Sabtu, 15 November 2014

Dalil Qiyas dalam Ibadah

DALIL QIYAS DALAM IBADAH, DAN KEBODOHAN WAHABI

WAHABI: “Mengapa Anda banyak melakukan ibadah hasil teori Qiyas?”
SUNNI: “Memangnya kenapa, kalau sebagian ibadah yang kami lakukan berdasarkan dalil Qiyas?”

WAHABI: “Ya jelas sesat, karena dalam kaedah fiqih dijelaskan:

الأصل في العبادة التوقيف

Hukum asal dalam ibadah itu harus ada tuntunan.
Jadi Qiyas dalam tidak boleh dilakukan.”
SUNNI: “Kaedah yang Anda sebutkan, itu terdapat dalam kitab apa? Dan apa dalil dari kaedah yang Anda sebutkan tadi?”

WAHABI: “Maaf, saya hanya dengar-dengar dari sebagian Ustadz kami yang kalian sebut Wahabi.”
SUNNI: “Nah itu kan, kaedah yang Anda sebutkan ternyata tidak ada dalam kitab-kitab para fuqaha terdahulu.
Kaedah yang Anda sebutkan itu sepertinya buatan al-Albani, ulama Wahabi yang tidak mengerti ilmu fiqih, dan berpenampilan seolah-olah ahli hadits. Kaedah yang Anda sebutkan jelas salah, dan tidak benar.”

WAHABI: “Kok bisa, kaedah di atas tidak benar? Dan apa dasarnya bahwa Qiyas boleh dilakukan dalam masalah ibadah?”
SUNNI: “Secara umum kaum Wahabi seperti Anda memang menolak qiyas, baik dalam ibadah maupun selain ibadah, kecuali dalam kondisi terpaksa dan dalam konteks yang terbatas. Karena itu, dalam penggunaan qiyas, kaum Wahabi sangat dekat dengan madzhab Zhahiri. Tentu saja sikap mereka yang anti qiyas tersebut tertolak, baik secara rasional maupun ditinjau dari aspek dalil naqli. Demikian ini bisa dipaparkan dalam penjelasan berikut ini:

Pertama, Islam merupakan agama yang sempurna pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, karena aturan-aturan syariatnya mencakup terhadap semua aspek kehidupan. Akan tetapi cakupan tersebut adakalanya dengan nash atau teks secara eksplisit (sharahah), adakalanya secara isyarat atau implisit, dan adakalanya secara istinbath (proses penggalian hukum) melalui ijma’ atau qiyas. Seandainya Islam itu sempurna dan aturan-aturan syariatnya bersifat paripurna dengan teks-teks yang bersifat eksplisit saja, tentu umat Islam tidak membutuhkan lagi dalil ijma’ dan qiyas. Dan tentu saja dalil-dalil agama akan terbatas pada al-Qur’an dan Sunnah saja. Demikian ini jelas tidak pernah dikatakan oleh siapapun dari kalangan ulama. Jika qiyas dalam ibadah tidak ada, tentu saja tidak butuh terhadap firman Allah:

وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي اْلأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ

“Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri).” (QS. 4 : 83).

Seandainya penggunaan qiyas dalam ibadah termasuk menuduh bahwa Islam belum sempurna atau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam belum menyelesaikan risalahnya, tentu para ulama yang melakukan qiyas adalah orang-orang kafir. Padahal mereka yang melakukan qiyas dalam ibadah adalah para sahabat, tabi’in dan para imam mujtahid. Apakah mereka termasuk orang kafir? Tentu saja tidak. Para sahabat dan para imam telah melakukan qiyas dalam hal ibadah.

WAHABI: “Iya ya. Apakah ada riwayat, bahwa para sahabat melakukan qiyas dalam ibadah?”
SUNNI: “Jelas ada. Para sahabat dan pengikut mereka telah melakukan qiyas dalam hal ibadah, sebagaimana dalam beberapa kasus berikuti ini:
1) Khalifah Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu menjadikan Dzatu ‘Irqin sebagai miqat bagi penduduk Iraq ketika menunaikan ibadah haji, melalui ijtihad atau qiyas dengan dianalogikan pada Qarn, sebagai miqat bagi penduduk Najd. Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ لَمَّا فُتِحَ هَذَانِ الْمِصْرَانِ أَتَوْا عُمَرَ فَقَالُوا يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّ لأَهْلِ نَجْدٍ قَرْنًا وَهُوَ جَوْرٌ عَنْ طَرِيقِنَا وَإِنَّا إِنْ أَرَدْنَا قَرْنًا شَقَّ عَلَيْنَا قَالَ فَانْظُرُوا حَذْوَهَا مِنْ طَرِيقِكُمْ فَحَدَّ لَهُمْ ذَاتَ عِرْقٍ.

“Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Setelah dua kota, Basrah dan Kufah ditaklukkan, mereka mendatangi Khalifah Umar, lalu berkata: “Wahai Amirul Mukmin, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan Qarn sebagai batas miqat bagi penduduk Najd, dan itu jauh dari jalan kami. Dan apabila kami hendak ke Qarn, kami terasa berat.” Ia menjawab: “Lihatlah daerah yang lurus Qarn di jalan kalian.” Lalu Umar menjadikan Dzatu ‘Irqin sebagai batas miqat bagi penduduk Iraq.” (HR. al-Bukhari, [1531]).

Al-Syaukani berkata, dari redaksi hadits di atas, tampaknya Khalifah Umar menetapkan Dzatu ‘Irqin sebagai batas miqat berdasarkan ijtihad atau qiyas. (Al-Syaukani, Nail al-Authar, 4/33). Dalam riwayat Ahmad [4455], terdapat tambahan, bahwa para sahabat menganalogikan Dzatu ‘Irqin dengan Qarn.

2) Para sahabat, dipimpin Khalifah Umar radhiyallahu ‘anhum menetapkan hukuman had bagi peminum khamr dengan 80 cambukan, dengan dianalogikan pada hukuman qadzaf (menuduh berzina), dengan alasan bahwa peminum khamr, itu mabuk. Jika mabuk dia akan meracau. Jika meracau, akan membuat tuduhan dusta. Sedangkan hukuman had penuduh adalah 80 cambukan. Karena itu para sahabat mencambuk peminum khamr dengan 80 cambukan. Al-Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya:

عَنْ عَلِىٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ جَلَدَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم أَرْبَعِينَ وَجَلَدَ أَبُو بَكْرٍ أَرْبَعِينَ وَعُمَرُ ثَمَانِينَ وَكُلٌّ سُنَّةٌ.

“Ali radhiyallahu ‘anhu berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mencambuk 40 kali, Abu Bakar 40 kali, dan Umar 80 kali. Semuanya adalah sunnah.” (HR. Muslim [4554]).
Para ulama salaf, setelah generasi sahabat juga melakukan qiyas dalam hal ibadah. Para ulama tabi’in dan imam mujtahid banyak sekali melakukan qiyas dalam hal ibadah. Hal ini bisa dicontohkan dalam banyak kasus antara lain kasus hukum zakat:

Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa illat atau alasan kewajiban zakat dalam pertanian dan buah-buahan adalah faktor dapat menguatkan (iqtiyat) dan dapat disimpan (iddikhar). Oleh karena itu mereka mewajibkan zakat terhadap gandum, sya’ir, jagung, kurma, kacang, kacang himmish, kacang turmus dan julban. Bahkan madzhab Maliki mencatat dua puluh jenis hasil pertanian yang wajib dizakati, padahal yang dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, hanya lima jenis saja, dengan alasan sama-sama menjadi makanan yang menguatkan dan dapat disimpan.

Sementara Imam Ahmad bin Hanbal, menurut pendapat yang paling populer dari beliau, alasan atau illat wajib zakat dalam pertanian adalah dapat dikeringkan dan mampu bertahan (al-yabas wa al-baqa’). Oleh karena itu, setiap hasil pertanian atau buah-buahan yang dapat dikeringkan dan mampu bertahan, wajib dizakati. Hal ini seperti gandum sult, beras, gandum dukhn, kacang masy, buah cumin, biji rami, biji mentimun, kerai, biji lobak, sesame, badam, kenari, kemiri dan lain-lain. (Al-Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni, juz 2 hlm 290-292).

Sementara Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa alasan atau illat wajib zakat pada pertanian dan buah-buahan adalah dapat mendatangkan hasil dan dapat dikembangkan (al-istighlal wa al-nama’). Oleh karena itu, Abu Hanifah mewajibkan zakat pada setiap tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan yang keluar dari bumi, yang bertujuan diambil hasilnya dan dikembangkan. Sehingga seandainya seseorang memiliki lahan, ditanami bambu atau rumput, maka wajib dikeluarkan zakatnya. (Ibnu al-Humam, Fath al-Qadir, juz 2 hlm 502).

Di sisi lain, para sahabat dan generasi berikutnya juga banyak melakukan tambahan ibadah yang belum pernah dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Antara lain:

1) Khalifah Umar bin al-Khaththab mengumpulkan umat Islam dalam shalat taraweh pada seorang imam. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam belum pernah mengumpulkan mereka pada satu orang imam. Khalifah Umar berkata mengenai kebijakan tersebut, “Sebaik-baik bid’ah adalah taraweh ini.” (HR al-Bukhari [2010]).

2) Dalam bab zakat, Khalifah Umar menambah jenis kewajiban zakat, yaitu zakat kuda. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam belum pernah mengambil zakatnya kuda.(Lihat, al-Hafizh al-Zaila’i, Nashb al-Rayah, juz 1 hlm 359). Pendapat senada juga diambil oleh Khalifah Utsman bin Affan dan Zaid bin Tsabit, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Hazm dalam al-Muhalla (juz 5 hlm 226).

3) Banyak dari kalangan sahabat yang melakukan tambahan dalam bacaan talbiyah mereka ketika menunaikan ibadah haji, melebihi bacaan talbiyah yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka antara lain Abdullah bin Umar dalam riwayat Muslim dan lain-lain.

4) Al-Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dengan sanad yang shahih:

عَنِ ابْنِ سِيْرِيْنَ أَنَّ أَنَسَ بْنِ مَالِكٍ : شَهِدَ جَنَازَةَ رَجُلٍ مِنَ اْلأَنْصَارِ قَالَ فَأَظْهَرُوا اْلاِسْتِغْفَارَ فَلَمْ يُنْكِرْ ذَلِكَ أَنَسٌ

“Dari Ibnu Sirin, bahwa Anas bin Malik menghadiri jenazah seorang laki-laki dari kaum Anshar. Lalu orang-orang membaca istighfar dengan suara keras. Ternyata Anas tidak mengingkari terhadap mereka.” (HR. Ahmad [4080]).
Dalam hadits di atas, Anas bin Malik tidak mengingkari atau memprotes terhadap mereka yang membaca istighfar dengan suara keras di hadapan jenazah. Padahal bacaan tersebut belum pernah dilakukan pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Dalam kitab-kitab hadits masih banyak kasus-kasus lain, di mana para sahabat melakukan hal-hal yang belum pernah ada pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Semuanya menunjukkan bahwa ijtihad dan qiyas dalam masalah ibadah telah dipraktekkan sejak masa sahabat. Oleh karena itu, para ulama salaf berikutnya juga melakukan qiyas dalam ibadah. Al-Imam Ahmad bin Hanbal, misalnya telah diriwayatkan:

وَسُئِلَ أَحْمَد ُعَنِ الْقُنُوْتِ فِي الْوِتْرِ قَبْلَ الرُّكُوْعِ أَمْ بَعْدَهُ وَهَلْ تُرْفَعُ اْلأَيْدِي فِي الدُّعَاءِ فِي الْوِتْرِ؟ فَقَالَ: اَلْقُنُوْتُ بَعْدَ الرُّكُوْعِ وَيَرْفَعُ يَدَيْهِ وَذَلِكَ عَلىَ قِيَاسِ فِعْلِ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْقُنُوْتِ فِي الْغَدَاةِ.

“Al-Imam Ahmad ditanya tentang qunut dalam shalat witir, sebelum ruku’ atau sesudahnya, dan apakah dengan mengangkat tangan dalam doa ketika shalat witir?” Beliau menjawab: “Qunut dilakukan setelah ruku’, dan mengangkat kedua tangannya ketika berdoa. Demikian ini diqiyaskan pada perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam qunut shalat shubuh.” HR. Ibnu Nashr al-Marwazi dalam Qiyam al-Lail, hal. 318.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz, mufti Wahabi Saudi Arabia, yang wafat beberapa waktu yang lalu, juga melakukan qiyas dalam bab ibadah. Dalam hal ini, beliau berfatwa:

حُكْمُ رَفْعِ الْيَدَيْنِ فِي دُعَاءِ الْوِتْرِ

س: مَا حُكْمُ رَفْعِ الْيَدَيْنِ فِي الْوِتْرِ؟

ج: يُشْرَعُ رَفْعُ الْيَدَيْنِ فِيْ قُنُوْتِ الْوِتْرِ؛ لأَنَّهُ مِنْ جِنْسِ الْقُنُوْتِ فِي النَّوَازِلِ، وَقَدْ ثَبَتَ عَنْهُ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ رَفَعَ يَدَيْهِ حِيْنَ دُعَائِهِ فِيْ قُنُوْتِ النَّوَازِلِ. خَرَّجَهُ الْبَيْهَقِيُّ رَحِمَه ُاللهُ بِإِسْنَادٍ صَحِيْحٍ .

“Hukum mengangkat kedua tangan dalam doa witir. Soal: Bagaimana hukum mengangkat kedua tangan dalam shalat witir? Jawab: Disyariatkan (dianjurkan) mengangkat kedua tangan dalam qunut shalat witir, karena termasuk jenis qunut nazilah (yang dilakukan karena ada bencana). Dan telah sah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau mengangkat kedua tangannya dalam doa qunut nazilah. Hadits tersebut diriwayatkan oleh al-Baihaqi rahimahullah dengan sanad yang shahih.” (Fatawa Islamiyyah, juz 1 hal. 349, dan Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, juz 30 hal. 51.)

Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa qiyas termasuk sumber pengambilan hukum syari’at, termasuk hukum-hukum ibadah. Sedangkan asumsi sebagian kaum Wahabi bahwa qiyas tidak boleh dilakukan dalam bab ibadah, jelas tertolak, karena tidak memiliki landasan dari al-Qur’an, Sunnah dan tradisi para sahabat dan kaum salaf. Wallahu a’lam.

WAHABI: “Terima kasih ilmunya.”
Muhammad Idrus Ramli

 

Catatan :


الأصل في العبادات التوقيف

kaidah tsb terdpt dlm kitab2 ulama semisal SYARH BAHJAH WARDIYYAH karya Zakariya alAnshori asySyafii (w. 926), SYARH ZUBAD karya arRomly asySyafii(w.1004), QOWAID NURONIYYAH karya
Ibnu Taimiyyah

Imam Syafi’i RA berkata :

 اَلبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ, بِدْعَة ٌمَحْمُودَةٌ وَبِدْعَةِ مَذْمُوْمَةٌ فِيْمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدَةٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُومْ.

  “Bid’ah itu ada dua ; bid’ah yang terpuji dan yang tercela. Bid’ah yang sesuai dengan sunnah (syariat) adalah bid’ah yang terpuji, sedangkan yang menyelisihi sunnah adalah bid’ah tercela." (al-Baihaqi dalam kitab Manaqib asy-Syafi'i).

Sedekah kepada Mayat


اِذَامَاتَ ابْنُ ادَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ اَوْوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ


سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِىَّ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَارَسُوْلَ اللهِ اِنَّ اُمِى مَاتَتْ افَيَنْفَعُهَا اِنْ تَصَدَّقْتَ عَنْهَا ؟ قَالَ نَعَمْ


حديث بريدة قال : قال رسول الله صلى الله علية وسلم :"قد كنت نهيتكم عن زيارة القبور فقد أذن لمحمد في زيارة قبر أمه فزورها فإنها تذكر الآخرة"رواة الترمذي (3/370


Semoga bermanfaat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar