Cium Mushaf dan Cium Kuda
ULAMA WAHABI BERBENDAPAT SBB:
Muhammad Nashiruddin Al-Albani
mengatakan tentang mencium mushaf: Perkara ini -menurut keyakinan kami-
adalah masuk ke dalam keumuman hadits “Jauhilah oleh
kalian perkara-perkara baru karena setiap perkara baru adalah bid’ah dan
setiap kebid’ahan adalah sesat”, dalam hadits lain “Setiap kesesatan
dalam Neraka”.
Jika ditanyakan kepada yang mencium
mushaf, “Bagaimana kalian melakukan sesuatu yang tidak dilakukan
Rasulullah?”, ia akan mengarahkan jawaban yang aneh sekali, seperti “Hai
saudaraku ada apa dengan ini? Ini mengagungkan Al Qur`an!”, maka
katakan padanya, “Hai saudaraku, apakah Rasulullah tidak mengagungkan Al
Qur`an? Tidak ragu lagi bahwa beliau mengagungkan Al Qur`an, walau
demikian beliau tidak menciumnya”.
Saya katakan, “Tidak ada jalan untuk
mendekatkan diri kepada Allah kecuali dengan apa yang telah
disyari’atkanNya, oleh karena itu kita bertindak sesuai dengan apa yang
disyari’atkan untuk kita dari keta’atan dan ibadah-ibadah, tidak
menambahinya walau satu kata, karena hal ini seperti ucapan Nabi, “Tidak
aku tinggalkan sesuatupun yang Allah telah perintahkan kalian, kecuali
aku telah perintahkan kalian dengannya””.
Oleh karena itu maka mencium mushaf (Al
Qur’an) adalah bid’ah, dan setiap kebid’ahan adalah sesat, setiap
kesesatan tempatnya di neraka. [Dinukil dari “Kaifa Yajibu ‘Alaina
An-Nufassirol Qur’an”
Sumber: Buletin Al Wala’ Wal Bara’ Bandung Edisi ke-5 Tahun ke-1 / 10 Januari 2003 M / 06 Dzul Qo’dah 1423 H]
Sumber: Buletin Al Wala’ Wal Bara’ Bandung Edisi ke-5 Tahun ke-1 / 10 Januari 2003 M / 06 Dzul Qo’dah 1423 H]
ULAMA AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH BERPENDAPAT SBB:
6246 – يستحب تقبيل المصحف لأن عكرمة بن أبي
جهل رضي الله عنه كان يفعله وبالقياس على تقبيل الحجر الاسود ذكره بعضهم
ولأنه هديه من الله تعالى فشرع تقبيله كما يستحب تقبيل الولد الصغير
Disunahkan mencium mushaf karena sahabat
‘Ikrimah Bin Abu Jahal ra melakukannya dan dengan diqiyaskan pada
mencium Hajar Aswad dan karena mushaf adalah sumber hidayah dari Allah
maka disyariatkan menciumnya seperti kesunahan mencium anak kecil.
[Al-Itqaan Fii ‘Uluum al-Quraan II/458]
ج – تَقْبِيل الْمُصْحَفِ :
13 – ذَكَرَ الْحَنَفِيَّةُ : وَهُوَ الْمَشْهُورُ عِنْدَ الْحَنَابِلَةِ – جَوَازُ تَقْبِيل الْمُصْحَفِ تَكْرِيمًا لَهُ ، وَهُوَ الْمَذْهَبُ عِنْدَ الْحَنَابِلَةِ ، وَرُوِيَ عَنْ أَحْمَدَ اسْتِحْبَابُهُ ، لِمَا رُوِيَ عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ : كَانَ يَأْخُذُ الْمُصْحَفَ كُل غَدَاةٍ وَيُقَبِّلُهُ ، وَيَقُول : عَهْدُ رَبِّي وَمَنْشُورُ رَبِّي عَزَّ وَجَل ، وَكَانَ عُثْمَانُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يُقَبِّل الْمُصْحَفَ وَيَمْسَحُهُ عَلَى وَجْهِهِ .
13 – ذَكَرَ الْحَنَفِيَّةُ : وَهُوَ الْمَشْهُورُ عِنْدَ الْحَنَابِلَةِ – جَوَازُ تَقْبِيل الْمُصْحَفِ تَكْرِيمًا لَهُ ، وَهُوَ الْمَذْهَبُ عِنْدَ الْحَنَابِلَةِ ، وَرُوِيَ عَنْ أَحْمَدَ اسْتِحْبَابُهُ ، لِمَا رُوِيَ عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ : كَانَ يَأْخُذُ الْمُصْحَفَ كُل غَدَاةٍ وَيُقَبِّلُهُ ، وَيَقُول : عَهْدُ رَبِّي وَمَنْشُورُ رَبِّي عَزَّ وَجَل ، وَكَانَ عُثْمَانُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يُقَبِّل الْمُصْحَفَ وَيَمْسَحُهُ عَلَى وَجْهِهِ .
Kalangan Hanafiyyah (pendapat ini juga
mashur dikalangan Hanabilah) bolehnya mencium mushaf sebagai bentuk
penghormatan padanya, pendapat ini yang dijadikan madzhab dikalangan
Hanabilah bahkan diriwayatkan dari Imam Ahmad akan kesunahannya
berdasarkan riwayat dari Umar ra “Adalah Umar setiap pagi mengambil
mushaf dan menciumnya seraya berkata : Perjanjian dan surat dari Tuhanku
‘Azza wa Jalla”
“Adalah Utsman ra mencium mushaf dan mengusapkan pada muka mukanya” [alMausuuah al-Fiqhiyyah XIII/133]
“Adalah Utsman ra mencium mushaf dan mengusapkan pada muka mukanya” [alMausuuah al-Fiqhiyyah XIII/133]
( ويندب كتبه وإيضاحه ) أي تبيين حروفه ،
واستدل السبكي على جواز تقبيل المصحف بالقياس على تقبيل الحجر الأسود ويد
العالم والصالح والوالد ، إذ من المعلوم أنه أفضل منهم قال الدميري
(Disunahkan menulis dan memperjelas
tulisan mushaf) Imam As-SubkI menarik kesimpulan akan bolehnya mencium
mushaf dengan mengqiyaskan pada mencium Hajar Aswad, tangan orang Alim,
tangan Orang Shalih, tangan orang tua karena sudah maklum bahwa mushaf
lebih utama ketimbang semuanya. [Tuhfah al-Habiib I/551]
HUKUM MENCIUM KUDA
Belum saya dapatkan hujjah tentang
disunnahkannya mencium binatang, belum juga menemukan fatwa ulama wahabi
yg menganjurkannya. Namun mengapa ulama wahabi membid’ahkan mencium
mushaf al-Qur’an sementara seorang yg bernama Amir Mat’ab bin Abdullah
sedang mencium kuda bernama “iklil” setelah menjuarai pacuan kuda yang
di gelar dilapangan Malik Abdul Aziz dalam perebutan piala Amir Muhammad
bin Su’ud Alkabir ke-XVII. Apakah hal ini suatu kebenaran dan kemudian
para ulama wahabi tutup mata?
Sumber: http://www.alriyadh.com/
Dari sahabat Abdullah bin Ja’far z, dia
berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah masuk pada suatu
kebun dari kebun-kebun milik orang Anshar untuk suatu keperluan.
Tiba-tiba di sana ada seekor unta. Ketika unta itu melihat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ia datang dan duduk di sisi Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan berlinang air matanya. Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Siapa pemilik unta ini?” Maka
datang (pemiliknya) seorang pemuda dari Anshar. Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Tidakkah kamu takut kepada Allah l dalam
(memperlakukan) binatang ini yang Allah l menjadikanmu memilikinya?!
Sesungguhnya unta ini mengeluh kepadaku bahwa kamu meletihkannya dengan
banyak bekerja.” (HR. Abu Dawud dll, Asy-Syaikh Al-Albani
menshahihkannya dalam Ash-Shahihah no. 20)
Al-Imam Ibnu Muflih t dalam kitabnya
‘Al-Adab Asy-Syar’iyah (jilid 3) menyebutkan pembahasan tentang
makruhnya berlama-lama memberdirikan binatang tunggangan dan binatang
pengangkut barang melampaui kebutuhannya. Hal ini berdasarkan hadits
Nabi n (yang artinya): “Naikilah binatang itu dalam keadaan baik dan
biarkanlah ia dalam keadaan bagus, serta janganlah kamu jadikan binatang
itu sebagai kursi.” (HR. Ahmad dll, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh
Al-Albani t dalam Shahih Al-Jami’)
Maksudnya, janganlah salah seorang dari
kalian duduk di atas punggung binatang tunggangan untuk
berbincang-bincang bersama temannya, dalam keadaan kendaraan itu berdiri
seperti kalian berbincang-bincang di atas kursi. Namun larangan dari
berlama-lama di atas punggung binatang ini bila tidak ada keperluan.
Sedangkan bila diperlukan seperti di saat perang atau wukuf di padang
Arafah ketika haji maka tidak mengapa. (Faidhul Qadir1/611)
Mar’i Al-Hanbali berkata: “Wajib atas
pemilik binatang untuk memberi makanan dan minumannya. Jika dia tidak
mau memberinya maka dipaksa (oleh penguasa) untuk memberinya. Bila dia
tetap menolak atau sudah tidak mampu lagi memberikan hak binatangnya
maka ia dipaksa untuk menjualnya, menyewakannya, atau menyembelihnya
bila binatang tersebut termasuk yang halal dagingnya. Diharamkan untuk
mengutuk binatang, membebaninya dengan sesuatu yang memberatkan, memerah
susunya sampai pada tingkatan memudharati anaknya, memukul dan memberi
cap pada wajah, serta diharamkan menyembelihnya bila tidak untuk
dimakan.”
Satu pertanyaan buat wahabi yg ahli
membid’ahkan. Apakah pacuan kuda tersebut sunnah Nabi dan menciumnya
adalah suatu anjuran? Wallahu A’lam bish-Shawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar