تَرَى أَنَّ ابْنَ
عُمَرَ كَانَ يَعْتَمِرُ عَنْهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عُمُرًا
بَعْدَ مَوْتِهِ مِنْ غَيْرِ وَصِيَّةٍ . وَحَجَّ ابْنُ الْمُوَفَّقِ
وَهُوَ فِي طَبَقَةِ الْجُنَيْدِ عَنْهُ سَبْعِينَ حَجَّةً ، وَخَتَمَ
ابْنُ السِّرَاجِ عَنْهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَكْثَرَ مِنْ
عَشَرَةِ آلَافٍ خَتْمَةٍ ؛ وَضَحَّى عَنْهُ مِثْلَ ذَلِكَ .ا هـ . (رد
المحتار – ج 6 / ص 406)
“Bab tentang menghadiahkan pahala
al-Quran untuk Nabi Saw. Ibnu Hajar al-Haitami menyebut dalam al-Fatawa
al-Fiqhiyah bahwa al-Hafidz Ibnu Taimiyah menyangka larangan
menghadiahkan bacaan al-Quran untuk Nabi Saw, dengan alasan kedudukan
Nabi yang mulia tidak boleh dilangkahi kecuali dengan yang disyariatkan,
yakni salawat dan permintaan derajat Wasilah bagi Nabi, Ibnu Hajar
berkata: “as-Subki dan lainnya membantah Ibnu Taimiyah, bahwa dalam
masalah kirim pahala ini tidak perlu izin khusus. Tidakkah anda lihat
Ibnu Umar melakukan umrah beberapa kali untuk Nabi Saw setelah beliau
tanpa wasiat, Ibnu al-Muwaffiq melakukan haji atas nama Nabi sebanyak 70
kali, Ibnu as-Siraj mengkhatamkan untuk Nabi lebih dari 10000 kali
khataman dan menyembelih qurban untuk beliau sebanyak itu” (Radd
al-Mukhtar, 6/406)
- Madzhab Maliki (Makruh, tapi ada yang mengatakan Boleh):
وَقَدْ
صَرَّحَ بَعْضُ أَئِمَّتِنَا بِأَنَّ قِرَاءَةَ الْفَاتِحَةِ أَيْ مَثَلًا
وَإِهْدَاءَ ثَوَابِهَا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مَكْرُوهٌ وَسُئِلَ ابْنُ حَجَرٍ عَمَّنْ قَرَأَ شَيْئًا مِنْ الْقُرْآنِ
وَقَالَ فِي دُعَائِهِ اللَّهُمَّ اجْعَلْ ثَوَابَ مَا قَرَأْتُهُ
زِيَادَةً فِي شَرَفِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَأَجَابَ بِأَنَّ هَذَا مُخْتَرَعٌ مِنْ مُتَأَخِّرِي الْقُرَّاءِ لَا
أَعْلَمُ لَهُمْ فِيهِ سَلَفًا وَنَحْوُهُ لِزَيْنِ الدِّينِ الْكُرْدِيِ
فَاَلَّذِي يَنْبَغِي مَا وَرَدَ بِهِ الشَّرْعُ كَالصَّلَاةِ عَلَيْهِ
وَسُؤَالِ الْوَسِيلَةِ لَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَثِيرٌ
مِنْ الصُّوفِيَّةِ عَلَى الْجَوَازِ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ . (حاشية الدسوقي
على الشرح الكبير – ج 5 / ص 296)
“Sebagian imam-imam kita menjelaskan
bahwa membaca al-Fatihah, misalnya, dan menghadiahkan pahalanya untuk
Nabi Saw adalah makruh. Ibnu Hajar ditanya tentang seseorang yang
membaca ayat dari al-Quran dan berdoa: Ya Allah, jadikan pahala doa yang
saya baca sebagai tambahan kemuliaan Nabi Saw, Ibnu Hajar menjawab:
“Ini adalah sesuatu yang dibuat oleh generasi akhir ahli qira’ah. Tidak
saya ketahui dalam masalah ini dari ulama Salaf.” Pendapat yang sama
dari Zainuddin al-Kurdi: “Seyogyanya melakukan sesuatu yang disyariatkan
seperti salawat dan permintaan wasilah untuk Nabi Saw”. Dan banyak dari
kalangan Shufi yang memperbolehkan” (Hasyiah ad-Dasuqi ala asy-Syarh
al-Kabir 5/296)
Fatwa Ulama Ahlussunnah Tentang Kirim Pahala Untuk Nabi
Pertanyaan:
Saya diberi tahu teman bahwa berdoa
dengan kirim fatihah atau kirim pahala kepada Nabi Muhammad Saw tidak
boleh, yang boleh hanya salawat untuk Nabi (seperti ila hadlrati
an-Nabiyyi al-Musthafa…). Bagaimana pendapat anda dalam masalah ini?
IPNU Madiun (24/04/2014)
Jawaban:
Ada 2 hadis dalam masalah ini yang dijadikan landasan masalah diatas, yaitu:
- عَنْ
أَوْسِ بْنِ أَوْسِ الثَّقَفِى عَنِ النَّبِىِّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ – قَالَ : مِنْ أَفْضَلِ أَيَّامِكُمْ يَوْمُ الْجُمُعَةِ فِيهِ
خُلِقَ آدَمُ وَفِيهِ قُبِضَ وَفِيهِ النَّفْخَةُ وَفِيهِ الصَّعْقَةُ
فَأَكْثِرُوا عَلَىَّ مِنَ الصَّلاَةِ فِيهِ فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ
مَعْرُوضَةٌ عَلَىَّ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ تُعْرَضُ
عَلَيْكَ صَلاَتُنَا وَقَدْ أَرِمْتَ يَعْنِى وَقَدْ بَلِيتَ قَالَ إِنَّ
اللَّهَ حَرَّمَ عَلَى الأَرْضِ أَنْ تَأْكُلَ أَجْسَادَ الْاَنْبِيَاءِ
(رواه أحمد وأبو داود والنسائى وابن ماجه وابن خزيمة وابن حبان والحاكم
والطبرانى والبيهقى والضياء)
“Diriwayatkan dari Aus bin Aus
ats-Tsaqafi, Nabi Saw bersabda: “Diantara hari yang paling utama adalah
hari Jumat. Di hari itu Adam diciptakan, di hari itu ia meninggal, di
hari itu ditiupkan kiamat, dan di hari itu ada jeritan kematian. Maka
perbanyaklah membaca salawat kepadaku di hari itu. Sebab salawat kalian
akan sampai kepadaku.” Sahabat bertanya: “Bagaimana mungkin salawat kami
sampai kepadamu sedangkan jasadmu akan hancur?” Nabi menjawab:
“Sesungguhnya Allah melarang kepada tanah untuk memakan jasad para Nabi”
(HR Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, Ibnu
Hibban, al-Hakim, ath-Thabrani, al-Baihaqi dan Dliyauddin al-Maqdisi)
- عَنِ
ابْنِ عَمْرٍو عَنِ النَّبِىِّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ
إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا
عَلَىَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَىَّ صَلاَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
بِهَا عَشْرًا ثُمَّ سَلُوا اللَّهَ لِىَ الْوَسِيلَةَ فَإِنَّهَا
مَنْزِلَةٌ فِى الْجَنَّةِ لاَ تَنْبَغِى إِلاَّ لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ
اللَّهِ وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ فَمَنْ سَأَلَ لِىَ
الْوَسِيلَةَ حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ (رواه أحمد ومسلم وأبو داود
والترمذى والنسائى وابن حبان)
“Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr,
Nabi Saw bersabda: “Jika kalian mendengar penyeru adzan maka jawablah
seperti seruannya, lalu bersalawatlah kepadaku. Barang siapa bersalawat
kepadaku 1 kali, maka Allah akan merahmatinya 10 kali. Kemudian
mintakanlah kepada Allah untukku derajat ‘wasilah’. Ia merupakan tempat
di surga yang tidak layak kecuali untuk 1 hamba diantara hamba Allah.
Dan aku mengharap aku lah orang tersebut. Barangsiapa memintakan wasilah
untukku, maka ia akan mendapat syafaat” (HR Ahmad, Muslim, Abu Dawud,
at-Turmudzi, an-Nasai dan Ibnu Majah)
Dari 2 hadis ini para ulama Syafiiyah
dan lainnya berdalil diperbolehkannya mengirim pahala untuk Nabi Saw.
Imam Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafii berkata:
وَمَا
اُعْتِيدَ فِي الدُّعَاءِ بَعْدَهَا مِنْ جَعْلِ ثَوَابِ ذَلِكَ أَوْ
مِثْلِهِ مُقَدَّمًا إلَى حَضْرَتِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَوْ زِيَادَةً فِي شَرَفِهِ جَائِزٌ كَمَا قَالَهُ جَمَاعَاتٌ مِنْ
الْمُتَأَخِّرِينَ بَلْ حَسَنٌ مَنْدُوبٌ إلَيْهِ خِلَافًا لِمَنْ وَهَمَ
فِيهِ ؛ لِأَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذِنَ لَنَا
بِأَمْرِهِ بِنَحْوِ سُؤَالِ الْوَسِيلَةِ لَهُ فِي كُلِّ دُعَاءٍ لَهُ
بِمَا فِيهِ زِيَادَةُ تَعْظِيمِه (تحفة المحتاج في شرح المنهاج – ج 24 / ص
421)
“Kebiasaan dalam doa setelah baca
al-Quran dengan menjadikan pahalanya atau yang sepadan dengan bacaan
tersebut yang dihaturkan kepada Nabi Saw, atau sebagai tambahan bagi
kemuliaan beliau adalah diperbolehkan, sebagaimana disampaikan banyak
para ulama di kalangan mutaakhirin (generasi akhir ulama Syafiiyah),
bahkan hal itu adalah baik dan dianjurkan. Berbeda dengan ulama yang
tidak sependapat. Sebab Nabi Saw memberi izin kepada kita dengan
memerintahkan meminta pangkat Wasilah (di surga) dalam setiap doa dengan
tujuan menambah keagungannya” (Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfat al-Muhtaj,
24/421)
Begitu pula jawaban dari Imam Ramli:
( سُئِلَ )
عَمَّنْ قَرَأَ شَيْئًا مِنْ الْقُرْآنِ وَأَهْدَى ثَوَابَهُ لِلنَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلَ وَأَوْصَلَ إلَى حَضْرَتِهِ أَوْ
زِيَادَةً فِي شَرَفِهِ أَوْ مُقَدَّمًا بَيْنَ يَدَيْهِ أَوْ غَيْرَ
ذَلِكَ كَمَا جَرَتْ بِهِ الْعَادَةُ هَلْ ذَلِكَ جَائِزٌ مَنْدُوبٌ
يُؤْجَرُ فَاعِلُهُ أَوْ لَا وَمَنْ مَنَعَ ذَلِكَ مُتَمَسِّكًا بِأَنَّهُ
أَمْرٌ مُخْتَرَعٌ لَمْ يَرِدْ بِهِ أَثَرٌ وَلَا يَنْبَغِي أَنْ
يُجْتَرَأَ عَلَى مَقَامِهِ الشَّرِيفِ إلَّا بِمَا وَرَدَ كَالصَّلَاةِ
عَلَيْهِ وَسُؤَالِ الْوَسِيلَةِ هَلْ هُوَ مُصِيبٌ أَوْ لَا ؟ ( فَأَجَابَ
) نَعَمْ ذَلِكَ جَائِزٌ بَلْ مَنْدُوبٌ قِيَاسًا عَلَى الصَّلَاةِ
عَلَيْهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسُؤَالِ الْوَسِيلَةِ
وَالْمَقَامِ الْمَحْمُودِ وَنَحْوِهِ ذَلِكَ بِجَامِعِ الدُّعَاءِ
بِزِيَادَةِ تَعْظِيمِهِ وَقَدْ جَوَّزَهُ جَمَاعَاتٌ مِنْ
الْمُتَأَخِّرِينَ وَعَلَيْهِ عَمَلُ النَّاسِ وَمَا رَآهُ الْمُسْلِمُونَ
حَسَنٌ فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ فَالْمَانِعُ مِنْ ذَلِكَ غَيْرُ
مُصِيبٍ (فتاوى الرملي – ج 4 / ص 11)
“Ia (Ramli) ditanya: tentang seseorang
yang membaca al-Quran dan menghadiahkan pahalanya yang sepadan untuk
Nabi Saw, menghaturkan kepada beliau, atau untuk menambah kemulian
beliau, atau yang lainnya sebagaimana yang sudah menjadi tradisi, apakah
boleh dan dianjurkan yang pelakunya mendapat pahala ataukah tidak
boleh? Orang yang berpendapat demikian berpedoman bahwa hal tersebut
adalah sesuatu yang dibuat-buat yang tidak ada dasar riwayatnta, dan
tidak dianjurkan karena tidak boleh memberanikan diri terhadap kedudukan
Nabi yang mulia, kecuali dengan cara yang telah disyariatkan seperti
membaca salawat dan memintakan derajat Wasilah. Apakah ini benar? Ia
(Imam Ramli) menjawab: “Ya, hal itu adalah boleh, bahkan dianjurkan,
disamakan dengan membaca salawat kepada Nabi Saw, memintakan derajat
Wasilah, tempat yang terpuji dan lainnya, dengan persamaan sebagai doa
untuk menambah keagungannya. Hal ini telah diperbolehkan oleh banyak
ulama dari kalangan mutaakhirin dan telah diamalkan oleh banyak manusia.
Apa yang dipandang baik oleh umat Islam maka hal itu adalah baik disisi
Allah. Maka orang yang melarangnya adalah tidak benar” (Fatawa ar-Ramli
4/11)
Dan sudah menjadi kesepakatan dalam
madzhab Syafiiyah bahwa jika ada pendapat yang disepakati oleh Imam Ibnu
Hajar dan Imam Ramli maka pendapat tersebut adalah pendapat yang kuat.
Hal ini juga diperkuat oleh ahli hadis al-Hafidz al-Munawi:
جَازَ
الدُّعَاءُ عِنْدَ الْخَتْمِ بِنَحْوِ : اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ زِيَادَةً
فِي شَرَفِهِ لِأَنَّهُ وَإِنْ كَانَ كَامِلَ الشَّرَفِ فَكَمَالُهُ
نِسْبِيٌّ وَالْاِزْدِيَادُ فِيْهِ مُتَصَوِّرٌ بِخِلَافِ صِفَاتِهِ
تَعَالَى كَمَالُهَا فِي ذَاتِهَا لَا يَقْبَلُ زِيَادَةً وَلَا نُقْصَانًا
(فيض القدير – ج 2 / ص 103)
“Diperbolehkan membaca doa ketika
khataman al-Quran: “Ya Allah, jadikanlah al-Quran sebagai tambahan
kemuliaan Nabi”. Sebab meski Nabi memiliki kemuliaan yang sempurna, maka
kesempurnaan beliau adalah relatif, dan masih memungkinkan untuk
bertambah sempurna. Hal ini berbeda dengan sifat-sifat Allah yang
kesempurnaan dalam Dzat-Nya tidak bisa ditambah dan tidak bisa
dikurangi” (Faidl al-Qadir, 2/103)
Demikian halnya pendapat beberapa Madzhab Fikih Ahlisunnah:
- Madzhab Hanafi (Boleh):
مَطْلَبٌ
فِي إهْدَاءِ ثَوَابِ الْقِرَاءَةِ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ [ تَتِمَّةٌ ] ذَكَرَ ابْنُ حَجَرٍ فِي الْفَتَاوَى
الْفِقْهِيَّةِ أَنَّ الْحَافِظَ ابْنَ تَيْمِيَّةَ زَعَمَ مَنْعَ إهْدَاءِ
ثَوَابِ الْقِرَاءَةِ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لِأَنَّ جَنَابَهُ الرَّفِيعَ لَا يُتَجَرَّأُ عَلَيْهِ إلَّا بِمَا أَذِنَ
فِيهِ ، وَهُوَ الصَّلَاةُ عَلَيْهِ ، وَسُؤَالُ الْوَسِيلَةِ لَهُ قَالَ :
وَبَالَغَ السُّبْكِيُّ وَغَيْرُهُ فِي الرَّدِّ عَلَيْهِ ، بِأَنَّ
مِثْلَ ذَلِكَ لَا يَحْتَاجُ لِإِذْنٍ خَاصٍّ ؛ أَلَا تَرَى أَنَّ ابْنَ
عُمَرَ كَانَ يَعْتَمِرُ عَنْهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عُمُرًا
بَعْدَ مَوْتِهِ مِنْ غَيْرِ وَصِيَّةٍ . وَحَجَّ ابْنُ الْمُوَفَّقِ
وَهُوَ فِي طَبَقَةِ الْجُنَيْدِ عَنْهُ سَبْعِينَ حَجَّةً ، وَخَتَمَ
ابْنُ السِّرَاجِ عَنْهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَكْثَرَ مِنْ
عَشَرَةِ آلَافٍ خَتْمَةٍ ؛ وَضَحَّى عَنْهُ مِثْلَ ذَلِكَ .ا هـ . (رد
المحتار – ج 6 / ص 406)
“Bab tentang menghadiahkan pahala
al-Quran untuk Nabi Saw. Ibnu Hajar al-Haitami menyebut dalam al-Fatawa
al-Fiqhiyah bahwa al-Hafidz Ibnu Taimiyah menyangka larangan
menghadiahkan bacaan al-Quran untuk Nabi Saw, dengan alasan kedudukan
Nabi yang mulia tidak boleh dilangkahi kecuali dengan yang disyariatkan,
yakni salawat dan permintaan derajat Wasilah bagi Nabi, Ibnu Hajar
berkata: “as-Subki dan lainnya membantah Ibnu Taimiyah, bahwa dalam
masalah kirim pahala ini tidak perlu izin khusus. Tidakkah anda lihat
Ibnu Umar melakukan umrah beberapa kali untuk Nabi Saw setelah beliau
tanpa wasiat, Ibnu al-Muwaffiq melakukan haji atas nama Nabi sebanyak 70
kali, Ibnu as-Siraj mengkhatamkan untuk Nabi lebih dari 10000 kali
khataman dan menyembelih qurban untuk beliau sebanyak itu” (Radd
al-Mukhtar, 6/406)
- Madzhab Maliki (Makruh, tapi ada yang mengatakan Boleh):
وَقَدْ
صَرَّحَ بَعْضُ أَئِمَّتِنَا بِأَنَّ قِرَاءَةَ الْفَاتِحَةِ أَيْ مَثَلًا
وَإِهْدَاءَ ثَوَابِهَا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مَكْرُوهٌ وَسُئِلَ ابْنُ حَجَرٍ عَمَّنْ قَرَأَ شَيْئًا مِنْ الْقُرْآنِ
وَقَالَ فِي دُعَائِهِ اللَّهُمَّ اجْعَلْ ثَوَابَ مَا قَرَأْتُهُ
زِيَادَةً فِي شَرَفِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَأَجَابَ بِأَنَّ هَذَا مُخْتَرَعٌ مِنْ مُتَأَخِّرِي الْقُرَّاءِ لَا
أَعْلَمُ لَهُمْ فِيهِ سَلَفًا وَنَحْوُهُ لِزَيْنِ الدِّينِ الْكُرْدِيِ
فَاَلَّذِي يَنْبَغِي مَا وَرَدَ بِهِ الشَّرْعُ كَالصَّلَاةِ عَلَيْهِ
وَسُؤَالِ الْوَسِيلَةِ لَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَثِيرٌ
مِنْ الصُّوفِيَّةِ عَلَى الْجَوَازِ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ . (حاشية الدسوقي
على الشرح الكبير – ج 5 / ص 296)
“Sebagian imam-imam kita menjelaskan
bahwa membaca al-Fatihah, misalnya, dan menghadiahkan pahalanya untuk
Nabi Saw adalah makruh. Ibnu Hajar ditanya tentang seseorang yang
membaca ayat dari al-Quran dan berdoa: Ya Allah, jadikan pahala doa yang
saya baca sebagai tambahan kemuliaan Nabi Saw, Ibnu Hajar menjawab:
“Ini adalah sesuatu yang dibuat oleh generasi akhir ahli qira’ah. Tidak
saya ketahui dalam masalah ini dari ulama Salaf.” Pendapat yang sama
dari Zainuddin al-Kurdi: “Seyogyanya melakukan sesuatu yang disyariatkan
seperti salawat dan permintaan wasilah untuk Nabi Saw”. Dan banyak dari
kalangan Shufi yang memperbolehkan” (Hasyiah ad-Dasuqi ala asy-Syarh
al-Kabir 5/296)
Fatwa Ulama Ahlussunnah Tentang Kirim Pahala Untuk Nabi was last modified: April 29th, 2014 by
Fatwa Ulama Ahlussunnah Tentang Kirim Pahala Untuk Nabi was last modified: April 29th, 2014 by
Tidak ada komentar:
Posting Komentar