Sabtu, 26 April 2014

RAHASIA RASULULLAH DICINTAI “PENDUDUK” LANGIT DAN BUMI

 Nabi Muhammad merupakan sosok nabi yang istimewa. Beliau begitu dicintai oleh para “penduduk” langit, yaitu Allâh dan para malaikat-Nya. Sebagaimana Allâh berfirman: “Sesungguhnya Allâh dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS al-Ahzâb [33]: 56).

Betapa istimewanya Rasulullah hingga Allâh dan para malaikat turut bershalawat baginya. Bershalawat dari Allâh berarti memberi rahmat. Bershalawat dari malaikat berarti memintakan ampunan. Sedangkan bershalawat dari orang-orang mukmin berarti berdoa supaya diberi rahmat, seperti dengan perkataan: Allâhuma shalli alâ Muhammad atau Assalamu’alaika ayyuhan Nabi (semoga keselamatan tercurah kepadamu wahai Nabi).

Tidak hanya oleh “penduduk” langit, “penduduk” bumi-pun amat mencintai Rasulullah. Bahkan diriwayatkan dalam sebuah kisah, dikala Rasulullah wafat, Khalifah Umar mengancam akan membunuh bagi siapa saja yang berani mengatakan bahwa Rasulullah telah wafat. Sampai pada akhirnya Khalifah Abû Bakar yang berani dengan tegas mengatakan, “Rasulullah telah wafat”. Betapa cintanya para “penduduk” bumi kepada Rasulullah hingga tak rela menghadapi kenyataan akan wafatnya beliau.

Kecintaan yang teramat mendalam kepada Rasulullah tentunya menyisakan tanda tanya besar bagi siapa saja yang hendak meneladaninya. Mengapa Rasulullah amat dicintai “penduduk” langit dan bumi? Apa rahasia yang dimiliki oleh Rasulullah? Padahal beliau adalah manusia biasa sama seperti kita, hanya bedanya ia diberikan wahyu. Lantas apa yang membuatnya begitu amat dicintai? Tetunya Rasulullah memiliki rahasia tersebut, tapi tidak lantas kemudian ia menyembunyikannya. Rasulullah dengan tulus mengajarkan kita tentang cara bagaimana agar dicintai oleh “penduduk” langit dan bumi. Pelajaran tersebut ia abadikan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah.

Dari Abû ‘Abbas Sahl bin Sa’ad Assa’idi dia berkata: “Seseorang mendatangi Rasûlullâh, maka beliau berakata: Wahai Rasûlullâh, tunjukkan kepadaku sebuah amalan yang jika aku kerjakan, Allâh dan manusia akan mencintaiku, maka beliau bersabda, Zuhudlah terhadap dunia maka engkau akan dicintai Allâh dan zuhudlah terhadap apa yang ada pada manusia maka engkau akan dicintai manusia.” (HR. Ibnu Majah).

>>> Zuhud Terhadap Dunia

Zuhud terhadap dunia adalah rahasia Rasulullah agar dicintai “penduduk” langit. Rahasia ini sesuai dengan firman Allâh yang berbunyi: “…Katakanlah kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertaqwa…” (QS al-Nisâ’ [4]: 77).

Dalam ayat lain Allâh berfirman: “(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikanNya kepadamu. Dan Allâh tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS al-Hadîd [57]: 23).

Allâh adalah Pencipta dunia, maka cintai Allâh bukan dunia. Sebab mencintai dunia berarti menduakan-Nya. Lantas bagaimana mungkin kita dapat dicintai-Nya?

“Dunia ibarat bayang-bayang. Jika ia dikejar maka ia akan menjauh, sebaliknya jika dijauhi maka ia akan mengejar. Oleh karenanya sikapi dunia dengan sewajarnya. Dalam sebuah hadis, Rasulullah bersabda bahwa sikap bijak yang harus lahir dari diri seorang muslim dalam menyikapi harta dan kekayaan yang dimiliki adalah selalu bersyukur dengan jalan melihat standar orang lain yang berada di bawahnya. Sehingga dengan cara itu, ia akan selalu merasa banyak dan cukup dengan nikmat yang telah diberikan Allâh kepadanya.” (HR. Muslim).

Rasulullah sangat zuhud terhadap dunia. Sebagai bukti, kita dapat meneladani sejarah hidupnya dalam menyikapi tiga syahwat dunia, yaitu harta, tahta dan dunia. Terhadap harta, Rasulullah tidak pernah berlebihan.

Dikisahkan dahulu Rasulullah pernah memberikan harta terakhirnya kepada seorang sahabat yang membutuhkan. Ketika ditanya sahabat, Rasulullah menjawab: “Rejekiku besok sudah ditetapkan Allâh.”

Terhadap tahta, Rasulullah juga tidak pernah berambisi. Dalam peristiwa pemindahan hajar aswad (batu), para ketua kabilah hampir berseteru hanya karena ingin memindahkan batu. Kemudian Rasulullah mengambil kain untuk tempat batu dan meminta setiap ketua kabilah memegang ujung kain. Perselisihan itupun berakhir dengan perdamaian. Adapun terhadap wanita, Rasulullah membuktikan dengan mempersunting Khadijah sebagai isteri pertamanya.

>>> Zuhud terhadap Apa yang Ada pada Manusia

Zuhud terhadap apa yang ada pada manusia adalah rahasia Rasulullah dicintai “penduduk” bumi. Al-Junaid berkata, “Zuhud ialah keadaan jiwa yang kosong dari rasa memiliki dan ambisi menguasai.”

Bahkan Alî bin Abî Thâlib menjelaskan, “Zuhud berarti tidak peduli, siapa yang memanfaatkan benda-benda duniawi ini, baik seorang yang beriman atau tidak. Kedua pernyataan tersebut mengisyaratkan kepada kita betapa tidak perlunya mengurusi apa yang ada pada orang lain. Terlebih berambisi ingin memiliki dan menguasainya.”

Rasulullah sangat zuhud terhadap apa yang dimiliki orang lain. Rasulullah tidak pernah mengemis terhadap sesuatu hal duniawi yang orang lain miliki. Sebab, pada dasarnya manusia adalah makhluk egois dan rakus. Semakin kita mempunyai rasa ingin memiliki dan menguasai apa yang dimiliki orang lain, maka dapat dipastikan orang tersebut akan benci kepada kita karena merasa apa yang dimilikinya akan terancam. Benarkah demikian? Renungkanlah.

Demikianlah rahasia Rasulullah yang menjadikannya dicintai oleh “penduduk” langit dan bumi. Kedua kunci dari rahasia Nabi berpangkal dari sikap zuhud. Berbagai penjelasan dan dalil di atas menegaskan bahwa zuhud adalah konsep yang luhur dan mendapat pengakuan dalam Islam. Zuhud merupakan bagian penting dalam usaha pendidikan jiwa dan pribadi setiap Muslim. Kendati demikian, patut diingat pesan al-Ghazali yang menyatakan bahwa seseorang yang meninggalkan harta dan dunia belum tentu dikategorikan sebagai orang yang zuhud.

Sebagai penutup, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan agar terhindar dari lilitan ketergantungan pada dunia, yaitu:

[1] Tidak meletakkan hal-hal duniawi di hati. Zahid akan meletakkan dunia di tangannya, tidak dihatinya.

[2] Tidak hanyut dalam memburu kekayaan duniawi. Betapa banyak kehancuran dan kerusakan di bumi karena kerakusan manusia.

[3] Tidak menumpuk kekayaan duniawi. Agar tidak cinta dunia, maka kita harus memposisikannya sebagai jalan (wasilah), bukan sebagai tujuan (ghayah).

[4] Segera menginfaqkan kekayaan duniawi yang diperoleh.

“12 RIBU TAHUN SEBELUM ADAM… MUHAMMAD SAW MANUSIA BIASA”
Kesalahan terbesar pihak yang menolak mengakui kebesaran Nabi Muhammad dan menolak memujanya, bahkan menganggap pelakunya sebagai bertindak berlebih-lebihan dan kultus yang diharamkan, adalah karena mereka melihat Nabi Muhammad saw dengan kacamata materi. Mereka hanya melihat Nabi saw sebagai makhluk biologis. Mereka lupa bahwa manusia memiliki dimensi yang jauh lebih tinggi dari sekadar dimensi biologis atau fisik. Bahkan dimensi rohani merupakan jati diri manusia yang sesungguhnya.
SESUNGGUHNYA dalam diri Rasulullah saw terdapat suri teladan yang baik bagi kamu (yaitu) bagi siapa yang mengharap (rahmat) Allah dan (kebahagiaan) hari akhir dan banyak menyebut Allah (QS. 33:21)
Benarkah Nabi saw Manusia Biasa – dan Mengapa Wajib Mencintai Beliau dan Keluarganya?
Abdullah bin Amr berkata: Aku menulis segala sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah saw. Aku bermaksud menghapalnya. Tapi orang-orang Quraisy melarangku dan mereka berkata: “Engkau menulis segala sesuatu yang engkau dengar dari Rasulullah saw? Padahal beliau hanyalah seorang manusia yang berbicara saat marah dan senang.” Aku berhenti menulis. Tetapi kemudian aku ceritakan hal itu kepada Rasulullah. Ia kemudian menunjuk kepada mulutnya dan berkata: “Tulis saja. Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya tidak ada yang ke-luar dari sini kecuali kebenaran.”
Kedudukan Nabi dalam al-Quran
Terdapat puluhan ayat di dalam al-Quran yang memuja Nabi Muhammad saw, apakah dalam bentuk pujian langsung, seperti ayat yang menyatakan bahwa Nabi memiliki akhlak yang sangat luhur. Atau dalam bentuk penyebutan sifat-sifat terpuji yang dimiliki Nabi. Berikut beberapa contoh keagungan Rasulullah sebagaimana dalam al-Quran.
1. Keimanan semua rasul kepada Nabi. Imam ‘Ali bin Abi Thalib kw berkata: Setiap kali Allah mengutus seorang nabi, mulai dari Nabi Adam sampai seterusnya, maka kepada nabi-nabi itu Allah menuntut janji setia mereka bahwa jika nanti Nabi Muhammad saw diutus, mereka akan beriman padanya, membelanya dan mengambil janji setia dari kaumnya untuk melakukan hal yang sama.
Dan ketika Allah mengambil janji dari para nabi: “Aku telah berikan kepada kalian al-kitab dan al-hikmah, maka ketika Rasul itu (Muhammad saw) datang kepada kalian, yang membenarkan apa yang ada pada kalian, kalian benar-benar harus beriman kepadanya dan membelanya.” Dia (Allah) berkata: “Apakah kalian menerima dan berjanji akan memenuhi perintah-Ku ini?” Mereka berkata: “Ya, kami berjanji untuk melakukan itu.” Dia berkata: “Kalau begitu persaksikanlah dan Aku menjadi saksi bersama kalian.” (QS. 3:81)
2. Kabar gembira tentang kedatangan Muhammad saw. Al-Quran menjelaskan bahwa para penganut Ahlul Kitab tahu betul tentang kedatangan Nabi Muhammad saw, sebagaimana mereka tahu betul siapa anak mereka. Bahkan mereka saling memberi kabar gembira tentang kedatangannya itu (QS. 2:89, 146). Dan itu pula yang dipintakan Nabi Ibrahim as dalam doanya:
Tuhan kami, utuslah pada mereka seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri (Muhammad) yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu, mengajarkan mereka al-kitab dan al-hikmah, dan menyucikan mereka. Sesungguhnya Engkau Mahaperkasa lagi Mahabijaksana (QS. 2:129).
3. Penciptaan Nabi Muhammad saw sebelum Nabi Adam as. Tetapi penciptaan itu masih dalam wujud “nur” atau cahaya. Ketika Allah menciptakan Adam, Ia menitipkan nur itu pada sulbi Adam yang kemudian berpindah-pindah dari satu sulbi ke sulbi yang lain hingga sulbi ‘Abdullah, ayah Nabi. Ibnu Abbas meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw bersabda:
Allah telah menciptakanku dalam wujud nur yang bersemayam di bawah ‘arasy dua belas ribu tahun sebelum menciptakan Adam as. Maka ketika Allah menciptakan Adam, Ia meletakkan nur itu pada sulbi Adam. Nur itu berpindah dari sulbi ke sulbi; dan kami baru berpisah setelah ‘Abdul Muthalib. Aku ke sulbi ‘Abdullah dan ‘Ali ke sulbi Abu Thalib. Al-Quran menyebutkan bahwa sulbi-sulbi tempat bersemayamnya nur itu adalah sulbi-sulbi orang-orang suci. Ini berarti bahwa orangtua dan nenek moyang Rasulullah sampai ke Nabi Adam as. Istilah al-Quran, al-Sajidîn, orang-orang patuh. Allah berfirman: Dan bertawakallah kepada Tuhan Yang Mahaperkasa lagi Maha Penyayang. Yang melihatmu saat engkau bangun dan perpindahanmu dari sulbi ke sulbi orang-orang patuh (QS. 26:217-219).
4. Nabi Muhammad saw adalah manusia suci. Tidak pernah berbuat kesalahan, apalagi dosa. Namun demikian, ia tetap manusia biasa seperti manusia lainnya, dalam arti bahwa secara biologis tidak ada perbedaan antara Nabi saw dengan yang lain. Allah berfirman dalam QS. 33:33:
“Sesungguhnya yang dikehendaki Allah ialah menjauhkan kamu wahai Ahlul Bait dari segala kotoran dan mensucikan kamu sesuci-sucinya”. Riwayat-riwayat mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Ahlul Bait pada ayat di atas adalah ‘Ali, Fathimah, Hasan, Husain, dan Nabi Muhammad saw sendiri.
5. Nabi Muhammad selalu dibimbing Allah Swt. Ucapannya, perbuatannya, tutur katanya dan sebagainya, semuanya ; di bawah pengarahan dan bimbingan Allah Swt.
Sesungguhnya dia (Muhammad) tidak bertutur kata atas dasar hawa nafsu, melainkan semuanya semata-mata adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya (QS. 53:3-4).
6. Nabi Muhammad saw adalah panutan yang sempurna, uswatun hasanah. Allah berfirman:
“Sesungguhnya dalam diri Rasulullah terdapat teladan yang baik buat kamu.” (QS.33:21). Karena itu, maka “Apa pun yang dibawanya harus kamu terima dan apa pun yang dilarangnya harus kamu jauhi.” (QS. 59:7)
7. Dibukanya rahasia kegaiban kepada Nabi Muhammad saw. Allah berfirman: Tuhan Maha Mengetahui yang gaib. Maka Dia tidak akan membukakan kegaibannya itu kepada seorang pun, kecuali kepada rasul yang dikehendaki (QS. 72: 26-27). Tentu saja Rasulullah saw berada di urutan paling atas di antara para rasul yang menerima anugrah utama ini.
8. Allah memuji Nabi Muhammad saw dengan berbagai pujian karena keluhuran akhlak-nya (QS. 68:4); kepeduliannya dan kasih sayangnya kepada umat manusia (QS. 9:128) dan pengorbanan diri, tidak mementingkan diri demi kebahagiaan orang lain (QS. 20:2-3). Selain itu Allah Swt memberi perhatian yang khusus kepada Nabi Muhammad saw jika ada sedikit saja “masalah” yang dihadapinya (QS. 93:1-3; 94:1-4).
Nabi Sebagai Manusia Biasa?
Dari sekian ayat yang kita lihat di atas tidak dapat disangkal bahwa Nabi Muhammad saw bukan manusia biasa, dalam arti bahwa kedudukannya sangat-sangat mulia di sisi Allah. Ia telah diciptakan Allah sebelum menciptakan yang lainnya. Nabi telah dipersiapkan membawa amanat-Nya jauh sebelum utusan-utusan lainnya. Bahkan utusan-utusan itu diperintahkan untuk mengimaninya dan mengabarkan kepada umat manusia kedatangannya. Nabi ditetapkan sebagai perantara antara manusia dengan Tuhan, dan sebagainya. Akan tetapi semua ini tidak harus membuat kita memposisikannya sebagai bukan dari golongan manusia, seperti yang dilakukan kaum Nasrani terhadap Nabi ‘Isa as. Nabi Muhammad saw tetap manusia sebagai-mana manusia lainnya, sebagaimana isyarat al-Quran dalam beberapa ayatnya di atas. Pada diri Nabi Muhammad saw terdapat segala sesuatu yang ada pada manusia, yakni dimensi biologis manusia.
Karena itu Nabi makan, minum, sakit, tidur, berdagang, berkeluarga, senang, sedih, dan sebagainya, seperti umumnya manusia. Al-Quran sengaja menegaskan bahwa Nabi Muhammad adalah manusia, basyar, seperti manusia lainnya untuk membantah alasan penolakan kaum musyrikin terhadap Nabi saw bahwa ia bukan dari golongan malaikat, atau (paling tidak) ‘bekerjasama’ dengan malaikat (QS. 25:7) dan juga mengingatkan kaum Muslimin supaya tidak mengulangi kesalahan seperti yang dilakukan kaum Nasrani terhadap Nabi Isa yang menganggapnya sebagai Tuhan.
Tetapi, ketika kita mengatakan bahwa Nabi adalah ‘manusia biasa’ seperti manusia lainnya, tidak berarti bahwa kita harus menganggapnya salah, keliru, melanggar, atau segalanya lalu berakhir sesudah beliau wafat. Tidak. Sama sekali tidak demikian. Kesucian, keterpeliharaan dari dosa (ma’sum), hidup abadi bersama Allah sesudah kematian, atau kemampuan berhubungan dengan-Nya sesudah kematian, adalah perkara ruhani yang mungkin saja dicapai oleh manusia asalkan (jika) ia telah mencapai kedudukan ruhani yang begitu tinggi, atau katakanlah mencapai maqam ‘Insan Kamil‘.
Allah Swt memang menciptakan manusia dari unsur tanah, yang menghasilkan dimensi biologisnya. Namun, Allah juga menciptakan unsur lainnya pada manusia, yakni ‘ruh’ Allah, yang justru dapat membuat manusia lebih tinggi dari makhluk mana pun, bahkan dibanding malaikat sekali pun.
Tingginya kedudukan itu terjadi jika — melalui ruh itu — manusia tadi mampu mengatasi unsur biologisnya. Itulah sebabnya mengapa malaikat dan jin atau Iblis diperintahkan untuk sujud kepada Adam atau manusia. Itulah pula mengapa Nabi Muhammad dapat menembus Sidratul-Muntaha, sementara Jibril akan hangus terbakar jika berani mencoba melangkahkan kaki meskipun hanya setapak. Padahal Jibril adalah penghulu para malaikat. Karena Nabi Muhammad telah mencapai derajat kesempurnaan mutlak insani. (Salah satu buku yang memuat kisah perjalanan ini dan sering dibaca pada peringatan Maulid Nabi saw, misalnya, adalah kitab “Samtu ad-Dhirar“, karya Habib Ali Al-Habsyi).
Kesalahan terbesar pihak yang menolak mengakui kebesaran Nabi Muhammad di atas dan menolak memujanya, bahkan menganggap pelakunya sebagai bertindak berlebih-lebihan dan kultus yang diharamkan, yaitu karena mereka melihat Nabi Muhammad saw dengan kacamata materi.
Mereka hanya melihat Nabi saw sebagai makhluk biologis. Mereka lupa bahwa manusia memiliki dimensi yang jauh lebih tinggi dari sekadar dimensi biologis atau fisik. Bahkan dimensi ruhani merupakan jati diri manusia yang sesungguhnya.
Melihat seorang hanya dari dimensi biologisnya adalah logika orang-orang kafir. Bukan logika orang-orang beriman. Dengan alasan bahwa para utusan itu ‘hanya manusia seperti mereka’, orang-orang kafir menolak mengakuinya sebagai nabi atau rasul. Di sini, baiklah kita tengok ayat-ayat Qur’an ini:
“Dan tidaklah menghalangi orang-orang (kafir) untuk beriman ketika datang kepada mereka petunjuk kecuali mereka membuat alasan: Apakah Allah mengutus rasul dari golongan manusia? (QS. 17:94).
Tapi orang-orang beriman berkata: “Kami mengimaninya. Semuanya dari sisi Tuhan kami”. (QS. 3:7).
Selain itu, mereka yang mengaggap maulid itu bid’ah, biasanya karena menyamakannya dengan sebuah tindakan ‘ibadah mahdhah‘ (mah-dhoh) . Padahal perayaan atau peringatan Maulid yang dimeriahkan dengan berbagai kegiatan sebagai tanda sukacita atas kelahiran Rasul saw bukan merupakan ‘ibadah mahdhah‘.
Nah, dalam kaidah Islam, ada aturan penting bahwa dalam segala ibadah mahdhah, maka prinsipnya adalah “semua tidak dibolehkan kecuali yang yang telah ditetapkan.” Contoh ibadah mahdhah itu adalah ibadah dalam rukun Islam yang lima itu (syahadat, shalat, zakat, puasa, haji). Maka, dalam hal ini, siapa pun tidak boleh menambahi sesuatu atau mengurangi sesuatu di dalamnya. Dengan kata lain, tidak boleh ada kreativitas di dalam ibadah mahdhah itu. Sehingga siapa pun tidak boleh, misalnya, menambah jumlah roka’at solat subuh menjadi tiga — karena merasa ingin lebih dekat dengan Allah.
Pasangan ibadah mahdhah adalah ‘muamalah’. Dalam hal ini, prinsipnya semua (kreativitas) diperbolehkan, kecuali yang nyata-nyata dilarang. Muamalah, adalah semua selain ibadah mahdhoh. Contohnya adalah berdakwah lewat telepon, atau membaca solawat dan puji-pujian kepada Nabi saw di masjid pada saat di luar solat, menggambar komik dakwah, atau ketika menunggu imam masuk ke masjid. Nah, yang begitu itu, prinsipnya boleh — bukan bid’ah. Logis kan? Masa orang tidak boleh berkreasi, sepanjang kreativitasnya itu dalam koridor ‘amar ma’ruf nahi munkar’? Masalahnya, mungkin yang suka menuduh bid’ah itu tidak pernah tahu apa yang dibaca pada saat peringatan Maulid di sana sini di seluruh dunia. Bukankah yang dibaca adalah kalimat-kalimat ‘toyyibah‘ (baik, manis), kisah sejarah dan akhlak Nabi saw (agar orang meneladani akhlaknya), dan syair-syair cinta kepada Allah, kepada Nabi saw, keluarga dan sahabat beliau?
Sikap kepada Nabi saw
Berdasarkan beberapa ayat tentang keagungan Nabi Muhammad saw di atas dan beberapa riwayat Nabi, kita dapat melihat betapa Allah menuntut kita untuk menghormati dan mengagungkan rasul-Nya.
Coba perhatikan ayat shalawat (solawat). Adakah perintah yang sama dengan perintah shalawat, yaitu yang didahului dengan pernyataan bahwa Allah dan malaikat-Nya telah melakukannya terlebih dahulu dan oleh karena itu kita pun diperintahkan untuk melakukan-nya, selain shalawat kepada Nabi? Tidak ada. Perintah itu berarti kita harus selalu melihat Nabi dengan penuh ta’dzim (pengormatan) dan agar kita selalu membalas jasa-jasanya.
Oleh karena itu pula, Nabi saw selalu mengingatkan bahwa orang yang tidak mau bershalawat kepadanya adalah bakhil atau kikir. Bahkan orang yang datang ke tanah suci tapi tidak mampir ke Madinah untuk berziarah kepadanya (berarti) telah memutus hubungan silaturrahmi dengannya.
Masa depan di tangan Islam. Berkat jasa Nabi saw milyaran orang di dunia menjadi Muslimin (meski ‘Barat’ memotretnya secara ‘menyeramkan’).
Pada ayat tawassul kita bahkan diperingatkan Allah: jika ingin dosa-dosa kita diampuni oleh-Nya harus bertawassul kepadanya. Jika tidak, Allah tidak akan mengabulkan permohonan ampun kita. Allah juga mengingatkan agar kita tidak memperlakukannya sama dengan kita (manusia yang bukan nabi), sebab hal itu dapat menghapus pahala amal ibadah kita (QS. 49:2-3).
Selain itu, kita juga diperingatkan untuk tidak menganggap apa yang dilakukan atau diucapkan Nabi saw lahir karena emosi atau hawa nafsunya. Tapi semuanya atas bimbingan Allah yang tidak pernah salah. Ia tidak bertutur kata atas dasar hawa nafsunya, melainkan berdasarkan wahyu yang diterimanya (QS. 53:3-4).
Dengan demikian, yang mengagungkan dan memerintahkan kita untuk mengagungkan Nabi Muhammad saw adalah Allah Swt sendiri. Bukan kita. Kita hanya mengikuti perintah dan ajaran Tuhan saja. Lalu mengapa kita harus menentang Allah dan Rasul-Nya, hanya karena takut jatuh dalam hantu “kultus” yang kita ciptakan sendiri (seperti sering dituduhkan kaum Wahhabi-Takfiri)?
Sebenarnya tidak ada kultus; karena kultus ialah melebih-lebihkan sesuatu yang tidak pada tempatnya. Pengagungan Nabi Muhammad saw justeru mendudukkan posisi Nabi Muhammad saw sebagaimana mestinya, seperti diperintahkan al-Quran. Justru jika kita tidak melakukan itu, dikhawatirkan telah menzalimi beliau. Sesungguhnya orang-orang yang mengganggu Allah dan rasul-Nya dikutuk oleh Allah di dunia maupun di akhirat dan Allah siapkan baginya siksa yang menghinakannya (QS. 33:57).
1. Allah bershalawat kepada Nabi. Demikian juga seluruh malaikatnya. Karena itu orang-orang yang beriman diperintahkan bershalawat kepadanya (QS. 33:56). Arti shalawat Allah kepada Nabi adalah ‘penganugerahan rahmat dan kasih sayang-Nya’; shalawat malaikat adalah permohonan limpahan rahmat-Nya. Demikian pula shalawat orang-orang beriman.
2. Orang-orang beriman diperintahkan untuk tidak memperlakukan Rasulullah sebagaimana perlakuan mereka terhadap sesama mereka. Jika berbicara kepada Rasul harus dengan suara yang pelan, tidak boleh teriak-teriak, karena hal itu akan menghapus pahala amal mereka (QS. 49:2-3).
3. Allah akan melakukan apa saja demi menyenangkan hati Nabi. “Dan tuhanmu akan memberimu sehingga membuatmu senang” (QS. 93:5). Ayat ini menunjukkan betapa Allah amat mencintai Nabi-Nya. Ia akan memberikan apa saja yang diinginkan Nabi dan akan melakukan apa saja demi menyenangkan hati ‘kekasih’-Nya itu. Dan salah satu anugrah Allah yang paling besar kepada Nabi ialah, wewenang “memberi syafaat” kepada umatnya yang berdosa. Bukan saja di akhirat, tapi juga di dunia, yaitu dalam bentuk pengabulan doa yang disampaikan oleh Nabi untuk umatnya, baik ketika Nabi masih hidup maupun sesudah wafatnya.
4. Nabi saw ditetapkan sebagai perantara (wasilah) antara diri-Nya dengan manusia. Bahkan merupakan salah satu syarat terkabulnya doa. Kami tidak utus seorang rasul kecuali untuk ditaati, dengan seizin Allah. Dan seandainya mereka mendatangimu ketika mereka berbuat dosa, lalu memohon ampun kepada Allah dan Rasul pun memohonkan ampun buat mereka, pastilah mereka dapati Allah Maha Pengampun dan Maha Pengasih (QS. 4:64). Tawassul kepada Nabi Muhammad saw ini sudah dilakukan para nabi dan orang-orang salih jauh sebelum kelahirannya.
Banyak riwayat yang mengatakan bahwa Adam dan Hawa telah bertawassul kepada Nabi Muhammad saw saat mereka berdua dikeluarkan dari surga. Tatkala Nabi Adam as dikeluarkan dari surga, ia memohon ampun kepada Allah atas perbuatanya. Dalam permohonannya itu, ia bertawassul melalui Nabi Muhammad saw: “Ya Allah, melalui kebesaran Muhammad, aku mohon ampun pada-Mu kiranya Engkau ampuni dosaku.”
• Allah Swt bertanya kepada Adam, “Dari mana kamu tahu Muhammad, padahal Aku belum menciptakannya?”
• Adam berkata, “Tuhanku, ketika Engkau cipta-kan aku dengan tangan-Mu dan Engkau tiupkan ruh-Mu dalam diriku, aku mengangkatkan kepalaku dan kulihat di pilar-pilar Arsy tertulis Lâ ilâha illallâh Muhammad Ra-sûlullâh. Aku tahu Engkau tidak akan menyertakan nama hamba-Mu kepada nama-Mu kecuali yang paling Engkau cintai.”
• Allah Swt berkata, “Engkau benar, Adam. Muhammad adalah hamba yang paling Aku cintai. Dan karena engkau memohon ampun melaluinya, maka Aku kabulkan permohonanmu. Hai Adam, kalau bukan karena Muhammad, Aku tidak akan menciptakan-mu.”
Untuk keterangan lebih lengkap tentang hal ini, baik juga membaca beberapa artikel ilmiah yang antara lain menuliskan kewajiban mencintai Nabi dan keluarga (ahlul bait)-nya; antara lain berdasarkan dalil al-qur’an dan hadis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar