Oleh Syafiq Hasyim
Banyak kalangan santri, termasuk
saya sendiri, yang tidak tahu menahu atau belum tahu tentang bagaimana
sejarah sebuah kitab itu menjadi bentuk buku, terutama proses menjadikan
manuskrip (maḥṭūṭāt) ke dalam bentuk kitab yang tercetak, sebagaimana
yang kita nikmati setiap hari di pesantren kita.
Seingat saya,
di pesantren-pesantren NU memang diwasiatkan tentang pentingnya menjaga
sanad guru (rangkain) ketika mengaji sebuah kitab, tapi sayangnya tidak
diajarkan bagaimana sesungguhnya sebuah kitab itu sampai ke percetakan
dan lalu bisa kita baca pada forum santri.
Mengetahui sejarah
pembukuan kitab itu penting sekali, sebab berbeda dengan Al-Qur’an yang
kita hafalkan, kitab-kitab ini ditransmisikan kepada para murid lebih
banyak lewat tradisi tulisan.
Zaman dulu,ketika masih ngaji di
pesantren, saya juga hanya memikirkan dan menikmati kitab-kitab yang
sudah“jadi” mulai dari terbitan Menara Kudus sampai Dar al-Fikr. Pada
masa itu, terasa lega sekali jika sudah mampu membeli kitab, apalagi
kitab-kitab yang biasa menjadi pegangan kitab NU.
Kitab besar
pertama yang saya beli dari hasil honorarium mengajar di Madrasah
Diniyyah Awwaliyah adalah Iḥyā’ʿUlūm al-Dīn, versi yang 4 jilid. Ketika
itu saya berada di kelas 3 Madrasah Tsanawiyyah. Setiap sore, pada waktu
lepas, sebelum ngaji, kitab ini saya tengok dan sedikit-sedikit
diberikan makna gandul atasnya. Kertas kuning dan cetakan huruf Arab
yang indah yang mengadopsi temuan Johannes Gottenberg, seorang inventor
teknologi mesin cetak dari Jerman, senantiasa menarik minat saya untuk
membuka kitab-kitab tersebut.
Sampai suatu hari saya mendapatkan
rezeki nomplok dimana seorang tetangga yang bekerja di Saudi Arabia
membelikan kitab Fathul Bari 13 jilid sebagai hadiah untuk saya. Saya
menerimanya dengan senang hati dan tersanjung. Baru pertama kali dalam
hidup saya mempunyai kitab cetakan luar negeri. Keterpesonaan pada kulit
muka kitab yang solid, sangat beda dengan versi cetakan Menara Kudus,
serta kertas putihnya yang sangat indah itu tidak ada habisnya.
Bagi
saya, melihat Fathul Bari masa itu, tidak ada kata lain kecuali
mengaguminya. Tapi tetap saja kekaguman saya berhenti hanya sampai pada
batas keindahan cover, kertas dan sudah barang tentu isinya.
Dan
terasa aneh, ketika itu, saya tidak menaruh minat untuk tahu sama sekali
tentang bagaimana sejarah kitab mewujud menjadi buku yang indah seperti
ini. Bahkan saya tidak tertarik sama sekali membaca catatan
editornya(muḥaqqiq) yang biasa dicantumkan di halaman depan. Sama sekali
saya tidak memikirkan peran muhaqqiq-nya (editor) dalam mewujudkan
manuskrip Fathul Bari atau kitab-kitab besar lainnya ke dalam bentuk
edisi kitab tercetak (printededition). Padahal dalam setiap kitab
terutama yang dicetak belakangan, proses editing dari manuskrip menjadi
printed edition biasanya didedahkan. Misalnya, sang editor akan
menyatakan jika edisi kitab ini didasarkan pada manuskrip yang tersimpan
di perpustakaan mana, soal variant readingnya dlsb.
Terus
terang, hal yang demikian tidak menjadi perhatian ketika ngaji sebuah
kitab, minimal saya tidak mengalaminya.Untuk pengarang kitab-kitab
tersebut pastilah terlintas di benak saya, karena sebelumnya sudah
mendengar soal mereka dari para kyai di pondok, tapi editor saya tidak
pernah mendengar. Mata saya mulai terbuka ketika mendapatkan kesempatan
melihat secara langsung manuskrip-manuskrip kitab-kitab besar yang
tersimpan dengan rapi di banyak perpustakaan besar di dunia dari mulai
Timur Tengah, Asia Tengah, Amerika, sampai Eropa.
Setelah melihat
manuskrip-manuskrip itu, saya mulai menyadari soal dunia penulisan
kitab pada masa dimana Johannes Gutternberg belum menemukan mesin
cetaknya. Menurut sejarah, Johannes Gutternberg baru menemukan mesin
cetak sekitar tahun 1439 M dan ini berarti proses kepengarangan sudah
melampaui zaman puncak keesaman Islam. Artinya, di dunia Islam, sudah
banyak jutaan buku atau kitab yang beredar. Rezim al-Makmun saja mulai
proyek penerjemahan buku-buku berbahasaYunani pada sekitar abad 8 M.
Belum kitab-kitab yang ditulis oleh para penulis Muslim sendiri, dari
rentang abad 7-14 M.
***
Mengetahui sejarah dan proses
pengalihan versi manuskrip ke dalam versi cetak ini cukup penting bagi
kita pertama untuk mendapatkan kesadaran betapa sulitnya menghadirkan
versi cetak sebuah kitab. Pada masa pra-mesin cetak, semua kitab ditulis
dengan tangan, lalu dikumpulkan dan dijilid. Seorang muʿallif (author)
bisa menuliskan buah pikirnya dengan cara menyalinnya sendiri, namun
tidak jarang yang meminta tangan murid atau sahabatnya untuk
menyalinkannya.
Kitab-kitab yang berjilid-jilid itu tidak hanya
membutuhkan pikiran, tenaga dan waktu, namun juga uang yang besar untuk
mewujudkannya. Pada masa di mana kertas seperti yang kita lihat sekarang
belum ditemukan, orang menulis di atas kertas yang terbuat dari olahan
kulit domba atau hewan sejenis, di mana satu jilid kitab bisa
menghabiskan ratusan kulit domba.Mushaf Qur’an San’a yang tersimpan di
Perpustakaan National Berlin misalnya, konon bisa menghabiskan 300 domba
lebih.
Sekali lagi, ini artinya untuk menulis sebuah kitab
butuh orang kaya yang mampu menfasilitasi penulisan dan penggandaannnya.
Di sinilah, saya jadi mengerti kenapa sebuah kitab sering berkaitan
dengan permintaan seorang raja atau penguasa karena merekalah yang
memiliki uang untuk membiayai penulisan sebuah kitab itu. Sebuah fragmen
hubungan pengarang penguasa yang butuh dipahami lain dari hanya sekadar
relasi kuasa dari yang kuat terhadap yang lemah.
Selain itu,
mengetahui sejarah dan proses manuskrip juga berguna untuk menengarai
tuduhan-tuduhan soal tahrif (pendistorsian redaksi asli) oleh kelompok
tertentu atas sebuah kitab. Sebelum jatuh pada kesimpulan adanya taḥrīf,
kita sebaiknya membaca dulu muqaddimah yang diberikan oleh editornya
dulu. Seorang editor yang baik adalah yang menjelaskan tentang
metodologi taḥqīqnya, termasuk menjelaskan asal usul manuskrip yang dia
kerjakan. Perlu diketahui bahwa sebuah kitab bisa memiliki lebih dari
satu salinan manuskrip. Penyalin ini pun sendiri terkadang hidup pada
zaman yang berbeda dengan pengarang atau penyalin-penyalin lainnya. Atau
sebuah kitab bisa saja ditulis oleh pengarangnya hanya satu saja, lalu
dari yang satu ini ditulis lagi oleh murid dan sahabat-sahabatnya. Dari
proses menulis inilah bisa saja terjadi kekurangan atau hal-hal yang
ketelingsep dan ini hal yang manusiawi saja. Ibn Taymiyyah misalnya,
karena tulisannya tangan jelek sekali dan sulit dibaca oleh orang lain,
maka beliau meminta orang lain untuk menuliskan ulang tulisannya (copy).
Kita mungkin bisa jatuh pada kesimpulan tentang terjadi taḥrīf
pada sebuah printed edition, jika sumber manuskrip yang digunakannya
sama persis dan kita menemukan perbedaannnya di sana. Itu pun itu harus
melihat kredibilitas editornya dulu. Hal ini perlu kita ketahui agar
jika benar terjadi distorsi, maka apakah distorsi tersebut itu
disebabkan oleh cara metodologi muhaqqiq dalam membaca dan mengedit
manuskripnya berbeda atau disebabkan oleh kepentingan ideologis tertentu
dari sang muḥaqqiq. Sudah barang tentu, untuk mengetahuinya secara
pasti butuh studi yang mendalam. Judgment atau prejudice tidak akan
membantu kita banyak kecuali memproduksi kecurigaan-kecurigaan baru.
Kecurigaan sangat penting dalam tradisi pengembangan ilmu pengetahuan,
namun jika kecurigaan bukan perwujudan kebencian yang ideologis.
(Waallāhu ‘alamu bi al-ṣawāb).
SYAFIQ HASYIM, Rais Syuriah PCINU Jerman, meraih Dr. Phil dari Berlin Graduate School Muslim Cultures and Societies, FreieUniversität, Berlin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar