Membaca Sesatnya Salafi, Wahabi dan Khawarij
Dalam melihat faktor kemunculan pemikiran untuk kembali kepada pendapat Salaf menurut Imam Ahmad bin Hanbal dapat diperhatikan dari kekacauan pada zaman itu. Sejarah membuktikan, saat itu, dari satu sisi, kemunculan pemikiran liberalisme yang diboyong oleh pengikut Muktazilah, yang meyakini keikutsertaan dan kebebasan akal secara ekstrem serta radikal dalam proses memahami agama. Sedang di sisi lain, munculnya pemikiran filsafat yang banyak diadopsi dari budaya luar agama, menyebabkan munculnya rasa putus asa dari beberapa kelompok ulama Islam, termasuk Ahmad bin Hanbal. Untuk lari dari pemikiran-pemikiran semacam itu, lantas Ahmad bin Hanbal memutuskan untuk kembali kepada metode para Salaf dalam memahami agama, yaitu dengan cara tekstual.Akhir-akhir ini, di Tanah Air kita muncul banyak sekali kelompok-kelompok pengajian dan studi keislaman yang mengidentitaskan diri mereka sebagai pengikut dan penyebar ajaran para Salaf Saleh.Mereka sering mengatasnamakan diri mereka sebagai kelompok Salafi. Dengan didukung dana yang teramat besar dari negara donor, yang tidak lain adalah negara asal kelompok ini muncul, mereka menyebarkan akidah-akidah yang bertentangan dengan ajaran murni keislaman baik yang berlandaskan al-Quran, hadis, sirah dan konsensus para salaf maupun khalaf.Dengan menggunakan ayat-ayat dan hadis yang diperuntukkan bagi orang-orang kafir, zindiq dan munafiq, mereka ubah tujuan teks-teks tersebut untuk menghantam para kaum muslimin yang tidak sepaham dengan akidah mereka. Mereka beranggapan, bahwa hanya akidah mereka saja yang mengajarkan ajaran murni monoteisme dalam tubuh Islam, sementara ajaran selainnya, masih bercampur syirik, bid’ah, khurafat dan takhayul yang harus dijauhi, karena sesat dan menyesatkan. Untuk itu, dalam makalah ringkas ini akan disinggung selintas tentang apa dan siapa mereka. Sehingga dengan begitu akan tersingkap kedok mereka selama ini, yang mengaku sebagai bagian dari Ahlusunnah dan penghidup ajaran Salaf Saleh.
Definisi Salafi jika dilihat dari sisi bahasa, Salaf berarti yang telah lalu.2 Sedang dari sisi istilah, salaf diterapkan untuk para sahabat Nabi, tabi’in dan tabi’ tabi’in yang hidup di abad-abad permulaan kemunculan Islam.3 Jadi, salafi adalah kelompok yang ‘mengaku’ sebagai pengikut pemuka agama yang hidup di masa lalu dari kalangan para sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in. Baik yang berkaitan dengan akidah, syariat dan prilaku keagamaan.4 Bahkan sebagian menambahkan bahwa Salaf mencakup para Imam Mazhab, sehingga salafi adalah tergolong pengikut mereka dari sisi semua keyakinan keagamaannya.5 Muhammad Abu Zuhrah menyatakan bahwa Salafi adalah kelompok yang muncul pada abad keempat hijriyah, yang mengikuti Imam Ahmad bin Hanbal. Kemudian pada abad ketujuh hijriyah dihidupkan kembali oleh Ibnu Taimiyah.6Pada hakikatnya, kelompok yang mengaku sebagai salafi, yang dapat kita temui di Tanah Air sekarang ini, mereka adalah golongan Wahabi yang telah diekspor oleh pemuka-pemukanya dari dataran Saudi Arabia.Dikarenakan istilah Wahabi begitu berkesan negatif, maka mereka mengatasnamakan diri mereka dengan istilah Salafi, terkhusus sewaktu ajaran tersebut diekspor keluar Saudi. Kesan negatif dari sebutan Wahabi buat kelompok itu bisa ditinjau dari beberapa hal, salah satunya adalah dikarenakan sejarah kemunculannya banyak dipenuhi dengan pertumpahan darah kaum muslimin, terkhusus pasca kemenangan keluarga Saud—yang membonceng seorang rohaniawan menyimpang bernama Muhammad bin Abdul Wahab an-Najdi—atas semua kabilah di jazirah Arab atas dukungan kolonialisme Inggris. Akhirnya keluarga Saud mampu berkuasa dan menamakan negaranya dengan nama keluarga tersebut. Inggris pun akhirnya dapat menghilangkan dahaga negaranya dengan menyedot sebagian kekayaan negara itu, terkhusus minyakbumi. Sedang pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab, resmi menjadi akidah negara tadi yang tidak bisa diganggu gugat. Selain menindak tegas penentang akidah tersebut, Muhammad bin Abdul Wahab juga terus melancarkan aksi ekspansinya ke segenap wilayah-wilayah lain di luar wilayah Saudi.Sayyid Hasan bin Ali as-Saqqaf, salah satu ulama Ahlusunnah yang sangat getol mempertahankan serangan dan ekspansi kelompok wahabisme ke negara-negara muslim, dalam salah satu karyanya yang berjudul “as-Salafiyah al-Wahabiyah” menyatakan: “Tidak ada perbedaan antara salafiyah dan wahabiyah. Kedua istilah itu ibarat dua sisi pada sekeping mata uang. Mereka (kaum salafi dan wahabi) satu dari sisi keyakinan dan pemikiran. Sewaktu di Jazirah Arab mereka lebih dikenal dengan al-Wahhabiyah al-Hanbaliyah. Namun, sewaktu diekspor keluar (Saudi), mereka mengatasnamakan dirinya sebagai Salafy.” Sayyid as-Saqqaf menambahkan: “Maka kelompok salafi adalah kelompok yang mengikuti Ibnu Taimiyah dan mengikuti ulama mazhab Hanbali. Mereka semua telah menjadikan Ibnu Taimiyah sebagai imam, tempat rujukan (marja’), dan ketua. Ia (Ibnu Taimiyah) tergolong ulama mazhab Hanbali. Sewaktu mazhab ini berada di luar Jazirah Arab, maka tidak disebut dengan Wahabi, karena sebutan itu terkesancelaan.”
Dalam menyinggung masalah para pemuka kelompok itu, kembali Sayyid as-Saqqaf mengatakan: “Pada hakikatnya, Wahabiyah terlahir dari Salafiyah. Muhammad bin Abdul Wahab adalah seorang yang menyeru untuk mengikuti ajaran Ibnu Taimiyah dan para pendahulunya dari mazhab Hanbali, yang mereka kemudian mengaku sebagai kelompok Salafiyah.” Dalam menjelaskan secara global tentang ajaran dan keyakinan mereka, as-Saqqaf mengatakan: “Al-Wahabiyah atau as-Salafiyah adalah pengikut mazhab Hanbali, walaupun dari beberapa hal pendapat mereka tidak sesuai lagi (dan bahkan bertentangan) dengan pendapat mazhab Hanbali sendiri. Mereka sesuai (dengan mazhab Hanbali) dari sisi keyakinan tentang at-Tasybih (Menyamakan Allah dengan makhluk-Nya), at-Tajsim (Allah berbentuk mirip manusia), dan an-Nashb yaitu membenci keluarga Rasul saw. (Ahlul-Bait) dan tiada menghormati mereka.”8Jadi, menurut as-Saqqaf, kelompok yang mengaku Salafi adalah kelompok Wahabi yang memiliki sifat Nashibi(pembenci keluarga Nabi saw.), mengikuti pelopornya, Ibnu Taimiyah.Pelopor Pemikiran “Kembali ke Metode Ajaran Salaf”Ahmad bin Hanbal adalah sosok pemuka hadis yang memiliki karya terkenal, yaitu kitab “Musnad”. Selain sebagai pendiri mazhab Hanbali, ia juga sebagai pribadi yang menggalakkan ajaran kembali kepada pemikiran Salaf Saleh. Secara umum, metode yang dipakai oleh Ahmad bin Hanbal dalam pemikiran akidah dan hukum fikih, adalah menggunakan metode tekstual. Oleh karenanya, ia sangat keras sekali dalam menentang keikutsertaan dan penggunaan akal dalam memahami ajaran agama.Ia beranggapan, kemunculan pemikiran logika, filsafat, ilmu kalam (teologi) dan ajaran-ajaran lain—yang dianggap ajaran di luar Islam yang kemudian diadopsi oleh sebagian muslim—akan membahayakan nasib teks-teks agama.Dari situ akhirnya ia menyerukan untuk berpegang teguh terhadap teks, dan mengingkari secara total penggunaan akal dalam memahami agama, termasuk proses takwil rasional terhadap teks. Ia beranggapan, bahwa metode itulah yang dipakai Salaf Saleh dalam memahami agama, dan metode tersebut tidak bisa diganggu gugat kebenaran dan legalitasnya. Syahrastani yang bermazhab ‘Asyariyah dalam kitab “al-Milal wa an-Nihal” sewaktu menukil ungkapan Ahmad bin Hanbal yang menyatakan: “Kita telah meriwayatkan (hadis) sebagaimana adanya, dan hal (sebagaimana adanya) itu pula yang kita yakini.”9 Konsekuensi dari ungkapan Ahmad bin Hanbal di atas itulah, akhirnya ia beserta banyak pengikutnya—termasuk Ibnu Taimiyah—terjerumus ke dalam jurang kejumudan dan kaku dalam memahami teks agama.
Salah satu dampak konkret dari metode di atas tadi adalah, keyakinan akan tajsim (anthropomorphisme) dan tasybih dalam konsep ketuhanan, lebih lagi kelompok Salafi kontemporer, pendukung ajaran Ibnu Taimiyahal-Harrani yang kemudian tampuk kepemimpinannya dilanjutkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi.Suatu saat, datang seseorang kepada Ahmad bin Hanbal. Lantas, ia bertanya tentang beberapa hadis. Hingga akhirnya, pertanyaan sampai pada hadis-hadis semisal: “Tuhan pada setiap malam turun ke langit Dunia.”, “Tuhan bisa dilihat.”, “Tuhan meletakkan kaki-Nya ke dalam Neraka.” dan hadis-hadis semisalnya. Lantas ia (Ahmad bin Hanbal) menjawab: “Kita meyakini semua hadis-hadis tersebut. Kita membenarkan semua hadis tadi, tanpa perlu terhadap proses pentakwilan.”10Jelas metode semacam ini tidak sesuai dengan ajaran al-Quran dan as-Sunnah itu sendiri. Jika diperhatikan lebih dalam lagi, betapa al-Quran dalam ayat-ayatnya sangat menekankan penggunaan akal dan pikiran dalam bertindak.11Begitu juga hadis-hadis Nabi saw. Selain itu, pengingkaran secara mutlak campur tangan akal dan pikiran manusia dalam memahami ajaran agama akan mengakibatkan kesesatan dan bertentangan dengan ajaran al-Quran dan as-Sunnah itu sendiri. Dapat kita contohkan secara singkat penyimpangan yang terjadi akibat penerapan konsep tadi. Jika terdapat ayat semisal “Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arasy.”12 atau seperti hadis yang menyatakan “Sesungguhnya Allah turun ke langit dunia pada setiap malam.”13 Lantas, di sisi lain kita tidak boleh menggunakan akal dalam memahaminya, bahkan cukup menerima teks sebagaimana adanya, maka kita akan terbentur dengan ayat lain dalam al-Quran seperti ayat “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia.”14 Apakahayat dari surat Thoha tadi berartikan bahwa Allah bertengger di atas singgasana Arasy sebagaimana Ibnu Taimiyah duduk di atas mimbar, atau turun ke langit dunia sebagaimana Ibnu Taimiyah turun dari atas mimbarnya, yang itu semua berarti bertentangan dengan ayat dari surat as-Syuura di atas.Jadi akan terjadi kontradiksi dalam memahami hakikat ajaran agama Islam. Mungkinkah Islam sebagai agama paripurna akan terdapat kontradiksi? Semua kaum muslim pasti akan menjawabnya dengan negatif, apalagi berkaitan dengan al-Quran sebagai sumber utama ajaran Islam.Melihat kelemahan metode dasar yang ditawarkan oleh Ahmad bin Hanbal semacam ini, meniscayakan adanya pengeroposan ajaran-ajaran yang bertumpu pada metode tadi. Dalam masalah ini, kembali as-Sahrastani mengatakan: “Berbagai individu dari Salaf telah menetapkan sifat azali Tuhan, semisal; sifat Ilmu, Kemampuan (Qudrat) … dan mereka tidak membedakan antara sifat Dzati dan Fi’li. Sebagaimana mereka juga telah menetapkan sifat khabariyah buat Tuhan, seperti; dua tangan dan wajah Tuhan. Mereka tidak bersedia mentakwilnya, dan mengatakan: itu semua adalah sifat-sifat yang terdapat dalam teks-teks agama.
Semua itu kita sebut sebagai sifat khabariyah.” Dalam kelanjutan dari penjelasan mengenai kelompok Salafi tadi, kembali as-Sahrastani mengatakan: “Para kelompok Salafi kontemporer meyakini lebih dari para kelompok Salaf itu sendiri. Mereka menyatakan, sifat-sifat khabari bukan hanya tidak boleh ditakwil, namun harus dimaknai secara zahir. Oleh karenanya, dari sisi ini, merekatelah terjerumus ke dalam murni keyakinan tasybih. Tentu, permasalahan semacam ini bertentangan dengan apa yang diyakini oleh para salaf itu sendiri.”15 Jadi sesuai dengan ungkapan Syahrastani, bahwa mayoritas para pengikut kelompok Salafi kontemporer telah menyimpang dari keyakinan para Salaf itu sendiri. Itu jika kita telaah secara global tentang konsep memahami teks. Akibatnya, mereka akan terjerumus kepada kesalahan fatal dalam mengenal Tuhan, juga dalam permasalahan-permasalahan lainnya. Padahal, masih banyak lagi permasalahan-permasalahan lain yang jelas-jelas para Salaf meyakininya, sedang pengaku pengikut salaf kontemporer (salafi) justru mengharamkan dengan alasan syirik, bidah, ataupun khurafat. Perlu ada tulisan tersendiri tentang hal-hal tadi, dengan disertai kritisi pendapat dan argumentasi para pendukung kelompok Wahabisme.16Itulah yang menjadi alasan bahwa para pengikut Salafi (kontemporer) itu sudah banyak menyimpang dari ajaran para Salaf itu sendiri,termasuk sebagian ajaran imam Ahmad bin Hanbal sendiri.17Faktor Munculnya Kelompok SalafiDalam melihat faktor kemunculan pemikiran untuk kembali kepada pendapat Salaf menurut Imam Ahmad bin Hanbal dapat diperhatikan dari kekacauan pada zaman itu. Sejarah membuktikan, saat itu, dari satu sisi, kemunculan pemikiran liberalisme yang diboyong oleh pengikut Muktazilah, yang meyakini keikutsertaan dan kebebasan akal secara ekstrem dan radikal dalam proses memahami agama. Sedang di sisi lain, munculnya pemikiran filsafat yang banyak diadopsi dari budaya luar agama, menyebabkan munculnya rasa putus asa dari beberapa kelompok ulama Islam, termasuk Ahmad bin Hanbal. Untuk lari dari pemikiran-pemikiran semacam itu, lantas Ahmad bin Hanbal memutuskan untuk kembali kepada metode para Salaf dalam memahami agama, yaitu dengan cara tekstual.Syeikh Abdul Aziz ‘Izzuddin as-Sirwani dalam menjelaskan faktor kemunculan pemikiran kembali kepada metode Salaf, mengatakan: “Dikatakan bahwa penyebab utama untuk memegang erat metode itu—yang sangat nampak pada pribadi Ahmad bin Hanbal—adalah dikarenakan pada zamannya banyak sekali dijumpai fitnah-fitnah, pertikaian dan perdebatan teologis. Dari sisi lain, berbagai pemikiran aneh, keyakinan-keyakinan yang bermacam-macam dan beraneka ragam budaya mulai bermunculan. Bagaimana mungkin semua itu bisa muncul di khasanah keilmuan Islam. Oleh karenanya, untuk menyelamatkan keyakinan-keyakinan Islam, maka ia menggunakan metode kembali ke pemikiran Salaf.”18 Hal semacam itu pula yang dinyatakan oleh as-Syahrastani dalam kitab al-Milal wa an-Nihal.Fenomena semacam ini juga bisa kita perhatikan dalam sejarah hidup Abu Hasan al-Asy’ari pendiri mazhab al-Asyariyah. Setelah ia mengumumkan diri keluar dari ajaran Muktazilah yang selama ini ia dapati dari ayah angkatnya, Abu Ali al-Juba’i seorang tokoh Muktazilah di zamannya.
Al-Asy’ari dalam karyanya yang berjudul “al-Ibanah” dengan sangat jelas menggunakan metode mirip yang digunakan oleh Ahmad bin Hanbal. Namun karena ia melihat bahwa metode semacam itu terlampau lemah, maka ia agak sedikit berganti haluan dengan mengakui otoritas akal dalam memahami ajaran agama, walau dengan batasan yang sangat sempit. Oleh karenanya, dalam karya lain yang diberi judul “al-Luma’” nampak sekali betapa ia masih mengakui campur tangan dan keturutsertaan akal dalam memahami ajaran agama, berbeda dengan metode Ahmad bin Hanbal yang menolak total keikutsertaan akal dalam masalah itu.
Dikarenakan al-Asy’ari hidup di pusat kebudayaan Islam kala itu, yaitu kota Baghdad, maka sebutanAhlusunnah pun akhirnya diidentikkan dengan mazhabnya. Sedang mazhab Thohawiyah dan Maturidiyah yang kemunculannya hampir bersamaan dengan mazhab Asyariyah dan memiliki kemiripan dengannya, menjadi kalah pamor di mata mayoritas kaum muslimin, apalagi ajaran Ahmad bin Hanbal sudah tidak lagi dilirik oleh kebanyakan kaum muslimin. Lebih-lebih pada masa kejayaan Ahlusunnah, kemunculan kelompok Salafi kontemporer yang dipelopori oleh Ibnu Taimiyah yang sebagai sempalan dari mazhab ImamAhmad bin Hanbal, pun tidak luput dari ketidaksimpatian kelompok mayoritas Ahlusunnah. Ditambah lagi dengan penyimpangan terhadap akidah Salaf yang dilakukan Salafi kontemporer (pengikut Ibnu Taimiyah)—yang dikomandoi oleh Muhammad bin Abdul Wahab an-Najdi—serta tindakan arogan yang dilancarkan para pengikut Salafi tersebut terhadap kelompok lain yang dianggap tidak sependapat dengan pemikiran mereka.Kecurangan Kelompok SalafiSetiap golongan bukan hanya berusaha untuk selalu mempertahankan kelangsungan golongannya, namun mereka juga berusaha untuk menyebarkan ajarannya. Itu merupakan suatu hal yang wajar. Akan tetapi, tingkat kewajarannya bukan hanya bisa dinilai dari sisi itu saja, namun juga harus dilihat dari cara dan sarana yang dipakai untuk mempertahankan kelangsungan dan penyebaran ajaran golongan itu. Dari sisi ini, kelompok Salafi banyak melakukan beberapa kecurangan yang belum banyak diketahui oleh kelompok muslim lainnya.Selain kelompok Ahlusunnah biasa, kelompok Ahli Tasawwuf dari kalangan Ahlusunnah dan kelompok Syiah (di luar Ahlusunnah) merupakan kelompok-kelompok di luar Wahabi (Salafi) yang sangat gencar diserang oleh kelompok Salafi. Kelompok Salafi tidak segan-segan melakukan hal-hal yang tidak ‘gentle’ dalam menghadapi kelompok-kelompok selain Salafi, terkhusus Syiah. Menuduh kelompok lain dari saudara-saudaranya sesama muslim sebagai ahli bid’ah, ahli khurafat, musyrikadalah kebiasaan buruk kaum Salafi, walaupun kelompok tadi tergolong Ahlusunnah. Di sisi lain, mereka sendiri terus berusaha untuk disebut dan masuk kategori kelompok Ahlusunnah. Berangkat dari sini, kaum Salafi selalu mempropagandakan bahwa Syiah adalah satu kelompok yang keluar dari Islam, dan sangat berbeda dengan pengikut Ahlusunnah. Mereka benci dengan usaha-usaha pendekatan dan persatuan Sunnah-Syiah, apalagi melalui forum dialog ilmiah. Mereka berpikir bahwa dengan mengafirkan kelompok Syiah, maka mereka akan dengan mudah duduk bersama dengan kelompok Ahlusunnah.
Padahal realitanya tidaklah semacam itu. Karena mereka selalu menuduh kelompok Ahlusunnah sebagai pelaku Bid’ah, Khurafat, Takhayul dan Syirik. Mereka berpikir, sewaktu seorang pengikut Ahlusunnah melakukan ziarah kubur, tahlil, membaca salawat dan pujian terhadap Nabi, istighotsah, bertawassul dan mengambil berkah (tabarruk) berarti ia telah masuk kategori pelaku syirik atau ahli bid’ah yang telah jelaskonsekuensi hukumnya dalam ajaran Islam.Cara itu juga yang mereka lakukan terhadap para pengikut tasawuf dan tarekat yang banyak ditemui dalam tubuh Ahlusunnah sendiri, khususnya di Indonesia.Segala bentuk makar dan kebohongan untuk menghadapi rival akidahnya merupakan hal mubah di mata pengikut Salafi (Wahabi), karena kelompok Salafi masih terus beranggapan bahwa selain kelompoknya masih dapat dikategorikan pelaku syirik, bid’ah, khurafat dan takhayul. Perlakuan mereka terhadap kaum muslimin pada musim haji merupakan bukti yang tidak dapat diingkari.Yang lebih parah dari itu, para pendukung kelompok Salafi—yang didukung dana begitu besar—berani melakukan perubahan pada kitab-kitab standar Ahlusunnah, demi untuk menguatkan ajaran mereka, yang dengan jelas tidak memiliki akar sejarah dan argumentasi (tekstual dan rasional) yang kuat. Dengan melobi para pemilik percetakan buku-buku klasik agama yang menjadi standar ajaran—termasuk kitab-kitab hadis dan tafsir—mereka berani mengeluarkan dana yang sangat besar untuk mengubah beberapa teks (hadis ataupun ungkapan para ulama) yang dianggap merugikan kelompok mereka.Kita ambil contoh apa yang diungkapkan oleh Syeikh Muhammad Nuri ad-Dirtsawi, beliau mengatakan: “Mengubah dan menghapus hadis-hadis merupakan kebiasaan buruk kelompok Wahabi. Sebagai contoh, Nukman al-Alusi telah mengubah tafsir yang ditulis oleh ayahnya, Syeikh Mahmud al-Alusi yang berjudul Ruh al-Ma’ani. Semua pembahasan yang membahayakan kelompok Wahabi telah dihapus. Jika tidak ada perubahan, niscaya tafsirbeliau menjadi contoh buat kitab-kitab tafsir lainnya. Contoh lain, dalam kitab al-Mughni karya Ibnu Qodamah al-Hanbali, pembahasan tentang istighotsah telah dihapus, karena hal itu mereka anggap sebagai bagian dari perbuatan Syirik. Setelah melakukan perubahan tersebut, baru mereka mencetaknya kembali.Kitab Syarah Shahih Muslim pun (telah diubah) dengan membuang hadis-hadis yang berkaitan dengan sifat-sifat (Allah), kemudian baru mereka mencetaknya kembali.”20Namun sayang, banyak saudara-saudara dari Ahlusunnah lalai dengan apa yang mereka lakukan selama ini. Perubahan-perubahan semacam itu, terkhusus mereka lakukan pada hadis-hadis yang berkaitan dengan keutamaan keluarga (Ahlul-Bait) Nabi saw. Padahal, salah satu sisi kesamaan antara Sunni-Syiah adalah pemberian penghormatan khusus terhadap keluarga Nabi. Dari sinilah akhirnya pribadi seperti Sayyid Hasan bin Ali as-Saqqaf menyatakan bahwa mereka tergolong kelompok Nashibi (pembenci keluarga Rasul).Dalam kitab tafsir Jami’ al-Bayan, sewaktu menafsirkan ayat 214 dari surat as-Syu’ara: “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabat-mu yang terdekat,” di situ, Rasulullah mengeluarkan pernyataan berupa satu hadis yang berkaitan dengan permulaan dakwah.
Pada hadis yang tercantum dalam kitab tafsir tersebut disebutkan, Rasul bersabda: “Siapakah di antara kalian yang mau menjadi wazir dan membantuku dalam perkara ini—risalah—maka akan menjadi saudaraku…(kadza…wa…kadza)….” Padahal, jika kita membuka apa yang tercantum dalam Tarikh at-Thabari kata “kadza wa kadza” (yang dalam penulisan buku berbahasa Indonesia, biasa digunakan titik-titik) sebagai ganti dari sabda Rasul yang berbunyi: “Washi (pengganti) dan Khalifahku.” Begitu pula hadis-hadis semisal, “Aku adalah kota ilmu, sedang Ali adalah pintunya,” yang dulu tercantum dalam kitab Jaami’ al-Ushul karya Ibnu Atsir, kitab Tarikh al-Khulafa’ karya as-Suyuthi dan as-Showa’iq al-Muhriqoh karya Ibnu Hajar yang beliaunukil dari Shahih at-Turmudzi, kini telah mereka hapus. Melakukan peringkasan kitab-kitab standar, juga sebagai salah satu trik mereka untuk tujuan yang sama.Dan masih banyak usaha-usaha licik lain yang mereka lancarkan, demi mempertahankan ajaran mereka, terkhusus ajaran kebencian terhadap keluarga Nabi. Sementara sudah menjadi kesepakatan kaum muslimin, bahwa mencintai keluarga Nabi adalah suatu kewajiban, sebagaimana Syair yang pernah dibawakan oleh imam Syafi’i:“Jika mencintai keluarga Muhammad adalah Rafidhi (Syiah), maka saksikanlah wahai ats-Tsaqolaan (jin dan manusia) bahwa aku adalah Rafidhi.”21Salafi (Wahabi) dan KhawarijTidak berlebihan kiranya jika sebagian orang beranggapan bahwa kaum Wahabi (Salafi) memiliki banyak kemiripan dengan kelompok Khawarij. Melihat, dari sejarah yang pernah ada, kelompok Khawarij adalah kelompok yang sangat mirip sepak terjang dan pemikirannya dengan kelompok Wahabi.Oleh karenanya, bisa dikatakan bahwa kelompok Wahabi adalah pengejawantahan kelompok Khawarij di masa sekarang ini. Di sini, secara singkat bisa disebutkan beberapa sisi kesamaan antara kelompok Wahabi dengan golongan Khawarij yang dicela melalui lisan suci Rasulullah saw., di mana Rasul memberi julukan golongan sesat itu (Khawarij) dengan sebutan “mariqiin”, yang berarti ‘lepas’ dari Islam sebagaimana lepasnya anak panah dari busurnya.22Paling tidak ada enam kesamaan antara dua golongan ini yang bisa disebutkan. Pertama, sebagaimana kelompok Khawarij dengan mudah menuduh seorang muslim dengan sebutan kafir, kelompok Wahabi pun sangat mudah menuduh seorang muslim sebagai pelaku syirik, bid’ah, khurafat dan takhayul. Yang semua itu adalah ‘kata halus’ dari pengkafiran, walaupun dalam beberapa hal memiliki kesamaan dari konsekuensi hukumnya. Abdullah bin Umar dalam menyifati kelompok Khawarij mengatakan: “Mereka menggunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir, lantas mereka terapkan untuk menyerang orang-orang beriman.”23 Ciri-ciri semacam itu juga akan dengan mudah kita dapati pada pengikut kelompok Salafi (Wahabi) berkaitan dengan saudara-saudaranya sesama muslim.
Bisa dilihat, betapa mudahnya para rohaniawan Wahabi (muthowi’) menuduh para jamaah haji sebagai pelaku syirik dan bid’ah dalam melakukan amalan yang dianggap tidak sesuai dengan akidah mereka.Kedua, sebagaimana kelompok Khawarij disifati sebagaimana yang tercantum dalam hadis Nabi: “Mereka membunuh pemeluk Islam, sedang para penyembah berhala mereka biarkan.”24 maka sejarah telah membuktikan bahwa kelompok Wahabi pun telah melaksanakan prilaku keji semacam itu. Sebagaimana yang pernah dilakukan pada awal penyebaran Wahabisme oleh pendirinya, Muhammad bin Abdul Wahab. Pembantaian berbagai kabilah dari kaum muslimin mereka lakukan di beberapa tempat, terkhusus di wilayah Hijaz dan Irak kala itu.Ketiga, sebagaimana kelompok Khawarij memiliki banyak keyakinan yang aneh dan keluar dari kesepakatan kaum muslimin, seperti keyakinan bahwa pelaku dosa besar dihukumi kafir, kaum Wahabi pun memiliki kekhususan yang sama.Keempat, seperti kelompok Khawarij memiliki jiwa jumud (kaku), mempersulit diri dan mempersempit luang lingkup pemahaman ajaran agama, maka kaum Wahabi pun mempunyai kendala yang sama.Kelima, kelompok Khawarij telah keluar dari Islam dikarenakan ajaran-ajaran yang menyimpang, maka Wahabi pun memiliki penyimpangan yang sama. Oleh karenanya, ada satu hadis tentang Khawarij yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Shahih-nya, yang dapat pula diterapkan pada kelompok Wahabi. Rasul bersabda: “Beberapa orang akan muncul dari belahan bumi sebelah timur. Mereka membaca al-Quran, tetapi (bacaan tadi) tidak melebihi batas tenggorokkan. Mereka telah keluar dari agama (Islam), sebagaimana terkeluar (lepas)-nya anak panah dari busurnya.Tanda-tanda mereka, suka mencukur habis rambut kepala.”25 Al-Qistholani dalam mensyarahi hadis tadi mengatakan: “Dari belahan bumi sebelah timur,” yaitu dari arah timur kota Madinah semisal daerah Najd.26 Sedang dalam satu hadis disebutkan, dalam menjawab perihal kota an-Najd: “Di sana terdapat berbagai guncangan, dan dari sana pula muncul banyak fitnah.”27 Atau dalam ungkapan lain yang menyebutkan: “Di sana akan muncul qornsetan.” Dalam kamus bahasa Arab, kata qorn berartikan umat, pengikut ajaran seseorang, kaum atau kekuasaan.28Sedang kita tahu, kota Najd adalah tempat lahir dan tinggal Muhammad bin Abdul Wahab an-Najdi, pendiri Wahabi. Kota itu sekaligus sebagai pusat Wahabisme, dan dari situlah pemikiran Wahabisme disebarluaskan ke segala penjuru dunia. Banyak tanda zahir dari kelompok tersebut. Selain mengenakan celana atau gamis hingga betis, mencukur rambut kepala sedangkan jenggot dibiarkan bergelayutan tidak karuan adalah salah satu syiar dan tanda pengikut kelompok ini.Keenam, sebagaimana kelompok Khawarij meyakini bahwa “negara muslim” (Daar al-Salam) jika penduduknya banyak melakukan dosa besar, maka dapat dikategorikan “negara zona perang” (Daar al-Harb), kelompok radikal Wahabi pun meyakini hal tersebut.Sekarang ini dapat dilihat, bagaimana kelompok-kelompok radikal Wahabi—seperti al-Qaedah—melakukan aksi teror di berbagai tempat yang tidak jarang kaum muslimin juga sebagai korbannya.Tulisan ringkas ini mencoba untuk mengetahui tentang apa dan siapa kelompok Salafi (Wahabi). Semoga dengan pengenalan ringkas ini akan menjadi kejelasan akan kelompok yang disebut-sebut sebagai Salafi ini, yang mengaku penghidup kembali ajaran Salaf Saleh. Sehingga kita bisa lebih berhati-hati dan mawas diri terhadap aliran sesat dan menyesatkan yang telah menyimpang dari Islam Muhammadi tersebut.
Penulis: Adalah mahasiswa pasca sarjana Perbandingan Agama dan Mazhab di Universitas Imam Khomeini Qom, Republik Islam Iran.Rujukan:2 Lisan al-Arab, jil. 6, hal. 330.3 As-Salafiyah Marhalah Zamaniyah, hal. 9, karya Dr. M Said Ramadhan Buthi.4 As-Shohwat al-Islamiyah, hal. 25, karya al-Qordhowi.5 Al-Aqoid as-Salafiyah, hal. 11, karya Ahmad bin Hajar Aali Abu Thomi.6 Al-Madzahib al-Islamiyah, hal. 331, karya Muhammad Abu Zuhrah.7 Untuk lebih jelasnya, dapat ditelaah lebih lanjut kitab tebal karya penulis Arab al-Ustadz Nasir as-Sa’id tentang sejarah kerajaan Arab Saudi yang diberi judul “Tarikh aali Sa’ud.” Karya ini berulang kali dicetak. Di situ dijelaskan secara detail sejarah kemunculan keluarga Saud di Jazirah Arab hingga zaman kekuasaan raja Fahd. Dalam karya tersebut, as-Said menetapkan bahwa keluarga Saud (pendiri) kerajaan Arab Saudi masih memiliki hubungan darah dan emosional dengan Yahudi Arab.8 Selengkapnya silakan lihat: As-Salafiyah al-Wahabiyah, karya Hasan bin Ali as-Saqqaf, cet. Daar al-Imam an-Nawawi, Amman-Yordania.9 Al-Milal wa an-Nihal, jil. 1, hal. 165, karya as-Syahrastani.10 Fi ‘Aqo’id al-Islam, hal. 155, karya Muhammad bin Abdul Wahab (dalam kumpulan risalah-nya).11 Ayat-ayat al-Quran yang berbunyi “afalaa ta’qiluun” (Apakah kalian tidak memakai akal) atau “Afalaa tatafakkarun” (Apakah kalian tidak berpikir) dan semisalnya akan sangat mudah kita dapati dalam al-Quran.Ini semua salah satu bukti konkret bahwa al-Quran sangat menekankan penggunaan akal dan mengakui keikutsertaan akal dalam memahami kebenaran ajaran agama.12 Q.S. Thoha: 5.13 Al-Washiyah al-Kubra, hal. 31 atau Naqdhu al-Mantiq, hal. 119 karya Ibnu Taimiyah.14 Q.S. as-Syura: 11.15 Al-Milal wa an-Nihal, jil. 1, hal. 84.16 Banyak hal yang terbukti dengan argumen teks yang mencakup ayat, riwayat, ungkapan dan sirah para sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in diperbolehkan, namun pada kelompok Salafi (Wahabi) mengharamkannya, seperti masalah; membangun dan memberi cahaya lampu pada kuburan, berdoa di samping makam para kekasih Ilahi (waliyullah), mengambil berkah dari makam kekasih Allah, menyeru atau meminta pertolongan dan syafaat dari para kekasih Allah pasca kematian mereka, bernazar atau sumpah atas nama para kekasih Allah, memperingati dan mengenang kelahiran atau kematian para kekasih Allah, bertawassul, dan melaksanakan tahlil (majelis fatihah)…semua merupakan hal yang diharamkan oleh para kelompok Salafi, padahal banyak ayat dan riwayat, juga prilaku para Salaf yang menunjukkan akan diperbolehkannya hal-hal tadi.17Salah satu bentuk penyimpangan kelompok Wahabi terhadap ajaran Imam Ahmad bin Hanbal adalah pengingkaran Ibnu Taimiyah terhadap berbagai hadis berkaitan dengan keutamaan keluarga Rasul saw., yang Imam Ahmad sendiri meyakini keutamaan mereka dengan mencantumkannya dalam kitab Musnad-nya. Dari situ akhirnya Ibnu Taimiyah bukan hanya mengingkari hadis-hadis tersebut, bahkan melakukan pelecehan terhadap keluarga Rasul, terkhusus Ali bin Abi Thalib as. (lihat: Minhaj as-Sunnah, jil. 8, hal. 329.) Dan terbukti, kekhilafahan Ali sempat “diragukan” oleh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya “Minhaj as-Sunnah” (lihat: jil. 4, hal. 682), dan ia termasuk orang yang menyebarluaskan keraguan itu. Padahal, semua kelompok Ahlusunnah “meyakini” akan kekhilafahan Ali. Lantas, masihkah layak Ibnu Taimiyah beserta pengikutnya mengaku sebagai pengikut Ahlussunnah?18Al-Aqidah li al-Imam Ahmad bin Hanbal, hal. 38.19 As-Salafiyah baina Ahlusunnah wa al-Imamiyah, hal. 680.20 Rudud ‘ala Syubahaat as-Salafiyah, hal. 249.21 Diwan as-Syafi’i, hal. 55.22 Musnad Ahmad, jil. 2, hal. 118.23 Shahih Bukhari, jil. 4, hal. 197.24 Majmu’ al-Fatawa, jil. 13, hal. 32, karya Ibnu Taimiyah.25 Shahih Bukhari, “kitab at-Tauhid”, bab 57, hadis ke-7123.26 Irsyad as-Saari, jil. 15, hal. 626.27 Musnad Ahmad, jil. 2, hal. 81 atau jil. 4, hal. 5.28 Al-Qomuus, jil. 3, hal. 382, kata: “Qo-ro-na.”Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni dosa selain (syirik) itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar” (QS. An Nisaa’ : 48)Dari Abu Dzar ra., Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Jibril berkata kepadaku, ‘Barangsiapa diantara umatmu yang meninggal dunia dalam keadaan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka pasti dia masuk surga’” (HR. Bukhari) [Hadits ini terdapat pada Kitab Shahih Bukhari]
diambil dari : http://dervishwarrior.blogspot.com
Dalam melihat faktor kemunculan pemikiran untuk kembali kepada pendapat Salaf menurut Imam Ahmad bin Hanbal dapat diperhatikan dari kekacauan pada zaman itu. Sejarah membuktikan, saat itu, dari satu sisi, kemunculan pemikiran liberalisme yang diboyong oleh pengikut Muktazilah, yang meyakini keikutsertaan dan kebebasan akal secara ekstrem serta radikal dalam proses memahami agama. Sedang di sisi lain, munculnya pemikiran filsafat yang banyak diadopsi dari budaya luar agama, menyebabkan munculnya rasa putus asa dari beberapa kelompok ulama Islam, termasuk Ahmad bin Hanbal. Untuk lari dari pemikiran-pemikiran semacam itu, lantas Ahmad bin Hanbal memutuskan untuk kembali kepada metode para Salaf dalam memahami agama, yaitu dengan cara tekstual.Akhir-akhir ini, di Tanah Air kita muncul banyak sekali kelompok-kelompok pengajian dan studi keislaman yang mengidentitaskan diri mereka sebagai pengikut dan penyebar ajaran para Salaf Saleh.Mereka sering mengatasnamakan diri mereka sebagai kelompok Salafi. Dengan didukung dana yang teramat besar dari negara donor, yang tidak lain adalah negara asal kelompok ini muncul, mereka menyebarkan akidah-akidah yang bertentangan dengan ajaran murni keislaman baik yang berlandaskan al-Quran, hadis, sirah dan konsensus para salaf maupun khalaf.Dengan menggunakan ayat-ayat dan hadis yang diperuntukkan bagi orang-orang kafir, zindiq dan munafiq, mereka ubah tujuan teks-teks tersebut untuk menghantam para kaum muslimin yang tidak sepaham dengan akidah mereka. Mereka beranggapan, bahwa hanya akidah mereka saja yang mengajarkan ajaran murni monoteisme dalam tubuh Islam, sementara ajaran selainnya, masih bercampur syirik, bid’ah, khurafat dan takhayul yang harus dijauhi, karena sesat dan menyesatkan. Untuk itu, dalam makalah ringkas ini akan disinggung selintas tentang apa dan siapa mereka. Sehingga dengan begitu akan tersingkap kedok mereka selama ini, yang mengaku sebagai bagian dari Ahlusunnah dan penghidup ajaran Salaf Saleh.
Definisi Salafi jika dilihat dari sisi bahasa, Salaf berarti yang telah lalu.2 Sedang dari sisi istilah, salaf diterapkan untuk para sahabat Nabi, tabi’in dan tabi’ tabi’in yang hidup di abad-abad permulaan kemunculan Islam.3 Jadi, salafi adalah kelompok yang ‘mengaku’ sebagai pengikut pemuka agama yang hidup di masa lalu dari kalangan para sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in. Baik yang berkaitan dengan akidah, syariat dan prilaku keagamaan.4 Bahkan sebagian menambahkan bahwa Salaf mencakup para Imam Mazhab, sehingga salafi adalah tergolong pengikut mereka dari sisi semua keyakinan keagamaannya.5 Muhammad Abu Zuhrah menyatakan bahwa Salafi adalah kelompok yang muncul pada abad keempat hijriyah, yang mengikuti Imam Ahmad bin Hanbal. Kemudian pada abad ketujuh hijriyah dihidupkan kembali oleh Ibnu Taimiyah.6Pada hakikatnya, kelompok yang mengaku sebagai salafi, yang dapat kita temui di Tanah Air sekarang ini, mereka adalah golongan Wahabi yang telah diekspor oleh pemuka-pemukanya dari dataran Saudi Arabia.Dikarenakan istilah Wahabi begitu berkesan negatif, maka mereka mengatasnamakan diri mereka dengan istilah Salafi, terkhusus sewaktu ajaran tersebut diekspor keluar Saudi. Kesan negatif dari sebutan Wahabi buat kelompok itu bisa ditinjau dari beberapa hal, salah satunya adalah dikarenakan sejarah kemunculannya banyak dipenuhi dengan pertumpahan darah kaum muslimin, terkhusus pasca kemenangan keluarga Saud—yang membonceng seorang rohaniawan menyimpang bernama Muhammad bin Abdul Wahab an-Najdi—atas semua kabilah di jazirah Arab atas dukungan kolonialisme Inggris. Akhirnya keluarga Saud mampu berkuasa dan menamakan negaranya dengan nama keluarga tersebut. Inggris pun akhirnya dapat menghilangkan dahaga negaranya dengan menyedot sebagian kekayaan negara itu, terkhusus minyakbumi. Sedang pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab, resmi menjadi akidah negara tadi yang tidak bisa diganggu gugat. Selain menindak tegas penentang akidah tersebut, Muhammad bin Abdul Wahab juga terus melancarkan aksi ekspansinya ke segenap wilayah-wilayah lain di luar wilayah Saudi.Sayyid Hasan bin Ali as-Saqqaf, salah satu ulama Ahlusunnah yang sangat getol mempertahankan serangan dan ekspansi kelompok wahabisme ke negara-negara muslim, dalam salah satu karyanya yang berjudul “as-Salafiyah al-Wahabiyah” menyatakan: “Tidak ada perbedaan antara salafiyah dan wahabiyah. Kedua istilah itu ibarat dua sisi pada sekeping mata uang. Mereka (kaum salafi dan wahabi) satu dari sisi keyakinan dan pemikiran. Sewaktu di Jazirah Arab mereka lebih dikenal dengan al-Wahhabiyah al-Hanbaliyah. Namun, sewaktu diekspor keluar (Saudi), mereka mengatasnamakan dirinya sebagai Salafy.” Sayyid as-Saqqaf menambahkan: “Maka kelompok salafi adalah kelompok yang mengikuti Ibnu Taimiyah dan mengikuti ulama mazhab Hanbali. Mereka semua telah menjadikan Ibnu Taimiyah sebagai imam, tempat rujukan (marja’), dan ketua. Ia (Ibnu Taimiyah) tergolong ulama mazhab Hanbali. Sewaktu mazhab ini berada di luar Jazirah Arab, maka tidak disebut dengan Wahabi, karena sebutan itu terkesancelaan.”
Dalam menyinggung masalah para pemuka kelompok itu, kembali Sayyid as-Saqqaf mengatakan: “Pada hakikatnya, Wahabiyah terlahir dari Salafiyah. Muhammad bin Abdul Wahab adalah seorang yang menyeru untuk mengikuti ajaran Ibnu Taimiyah dan para pendahulunya dari mazhab Hanbali, yang mereka kemudian mengaku sebagai kelompok Salafiyah.” Dalam menjelaskan secara global tentang ajaran dan keyakinan mereka, as-Saqqaf mengatakan: “Al-Wahabiyah atau as-Salafiyah adalah pengikut mazhab Hanbali, walaupun dari beberapa hal pendapat mereka tidak sesuai lagi (dan bahkan bertentangan) dengan pendapat mazhab Hanbali sendiri. Mereka sesuai (dengan mazhab Hanbali) dari sisi keyakinan tentang at-Tasybih (Menyamakan Allah dengan makhluk-Nya), at-Tajsim (Allah berbentuk mirip manusia), dan an-Nashb yaitu membenci keluarga Rasul saw. (Ahlul-Bait) dan tiada menghormati mereka.”8Jadi, menurut as-Saqqaf, kelompok yang mengaku Salafi adalah kelompok Wahabi yang memiliki sifat Nashibi(pembenci keluarga Nabi saw.), mengikuti pelopornya, Ibnu Taimiyah.Pelopor Pemikiran “Kembali ke Metode Ajaran Salaf”Ahmad bin Hanbal adalah sosok pemuka hadis yang memiliki karya terkenal, yaitu kitab “Musnad”. Selain sebagai pendiri mazhab Hanbali, ia juga sebagai pribadi yang menggalakkan ajaran kembali kepada pemikiran Salaf Saleh. Secara umum, metode yang dipakai oleh Ahmad bin Hanbal dalam pemikiran akidah dan hukum fikih, adalah menggunakan metode tekstual. Oleh karenanya, ia sangat keras sekali dalam menentang keikutsertaan dan penggunaan akal dalam memahami ajaran agama.Ia beranggapan, kemunculan pemikiran logika, filsafat, ilmu kalam (teologi) dan ajaran-ajaran lain—yang dianggap ajaran di luar Islam yang kemudian diadopsi oleh sebagian muslim—akan membahayakan nasib teks-teks agama.Dari situ akhirnya ia menyerukan untuk berpegang teguh terhadap teks, dan mengingkari secara total penggunaan akal dalam memahami agama, termasuk proses takwil rasional terhadap teks. Ia beranggapan, bahwa metode itulah yang dipakai Salaf Saleh dalam memahami agama, dan metode tersebut tidak bisa diganggu gugat kebenaran dan legalitasnya. Syahrastani yang bermazhab ‘Asyariyah dalam kitab “al-Milal wa an-Nihal” sewaktu menukil ungkapan Ahmad bin Hanbal yang menyatakan: “Kita telah meriwayatkan (hadis) sebagaimana adanya, dan hal (sebagaimana adanya) itu pula yang kita yakini.”9 Konsekuensi dari ungkapan Ahmad bin Hanbal di atas itulah, akhirnya ia beserta banyak pengikutnya—termasuk Ibnu Taimiyah—terjerumus ke dalam jurang kejumudan dan kaku dalam memahami teks agama.
Salah satu dampak konkret dari metode di atas tadi adalah, keyakinan akan tajsim (anthropomorphisme) dan tasybih dalam konsep ketuhanan, lebih lagi kelompok Salafi kontemporer, pendukung ajaran Ibnu Taimiyahal-Harrani yang kemudian tampuk kepemimpinannya dilanjutkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi.Suatu saat, datang seseorang kepada Ahmad bin Hanbal. Lantas, ia bertanya tentang beberapa hadis. Hingga akhirnya, pertanyaan sampai pada hadis-hadis semisal: “Tuhan pada setiap malam turun ke langit Dunia.”, “Tuhan bisa dilihat.”, “Tuhan meletakkan kaki-Nya ke dalam Neraka.” dan hadis-hadis semisalnya. Lantas ia (Ahmad bin Hanbal) menjawab: “Kita meyakini semua hadis-hadis tersebut. Kita membenarkan semua hadis tadi, tanpa perlu terhadap proses pentakwilan.”10Jelas metode semacam ini tidak sesuai dengan ajaran al-Quran dan as-Sunnah itu sendiri. Jika diperhatikan lebih dalam lagi, betapa al-Quran dalam ayat-ayatnya sangat menekankan penggunaan akal dan pikiran dalam bertindak.11Begitu juga hadis-hadis Nabi saw. Selain itu, pengingkaran secara mutlak campur tangan akal dan pikiran manusia dalam memahami ajaran agama akan mengakibatkan kesesatan dan bertentangan dengan ajaran al-Quran dan as-Sunnah itu sendiri. Dapat kita contohkan secara singkat penyimpangan yang terjadi akibat penerapan konsep tadi. Jika terdapat ayat semisal “Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arasy.”12 atau seperti hadis yang menyatakan “Sesungguhnya Allah turun ke langit dunia pada setiap malam.”13 Lantas, di sisi lain kita tidak boleh menggunakan akal dalam memahaminya, bahkan cukup menerima teks sebagaimana adanya, maka kita akan terbentur dengan ayat lain dalam al-Quran seperti ayat “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia.”14 Apakahayat dari surat Thoha tadi berartikan bahwa Allah bertengger di atas singgasana Arasy sebagaimana Ibnu Taimiyah duduk di atas mimbar, atau turun ke langit dunia sebagaimana Ibnu Taimiyah turun dari atas mimbarnya, yang itu semua berarti bertentangan dengan ayat dari surat as-Syuura di atas.Jadi akan terjadi kontradiksi dalam memahami hakikat ajaran agama Islam. Mungkinkah Islam sebagai agama paripurna akan terdapat kontradiksi? Semua kaum muslim pasti akan menjawabnya dengan negatif, apalagi berkaitan dengan al-Quran sebagai sumber utama ajaran Islam.Melihat kelemahan metode dasar yang ditawarkan oleh Ahmad bin Hanbal semacam ini, meniscayakan adanya pengeroposan ajaran-ajaran yang bertumpu pada metode tadi. Dalam masalah ini, kembali as-Sahrastani mengatakan: “Berbagai individu dari Salaf telah menetapkan sifat azali Tuhan, semisal; sifat Ilmu, Kemampuan (Qudrat) … dan mereka tidak membedakan antara sifat Dzati dan Fi’li. Sebagaimana mereka juga telah menetapkan sifat khabariyah buat Tuhan, seperti; dua tangan dan wajah Tuhan. Mereka tidak bersedia mentakwilnya, dan mengatakan: itu semua adalah sifat-sifat yang terdapat dalam teks-teks agama.
Semua itu kita sebut sebagai sifat khabariyah.” Dalam kelanjutan dari penjelasan mengenai kelompok Salafi tadi, kembali as-Sahrastani mengatakan: “Para kelompok Salafi kontemporer meyakini lebih dari para kelompok Salaf itu sendiri. Mereka menyatakan, sifat-sifat khabari bukan hanya tidak boleh ditakwil, namun harus dimaknai secara zahir. Oleh karenanya, dari sisi ini, merekatelah terjerumus ke dalam murni keyakinan tasybih. Tentu, permasalahan semacam ini bertentangan dengan apa yang diyakini oleh para salaf itu sendiri.”15 Jadi sesuai dengan ungkapan Syahrastani, bahwa mayoritas para pengikut kelompok Salafi kontemporer telah menyimpang dari keyakinan para Salaf itu sendiri. Itu jika kita telaah secara global tentang konsep memahami teks. Akibatnya, mereka akan terjerumus kepada kesalahan fatal dalam mengenal Tuhan, juga dalam permasalahan-permasalahan lainnya. Padahal, masih banyak lagi permasalahan-permasalahan lain yang jelas-jelas para Salaf meyakininya, sedang pengaku pengikut salaf kontemporer (salafi) justru mengharamkan dengan alasan syirik, bidah, ataupun khurafat. Perlu ada tulisan tersendiri tentang hal-hal tadi, dengan disertai kritisi pendapat dan argumentasi para pendukung kelompok Wahabisme.16Itulah yang menjadi alasan bahwa para pengikut Salafi (kontemporer) itu sudah banyak menyimpang dari ajaran para Salaf itu sendiri,termasuk sebagian ajaran imam Ahmad bin Hanbal sendiri.17Faktor Munculnya Kelompok SalafiDalam melihat faktor kemunculan pemikiran untuk kembali kepada pendapat Salaf menurut Imam Ahmad bin Hanbal dapat diperhatikan dari kekacauan pada zaman itu. Sejarah membuktikan, saat itu, dari satu sisi, kemunculan pemikiran liberalisme yang diboyong oleh pengikut Muktazilah, yang meyakini keikutsertaan dan kebebasan akal secara ekstrem dan radikal dalam proses memahami agama. Sedang di sisi lain, munculnya pemikiran filsafat yang banyak diadopsi dari budaya luar agama, menyebabkan munculnya rasa putus asa dari beberapa kelompok ulama Islam, termasuk Ahmad bin Hanbal. Untuk lari dari pemikiran-pemikiran semacam itu, lantas Ahmad bin Hanbal memutuskan untuk kembali kepada metode para Salaf dalam memahami agama, yaitu dengan cara tekstual.Syeikh Abdul Aziz ‘Izzuddin as-Sirwani dalam menjelaskan faktor kemunculan pemikiran kembali kepada metode Salaf, mengatakan: “Dikatakan bahwa penyebab utama untuk memegang erat metode itu—yang sangat nampak pada pribadi Ahmad bin Hanbal—adalah dikarenakan pada zamannya banyak sekali dijumpai fitnah-fitnah, pertikaian dan perdebatan teologis. Dari sisi lain, berbagai pemikiran aneh, keyakinan-keyakinan yang bermacam-macam dan beraneka ragam budaya mulai bermunculan. Bagaimana mungkin semua itu bisa muncul di khasanah keilmuan Islam. Oleh karenanya, untuk menyelamatkan keyakinan-keyakinan Islam, maka ia menggunakan metode kembali ke pemikiran Salaf.”18 Hal semacam itu pula yang dinyatakan oleh as-Syahrastani dalam kitab al-Milal wa an-Nihal.Fenomena semacam ini juga bisa kita perhatikan dalam sejarah hidup Abu Hasan al-Asy’ari pendiri mazhab al-Asyariyah. Setelah ia mengumumkan diri keluar dari ajaran Muktazilah yang selama ini ia dapati dari ayah angkatnya, Abu Ali al-Juba’i seorang tokoh Muktazilah di zamannya.
Al-Asy’ari dalam karyanya yang berjudul “al-Ibanah” dengan sangat jelas menggunakan metode mirip yang digunakan oleh Ahmad bin Hanbal. Namun karena ia melihat bahwa metode semacam itu terlampau lemah, maka ia agak sedikit berganti haluan dengan mengakui otoritas akal dalam memahami ajaran agama, walau dengan batasan yang sangat sempit. Oleh karenanya, dalam karya lain yang diberi judul “al-Luma’” nampak sekali betapa ia masih mengakui campur tangan dan keturutsertaan akal dalam memahami ajaran agama, berbeda dengan metode Ahmad bin Hanbal yang menolak total keikutsertaan akal dalam masalah itu.
Dikarenakan al-Asy’ari hidup di pusat kebudayaan Islam kala itu, yaitu kota Baghdad, maka sebutanAhlusunnah pun akhirnya diidentikkan dengan mazhabnya. Sedang mazhab Thohawiyah dan Maturidiyah yang kemunculannya hampir bersamaan dengan mazhab Asyariyah dan memiliki kemiripan dengannya, menjadi kalah pamor di mata mayoritas kaum muslimin, apalagi ajaran Ahmad bin Hanbal sudah tidak lagi dilirik oleh kebanyakan kaum muslimin. Lebih-lebih pada masa kejayaan Ahlusunnah, kemunculan kelompok Salafi kontemporer yang dipelopori oleh Ibnu Taimiyah yang sebagai sempalan dari mazhab ImamAhmad bin Hanbal, pun tidak luput dari ketidaksimpatian kelompok mayoritas Ahlusunnah. Ditambah lagi dengan penyimpangan terhadap akidah Salaf yang dilakukan Salafi kontemporer (pengikut Ibnu Taimiyah)—yang dikomandoi oleh Muhammad bin Abdul Wahab an-Najdi—serta tindakan arogan yang dilancarkan para pengikut Salafi tersebut terhadap kelompok lain yang dianggap tidak sependapat dengan pemikiran mereka.Kecurangan Kelompok SalafiSetiap golongan bukan hanya berusaha untuk selalu mempertahankan kelangsungan golongannya, namun mereka juga berusaha untuk menyebarkan ajarannya. Itu merupakan suatu hal yang wajar. Akan tetapi, tingkat kewajarannya bukan hanya bisa dinilai dari sisi itu saja, namun juga harus dilihat dari cara dan sarana yang dipakai untuk mempertahankan kelangsungan dan penyebaran ajaran golongan itu. Dari sisi ini, kelompok Salafi banyak melakukan beberapa kecurangan yang belum banyak diketahui oleh kelompok muslim lainnya.Selain kelompok Ahlusunnah biasa, kelompok Ahli Tasawwuf dari kalangan Ahlusunnah dan kelompok Syiah (di luar Ahlusunnah) merupakan kelompok-kelompok di luar Wahabi (Salafi) yang sangat gencar diserang oleh kelompok Salafi. Kelompok Salafi tidak segan-segan melakukan hal-hal yang tidak ‘gentle’ dalam menghadapi kelompok-kelompok selain Salafi, terkhusus Syiah. Menuduh kelompok lain dari saudara-saudaranya sesama muslim sebagai ahli bid’ah, ahli khurafat, musyrikadalah kebiasaan buruk kaum Salafi, walaupun kelompok tadi tergolong Ahlusunnah. Di sisi lain, mereka sendiri terus berusaha untuk disebut dan masuk kategori kelompok Ahlusunnah. Berangkat dari sini, kaum Salafi selalu mempropagandakan bahwa Syiah adalah satu kelompok yang keluar dari Islam, dan sangat berbeda dengan pengikut Ahlusunnah. Mereka benci dengan usaha-usaha pendekatan dan persatuan Sunnah-Syiah, apalagi melalui forum dialog ilmiah. Mereka berpikir bahwa dengan mengafirkan kelompok Syiah, maka mereka akan dengan mudah duduk bersama dengan kelompok Ahlusunnah.
Padahal realitanya tidaklah semacam itu. Karena mereka selalu menuduh kelompok Ahlusunnah sebagai pelaku Bid’ah, Khurafat, Takhayul dan Syirik. Mereka berpikir, sewaktu seorang pengikut Ahlusunnah melakukan ziarah kubur, tahlil, membaca salawat dan pujian terhadap Nabi, istighotsah, bertawassul dan mengambil berkah (tabarruk) berarti ia telah masuk kategori pelaku syirik atau ahli bid’ah yang telah jelaskonsekuensi hukumnya dalam ajaran Islam.Cara itu juga yang mereka lakukan terhadap para pengikut tasawuf dan tarekat yang banyak ditemui dalam tubuh Ahlusunnah sendiri, khususnya di Indonesia.Segala bentuk makar dan kebohongan untuk menghadapi rival akidahnya merupakan hal mubah di mata pengikut Salafi (Wahabi), karena kelompok Salafi masih terus beranggapan bahwa selain kelompoknya masih dapat dikategorikan pelaku syirik, bid’ah, khurafat dan takhayul. Perlakuan mereka terhadap kaum muslimin pada musim haji merupakan bukti yang tidak dapat diingkari.Yang lebih parah dari itu, para pendukung kelompok Salafi—yang didukung dana begitu besar—berani melakukan perubahan pada kitab-kitab standar Ahlusunnah, demi untuk menguatkan ajaran mereka, yang dengan jelas tidak memiliki akar sejarah dan argumentasi (tekstual dan rasional) yang kuat. Dengan melobi para pemilik percetakan buku-buku klasik agama yang menjadi standar ajaran—termasuk kitab-kitab hadis dan tafsir—mereka berani mengeluarkan dana yang sangat besar untuk mengubah beberapa teks (hadis ataupun ungkapan para ulama) yang dianggap merugikan kelompok mereka.Kita ambil contoh apa yang diungkapkan oleh Syeikh Muhammad Nuri ad-Dirtsawi, beliau mengatakan: “Mengubah dan menghapus hadis-hadis merupakan kebiasaan buruk kelompok Wahabi. Sebagai contoh, Nukman al-Alusi telah mengubah tafsir yang ditulis oleh ayahnya, Syeikh Mahmud al-Alusi yang berjudul Ruh al-Ma’ani. Semua pembahasan yang membahayakan kelompok Wahabi telah dihapus. Jika tidak ada perubahan, niscaya tafsirbeliau menjadi contoh buat kitab-kitab tafsir lainnya. Contoh lain, dalam kitab al-Mughni karya Ibnu Qodamah al-Hanbali, pembahasan tentang istighotsah telah dihapus, karena hal itu mereka anggap sebagai bagian dari perbuatan Syirik. Setelah melakukan perubahan tersebut, baru mereka mencetaknya kembali.Kitab Syarah Shahih Muslim pun (telah diubah) dengan membuang hadis-hadis yang berkaitan dengan sifat-sifat (Allah), kemudian baru mereka mencetaknya kembali.”20Namun sayang, banyak saudara-saudara dari Ahlusunnah lalai dengan apa yang mereka lakukan selama ini. Perubahan-perubahan semacam itu, terkhusus mereka lakukan pada hadis-hadis yang berkaitan dengan keutamaan keluarga (Ahlul-Bait) Nabi saw. Padahal, salah satu sisi kesamaan antara Sunni-Syiah adalah pemberian penghormatan khusus terhadap keluarga Nabi. Dari sinilah akhirnya pribadi seperti Sayyid Hasan bin Ali as-Saqqaf menyatakan bahwa mereka tergolong kelompok Nashibi (pembenci keluarga Rasul).Dalam kitab tafsir Jami’ al-Bayan, sewaktu menafsirkan ayat 214 dari surat as-Syu’ara: “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabat-mu yang terdekat,” di situ, Rasulullah mengeluarkan pernyataan berupa satu hadis yang berkaitan dengan permulaan dakwah.
Pada hadis yang tercantum dalam kitab tafsir tersebut disebutkan, Rasul bersabda: “Siapakah di antara kalian yang mau menjadi wazir dan membantuku dalam perkara ini—risalah—maka akan menjadi saudaraku…(kadza…wa…kadza)….” Padahal, jika kita membuka apa yang tercantum dalam Tarikh at-Thabari kata “kadza wa kadza” (yang dalam penulisan buku berbahasa Indonesia, biasa digunakan titik-titik) sebagai ganti dari sabda Rasul yang berbunyi: “Washi (pengganti) dan Khalifahku.” Begitu pula hadis-hadis semisal, “Aku adalah kota ilmu, sedang Ali adalah pintunya,” yang dulu tercantum dalam kitab Jaami’ al-Ushul karya Ibnu Atsir, kitab Tarikh al-Khulafa’ karya as-Suyuthi dan as-Showa’iq al-Muhriqoh karya Ibnu Hajar yang beliaunukil dari Shahih at-Turmudzi, kini telah mereka hapus. Melakukan peringkasan kitab-kitab standar, juga sebagai salah satu trik mereka untuk tujuan yang sama.Dan masih banyak usaha-usaha licik lain yang mereka lancarkan, demi mempertahankan ajaran mereka, terkhusus ajaran kebencian terhadap keluarga Nabi. Sementara sudah menjadi kesepakatan kaum muslimin, bahwa mencintai keluarga Nabi adalah suatu kewajiban, sebagaimana Syair yang pernah dibawakan oleh imam Syafi’i:“Jika mencintai keluarga Muhammad adalah Rafidhi (Syiah), maka saksikanlah wahai ats-Tsaqolaan (jin dan manusia) bahwa aku adalah Rafidhi.”21Salafi (Wahabi) dan KhawarijTidak berlebihan kiranya jika sebagian orang beranggapan bahwa kaum Wahabi (Salafi) memiliki banyak kemiripan dengan kelompok Khawarij. Melihat, dari sejarah yang pernah ada, kelompok Khawarij adalah kelompok yang sangat mirip sepak terjang dan pemikirannya dengan kelompok Wahabi.Oleh karenanya, bisa dikatakan bahwa kelompok Wahabi adalah pengejawantahan kelompok Khawarij di masa sekarang ini. Di sini, secara singkat bisa disebutkan beberapa sisi kesamaan antara kelompok Wahabi dengan golongan Khawarij yang dicela melalui lisan suci Rasulullah saw., di mana Rasul memberi julukan golongan sesat itu (Khawarij) dengan sebutan “mariqiin”, yang berarti ‘lepas’ dari Islam sebagaimana lepasnya anak panah dari busurnya.22Paling tidak ada enam kesamaan antara dua golongan ini yang bisa disebutkan. Pertama, sebagaimana kelompok Khawarij dengan mudah menuduh seorang muslim dengan sebutan kafir, kelompok Wahabi pun sangat mudah menuduh seorang muslim sebagai pelaku syirik, bid’ah, khurafat dan takhayul. Yang semua itu adalah ‘kata halus’ dari pengkafiran, walaupun dalam beberapa hal memiliki kesamaan dari konsekuensi hukumnya. Abdullah bin Umar dalam menyifati kelompok Khawarij mengatakan: “Mereka menggunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir, lantas mereka terapkan untuk menyerang orang-orang beriman.”23 Ciri-ciri semacam itu juga akan dengan mudah kita dapati pada pengikut kelompok Salafi (Wahabi) berkaitan dengan saudara-saudaranya sesama muslim.
Bisa dilihat, betapa mudahnya para rohaniawan Wahabi (muthowi’) menuduh para jamaah haji sebagai pelaku syirik dan bid’ah dalam melakukan amalan yang dianggap tidak sesuai dengan akidah mereka.Kedua, sebagaimana kelompok Khawarij disifati sebagaimana yang tercantum dalam hadis Nabi: “Mereka membunuh pemeluk Islam, sedang para penyembah berhala mereka biarkan.”24 maka sejarah telah membuktikan bahwa kelompok Wahabi pun telah melaksanakan prilaku keji semacam itu. Sebagaimana yang pernah dilakukan pada awal penyebaran Wahabisme oleh pendirinya, Muhammad bin Abdul Wahab. Pembantaian berbagai kabilah dari kaum muslimin mereka lakukan di beberapa tempat, terkhusus di wilayah Hijaz dan Irak kala itu.Ketiga, sebagaimana kelompok Khawarij memiliki banyak keyakinan yang aneh dan keluar dari kesepakatan kaum muslimin, seperti keyakinan bahwa pelaku dosa besar dihukumi kafir, kaum Wahabi pun memiliki kekhususan yang sama.Keempat, seperti kelompok Khawarij memiliki jiwa jumud (kaku), mempersulit diri dan mempersempit luang lingkup pemahaman ajaran agama, maka kaum Wahabi pun mempunyai kendala yang sama.Kelima, kelompok Khawarij telah keluar dari Islam dikarenakan ajaran-ajaran yang menyimpang, maka Wahabi pun memiliki penyimpangan yang sama. Oleh karenanya, ada satu hadis tentang Khawarij yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Shahih-nya, yang dapat pula diterapkan pada kelompok Wahabi. Rasul bersabda: “Beberapa orang akan muncul dari belahan bumi sebelah timur. Mereka membaca al-Quran, tetapi (bacaan tadi) tidak melebihi batas tenggorokkan. Mereka telah keluar dari agama (Islam), sebagaimana terkeluar (lepas)-nya anak panah dari busurnya.Tanda-tanda mereka, suka mencukur habis rambut kepala.”25 Al-Qistholani dalam mensyarahi hadis tadi mengatakan: “Dari belahan bumi sebelah timur,” yaitu dari arah timur kota Madinah semisal daerah Najd.26 Sedang dalam satu hadis disebutkan, dalam menjawab perihal kota an-Najd: “Di sana terdapat berbagai guncangan, dan dari sana pula muncul banyak fitnah.”27 Atau dalam ungkapan lain yang menyebutkan: “Di sana akan muncul qornsetan.” Dalam kamus bahasa Arab, kata qorn berartikan umat, pengikut ajaran seseorang, kaum atau kekuasaan.28Sedang kita tahu, kota Najd adalah tempat lahir dan tinggal Muhammad bin Abdul Wahab an-Najdi, pendiri Wahabi. Kota itu sekaligus sebagai pusat Wahabisme, dan dari situlah pemikiran Wahabisme disebarluaskan ke segala penjuru dunia. Banyak tanda zahir dari kelompok tersebut. Selain mengenakan celana atau gamis hingga betis, mencukur rambut kepala sedangkan jenggot dibiarkan bergelayutan tidak karuan adalah salah satu syiar dan tanda pengikut kelompok ini.Keenam, sebagaimana kelompok Khawarij meyakini bahwa “negara muslim” (Daar al-Salam) jika penduduknya banyak melakukan dosa besar, maka dapat dikategorikan “negara zona perang” (Daar al-Harb), kelompok radikal Wahabi pun meyakini hal tersebut.Sekarang ini dapat dilihat, bagaimana kelompok-kelompok radikal Wahabi—seperti al-Qaedah—melakukan aksi teror di berbagai tempat yang tidak jarang kaum muslimin juga sebagai korbannya.Tulisan ringkas ini mencoba untuk mengetahui tentang apa dan siapa kelompok Salafi (Wahabi). Semoga dengan pengenalan ringkas ini akan menjadi kejelasan akan kelompok yang disebut-sebut sebagai Salafi ini, yang mengaku penghidup kembali ajaran Salaf Saleh. Sehingga kita bisa lebih berhati-hati dan mawas diri terhadap aliran sesat dan menyesatkan yang telah menyimpang dari Islam Muhammadi tersebut.
Penulis: Adalah mahasiswa pasca sarjana Perbandingan Agama dan Mazhab di Universitas Imam Khomeini Qom, Republik Islam Iran.Rujukan:2 Lisan al-Arab, jil. 6, hal. 330.3 As-Salafiyah Marhalah Zamaniyah, hal. 9, karya Dr. M Said Ramadhan Buthi.4 As-Shohwat al-Islamiyah, hal. 25, karya al-Qordhowi.5 Al-Aqoid as-Salafiyah, hal. 11, karya Ahmad bin Hajar Aali Abu Thomi.6 Al-Madzahib al-Islamiyah, hal. 331, karya Muhammad Abu Zuhrah.7 Untuk lebih jelasnya, dapat ditelaah lebih lanjut kitab tebal karya penulis Arab al-Ustadz Nasir as-Sa’id tentang sejarah kerajaan Arab Saudi yang diberi judul “Tarikh aali Sa’ud.” Karya ini berulang kali dicetak. Di situ dijelaskan secara detail sejarah kemunculan keluarga Saud di Jazirah Arab hingga zaman kekuasaan raja Fahd. Dalam karya tersebut, as-Said menetapkan bahwa keluarga Saud (pendiri) kerajaan Arab Saudi masih memiliki hubungan darah dan emosional dengan Yahudi Arab.8 Selengkapnya silakan lihat: As-Salafiyah al-Wahabiyah, karya Hasan bin Ali as-Saqqaf, cet. Daar al-Imam an-Nawawi, Amman-Yordania.9 Al-Milal wa an-Nihal, jil. 1, hal. 165, karya as-Syahrastani.10 Fi ‘Aqo’id al-Islam, hal. 155, karya Muhammad bin Abdul Wahab (dalam kumpulan risalah-nya).11 Ayat-ayat al-Quran yang berbunyi “afalaa ta’qiluun” (Apakah kalian tidak memakai akal) atau “Afalaa tatafakkarun” (Apakah kalian tidak berpikir) dan semisalnya akan sangat mudah kita dapati dalam al-Quran.Ini semua salah satu bukti konkret bahwa al-Quran sangat menekankan penggunaan akal dan mengakui keikutsertaan akal dalam memahami kebenaran ajaran agama.12 Q.S. Thoha: 5.13 Al-Washiyah al-Kubra, hal. 31 atau Naqdhu al-Mantiq, hal. 119 karya Ibnu Taimiyah.14 Q.S. as-Syura: 11.15 Al-Milal wa an-Nihal, jil. 1, hal. 84.16 Banyak hal yang terbukti dengan argumen teks yang mencakup ayat, riwayat, ungkapan dan sirah para sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in diperbolehkan, namun pada kelompok Salafi (Wahabi) mengharamkannya, seperti masalah; membangun dan memberi cahaya lampu pada kuburan, berdoa di samping makam para kekasih Ilahi (waliyullah), mengambil berkah dari makam kekasih Allah, menyeru atau meminta pertolongan dan syafaat dari para kekasih Allah pasca kematian mereka, bernazar atau sumpah atas nama para kekasih Allah, memperingati dan mengenang kelahiran atau kematian para kekasih Allah, bertawassul, dan melaksanakan tahlil (majelis fatihah)…semua merupakan hal yang diharamkan oleh para kelompok Salafi, padahal banyak ayat dan riwayat, juga prilaku para Salaf yang menunjukkan akan diperbolehkannya hal-hal tadi.17Salah satu bentuk penyimpangan kelompok Wahabi terhadap ajaran Imam Ahmad bin Hanbal adalah pengingkaran Ibnu Taimiyah terhadap berbagai hadis berkaitan dengan keutamaan keluarga Rasul saw., yang Imam Ahmad sendiri meyakini keutamaan mereka dengan mencantumkannya dalam kitab Musnad-nya. Dari situ akhirnya Ibnu Taimiyah bukan hanya mengingkari hadis-hadis tersebut, bahkan melakukan pelecehan terhadap keluarga Rasul, terkhusus Ali bin Abi Thalib as. (lihat: Minhaj as-Sunnah, jil. 8, hal. 329.) Dan terbukti, kekhilafahan Ali sempat “diragukan” oleh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya “Minhaj as-Sunnah” (lihat: jil. 4, hal. 682), dan ia termasuk orang yang menyebarluaskan keraguan itu. Padahal, semua kelompok Ahlusunnah “meyakini” akan kekhilafahan Ali. Lantas, masihkah layak Ibnu Taimiyah beserta pengikutnya mengaku sebagai pengikut Ahlussunnah?18Al-Aqidah li al-Imam Ahmad bin Hanbal, hal. 38.19 As-Salafiyah baina Ahlusunnah wa al-Imamiyah, hal. 680.20 Rudud ‘ala Syubahaat as-Salafiyah, hal. 249.21 Diwan as-Syafi’i, hal. 55.22 Musnad Ahmad, jil. 2, hal. 118.23 Shahih Bukhari, jil. 4, hal. 197.24 Majmu’ al-Fatawa, jil. 13, hal. 32, karya Ibnu Taimiyah.25 Shahih Bukhari, “kitab at-Tauhid”, bab 57, hadis ke-7123.26 Irsyad as-Saari, jil. 15, hal. 626.27 Musnad Ahmad, jil. 2, hal. 81 atau jil. 4, hal. 5.28 Al-Qomuus, jil. 3, hal. 382, kata: “Qo-ro-na.”Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni dosa selain (syirik) itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar” (QS. An Nisaa’ : 48)Dari Abu Dzar ra., Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Jibril berkata kepadaku, ‘Barangsiapa diantara umatmu yang meninggal dunia dalam keadaan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka pasti dia masuk surga’” (HR. Bukhari) [Hadits ini terdapat pada Kitab Shahih Bukhari]
diambil dari : http://dervishwarrior.blogspot.com
Kata Mutiara
Mawlana Syaikh Nazim Adil “Yang lebih penting daripada ilmu ialah pemindahan ilmu tersebut dari hati ke hati “ “Kita tidak minta untuk dikenali dan menjadi sesuatu, karena selagi kita menginginkannya, maka kita masih belum lagi sempurna” “KedaulatanNya adalah Melalui KekekalanNya”
“Perjumpaan dengan para awliya meringankan beban kita dan kita akan merasa ringan dan gembira” , “Adalah mustahil untuk kita memahami diri kita.
Sekurang-kurangnya kita perlu melihat cermin, karena tiada siapapun yang dapat mengenali kepincangan di
dalam dirinya “ Saya tidak berkata, “Ikut saya,” karena saya tahu siapa yang akan ikut bersama saya di Mahsyar kelak “ “Keikhlasan dan Politik tidaklah serasi sebagaimana
Iman dan Penipuan “ “Sudah menjadi suatu aturan yang disepakati di antara Rijal-Allah, Para Kekasih Allah, bahwa keragaman jalan ini adalah diperuntukkan bagi mereka yang belum terhubungkan dan mereka yang belum mencapai akhir perjalanan, dan belum mendapatkan ‘amanat’- nya, sementara mereka yang telah mawsul (“sampai”) semua berada pada satu jalan dan dalam satu lingkaran dan mereka saling mengetahui dan mencintai satu sama lain”.
“ Mereka akan berada di mimbar-mimbar cahaya di Hari Kebangkitan. Karena itu, kita, para Murid dari
jalan-jalan Tariqah mestilah pula saling mengetahui, mengenal dan mencintai satu sama lain demi keridhaan
Allah dan Nabi-Nya serta para Kekasih-Nya agar diri kita mampu memasuki cahaya penuh barakah tersebut dan masuk dalam lingkaran tertinggi dari suhbah persahabatan dan jama’ah, jauh dari furqa (perpecahan) dan keangkuhan”.
“Kita telah diperintahkan untuk mencintai orang-orang suci. Mereka adalah para Nabi, dan setelah para Nabi, adalah para pewaris mereka, Awliya’. Kita telah diperintahkan untuk beriman pada para Nabi, dan iman memberikan pada diri kita Cinta”.
“Cinta membuat manusia untuk mengikuti ia yang dicintai. Ittiba’ bermakna untuk mencintai dan mengikuti, sementara Ittaat’ bermakna [hanya] untuk mengikuti”. “Seseorang yang taat mungkin saja mereka taat karena paksaan atau karena cinta, tapi tidaklah selalu karena cinta.”
“ Allah Ta’ala menginginkan hamba-hamba- Nya untuk mencintai-Nya. Dan para hamba tidaklah mampu menggapai secara langsung cinta atas Tuhan mereka. Karena itulah, Allah Ta’ala mengutus, sebagai utusan dari Diri-Nya, para Nabi yang mewakili-Nya di antara para hamba-Nya. “Dan setiap orang yang mencintai Para Nabi, melalui AwliyaNya maka mereka akan menggapai cinta para Nabi. Dan melalui cinta para Nabi, kalian akan menggapai cinta Allah Ta’ala.”
“Karena itu, tanpa cinta, seseorang tak mungkin dapat menjadi orang yang dicintai dalam Hadirat Ilahi. Jika
kalian tak memberikan cinta kalian, bagaimana Allah Ta’ala akan mencintai kalian?” “Namun manusia kini
sudah seperti kayu kering, mereka menyangkal cinta.
Mereka adalah orang-orang yang kering tak ada kehidupan! Suatu pohon, dengan cinta, bersemi dan
berbunga di kala musim semi”. “Tetapi kayu yang telah kering, bahkan seandainya
tujuh puluh kali musim semi mendatanginya, mereka tak akan pernah berbunga. Cinta membuat alam ini terbuka dan memberikan buah-buahannya, memberikan keindahannya
bagi manusia. Tanpa cinta, ia tak akan pernah terbuka, tak akan pernah berbunga, tak akan pernah memberikan buahnya.”
“Jadi Cinta adalah pilar utama paling penting dari Iman. Tanpa Cinta, tak akan ada Iman. Saya dapat
berbicara tentang hal ini hingga tahun depan, tapi kalian harus mengerti, dari setetes, sebuah samudera!”
arief hamdani
http://www.rumisuficafe. blogspot. com
“Perjumpaan dengan para awliya meringankan beban kita dan kita akan merasa ringan dan gembira” , “Adalah mustahil untuk kita memahami diri kita.
Sekurang-kurangnya kita perlu melihat cermin, karena tiada siapapun yang dapat mengenali kepincangan di
dalam dirinya “ Saya tidak berkata, “Ikut saya,” karena saya tahu siapa yang akan ikut bersama saya di Mahsyar kelak “ “Keikhlasan dan Politik tidaklah serasi sebagaimana
Iman dan Penipuan “ “Sudah menjadi suatu aturan yang disepakati di antara Rijal-Allah, Para Kekasih Allah, bahwa keragaman jalan ini adalah diperuntukkan bagi mereka yang belum terhubungkan dan mereka yang belum mencapai akhir perjalanan, dan belum mendapatkan ‘amanat’- nya, sementara mereka yang telah mawsul (“sampai”) semua berada pada satu jalan dan dalam satu lingkaran dan mereka saling mengetahui dan mencintai satu sama lain”.
“ Mereka akan berada di mimbar-mimbar cahaya di Hari Kebangkitan. Karena itu, kita, para Murid dari
jalan-jalan Tariqah mestilah pula saling mengetahui, mengenal dan mencintai satu sama lain demi keridhaan
Allah dan Nabi-Nya serta para Kekasih-Nya agar diri kita mampu memasuki cahaya penuh barakah tersebut dan masuk dalam lingkaran tertinggi dari suhbah persahabatan dan jama’ah, jauh dari furqa (perpecahan) dan keangkuhan”.
“Kita telah diperintahkan untuk mencintai orang-orang suci. Mereka adalah para Nabi, dan setelah para Nabi, adalah para pewaris mereka, Awliya’. Kita telah diperintahkan untuk beriman pada para Nabi, dan iman memberikan pada diri kita Cinta”.
“Cinta membuat manusia untuk mengikuti ia yang dicintai. Ittiba’ bermakna untuk mencintai dan mengikuti, sementara Ittaat’ bermakna [hanya] untuk mengikuti”. “Seseorang yang taat mungkin saja mereka taat karena paksaan atau karena cinta, tapi tidaklah selalu karena cinta.”
“ Allah Ta’ala menginginkan hamba-hamba- Nya untuk mencintai-Nya. Dan para hamba tidaklah mampu menggapai secara langsung cinta atas Tuhan mereka. Karena itulah, Allah Ta’ala mengutus, sebagai utusan dari Diri-Nya, para Nabi yang mewakili-Nya di antara para hamba-Nya. “Dan setiap orang yang mencintai Para Nabi, melalui AwliyaNya maka mereka akan menggapai cinta para Nabi. Dan melalui cinta para Nabi, kalian akan menggapai cinta Allah Ta’ala.”
“Karena itu, tanpa cinta, seseorang tak mungkin dapat menjadi orang yang dicintai dalam Hadirat Ilahi. Jika
kalian tak memberikan cinta kalian, bagaimana Allah Ta’ala akan mencintai kalian?” “Namun manusia kini
sudah seperti kayu kering, mereka menyangkal cinta.
Mereka adalah orang-orang yang kering tak ada kehidupan! Suatu pohon, dengan cinta, bersemi dan
berbunga di kala musim semi”. “Tetapi kayu yang telah kering, bahkan seandainya
tujuh puluh kali musim semi mendatanginya, mereka tak akan pernah berbunga. Cinta membuat alam ini terbuka dan memberikan buah-buahannya, memberikan keindahannya
bagi manusia. Tanpa cinta, ia tak akan pernah terbuka, tak akan pernah berbunga, tak akan pernah memberikan buahnya.”
“Jadi Cinta adalah pilar utama paling penting dari Iman. Tanpa Cinta, tak akan ada Iman. Saya dapat
berbicara tentang hal ini hingga tahun depan, tapi kalian harus mengerti, dari setetes, sebuah samudera!”
arief hamdani
http://www.rumisuficafe. blogspot. com
Wahabi Salafi Musuh Islam Sebenarnya
THE REAL ENEMIES OF ISLAM AND HOW TO RECOGNIZE THEM
Mawlana Syaikh Hisyam Kabbani
Mawlana Syaikh Hisyam Kabbani
Diambil dari http://mevlanasufi.blogspot.com
Musuh Islam Sebenarnya dan Bagaimana Mengenalinya
Musuh Islam sebenarnya saat ini bukan hanya Yahudi, Nasrani, Komunis tetapi juga sesame muslim sendiri. Kebanyakan dari golongan muslim yang menghancurkan Islam, mereka tidak menyadari bahwa tindakannya hanya akan menghancurkan Islam itu sendiri. Berkumpul bersama mereka, berdiskusi, atau bahkan hanya melihat mereka, dapat membawa kegelapan dihati kita. Berdebat dengan mereka adalah tindakan yang terburuk.
Dibalik perhatian mereka yang baik terhadap ibadah mereka, dan hanya Allah swt dan nabi saw yang mengetahuinya, mereka tak dapat menolong diri mereka sendiri untuk menjadi korban dari ibadahnya sendiri. Muslim yang tumbuh dalam lngklungan islam dan semenjak kecil dalam didikan sekolah Islam hingga ketingakt universitas, kurikulum agama islam yang mereka pelajari berdasarkan akidah yang akan menghancurkan Islam itu sendiri.
Media massa, televise, radio , surat kabar, walaupun merupakan program yang sangat relijius, juga artikel mereka di surat kabar merupakan hal yang sangat mendistorsikan pemahaman keislaman. Dan hal ini tak dapat mengangkat citra islam bahkan membuat perpecahan dikalangan umat Islam sendiri. Tetapi mereka masih mengatakan hal itu sesuatu yang islami.
Jangan harapkan mereka, kecuali keburukan saja dari golongan seperti ini. Allah swt telah menuliskan bimbingan dan epetance, bahwa hanya dengan rasa memiliki kepada nabi saw melalui barakah Awliya, mereka dapat menghitung kehidupannya dan melalui pandangan ampunan dan meletakan mereka dibawah sayap intercession.
Dalam pandangan saya , saya hanya melihat satu cara bagaimana menghadapi mereka di Amerika dan didunia barat, dan hal itu adalah dengan cara menjauh dari mereka dan peringati masyarakat tentang mereka. Seoarng syaikh yang saya ketahui mengatakan kepada para murid-muridnya untuk menjauhi mereka, mereka adalah musuh sesungghnya bagi Islam, dan berbicara dengan mereka akan membawa kegelapan pada hati, bahkan pada seluruh sisa umur kehidupan mereka. Dan butuh waktu seratus tahun untuk membersihkan racun dari hati akibat racun dari ibadah mereka.
bagaimana cara mengenali mereka? Disini ada beberapa elemen dasar ciri-ciri mereka sehingga kita dapat menghindari mereka dalam kehidupan didunia maupun diakherat nanti. Insya Allah. Satu-satunya harapan untuk Islam di bumi ini adalah….dst
1. Salat mereka tidak sesuai dari salah satu dari ke empat mazhab dalam islam. Khususnya ketika mereka mengangkat tangan mereka setelah ruku dan menyilangkan tangan mereka diantara ruku dan sujud.
Cara mereka ketika Tashahhud ( ketika duduk tahiyat) dan menggerakan jari telunjuk mereka terus menerus selama tasahud tersebut. Pemahaman mereka terhadap sunah Mustafa, hadist Nabi saw, sangat kontradiksi dengan dengan seluruh mazhab meskipun mereka menggunakan hadist yang sama yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad,” Nabi saw menggerakkan telunjuknya ketika tashahud. Beberapa mazhab hanya menggerakkan tangan sekali saja, kecuali mazhab Maliki dalam seluruh tashahud tetapi hanya menggerakkan kekiri dan kekanan tidak keatas dan kebawah. Mereka membuat cara yang baru dengan menggerakn telunjuk kesegala arah yang sangat bertentangan dengan cara-cara yang disebutkan dalam ke 4 mazhab.
Mereka tidak mengangkat tangan mereka ketika berdoa, mereka tidak menutup kepala mereka ketika solat atau dalam keseharian mereka, meskipun telah diketahui selama berabad-abad, bahwa lelaki yang tidak menutupi kepalanya adalah seperti mereka yang telah kehilangan harga diri dan kehormatannya ( Makhrum al –Muru’a). Mereka tak pernah memakai surban, yang merupakan sunnah Nabi saw, yang selalu digunakan oleh para sahabah dan tabi’in.
Dalam beberapa acara mereka memakai Iq’al. Yang sangat bertentangan dengan sunah, tidak pernah Nabi saw menggunakan Iq’al selama hidupnya.
Mereka tidak pernah melakuakn Shalat Israq, 2 rakaat sunah setelah matahari terbit, Bila hal ini masih belum cukup untuk mengenali tanda-tanda mereka dan menghindari berkumpul bersama mereka bahkan menjauh dari mereka, maka ada beberapa cirri-ciri mereka lainnya seperti disebutkan dibawah ini.
Mereka berkata, bahwa solat mereka hanya mengikuti Quran dan sunah saja. Berarti kehidupan Islam yang dibangun muslim selama lebih dari 13 abad, sebelum faham mereka muncul pada tahun 1930 an mereka katakan tidak mengikuti Quran dan Sunah. Tetapi mereka juga mengatakan kembali kepada sunah adalah keharusan, jangan dengarkan para Imam 4 mazhab atau ulama islam lainnya, siapapun mereka.
Mayoritas muslim akan berpegangan pada Ulama Besar Islam dijaman awal yang mengatakan,” Jika kalian melihat apa yang saya katakan dan hal itu bertentangan dengan sunah Nabi saw, maka abaikan apa yang saya katakan, dan ikuti sunah saja”. Kata-kata ini menggambarkan betapa rendah hatinya ulama besar jaman awal yang tidak ingin menonjolkan diri, tetapi saat ini mereka menghantam saja. Mereka tidak memperhatikan , bahwa Imam yang mengatakan hal ini juga mengatakan,” Jika Nabi saw meninggalkan ku meski hanya satu malam, saya akan menganggap diriku sebagai hipokrit”. Ini adalah ucapan Abu Hanifa Ibn Numan, mudah-mudahan Allah merahmatinya.
Mereka juga berkata,”Mereka adalah manusia biasa dan kita juga manusia”. Kita tahu saat ini yang mereka tak tahu. Yang paling moderat diantara mereka adalah mereka yang tidak berbicara negative mengenai Imam ke 4 mazhab, meskipun demikian mereka tetap tidak mengikuti kebiasaan Imam ke-empat Madzhab tsb. imam tsb. Mereka mengikuti cara mereka sendiri berdasarkan buku terkenal Sifat Salat Nabi saw, oleh Nasrudin al Albani, Albani bahkan tidak pernah bisa membuktikan bahwa ia telah mendapat Ijazah untuk mengajar dari gurunya, tentu saja saya lebih mengikuti Imam Malik, Abu Hanifa, Imam Syafi’I atau Ibn Hambali.
Satu dari argument terburuk mereka, adalah bertanya mengenai dalil dari Al-Quran dan Sunah yang menjadi pedoman para Ulama Besar tadi. Mereka tidak mengerti bahwa Al-Quran dan Sunah adalah pilar yang mana antaralainnya terbukti termasuk juga Qiyas, Ijma’a, Qaul para Sahabat. Dan juga yang tak kalah pentingnya adalah Maaruf, atau berdasarkan pendapat orang yang memiliki moral yang baik dan setuju bahwa amalan tersebut adalah baik.
Jika kalian bertanya kepada mereka mengenai kebiasaan muslim di seluruh dunia memperingati hari kelahiran atau Mawlid Nabi, maka mereka akan mengatakan Bid’ah.
Masjid-masjid mereka hanya memiliki dinding yang putih saja, padahal rumah dan kantor mereka penuh hiasan kaligrafi. Tak perlu bertanya kepada mereka mengapa demikian, karena mereka tak akan menjawabnya. Mereka mungkin saja sangat dermawan dan kaya, tetapi berhati-hatilah apa yang mereka katakan dibelakang kalian jika kalian mengatakan bahwa kalian adalah murid dari Syaikh ini. Itulah adalah salah satu dosa terbesar dalam pandangan mereka jika kalian memiliki Syaikh.
Mereka mungkin memaafkan kalian jika kalian tak tahu ilmu agama, tetapi mereka tak akan memaafkan kalian jika kalian mempelajari agama melalui seseorang Mursyid. Mereka lebih memilih belajar melalui buku, video tape atau melalui universitas mereka.
Poin terakhir dalam bagian ini adalah interpretasi literal mereka dalam sebuah hadis Nabi saw seperti,” Apa yang terdapat di bawah engkel adalah neraka!. Disisi lain mereka cenderung untuk mencari interpretasi sendiri, tetapi paling obvious dari hadist kewalian,” “Aku akan menjadi mata baginya bagi apa yang dilihatnya, menjadi pendengarannya ketika ia mendengar, menjadi tangannya untuk memegang, dan menjadi kakinya dimana ia melangkah”. Pernah saya katakan hadist ini kepada seorang teman di perpustakaan Islamic Center dan satu dari mereka yang duduk disebelahku berkata,” Ini adalah Hululiya!”. Saya tak dapat menahan berkata,” Jika Nabi saw berkata ini adalah hululiya maka saya hululiya!”.
Wa min Allah at Tawfiq
Penghancuran Madinah (Yatsrib) oleh Wahabi
Mawlana Syaikh Hisyam Kabbani
Ditranslasi dari The Approaching to Armageddon
Nabi saw. menyebutkan bahwa salah satu tanda akhir zaman adalah pembangunan Bayt al-Maqdis di Yerusalem dan penghancuran Yatsrib (Madinah). Dari Mu’âdz ibn Jabal, Nabi saw. berkata (bahwa di antara tanda-tanda akhir zaman adalah), “Pembangunan kembali Bayt al-Maqdis, penghancuran Yatsrib dan penghancuran Yatsrib, munculnya pembantaian dan pertempuran dahsyat atau pertikaian berdarah, penaklukan Konstantinopel dan kemunculan Dajal.” Lalu Nabi saw. menepuk paha Mu’âdz sambil berkata, “Sungguh, itu merupakan kebenaran, seperti halnya kenyataan bahwa kamu sedang duduk saat ini.” Kita mungkin akan berpikir bahwa untuk membangun Yerusalem (Quds) berarti membangun gedung-gedung tinggi beserta tampilan peradabannya yang bisa kita saksikan saat ini, dan bahwa di Madinah tidak akan ada “peradaban” semacam itu. Namun, di Madinah telah dibangun gedung-gedung tinggi, pusat-pusat perbelanjaan, hotel-hotel, terowongan-terowongan menuju masjid, dan perluasan masjid. Semua ini tampaknya bertolak belakang dengan hadis yang menyebutkan bahwa Madinah akan hancur.
Ketika kita cermati hadis itu lebih dalam, kita melihat bahwa Nabi saw. tidak menyebutkan bahwa seluruh kota Yerusalem akan dibangun, tetapi Bayt al-Maqdis akan diperbaiki. Quds mencakup seluruh Yerusalem, dan Bayt al-Maqdis adalah kawasan suci tempat Nabi Muhammad saw. naik ke langit dalam rangka Isra dan Miraj. Ucapan Nabi saw. tidak mencakup seluruh bangunan di Yerusalem, seperti yang disebutkan dalam hadis, “pemugaran kembali Bayt al-Maqdis,” yang secara khusus menyebutkan bayt (rumah) untuk menekankan bangunan yang akan dipelihara dan dipugar, termasuk bangunan di sekelilingnya, seperti monumen dan benda-benda sejarah. Kawasan tersebut telah dijaga selama berabad-abad, dan dipelihara dalam bentuknya yang asli. Melalui pengetahuannya yang diberikan oleh Allah, Nabi Muhammad saw. telah melukiskan peristiwa itu 1400 tahun yang lalu. Seperti yang disebutkan terdahulu, situasi Madinah saat ini, dengan bangunan-bangunannya modern, tampak bertolak belakang dengan hadis yang menyebutkan bahwa Madinah akan mengalami penghancuran. Namun, dengan pencermatan yang lebih saksama, kita mengetahui bahwa Nabi saw. secara khusus menyebutkan bahwa Yatsrib, bukan Madinah, akan dirusak.
Pernyataan Nabi yang sangat akurat itu mengungkapkan makna yang bisa dipahami dalam konteks modern. Yatsrib adalah kota Nabi tempat munculnya cahaya pengetahuan yang menyinari dunia. Ia merupakan tempat berdirinya pemerintahan Islam yang pertama, dan sumber banyak prestasi para sahabat. Kharâb Yatsrib berarti bahwa peradaban kota tua Madinah (yang dulu dikenal dengan nama Yatsrib) akan rusak. Dampaknya adalah bahwa segala peninggalan klasik dan tradisional dalam Islam akan dihancurkan pada masa-masa sebelum datangnya Kiamat.
Pengrusakan Bangunan Monumental Islam oleh Wahabi
Pengrusakan itu dilakukan oleh sekelompok orang yang menyebarkan versi Islam mereka sendiri, yang mendiskreditkan dan meremehkan tradisi-tradisi klasik. Kini, kita menyaksikan kemunculan sekelompok orang yang menentang setiap aspek Islam tradisional, Islam arus utama, yang telah dipelihara oleh umat Islam selama lebih dari 1400 tahun. Kelompok tersebut ingin mengubah seluruh pemahaman keagamaan dengan menawarkan Islam “modernis” mereka. Orang-orang tersebut merupakan kelompok minoritas di tubuh umat Islam.Gagasan-gagasan mereka yang penuh penyimpangan telah disanggah dan ditolak dari berbagai sisi oleh para ulama Islam, seperti yang telah banyak ditulis orang. Tidak ada yang namanya Islam itu dimodernkan, diperbaiki, ataupun dibenahi. Islam adalah agama yang sempurna, sejak pertama kali dibawa oleh Nabi Muhammad saw. hingga Hari Kiamat. Allah berfirman: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan atasmu nikmatku, dan telah Kuridai Islam menjadi agama bagimu. (Q 5:3)
Islam adalah pesan terakhir dan pastilah mampu mengakomodasi semua kehidupan manusia hingga akhir masa. Islam dapat merangkul semua jenis kebudayaan tanpa sedikit pun menambah atau mengurangi makna Islam itu sendiri. Oleh karena itu, tidak ada reformasi, renovasi, penambahan, atau pengurangan dalam Islam. Sementara Islam tidak mengenal reformasi, orang-orang Islam sendiri perlu mereformasi diri sehingga mereka dapat memahami dan melaksanakan Islam dengan benar. Dalam kesempurnaannya, Islam mirip dengan bulan purnama: bulatnya tidak kurang dan tidak lebih. Kharâb (Penghancuran) Yatsrib disebutkan dua kali dalam hadis di atas. Kali pertama adalah penghancuran peradaban pengetahuan Nabi saw, yaitu pengrusakan agama dalam bentuk penyimpangan terhadap pesan-pesan Nabi saw. Mereka yang mengklaim diri sebagai “pembaharu Islam” berusaha menyuguhkan hal-hal baru untuk menggantikan dan menghapus hal-hal klasik dan tradisional dalam Islam. Sejak dari Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhâb hingga Jamâl al-DĂ®n al-AfghânĂ®, al-MawdĂ»dĂ®, Sayyid Quthb, dan yang lainnya, para “modernis” ini berusaha mengubah seluruh tradisi Islam yang diajarkan dan dicontohkan oleh Nabi saw. di Yatsrib. Aliran Wahabi adalah yang pertama kali mengajukan pemahaman yang sepenuhnya baru tentang Islam, dengan kedok “pemurnian” Islam.
Ideologi Wahabi ini telah merusak Islam tradisional atas nama “pemurnian” Islam, seakan-akan semua orang Islam sebelum munculnya Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhâb telah tersesat. Alih-alih membawa pemurnian, ia justru telah menghancurkan ilmu-ilmu dan praktik keislaman yang telah berakar selama berabad-abad. Semua hal yang telah diwariskan Nabi saw. dan generasi Islam sepeninggal beliau tiba-tiba dicap sebagai bentuk penyembahan berhala (syirik) yang harus dimusnahkan. Orang-orang Islam yang melaksanakan ibadah haji dijejali dengan bahan-bahan bacaan dan propaganda mereka, sehingga para jemaah itu menganggap bahwa keyakinan dan praktik tradisional mereka bertentangan dengan Islam. Sekte Wahabi meragukan tradisi keilmuan yang telah berusia 1400 tahun, dan melontarkan tuduhan kufur, syirik, bidah, dan haram terhadap berbagai praktik dan pemahaman tradisional. Kerusakan pertama yang menimpa Yatsrib adalah ketika Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhâb menghancurkan ilmu-ilmu keislaman dengan cara meracuni pemahaman orang-orang Islam terhadap agama mereka. Ungkapan kharâb Yatsrib yang kedua merujuk pada penghancuran fisik terhadap bangunan dan monumen yang berasal dari masa Nabi di Yatsrib, kota Madinah klasik. Di Madinah memang telah terjadi perluasan Masjidil Haram, tetapi kenyataan tersebut tidak bertolak belakang dengan ungkapan “kharâb Yatsrib” karena hadis tersebut merujuk pada kota tua Madinah yang dikenal dengan Yatsrib, dan semua yang mewakilinya.
Segala sesuatu yang terkait dengan kehidupan Nabi telah dipelihara oleh orang-orang Islam selama bertahun-tahun, apakah masjid tua, benda-benda sejarah, atau makam rasul, para sahabat, istri, dan anak-anaknya. Meskipun orang-orang Islam selama berabad-abad sepakat bahwa situs-situs tersebut merupakan bagian penting dalam sejarah dan tradisi Islam, semuanya dihancurkan oleh aliran Wahabi dengan menggunakan dalih bahwa “semua itu bukan lagi Islam”. Pemahaman mereka yang dangkal terhadap Islam mengakibatkan penghancuran sejumlah benda peninggalan sejarah dan monumen. Kharâb berarti “penghancuran,” tetapi kata ini juga bermakna peruntuhan.” Memang, kantong-kantong tradisi klasik masih ada, dan hendak dibangun kembali oleh umat Islam, tetapi mereka tidak diperkenankan membangunnya kembali, sehingga yang tersisa hanyalah reruntuhan dan puing-puing bangunan.
Tidak ada lagi orang yang mengetahui lokasi kuburan para sahabat. Di Gunung Uhud dekat Madinah, kita bisa menyaksikan puing-puing bangunan yang awalnya merupakan makam yang dilengkapi dengan kubah dan hiasan-hiasan indah. Dengan makam yang terlihat jelas, bangunan suci itu mengenang para sahabat yang gugur bersama Hamzah di Gunung Uhud. Kini, hanya ada reruntuhan dinding yang diabaikan oleh para pengunjung. Demikian pula halnya, sudah tidak ada lagi bekas-bekas yang menunjukkan makam para syuhada Badar. Juga, tidak ada lagi tanda kuburan istri Nabi, KhadĂ®jah al-Kubrâ di Jannat al-Mu’ala, Mekah. Di Jannat al-BaqĂ®’ (permakaman yang bersebelahan dengan makam dan Masjid Nabi di Madinah), makam ‘Utsmân, ‘Ă‚’isyah dan sejumlah sahabat telah dipelihara oleh penguasa ‘Utsmani hingga awal abad ke-20, namun jejak-jejaknya kini telah dihilangkan. Hal itu merupakan pengrusakan fisik terhadap peradaban Islam yang ada sejak Nabi saw. tinggal di Yatsrib. Dengan perlahan-lahan dan diam-diam, para pengikut sekte Wahabi telah melenyapkan semua hal yang terkait dengan Nabi saw. dan Islam tradisional, sehingga saat ini nyaris tak tersisa. Di samping Ka’bah di Mekah al-Mukarramah terdapat Maqâm IbrâhĂ®m, yang memuat jejak kaki Nabi IbrâhĂ®m ketika beliau membangun Ka’bah. Allah berfirman: Dan ingatlah ketika Kami menjadikan Baitullah sebagai tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebagian Maqâm IbrâhĂ®m sebagai tempat salat. (Q 2:125)
Meskipun demikian, otoritas keagamaan Wahabi atau salafi di Mekah pernah mencoba melenyapkan Maqâm Ibrâhim. Itu terjadi pada masa almarhum Syekh MutawallĂ® al-Sya’râwĂ® dari Mesir yang memberi tahu Raja Faisal tentang rencana mereka, sehingga raja memerintahkan mereka agar membiarkan Maqâm IbrâhĂ®m di tempatnya semula. Raja berdiri menentang mereka dalam persoalan serius itu, tetapi banyak kejadian serupa di mana beliau hampir mustahil menahan gelombang pengrusakan terhadap benda-benda peninggalan dan tradisi Islam. Hingga 1960-an, makam ayah Nabi di Madinah ditandai dengan tulisan di dinding sebuah rumah dekat Masjid Nabawi, tetapi tanda itu kini sudah lenyap. Di Masjid Nabawi, semua dinding dan tiang masjid awalnya dihiasi dengan puisi-puisi pujian terhadap Nabi saw. Para pengikut aliran Wahabi kemudian menghilangkan hiasan-hiasan itu, baik dengan mengganti dinding marmer itu, atau menghapusnya hingga tidak terlihat lagi hiasan puisi yang tersisa. Satu-satunya hal yang tidak dapat mereka lenyapkan adalah tulisan di depan mimbar pada mihrab (tempat salat imam) yang berisi pujian kepada Nabi saw. dan 200 nama beliau. Pada tahun 1936, orang-orang Wahabi bahkan berusaha memisahkan Masjid Nabawi dari makam Nabi, tetapi negara-negara Muslim bersatu menentang rencana tersebut dan berhasil menggagalkannya, sebuah keberhasilan yang sangat jarang terjadi.
Di depan gerbang menuju makam Nabi (al-muwâjihâh al-syarĂ®fah), pada awalnya terdapat tulisan: Yâ Allâh! Yâ Muhammad! Pengikut aliran Wahabi kemudian menghapus huruf yâ’ dalam ungkapan Yâ Muhammad, sehingga hanya tersisa huruf alif, Ă‚ Muhammad, atau Muhammad saja. Belakangan, mereka melangkah lebih jauh lagi dengan menempatkan kembali huruf yâ’ pada kata Yâ Muhammad, dan juga menambahkan titik di bawah huruf hâ’ sehingga menjadi huruf jim (ďşť), dan menambahkan dua titik (di bawah huruf mĂ®m) sehingga menjadi huruf yâ’. Dengan begitu, mereka telah mengubah nama Muhammad menjadi MajĂ®d, salah satu asma Allah. Kini, tulisan tersebut menjadi: Yâ Allâh! Yâ MajĂ®d! Persis seperti ketika melenyapkan makam para sahabat dan keluarga Nabi, mereka kini juga telah menghapus nama Nabi dari makamnya sendiri. Ini bertentangan dengan kenyataan bahwa Allah telah memuliakan Nabi saw. dengan menempatkan nama beliau bersanding dengan nama-Nya dalam kalimat syahadat, lâ ilâha illâ Allâh, Muhammad RasĂ»l Allâh. Khârab Yatsrib yang disebutkan dua kali dalam hadis di atas telah terpenuhi. Pertama, dari segi ideologi oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhâb dan para pengikutnya. Dan kedua, dengan kerusakan fisik yang terus berlangsung terhadap sisa-sisa Islam tradisional. Pembangunan kembali Bayt al-Maqdis, yang hanya sekali disebut, juga sedang berlangsung. Ungkapan ‘umrân Bayt al-Maqdis berarti pembangunan kembali peninggalan-peninggalan klasik di Yerusalem, sementara ungkapan kharâb Yatsrib berarti penghancuran terhadap cara-cara dan peninggalan klasik di kota YatsribWa min Allah at Tawfiq
Assalamu ‘alaikum wr. wb.Rekan-rekan yang diRahmati Alloh SWT, Saya hanya ingin menambahkan sedikit saja tentang kehancuran Kota Madinah, sepertimana yang baru-baru saya saksikan secara langsung ketika mengunjungi kota Madinah Al-Munawwaroh 17-20 Juli 2005. Itung-itung cerita ini sebagai oleh-oleh dari Madinah ya…Dari segi kemajuan tekhnologi tata ruang bangunan dan interior sebuah kota, saya menilai Madinah sangat cantik dan modern serta memiliki kemajuan yang sangat pesat sekali, terutama bangunan-bangunan diseputar Masjid Nabawi dan tempat-tempat sekitar radius 5-10 kilometer dari Masjid Nabawi. Namun dari sudut pandang sejarah, kota ini seakan-akan tidak memiliki lagi latar belakang sejarah kegemilangan Islam di masa lalu. Secara pribadi saya amat sangat menyayangkan situs-situs sejarah banyak yang dihilangkan oleh pemerintah KSA yang berfaham wahabi, seakan-akan kota ini ingin dirubah seperti newyork atau ala singapura. Perubahan ini terjadi dimulai sejak era tahun 1990-an, dimana kebetulan tahun 1993 saya juga pernah mengunjungi kota ini selama 9 hari.
Perubahan yang terjadi dari hasil pengamatan saya adalah :1. Pemakaman syuhada baqi, kalau dulu tahun 1993 kita masih bisa ziarah dan memandang ke makam baqi dengan hanya berdiri seperti halnya bila kita berdiri diluar tempat pemakaman umum di Indonesia. Tapi perubahan yang sekarang adalah, pemakaman baqi tidak bisa dilihat atau diziarahi hanya dengan berdiri karena pemakaman itu sekarang sudah dikurung dengan tembok berlapis marmer setinggi kira-kira 6-10 meter tingginya, sehingga kalau kita mau berziarah dan melihat makam syuhada baqi harus menaiki anak tangga dulu sekitar 5 meter. Disamping itu kalau dulu kita bebas berziarah kapan saja waktunya sesuai dengan keinginan kita, tapi sekarang tidak sembarang waktu bisa kita lakukan, kecuali antara pkl 07.00 sampai pkl.8.30 pagi waktu setempat. walaupun kita terlambat 5 menit saja, jangan berharap anda bisa menaiki anak tangga karena diujung anak tangga sudah di tutup pintu besi setinggi 3 meter-an, dan bilamana sudah pkl.08.30 anda masih saja berada di atas sana, askar2 kerajaan akan segera menarik-narik badan anda untuk segera keluar dari sana. Jadi memang sekarang sangat dibatasi ruang maupun waktu dalam menziarahi maqam baqi ini.
Dan yang menggenaskan saya adalah, dibawah tembok setinggi 6-10 meter itu sekarang sudah dibuat kios-kios kecil sebagai tempat usaha para pedagang menjajakan barang dagangannya. Entahlah… mungkin 15-20 tahun kedepan Maqam baqi mungkin sudah tidak ada lagi dan areal pemakamannya sudah dijadikan gedung pasar yang modern. Menurut penilaian saya, penutupan areal pemakaman dengan tembok setinggi 6-10 meter saat ini hanya sebagai awal saja, dengan maksud supaya orang tidak lagi secara bebas berziarah kesana, sehingga lama-kelamaan orang akan lupa untuk berziarah ke maqam Baqi ini. Akhirnya setelah orang melupakan areal ini, generasi berikut tak ada lagi yang mengetahui dimana areal pemakaman baqi, selanjutnya mungkin akan dijadikan gedung pertokoan, siapa tahu…?
2. Masjid Qiblatain, (masjid 2 kiblat), dulu tahun 1993 masjid ini memiliki 2 mimbar, satu menghadap Makkah, satu lagi menghadap Baytul Maqdis.Pada mimbar baytul maqdis tertulis dengan berbagai bahasa termasuk dalam bahasa indonesia, yang menceritakan bahwa mimbar ini sebelumnya digunakan sebagai mimbar Rosululloh SAW ketika sholat menghadap baqtul maqdis, namun setelah turun ayat (al-Isro..?) yang memerintahkan untuk merubah qiblat dari menghadap masjidil aqsho ke masjidil harom, Rosululloh SAW berpindah ke mimbar yang sekarang menghadap Masjidil harom (mimbar ke 2).Tapi sekarang ; mimbar yang menghadap Masjidil Aqso sudah dihilangkan sehingga tidak ada tanda lagi bahwa masjid ini memiliki 2 kiblat, sehingga sudah hilang nilai sejarahnya. “Masjid qiblatain” hanyalah tinggal sebuah nama saja, mimbarnya tinggal 1, sepantasnya namapun berubah menjadi Masjid Qiblat, karena mimbarnya hanya satu.
3. Parit Handak, yang pernah digunakan Rosululloh SAW untuk menghalau musuh dalam peperangan, dulu tahun 1993 masih ada berupa gundukan tanah yang digali seperti lobang saluran air yang panjang, tapi kini khandak hanya tinggal nama, lokasinya sudah diuruk rata.4. “Tanah basah” tempat dimana Syadina Hamzah terbunuh pada perang uhud, sekarang sudah ditutup dengan aspal yang tebal dan dijadikan lokasi parkir kendaraan. Tapi anehnya, walupun sudah dilapisi dengan aspal, aspalnya tetap basah hingga sekarang walaupun sudah 14 abad terpanggang sinar matahari. Konon tanah ini tetap menangis selama-lamanya karena ditumpahi darah Saydina Hamzah Rodiallohu-anhu, seorang yang sangat gagah berani di medan Uhud, sehingga terus-menerus basah walaupun sudah ditutup dan dilapisi aspal yang tebal.
5. Kota Madinah sebetulnya memiliki sebuah sumur abadi seperti halnya sumur zam-zam di Makkah, perbedaannya kalau sumur zam-zam itu asalnya adalah peninggalan Nabi Ibrahim AS, ketika Siti Hajar istrinya mencarikan air untuk memberi minum putranya Nabi Ismail AS. Tapi kalau di Madinah adalah peninggalan Rosululloh SAW, yang masih tetap mengeluarkan air hingga sekarang. Namanya adalah sumur “Tuflah”, lokasinya dipinggiran kota Madinah. Tuflah asal katanya berarti air ludah, konon kata kuncen penjaga sumur ini, sumur ini dibuat semasa Rosululloh SAW dalam perjalanan menuju kota Madinah, namun ketika itu kehabisan persediaan air.Akhirnya Rosululloh SAW dengan mu’jizatnya meludahi dengan air ludahnya sendiri suatu tempat di padang pasir yang gersang itu, dan saat itu juga tanah itu mengeluarkan air dan hingga sekarang dijadikan sebuah sumur yang airnya sangat jernih sejernih zam-zam, dan tetap mengalirkan air hingga sekarang. Saya mencoba minum dan berwudhu dari air sumur ini, memang terasa sangat nikmat bagaikan meminum air zam-zam. Tapi sangat disayangkan, sumur ini sudah jelas sebagai peninggalan sejarah dimasa Rosululloh SAW, tidak dilestarikan sama-sekali bahkan dibiarkan saja oleh Pemerintah KSA sehingga nampak kusam dan tidak terurus sama-sekali. Mungkunkah wahabi tidak terlalu suka peninggalan Rosululloh SAW?
Kata kuncen penjaga, kebanyakan orang-orang yang mengunjungi sumur ini adalah orang-orang ahlus-sunnah yang mencintai ahlul bait, termasuk anda, anda dari Indonesia?, katanya…Tapi maaf, disini anda tidak boleh berlama-lama melancong, karena setiap 2 jam sekali ada patroli dari Askar kerajaan dan mata-matanya (spionase) yang mengawasi orang-orang yang berkunjung kesini. Saya khwatir anda ditangkap oleh tentara wahabi. Maka bila anda sudah minum dan berwudhu silakan anda segera pergi dari sini. Wa min Allah at Tawfiq
A’uudzu billaahi minasy syaythaanir rajiim Bismillahir rahmaanir rahiim.Alhamdulilla hi robbil ‘alaamin Allaahumma shalli wa sallim wa barik ‘alaa Sayidina Muhammadin wa ‘alaa aali Sayidina Muhammadin wa ashaabihi wa azwajihi wa dzuriyyatihi wa ahli baitihi ajma’in. Yaa Mawlana Yaa Sayyidi Madad al-Haqq.
THORIQOH JALAN MENUJU HUSNUL KHOTIMAH
I. Pengetian Thoriqoh. Arti Thoriqoh menurut bahasa adalah jalan atau bisa disebut Madzhab mengetahui adanya jalan, perlu pula mengetahui “cara” melintasi jalan itu agar tidak kesasar/tersesat. Tujuan Thoriqoh adalah mencari kebenaran, maka cara melintasinya jalan itu juga harus dengan cara yang benar. Untuk itu harus sudah ada persiapan batin, yakni sikap yang benar. Sikap hati yang demikian tidak akan tampil dengan sendirinya, maka perlu latihan-latihan batin tertentu dengan cara-cara yang tertentu pula.
Ditranslasi dari The Approaching to Armageddon
Nabi saw. menyebutkan bahwa salah satu tanda akhir zaman adalah pembangunan Bayt al-Maqdis di Yerusalem dan penghancuran Yatsrib (Madinah). Dari Mu’âdz ibn Jabal, Nabi saw. berkata (bahwa di antara tanda-tanda akhir zaman adalah), “Pembangunan kembali Bayt al-Maqdis, penghancuran Yatsrib dan penghancuran Yatsrib, munculnya pembantaian dan pertempuran dahsyat atau pertikaian berdarah, penaklukan Konstantinopel dan kemunculan Dajal.” Lalu Nabi saw. menepuk paha Mu’âdz sambil berkata, “Sungguh, itu merupakan kebenaran, seperti halnya kenyataan bahwa kamu sedang duduk saat ini.” Kita mungkin akan berpikir bahwa untuk membangun Yerusalem (Quds) berarti membangun gedung-gedung tinggi beserta tampilan peradabannya yang bisa kita saksikan saat ini, dan bahwa di Madinah tidak akan ada “peradaban” semacam itu. Namun, di Madinah telah dibangun gedung-gedung tinggi, pusat-pusat perbelanjaan, hotel-hotel, terowongan-terowongan menuju masjid, dan perluasan masjid. Semua ini tampaknya bertolak belakang dengan hadis yang menyebutkan bahwa Madinah akan hancur.
Ketika kita cermati hadis itu lebih dalam, kita melihat bahwa Nabi saw. tidak menyebutkan bahwa seluruh kota Yerusalem akan dibangun, tetapi Bayt al-Maqdis akan diperbaiki. Quds mencakup seluruh Yerusalem, dan Bayt al-Maqdis adalah kawasan suci tempat Nabi Muhammad saw. naik ke langit dalam rangka Isra dan Miraj. Ucapan Nabi saw. tidak mencakup seluruh bangunan di Yerusalem, seperti yang disebutkan dalam hadis, “pemugaran kembali Bayt al-Maqdis,” yang secara khusus menyebutkan bayt (rumah) untuk menekankan bangunan yang akan dipelihara dan dipugar, termasuk bangunan di sekelilingnya, seperti monumen dan benda-benda sejarah. Kawasan tersebut telah dijaga selama berabad-abad, dan dipelihara dalam bentuknya yang asli. Melalui pengetahuannya yang diberikan oleh Allah, Nabi Muhammad saw. telah melukiskan peristiwa itu 1400 tahun yang lalu. Seperti yang disebutkan terdahulu, situasi Madinah saat ini, dengan bangunan-bangunannya modern, tampak bertolak belakang dengan hadis yang menyebutkan bahwa Madinah akan mengalami penghancuran. Namun, dengan pencermatan yang lebih saksama, kita mengetahui bahwa Nabi saw. secara khusus menyebutkan bahwa Yatsrib, bukan Madinah, akan dirusak.
Pernyataan Nabi yang sangat akurat itu mengungkapkan makna yang bisa dipahami dalam konteks modern. Yatsrib adalah kota Nabi tempat munculnya cahaya pengetahuan yang menyinari dunia. Ia merupakan tempat berdirinya pemerintahan Islam yang pertama, dan sumber banyak prestasi para sahabat. Kharâb Yatsrib berarti bahwa peradaban kota tua Madinah (yang dulu dikenal dengan nama Yatsrib) akan rusak. Dampaknya adalah bahwa segala peninggalan klasik dan tradisional dalam Islam akan dihancurkan pada masa-masa sebelum datangnya Kiamat.
Pengrusakan Bangunan Monumental Islam oleh Wahabi
Pengrusakan itu dilakukan oleh sekelompok orang yang menyebarkan versi Islam mereka sendiri, yang mendiskreditkan dan meremehkan tradisi-tradisi klasik. Kini, kita menyaksikan kemunculan sekelompok orang yang menentang setiap aspek Islam tradisional, Islam arus utama, yang telah dipelihara oleh umat Islam selama lebih dari 1400 tahun. Kelompok tersebut ingin mengubah seluruh pemahaman keagamaan dengan menawarkan Islam “modernis” mereka. Orang-orang tersebut merupakan kelompok minoritas di tubuh umat Islam.Gagasan-gagasan mereka yang penuh penyimpangan telah disanggah dan ditolak dari berbagai sisi oleh para ulama Islam, seperti yang telah banyak ditulis orang. Tidak ada yang namanya Islam itu dimodernkan, diperbaiki, ataupun dibenahi. Islam adalah agama yang sempurna, sejak pertama kali dibawa oleh Nabi Muhammad saw. hingga Hari Kiamat. Allah berfirman: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan atasmu nikmatku, dan telah Kuridai Islam menjadi agama bagimu. (Q 5:3)
Islam adalah pesan terakhir dan pastilah mampu mengakomodasi semua kehidupan manusia hingga akhir masa. Islam dapat merangkul semua jenis kebudayaan tanpa sedikit pun menambah atau mengurangi makna Islam itu sendiri. Oleh karena itu, tidak ada reformasi, renovasi, penambahan, atau pengurangan dalam Islam. Sementara Islam tidak mengenal reformasi, orang-orang Islam sendiri perlu mereformasi diri sehingga mereka dapat memahami dan melaksanakan Islam dengan benar. Dalam kesempurnaannya, Islam mirip dengan bulan purnama: bulatnya tidak kurang dan tidak lebih. Kharâb (Penghancuran) Yatsrib disebutkan dua kali dalam hadis di atas. Kali pertama adalah penghancuran peradaban pengetahuan Nabi saw, yaitu pengrusakan agama dalam bentuk penyimpangan terhadap pesan-pesan Nabi saw. Mereka yang mengklaim diri sebagai “pembaharu Islam” berusaha menyuguhkan hal-hal baru untuk menggantikan dan menghapus hal-hal klasik dan tradisional dalam Islam. Sejak dari Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhâb hingga Jamâl al-DĂ®n al-AfghânĂ®, al-MawdĂ»dĂ®, Sayyid Quthb, dan yang lainnya, para “modernis” ini berusaha mengubah seluruh tradisi Islam yang diajarkan dan dicontohkan oleh Nabi saw. di Yatsrib. Aliran Wahabi adalah yang pertama kali mengajukan pemahaman yang sepenuhnya baru tentang Islam, dengan kedok “pemurnian” Islam.
Ideologi Wahabi ini telah merusak Islam tradisional atas nama “pemurnian” Islam, seakan-akan semua orang Islam sebelum munculnya Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhâb telah tersesat. Alih-alih membawa pemurnian, ia justru telah menghancurkan ilmu-ilmu dan praktik keislaman yang telah berakar selama berabad-abad. Semua hal yang telah diwariskan Nabi saw. dan generasi Islam sepeninggal beliau tiba-tiba dicap sebagai bentuk penyembahan berhala (syirik) yang harus dimusnahkan. Orang-orang Islam yang melaksanakan ibadah haji dijejali dengan bahan-bahan bacaan dan propaganda mereka, sehingga para jemaah itu menganggap bahwa keyakinan dan praktik tradisional mereka bertentangan dengan Islam. Sekte Wahabi meragukan tradisi keilmuan yang telah berusia 1400 tahun, dan melontarkan tuduhan kufur, syirik, bidah, dan haram terhadap berbagai praktik dan pemahaman tradisional. Kerusakan pertama yang menimpa Yatsrib adalah ketika Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhâb menghancurkan ilmu-ilmu keislaman dengan cara meracuni pemahaman orang-orang Islam terhadap agama mereka. Ungkapan kharâb Yatsrib yang kedua merujuk pada penghancuran fisik terhadap bangunan dan monumen yang berasal dari masa Nabi di Yatsrib, kota Madinah klasik. Di Madinah memang telah terjadi perluasan Masjidil Haram, tetapi kenyataan tersebut tidak bertolak belakang dengan ungkapan “kharâb Yatsrib” karena hadis tersebut merujuk pada kota tua Madinah yang dikenal dengan Yatsrib, dan semua yang mewakilinya.
Segala sesuatu yang terkait dengan kehidupan Nabi telah dipelihara oleh orang-orang Islam selama bertahun-tahun, apakah masjid tua, benda-benda sejarah, atau makam rasul, para sahabat, istri, dan anak-anaknya. Meskipun orang-orang Islam selama berabad-abad sepakat bahwa situs-situs tersebut merupakan bagian penting dalam sejarah dan tradisi Islam, semuanya dihancurkan oleh aliran Wahabi dengan menggunakan dalih bahwa “semua itu bukan lagi Islam”. Pemahaman mereka yang dangkal terhadap Islam mengakibatkan penghancuran sejumlah benda peninggalan sejarah dan monumen. Kharâb berarti “penghancuran,” tetapi kata ini juga bermakna peruntuhan.” Memang, kantong-kantong tradisi klasik masih ada, dan hendak dibangun kembali oleh umat Islam, tetapi mereka tidak diperkenankan membangunnya kembali, sehingga yang tersisa hanyalah reruntuhan dan puing-puing bangunan.
Tidak ada lagi orang yang mengetahui lokasi kuburan para sahabat. Di Gunung Uhud dekat Madinah, kita bisa menyaksikan puing-puing bangunan yang awalnya merupakan makam yang dilengkapi dengan kubah dan hiasan-hiasan indah. Dengan makam yang terlihat jelas, bangunan suci itu mengenang para sahabat yang gugur bersama Hamzah di Gunung Uhud. Kini, hanya ada reruntuhan dinding yang diabaikan oleh para pengunjung. Demikian pula halnya, sudah tidak ada lagi bekas-bekas yang menunjukkan makam para syuhada Badar. Juga, tidak ada lagi tanda kuburan istri Nabi, KhadĂ®jah al-Kubrâ di Jannat al-Mu’ala, Mekah. Di Jannat al-BaqĂ®’ (permakaman yang bersebelahan dengan makam dan Masjid Nabi di Madinah), makam ‘Utsmân, ‘Ă‚’isyah dan sejumlah sahabat telah dipelihara oleh penguasa ‘Utsmani hingga awal abad ke-20, namun jejak-jejaknya kini telah dihilangkan. Hal itu merupakan pengrusakan fisik terhadap peradaban Islam yang ada sejak Nabi saw. tinggal di Yatsrib. Dengan perlahan-lahan dan diam-diam, para pengikut sekte Wahabi telah melenyapkan semua hal yang terkait dengan Nabi saw. dan Islam tradisional, sehingga saat ini nyaris tak tersisa. Di samping Ka’bah di Mekah al-Mukarramah terdapat Maqâm IbrâhĂ®m, yang memuat jejak kaki Nabi IbrâhĂ®m ketika beliau membangun Ka’bah. Allah berfirman: Dan ingatlah ketika Kami menjadikan Baitullah sebagai tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebagian Maqâm IbrâhĂ®m sebagai tempat salat. (Q 2:125)
Meskipun demikian, otoritas keagamaan Wahabi atau salafi di Mekah pernah mencoba melenyapkan Maqâm Ibrâhim. Itu terjadi pada masa almarhum Syekh MutawallĂ® al-Sya’râwĂ® dari Mesir yang memberi tahu Raja Faisal tentang rencana mereka, sehingga raja memerintahkan mereka agar membiarkan Maqâm IbrâhĂ®m di tempatnya semula. Raja berdiri menentang mereka dalam persoalan serius itu, tetapi banyak kejadian serupa di mana beliau hampir mustahil menahan gelombang pengrusakan terhadap benda-benda peninggalan dan tradisi Islam. Hingga 1960-an, makam ayah Nabi di Madinah ditandai dengan tulisan di dinding sebuah rumah dekat Masjid Nabawi, tetapi tanda itu kini sudah lenyap. Di Masjid Nabawi, semua dinding dan tiang masjid awalnya dihiasi dengan puisi-puisi pujian terhadap Nabi saw. Para pengikut aliran Wahabi kemudian menghilangkan hiasan-hiasan itu, baik dengan mengganti dinding marmer itu, atau menghapusnya hingga tidak terlihat lagi hiasan puisi yang tersisa. Satu-satunya hal yang tidak dapat mereka lenyapkan adalah tulisan di depan mimbar pada mihrab (tempat salat imam) yang berisi pujian kepada Nabi saw. dan 200 nama beliau. Pada tahun 1936, orang-orang Wahabi bahkan berusaha memisahkan Masjid Nabawi dari makam Nabi, tetapi negara-negara Muslim bersatu menentang rencana tersebut dan berhasil menggagalkannya, sebuah keberhasilan yang sangat jarang terjadi.
Di depan gerbang menuju makam Nabi (al-muwâjihâh al-syarĂ®fah), pada awalnya terdapat tulisan: Yâ Allâh! Yâ Muhammad! Pengikut aliran Wahabi kemudian menghapus huruf yâ’ dalam ungkapan Yâ Muhammad, sehingga hanya tersisa huruf alif, Ă‚ Muhammad, atau Muhammad saja. Belakangan, mereka melangkah lebih jauh lagi dengan menempatkan kembali huruf yâ’ pada kata Yâ Muhammad, dan juga menambahkan titik di bawah huruf hâ’ sehingga menjadi huruf jim (ďşť), dan menambahkan dua titik (di bawah huruf mĂ®m) sehingga menjadi huruf yâ’. Dengan begitu, mereka telah mengubah nama Muhammad menjadi MajĂ®d, salah satu asma Allah. Kini, tulisan tersebut menjadi: Yâ Allâh! Yâ MajĂ®d! Persis seperti ketika melenyapkan makam para sahabat dan keluarga Nabi, mereka kini juga telah menghapus nama Nabi dari makamnya sendiri. Ini bertentangan dengan kenyataan bahwa Allah telah memuliakan Nabi saw. dengan menempatkan nama beliau bersanding dengan nama-Nya dalam kalimat syahadat, lâ ilâha illâ Allâh, Muhammad RasĂ»l Allâh. Khârab Yatsrib yang disebutkan dua kali dalam hadis di atas telah terpenuhi. Pertama, dari segi ideologi oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhâb dan para pengikutnya. Dan kedua, dengan kerusakan fisik yang terus berlangsung terhadap sisa-sisa Islam tradisional. Pembangunan kembali Bayt al-Maqdis, yang hanya sekali disebut, juga sedang berlangsung. Ungkapan ‘umrân Bayt al-Maqdis berarti pembangunan kembali peninggalan-peninggalan klasik di Yerusalem, sementara ungkapan kharâb Yatsrib berarti penghancuran terhadap cara-cara dan peninggalan klasik di kota YatsribWa min Allah at Tawfiq
Assalamu ‘alaikum wr. wb.Rekan-rekan yang diRahmati Alloh SWT, Saya hanya ingin menambahkan sedikit saja tentang kehancuran Kota Madinah, sepertimana yang baru-baru saya saksikan secara langsung ketika mengunjungi kota Madinah Al-Munawwaroh 17-20 Juli 2005. Itung-itung cerita ini sebagai oleh-oleh dari Madinah ya…Dari segi kemajuan tekhnologi tata ruang bangunan dan interior sebuah kota, saya menilai Madinah sangat cantik dan modern serta memiliki kemajuan yang sangat pesat sekali, terutama bangunan-bangunan diseputar Masjid Nabawi dan tempat-tempat sekitar radius 5-10 kilometer dari Masjid Nabawi. Namun dari sudut pandang sejarah, kota ini seakan-akan tidak memiliki lagi latar belakang sejarah kegemilangan Islam di masa lalu. Secara pribadi saya amat sangat menyayangkan situs-situs sejarah banyak yang dihilangkan oleh pemerintah KSA yang berfaham wahabi, seakan-akan kota ini ingin dirubah seperti newyork atau ala singapura. Perubahan ini terjadi dimulai sejak era tahun 1990-an, dimana kebetulan tahun 1993 saya juga pernah mengunjungi kota ini selama 9 hari.
Perubahan yang terjadi dari hasil pengamatan saya adalah :1. Pemakaman syuhada baqi, kalau dulu tahun 1993 kita masih bisa ziarah dan memandang ke makam baqi dengan hanya berdiri seperti halnya bila kita berdiri diluar tempat pemakaman umum di Indonesia. Tapi perubahan yang sekarang adalah, pemakaman baqi tidak bisa dilihat atau diziarahi hanya dengan berdiri karena pemakaman itu sekarang sudah dikurung dengan tembok berlapis marmer setinggi kira-kira 6-10 meter tingginya, sehingga kalau kita mau berziarah dan melihat makam syuhada baqi harus menaiki anak tangga dulu sekitar 5 meter. Disamping itu kalau dulu kita bebas berziarah kapan saja waktunya sesuai dengan keinginan kita, tapi sekarang tidak sembarang waktu bisa kita lakukan, kecuali antara pkl 07.00 sampai pkl.8.30 pagi waktu setempat. walaupun kita terlambat 5 menit saja, jangan berharap anda bisa menaiki anak tangga karena diujung anak tangga sudah di tutup pintu besi setinggi 3 meter-an, dan bilamana sudah pkl.08.30 anda masih saja berada di atas sana, askar2 kerajaan akan segera menarik-narik badan anda untuk segera keluar dari sana. Jadi memang sekarang sangat dibatasi ruang maupun waktu dalam menziarahi maqam baqi ini.
Dan yang menggenaskan saya adalah, dibawah tembok setinggi 6-10 meter itu sekarang sudah dibuat kios-kios kecil sebagai tempat usaha para pedagang menjajakan barang dagangannya. Entahlah… mungkin 15-20 tahun kedepan Maqam baqi mungkin sudah tidak ada lagi dan areal pemakamannya sudah dijadikan gedung pasar yang modern. Menurut penilaian saya, penutupan areal pemakaman dengan tembok setinggi 6-10 meter saat ini hanya sebagai awal saja, dengan maksud supaya orang tidak lagi secara bebas berziarah kesana, sehingga lama-kelamaan orang akan lupa untuk berziarah ke maqam Baqi ini. Akhirnya setelah orang melupakan areal ini, generasi berikut tak ada lagi yang mengetahui dimana areal pemakaman baqi, selanjutnya mungkin akan dijadikan gedung pertokoan, siapa tahu…?
2. Masjid Qiblatain, (masjid 2 kiblat), dulu tahun 1993 masjid ini memiliki 2 mimbar, satu menghadap Makkah, satu lagi menghadap Baytul Maqdis.Pada mimbar baytul maqdis tertulis dengan berbagai bahasa termasuk dalam bahasa indonesia, yang menceritakan bahwa mimbar ini sebelumnya digunakan sebagai mimbar Rosululloh SAW ketika sholat menghadap baqtul maqdis, namun setelah turun ayat (al-Isro..?) yang memerintahkan untuk merubah qiblat dari menghadap masjidil aqsho ke masjidil harom, Rosululloh SAW berpindah ke mimbar yang sekarang menghadap Masjidil harom (mimbar ke 2).Tapi sekarang ; mimbar yang menghadap Masjidil Aqso sudah dihilangkan sehingga tidak ada tanda lagi bahwa masjid ini memiliki 2 kiblat, sehingga sudah hilang nilai sejarahnya. “Masjid qiblatain” hanyalah tinggal sebuah nama saja, mimbarnya tinggal 1, sepantasnya namapun berubah menjadi Masjid Qiblat, karena mimbarnya hanya satu.
3. Parit Handak, yang pernah digunakan Rosululloh SAW untuk menghalau musuh dalam peperangan, dulu tahun 1993 masih ada berupa gundukan tanah yang digali seperti lobang saluran air yang panjang, tapi kini khandak hanya tinggal nama, lokasinya sudah diuruk rata.4. “Tanah basah” tempat dimana Syadina Hamzah terbunuh pada perang uhud, sekarang sudah ditutup dengan aspal yang tebal dan dijadikan lokasi parkir kendaraan. Tapi anehnya, walupun sudah dilapisi dengan aspal, aspalnya tetap basah hingga sekarang walaupun sudah 14 abad terpanggang sinar matahari. Konon tanah ini tetap menangis selama-lamanya karena ditumpahi darah Saydina Hamzah Rodiallohu-anhu, seorang yang sangat gagah berani di medan Uhud, sehingga terus-menerus basah walaupun sudah ditutup dan dilapisi aspal yang tebal.
5. Kota Madinah sebetulnya memiliki sebuah sumur abadi seperti halnya sumur zam-zam di Makkah, perbedaannya kalau sumur zam-zam itu asalnya adalah peninggalan Nabi Ibrahim AS, ketika Siti Hajar istrinya mencarikan air untuk memberi minum putranya Nabi Ismail AS. Tapi kalau di Madinah adalah peninggalan Rosululloh SAW, yang masih tetap mengeluarkan air hingga sekarang. Namanya adalah sumur “Tuflah”, lokasinya dipinggiran kota Madinah. Tuflah asal katanya berarti air ludah, konon kata kuncen penjaga sumur ini, sumur ini dibuat semasa Rosululloh SAW dalam perjalanan menuju kota Madinah, namun ketika itu kehabisan persediaan air.Akhirnya Rosululloh SAW dengan mu’jizatnya meludahi dengan air ludahnya sendiri suatu tempat di padang pasir yang gersang itu, dan saat itu juga tanah itu mengeluarkan air dan hingga sekarang dijadikan sebuah sumur yang airnya sangat jernih sejernih zam-zam, dan tetap mengalirkan air hingga sekarang. Saya mencoba minum dan berwudhu dari air sumur ini, memang terasa sangat nikmat bagaikan meminum air zam-zam. Tapi sangat disayangkan, sumur ini sudah jelas sebagai peninggalan sejarah dimasa Rosululloh SAW, tidak dilestarikan sama-sekali bahkan dibiarkan saja oleh Pemerintah KSA sehingga nampak kusam dan tidak terurus sama-sekali. Mungkunkah wahabi tidak terlalu suka peninggalan Rosululloh SAW?
Kata kuncen penjaga, kebanyakan orang-orang yang mengunjungi sumur ini adalah orang-orang ahlus-sunnah yang mencintai ahlul bait, termasuk anda, anda dari Indonesia?, katanya…Tapi maaf, disini anda tidak boleh berlama-lama melancong, karena setiap 2 jam sekali ada patroli dari Askar kerajaan dan mata-matanya (spionase) yang mengawasi orang-orang yang berkunjung kesini. Saya khwatir anda ditangkap oleh tentara wahabi. Maka bila anda sudah minum dan berwudhu silakan anda segera pergi dari sini. Wa min Allah at Tawfiq
THORIQOH JALAN MENUJU HUSNUL KHOTIMAH
A’uudzu billaahi minasy syaythaanir rajiim Bismillahir rahmaanir rahiim.Alhamdulilla hi robbil ‘alaamin Allaahumma shalli wa sallim wa barik ‘alaa Sayidina Muhammadin wa ‘alaa aali Sayidina Muhammadin wa ashaabihi wa azwajihi wa dzuriyyatihi wa ahli baitihi ajma’in. Yaa Mawlana Yaa Sayyidi Madad al-Haqq.
THORIQOH JALAN MENUJU HUSNUL KHOTIMAH
I. Pengetian Thoriqoh. Arti Thoriqoh menurut bahasa adalah jalan atau bisa disebut Madzhab mengetahui adanya jalan, perlu pula mengetahui “cara” melintasi jalan itu agar tidak kesasar/tersesat. Tujuan Thoriqoh adalah mencari kebenaran, maka cara melintasinya jalan itu juga harus dengan cara yang benar. Untuk itu harus sudah ada persiapan batin, yakni sikap yang benar. Sikap hati yang demikian tidak akan tampil dengan sendirinya, maka perlu latihan-latihan batin tertentu dengan cara-cara yang tertentu pula.
Sekitar abad ke 2 dan ke 3 Hijriyah lahirlah kelompok-kelompok dengan
metoda latihan berintikan ajaran “Dzikrullah” . Sumber ajarannya tidak
terlepas dari ajaran Rasulullah SAW. Kelompok-kelompok ini kemudian
menamakan dirinya dengan nama “Thoriqoh”, yang berpredikat/ bernama
sesuai dengan pembawa ajaran itu. Maka terdapatlah beberapa nama antara
lain :
a. Thoriqoh Qadiriyah, pembawa ajarannya adalah :Syekh Abdul Qodir Jaelani q.s. (Qaddasallahu sirrahu).
b. Thoriqoh Syadzaliyah, pembawa ajarannya : Syekh Abu Hasan As-Syadzali q.s.
c. Thoriqoh Naqsabandiyah : pembawa ajarannya : Syekh Baha’uddin An-Naqsabandi q.s.
d. Thoriqoh Rifa’iyah, pembawa ajarannya : Syekh Ahmad bin Abil Hasan Ar-Rifa’ i q.s.
dan masih banyak lagi nama-nama Thoriqoh yang sesuai dengan apa yang difirmankan oleh Allah SWT. :
Artinya :
“Jika mereka benar-benar istiqomah – (tetap pendirian/terus- menerus diatas Thoriqoh (jalan) itu, sesungguhnya akan Kami beri minum mereka dengan air (hikmah) yang berlimpah- limpah.
(Q.S. Al-Jin : 16)
Dalam pertumbuhannya, para Ulama Thoriqoh berpendapat dari jumlah Thoriqoh yang tersebar di dunia Islam, khususnya di Indonesia, ada Thoriqoh yang Mu’tabaroh (diakui) dan ada pula Thoriqoh Ghairu Mu’tabaroh (tidak diakui keberadaannya/ kesahihannya) .
Seseorang yang menganut/mengikuti Thoriqoh tertentu dinamai salik (orang yang berjalan) sedang cara yang mereka tempuh menurut cara-cara tertentu dinamakan suluk. Banyak hal-hal yang hams dilakukan oleh seorang salik bila ingin sampai kepada tujuan yang dimaksud.
Dalam menempuh jalan (thoriqoh) untuk membuka rahasia dan tersingkapnya dinding (hijab) maka mereka mengadakan kegiatan batin, riyadoh (latihan-latihan) dan mujahadah (perjuangan) keruhaniyan. Perjuangan yang demikian dinamakan suluk, dan orang yang mengerjakan dinamakan “salik”.
Maka cukup jelaslah bahwa Thoriqoh itu suatu sistem atau metode untuk menempuh jalan yang pada akhirnya mengenal dan merasakan adanya Tuhan. Dimana seseorang dapat melihat Tuhannya dengan mata hatinya (ainul basiroh), sesuai dengan hadist sebagai berikut :
Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata:
Pada suatu hari, Rasulullah saw. muncul di antara kaum muslimin. Lalu datang seorang laki-laki dan bertanya: Wahai Rasulullah, apakah Iman itu? Rasulullah saw. menjawab: Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat- Nya, kitab-kitab- Nya, pertemuan dengan-Nya, rasul-rasul- Nya dan kepada hari berbangkit. Orang itu bertanya lagi: Wahai Rasulullah, apakah Islam itu? Rasulullah saw. menjawab: Islam adalah engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan- Nya dengan apa pun, mendirikan salat fardu, menunaikan zakat wajib dan berpuasa di bulan Ramadan. Orang itu kembali bertanya: Wahai Rasulullah, apakah Ihsan itu? Rasulullah saw. menjawab: Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Dan jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia selalu melihatmu. Orang itu bertanya lagi: Wahai Rasulullah, kapankah hari kiamat itu? Rasulullah saw. menjawab: Orang yang ditanya mengenai masalah ini tidak lebih tahu dari orang yang bertanya. Tetapi akan aku ceritakan
tanda-tandanya; Apabila budak perempuan melahirkan anak tuannya, maka itulah satu di antara tandanya. Apabila orang yang miskin papa menjadi pemimpin manusia, maka itu tarmasuk di antara tandanya. Apabila para penggembala domba saling bermegah-megahan dengan gedung. Itulah sebagian dari tanda-tandanya yang lima, yang hanya diketahui oleh Allah. Kemudian Rasulullah saw. membaca firman Allah Taala: Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana ia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. {QS Al-Lukman ayat 34} Kemudian orang itu berlalu, maka Rasulullah saw. bersabda: Panggillah ia kembali! Para sahabat beranjak hendak memanggilnya, tetapi mereka tidak melihat seorang pun. Rasulullah saw.
bersabda: Ia adalah Jibril, ia datang untuk mengajarkan manusia masalah agama mereka
(HR Bukhari dan Muslim)
Hadist tersebut jelas merupakan tujuan bagi semua orang yang mengaku dan menyatakan muslim, tidak hanya sekedar iman dan islam tetapi juga dituntut untuk menjadi jati diri yang ‘ihsan’, dan ath-Thariqoh adalah merupakan jalan yang untuk menggapai derajat ihsan dengan baik sesuai tuntunan Allah dan Rasul-Nya.
Hal yang demikian didasarkan pertanyaan Sayidina Ali bin Abi Thalib kepada Rasulullah SAW. Ya Rasulullah, manakah jalan yang paling dekat untuk menuju Tuhan. Jawab Rasulullah : Tidak ada lain, kecuali dengan dzikrullah.
Dalam hal ini pun Allah SWT juga menegaskan dalam Firman-Nya di dalam Al-Qur’an Kariim ;
28. (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.(QS Ar-Ra’d ayat 28)
Dengan demikian jelaslah bahwa jalan yang sedekat-dekatnya mencapai Allah SWT ; merasa dilihat dan diperhatikan, hanya bisa diraih oleh seorang hamba dengan dzikir kepadaNya (Zikrullah), disamping melakukan latihan (riyadoh) lahir-batin seperti yang biasa dilakukan oleh orang-orang Shufi antara lain : Ikhlas, jujur, zuhud, muraqabah, musyahadah, tajarrud, mahabah, cinta kepada Allah SWT. dan lain sebagainya, yang merupakan bentuk dari dzikrullah itu sendiri; para ulama thariqah/tasawuf mendefinisikannya dalam bentuk dzikrullah Amaliyah.
Melihat petunjuk Allah dan Rasulullah SAW tersebut, maka Thoriqah mempunyai dua pengertian :
Pertama : Ia berarti metode bimbingan spiritual kepada individu (perorangan) dalam mengarahkan kehidupannya menuju kedekatan dengan Tuhan.
Kedua : Thoriqoh sebagai persaudaraan kaum Shufi yang ditandai adanya lembaga formal seperti zawiyah, ribath, atau khanaqah.
Kedudukan Guru Thoriqoh diperkokoh dengan adanya ajaran wasilah dan silsilah(sanad) . Keyakinan berwasilah dengan Guru diper-erat dengan kepercayaan karomah, barokah dan syafa’at atau limpahan pertolongan dari Allah SWT melalui KaruniaNya kepada guru. Kepatuhan murid kepada Guru dalam Thoriqoh digambarkan seperti mayat di tangan orang yang memandikannya.
Dengan demikian dapat diambil benang merah bahwa inti Thoriqoh adalah wushul (bertemu) dengan Allah. Jika hendak bertemu, maka jalan yang dapat dipakai bisa bermacam-macam. Ibarat orang mau berpergian menuju Jakarta, kalau orang itu berangkat dari Surabaya ya harus menuju ke barat. Berbeda jika orang itu berangkat dari Medan ya harus berjalan ke timur menuju Jakarta. Ini artinya bahwa Thoriqoh yang ada, terutama di Indonesia mempunyai tujuan yang sama yaitu wushul, kepada Allah SWT.
II. Jalan menuju wushul ilallah
a. Melalui Muraqabah.
Petunjuk Al-Qur’an tentang Muraqabah/pendekata n diri kepada Allah SWT. disebutkan dalam Al-Qur’an antara lain :
186. dan apabila hamba-hamba- Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
(S. Al Baqarah : 186).
Ketahuilah wahai saudaraku, Allah SWT selalu mengawasi segala sesuatu, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an S. Al-Ahzab (33) : 52.
52. ……………. dan adalah Allah Maha mengawasi segala sesuatu.
Hal ini mengandung pelajaran bahwa seseorang selalu merasa diawasi/diintai oleh Allah SWT, karena pada dasarnya Allah adalah sangat dekat dengan hamba-hambanya, sebagaimana petunjuk S. Al-Qof (50) : 16.
16. dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya,
Demikian juga petunjuk dari Al-Qur’an dalam S. Al-Hadid (57) : 4.
4. Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: kemudian Dia bersemayam di atas ´arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.
Hadis Nabi SAW. juga memberi arahan yakni ketika Nabi menjawab pertanyaan malaikat Jibril tentang Ihsan, beliau menjawab : Hendaklah engkau beribadah kepada Allah se-olah-olah engkau melihat nya. Apabila engkau tak mampu melihat- Nya, yakinlah bahwasanya Allah melihatmu.(HR. Bukhari-Muslim) .
Kesadaran rohani bahwa Allah SWT. selalu hadir di dalam dan disekitar dirinya akan menjadikan dirinya selalu merasa diawasi segala apa yang dilakukan, bahkan sampai apa yang terlintas dalam hatinya.
Banyak kisah dalam dunia sufi Guru dan santrinya yang empat orang itu, satu diantaranya tidak mau menyembelih ayam yang diberikan oleh sang Guru, karena bagi Allah tidak ada suatu yang tersembunyi, Allah Maha Melihat dan Maha Mengetahui, maka luluslah murid tersebut dari ujian yang diberikan gurunya tersebut.
Selanjutnya Al-Imam al-Qusairi.rhm berkata : “Barang siapa yang muraqabah dengan Allah dalam hatinya, maka Allah akan memiliharanya dari perbuatan dosa pada anggota tubuhnya. Imam tokoh Sufi Sufyan Sauri.rhm juga berpesan hendaklah engkau melakukan muraqobah terhadap Dzat yang tidak lagi samar terhadap segala sesuatu, hendaklah engkau selalu mengharap raja’ (pengharapan dengan sangat berharap) terhadap Dzat yang memiliki siksa (Abu Bakar Jabir al-Jazairi 1976 : 85).
Maka dari uraian diatas dapat dicermati adanya dampak positif muroqobah bagi yang mampu melakukannya, yakni :
q Memiliki rasa malu yang positif.
q Akan senantiasa hati-hati dalam segala ucapan dan perbuatannya.
q Tidak pernah merasa ditinggalkan oleh Allah meski sendirian ataupun kelihatan doanya yang dipanjatkan belum dikabul kan
q Tidak mudah putus asa apapun nasib yang menimpanya
q Menjadi hamba yang mukhlis sebagai diisyaratkan dalam Al-Qur’an S. Yusuf (12) : 24.
24. Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusufpun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia (Nabi Yusuf) tidak melihat tanda (dari) Tuhannya[*]. Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu Termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.
[*] Ayat ini tidaklah menunjukkan bahwa Nabi Yusuf a.s. punya keinginan yang buruk terhadap wanita itu (Zulaikha), akan tetapi godaan itu demikian besanya sehingga andaikata Nabi Yusuf tidak dikuatkan dengan keimanan kepada Allah s.w.t tentu Dia jatuh ke dalam kemaksiatan. Dan ayat inilah menunjukkan keimanan dari Nabi Yusuf yang kuat dalam melaksanakan Ihsan, merasa dilihat dan diawasi oleh Allah SWT.
b. Melalui Muhasabah
Muhasabah berarti orang selalu memikirkan, memperhatikan dan memperhitung& shy;kan apa saja yang telah dan yang akan di perbuat. Pedomannya dalam S. Al-Hasyr (59) : 18.
18. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Dari pengertian ini dapat diambil pelajaran bahwa Muhasabah :
1. Membuktikan adanya iman dan takwa kepada Allah dalam dirinya dan Allah mengakui hal itu. Bagi ummat Islam, iman merupakan kekuatan yang maha dahsyat untuk memelihara manusia dari nilai-nilai rendah, dan merupakan alat yang menggerakan manusia untuk meningkatkan nilai luhur dan moral yang bersih. Orang yang beriman akan berusaha mengamalkan akhlak yang mulia/mah mudah, bukan akhlak yang tercela/mazmumah dalam kehidupannya sehari- hari sehingga orang tersebut akan terhindar dari kejahatan apapun. Itulah gambaran orang bertakwa, bersih dari dosa, dapat mengalahkan tuntutan hawa nafsu.
2. Orang yang bermuhasabah, pasti mempunyai keyakinan akan datangnya Hari Pembalasan (secara khusus) begitu merasuk dalam hatinya sehingga ia merasa pelu sangat hati-hati dalam setiap langkahnya. Dia tidak berani main-main akan larangan Allah SWT.
3. Orang tersebut akan selalu berusaha meningkatkan kualitas amalnya, karena ia merasa tak mau merugi dari hari ke hari. Ibaratnya seperti pedagang, sebelum berangkat akan memperhitungkan berapa modalnya, berapa pula ia harus menjual dagangannya, dan setelah selesai akan menghitung lagi berapa hasil uang yang bisa dibawa pulang. Begitu juga dalam hal beragama, modalnya adalah kumpulan kewajiban yang berhasil dikerjakan, sedang labanya adalah amalan-amalan sunnah yang berhasil dikerjakannya.
4. Pesan Sayidina Amirul Mukminin Umar bin Khattab r.a : Perhitungkanlah dirimu sendiri sebelum dirimu diperhitungkan. Oleh karena itu sikap hidup muraqobah dan muhasabah merupakan peningkatan ruhaniyah dan mental manusia sehingga benar-benar menjadi hamba Allah yang bertakwa, hidup dalam ketaatan dan terhindar dari maksiat.
c. Melalui Dzikir
Dzikir berarti ingat, mengingat, merenung, menyebut. Termasuk dalam pengertian dzikir ialah dia, membaca Al-Qur’an, tasbih (mensucikan Allah) tahmid (memuji Allah), takbir (membesarkan Allah) tahlil (mentauhidkan Allah), istighfar (memohon ampun kepada Allah) hauqalah (membaca lahula wala quwwata illah billahi ‘aliylil ‘adziem) dan lain sebagainya.
Ada dzikir yang menyatu dengan ibadah lainnya seperti dengan salat, thawaf, sa’i, wukuf dan lain sebagainya. Dan ada pula dzikir yang dilakukan secara khusus/ter sendiri diucapkan pada saat-saat tertentu, atau pada, setiap saat. Ada dzikir yang jumlahnya tidak ditentukan oleh syara’, tetapi ada dzikir yang jumlahnya ditentukan oleh syara’ menurut ketentuan Thoriqoh yang bersangkutan, Nabi SAW. sendiri baik dengan pernyataan beliau maupun dengan contoh amalan beliau. Sedang dzikir dalam pengertian ingat atau mengingat Allah, seharusnya dilakukan pada setiap saat. Artinya kegiatan apapun yang dilakukan oleh seorang Muslim hendaknya jangan sampai melupakan Allah SWT.
Dimanapun seorang Muslim berada, hendaknya selalu ingat kepada Allah, sehingga melahirkan cinta beramal saleh kepada Allah dan malu berbuat dosa dan maksiat kepada Allah SWT. Dzikir dalam arti menyebut asma Allah yang diamalkan secara rutin, biasanya disebut wind atau jamaknya disebut aurad.
Dzikir dalam menyebut asma Allah termasuk ibadah makhdhoh yaitu ibadah langsung kepada Allah SWT. Sebagai ibadah langsung, maka terikat dengan norma-norma ibadah langsung kepada Allah SWT, yaitu mesti ma’sur ada contoh atau ada perintah dari Rasulullah SWT. atau ada izin dari beliau. Artinya jenis dzikir ini tidak boleh dikarang oleh seseorang. Dzikir hanyalah mengingat atau menyebut asma Allah, atau nama-nama Allah atau kalamullah, Al-Qur’an.
Petunjuk Al-Qur’an dan Hadis perihal kegiatan dzikir cukup banyak, antara lain dapat disebutkan :
Firman Allah : Ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat pula kepadamu.
(S. Al-Baqarah (2) : 152)
41. Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya.
(S. Al-Ahzab (33) : 41).
191. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.
(Q.S. Ali-Imran : 191).
205. dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu Termasuk orang-orang yang lalai.
(S. Al-A’rof (7) : 205).
28. (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.
(S. Ar-Ra’du (13) : 28).
Hadis-hadis Nabi :
Telah berfirman Allah SWT. (dalam suatu hadis Qudsi) : Aku bersama-sama hamba-Ku selama ini mengingat Aku dan bibirnya bergerak menyebut nama-Ku. (HR. Al Baihaqy dan Ibnu Hiban).
Tak seorangpun manusia mengerjakan suatu perbuatan yang dapat menjauhkan dari azab Allah SWT. lebih baik dari pada dzikir. Para sahabat bertanya tidak pula jihad fi sabilillah, kecuali apabila engkau menghantam musuh dengan pedangmu itu sehingga ia patah, kemudian engkau menghantam lagi dengan pedangmu sehingga ia patah, kemudian menghantam lagi dengan pedangmu sehingga ia patah. (HR. Ibn Abi Syaibah dalam Al Musshanaf).
Rasulullah SAW. pernah ditanya : Amalan apa yang paling afdol ? Jawab beliau : Engkau mati dalam keadaan lidahmu basah karena berdzikir kepada Allah (HR. Ibnu Hiban & Athabrani).
Nabi SAW. telah bersabda : Allah SWT. berfirman dalam suatu hadis qudsy : Barang siapa disibukkan dzikir kepada-Ku, sedemikian sehingga tidak sempat memohon sesuatu dari-Ku, maka Aku akan memberinya yang terbaik dari apa saja yang Ku berikan kepada para pemohon (HR. Bukhori)
Seorang tokoh Shufian Abdul Qosim berkata : Ingat kepada Allah adalah bagian yang sangat kuat untuk menempuh jalan mendekatkan diri kepada Allah Yang Maha Suci. Bahkan sebagai unit/pokok didalam jalan/thoriqah ini (jalan shufiyah). Dan seorang hanya dapat sampai kepada Allah dengan terus menerus ingat kepada Allah (Abul Muhammad Abdulah Al-Yafi’i : Nasrul Mahasin Al-Ghoyah : 247).
Perlu disampaikan secara garis besar bahwa praktek dzikir dalam dunia thoriqoh, pelaksanaannya bisa berbeda-beda dalam tehnisnya tergantung ciri dan kepribadian thoriqoh itu sendiri sesuai petunjuk Mursyid nya.
Ulama Thoriqoh membaca jenis dzikir menjadi tiga jenjang :
a. Dzikir lisan : Laa ilaaha Illalah. Mulamula pelan kemudian bisa naik menjadi cepat setelah merasa meresap dalam diH.
b. Dzikir qalbu (hati) : Allah, Allah.
Mula-mula mulutnya berdzikir diikuti oleh hati, kemudian dari hati ke mulut, lalu lidah berdzikir sendiri, dengan dzikir tanpa sadar, akal pikiran tidak jalan lagi, melainkan terjadi sebagai Ilham yang menjelma Nur Ilahi dalam hati memberitahukan : Innany Anal Laahu, yang naik ke mulut mengucapkan Allah, Allah.
c. Dzikir Sir atau Rahasia : Hu Hu. Biasanya sebelum sampai ke tingkat dzikir orang itu sudah fana lebih dahulu. Dalam situasi yang demikian perasaan antara diri dengan Dia menjadi satu. Man lam jazuk Lam ya’rif : Barang siapa belum merasakan, maka is belum mengetahui.
Adapun juga ulama ahl-Thariqoh yang membagi jenis dzikir menjadi empat macam : Dzikir Qolbiyah, Dzikir Aqliyah, Dzikir Lisan dan Dzikir Amaliyah.
Semua tehnis berdzikir itu baik semua. Pada akhirnya terpulang kepada kemampuan kita masing-masing untuk melaksanakan dzikir itu sesuai dengan pilihan Thoriqoh dan petunjuk Mursyid yang bersangkutan selaku murid hanya bisa taat dengan petunjuk gurunya.
Demikian uraian singkat kami dalam menyajikan Thoriqoh sebagai jalan- menuju khusnul khatimah, yang semoga merupakan ikhtiar seorang hamba menjadi idaman bagi setiap muslim diakhir hayatnya. Mudah-mudahan ada manfaatnya. Dan Allah SWT, selalu membimbing dan memberi hidayah kepada kita semua. Amin.
Wa min Allah at taufiq hidayah wal inayah, wa bi hurmati Habib wa bi hurmati fatihah!!
a. Thoriqoh Qadiriyah, pembawa ajarannya adalah :Syekh Abdul Qodir Jaelani q.s. (Qaddasallahu sirrahu).
b. Thoriqoh Syadzaliyah, pembawa ajarannya : Syekh Abu Hasan As-Syadzali q.s.
c. Thoriqoh Naqsabandiyah : pembawa ajarannya : Syekh Baha’uddin An-Naqsabandi q.s.
d. Thoriqoh Rifa’iyah, pembawa ajarannya : Syekh Ahmad bin Abil Hasan Ar-Rifa’ i q.s.
dan masih banyak lagi nama-nama Thoriqoh yang sesuai dengan apa yang difirmankan oleh Allah SWT. :
Artinya :
“Jika mereka benar-benar istiqomah – (tetap pendirian/terus- menerus diatas Thoriqoh (jalan) itu, sesungguhnya akan Kami beri minum mereka dengan air (hikmah) yang berlimpah- limpah.
(Q.S. Al-Jin : 16)
Dalam pertumbuhannya, para Ulama Thoriqoh berpendapat dari jumlah Thoriqoh yang tersebar di dunia Islam, khususnya di Indonesia, ada Thoriqoh yang Mu’tabaroh (diakui) dan ada pula Thoriqoh Ghairu Mu’tabaroh (tidak diakui keberadaannya/ kesahihannya) .
Seseorang yang menganut/mengikuti Thoriqoh tertentu dinamai salik (orang yang berjalan) sedang cara yang mereka tempuh menurut cara-cara tertentu dinamakan suluk. Banyak hal-hal yang hams dilakukan oleh seorang salik bila ingin sampai kepada tujuan yang dimaksud.
Dalam menempuh jalan (thoriqoh) untuk membuka rahasia dan tersingkapnya dinding (hijab) maka mereka mengadakan kegiatan batin, riyadoh (latihan-latihan) dan mujahadah (perjuangan) keruhaniyan. Perjuangan yang demikian dinamakan suluk, dan orang yang mengerjakan dinamakan “salik”.
Maka cukup jelaslah bahwa Thoriqoh itu suatu sistem atau metode untuk menempuh jalan yang pada akhirnya mengenal dan merasakan adanya Tuhan. Dimana seseorang dapat melihat Tuhannya dengan mata hatinya (ainul basiroh), sesuai dengan hadist sebagai berikut :
Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata:
Pada suatu hari, Rasulullah saw. muncul di antara kaum muslimin. Lalu datang seorang laki-laki dan bertanya: Wahai Rasulullah, apakah Iman itu? Rasulullah saw. menjawab: Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat- Nya, kitab-kitab- Nya, pertemuan dengan-Nya, rasul-rasul- Nya dan kepada hari berbangkit. Orang itu bertanya lagi: Wahai Rasulullah, apakah Islam itu? Rasulullah saw. menjawab: Islam adalah engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan- Nya dengan apa pun, mendirikan salat fardu, menunaikan zakat wajib dan berpuasa di bulan Ramadan. Orang itu kembali bertanya: Wahai Rasulullah, apakah Ihsan itu? Rasulullah saw. menjawab: Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Dan jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia selalu melihatmu. Orang itu bertanya lagi: Wahai Rasulullah, kapankah hari kiamat itu? Rasulullah saw. menjawab: Orang yang ditanya mengenai masalah ini tidak lebih tahu dari orang yang bertanya. Tetapi akan aku ceritakan
tanda-tandanya; Apabila budak perempuan melahirkan anak tuannya, maka itulah satu di antara tandanya. Apabila orang yang miskin papa menjadi pemimpin manusia, maka itu tarmasuk di antara tandanya. Apabila para penggembala domba saling bermegah-megahan dengan gedung. Itulah sebagian dari tanda-tandanya yang lima, yang hanya diketahui oleh Allah. Kemudian Rasulullah saw. membaca firman Allah Taala: Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana ia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. {QS Al-Lukman ayat 34} Kemudian orang itu berlalu, maka Rasulullah saw. bersabda: Panggillah ia kembali! Para sahabat beranjak hendak memanggilnya, tetapi mereka tidak melihat seorang pun. Rasulullah saw.
bersabda: Ia adalah Jibril, ia datang untuk mengajarkan manusia masalah agama mereka
(HR Bukhari dan Muslim)
Hadist tersebut jelas merupakan tujuan bagi semua orang yang mengaku dan menyatakan muslim, tidak hanya sekedar iman dan islam tetapi juga dituntut untuk menjadi jati diri yang ‘ihsan’, dan ath-Thariqoh adalah merupakan jalan yang untuk menggapai derajat ihsan dengan baik sesuai tuntunan Allah dan Rasul-Nya.
Hal yang demikian didasarkan pertanyaan Sayidina Ali bin Abi Thalib kepada Rasulullah SAW. Ya Rasulullah, manakah jalan yang paling dekat untuk menuju Tuhan. Jawab Rasulullah : Tidak ada lain, kecuali dengan dzikrullah.
Dalam hal ini pun Allah SWT juga menegaskan dalam Firman-Nya di dalam Al-Qur’an Kariim ;
28. (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.(QS Ar-Ra’d ayat 28)
Dengan demikian jelaslah bahwa jalan yang sedekat-dekatnya mencapai Allah SWT ; merasa dilihat dan diperhatikan, hanya bisa diraih oleh seorang hamba dengan dzikir kepadaNya (Zikrullah), disamping melakukan latihan (riyadoh) lahir-batin seperti yang biasa dilakukan oleh orang-orang Shufi antara lain : Ikhlas, jujur, zuhud, muraqabah, musyahadah, tajarrud, mahabah, cinta kepada Allah SWT. dan lain sebagainya, yang merupakan bentuk dari dzikrullah itu sendiri; para ulama thariqah/tasawuf mendefinisikannya dalam bentuk dzikrullah Amaliyah.
Melihat petunjuk Allah dan Rasulullah SAW tersebut, maka Thoriqah mempunyai dua pengertian :
Pertama : Ia berarti metode bimbingan spiritual kepada individu (perorangan) dalam mengarahkan kehidupannya menuju kedekatan dengan Tuhan.
Kedua : Thoriqoh sebagai persaudaraan kaum Shufi yang ditandai adanya lembaga formal seperti zawiyah, ribath, atau khanaqah.
Kedudukan Guru Thoriqoh diperkokoh dengan adanya ajaran wasilah dan silsilah(sanad) . Keyakinan berwasilah dengan Guru diper-erat dengan kepercayaan karomah, barokah dan syafa’at atau limpahan pertolongan dari Allah SWT melalui KaruniaNya kepada guru. Kepatuhan murid kepada Guru dalam Thoriqoh digambarkan seperti mayat di tangan orang yang memandikannya.
Dengan demikian dapat diambil benang merah bahwa inti Thoriqoh adalah wushul (bertemu) dengan Allah. Jika hendak bertemu, maka jalan yang dapat dipakai bisa bermacam-macam. Ibarat orang mau berpergian menuju Jakarta, kalau orang itu berangkat dari Surabaya ya harus menuju ke barat. Berbeda jika orang itu berangkat dari Medan ya harus berjalan ke timur menuju Jakarta. Ini artinya bahwa Thoriqoh yang ada, terutama di Indonesia mempunyai tujuan yang sama yaitu wushul, kepada Allah SWT.
II. Jalan menuju wushul ilallah
a. Melalui Muraqabah.
Petunjuk Al-Qur’an tentang Muraqabah/pendekata n diri kepada Allah SWT. disebutkan dalam Al-Qur’an antara lain :
186. dan apabila hamba-hamba- Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
(S. Al Baqarah : 186).
Ketahuilah wahai saudaraku, Allah SWT selalu mengawasi segala sesuatu, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an S. Al-Ahzab (33) : 52.
52. ……………. dan adalah Allah Maha mengawasi segala sesuatu.
Hal ini mengandung pelajaran bahwa seseorang selalu merasa diawasi/diintai oleh Allah SWT, karena pada dasarnya Allah adalah sangat dekat dengan hamba-hambanya, sebagaimana petunjuk S. Al-Qof (50) : 16.
16. dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya,
Demikian juga petunjuk dari Al-Qur’an dalam S. Al-Hadid (57) : 4.
4. Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: kemudian Dia bersemayam di atas ´arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.
Hadis Nabi SAW. juga memberi arahan yakni ketika Nabi menjawab pertanyaan malaikat Jibril tentang Ihsan, beliau menjawab : Hendaklah engkau beribadah kepada Allah se-olah-olah engkau melihat nya. Apabila engkau tak mampu melihat- Nya, yakinlah bahwasanya Allah melihatmu.(HR. Bukhari-Muslim) .
Kesadaran rohani bahwa Allah SWT. selalu hadir di dalam dan disekitar dirinya akan menjadikan dirinya selalu merasa diawasi segala apa yang dilakukan, bahkan sampai apa yang terlintas dalam hatinya.
Banyak kisah dalam dunia sufi Guru dan santrinya yang empat orang itu, satu diantaranya tidak mau menyembelih ayam yang diberikan oleh sang Guru, karena bagi Allah tidak ada suatu yang tersembunyi, Allah Maha Melihat dan Maha Mengetahui, maka luluslah murid tersebut dari ujian yang diberikan gurunya tersebut.
Selanjutnya Al-Imam al-Qusairi.rhm berkata : “Barang siapa yang muraqabah dengan Allah dalam hatinya, maka Allah akan memiliharanya dari perbuatan dosa pada anggota tubuhnya. Imam tokoh Sufi Sufyan Sauri.rhm juga berpesan hendaklah engkau melakukan muraqobah terhadap Dzat yang tidak lagi samar terhadap segala sesuatu, hendaklah engkau selalu mengharap raja’ (pengharapan dengan sangat berharap) terhadap Dzat yang memiliki siksa (Abu Bakar Jabir al-Jazairi 1976 : 85).
Maka dari uraian diatas dapat dicermati adanya dampak positif muroqobah bagi yang mampu melakukannya, yakni :
q Memiliki rasa malu yang positif.
q Akan senantiasa hati-hati dalam segala ucapan dan perbuatannya.
q Tidak pernah merasa ditinggalkan oleh Allah meski sendirian ataupun kelihatan doanya yang dipanjatkan belum dikabul kan
q Tidak mudah putus asa apapun nasib yang menimpanya
q Menjadi hamba yang mukhlis sebagai diisyaratkan dalam Al-Qur’an S. Yusuf (12) : 24.
24. Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusufpun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia (Nabi Yusuf) tidak melihat tanda (dari) Tuhannya[*]. Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu Termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.
[*] Ayat ini tidaklah menunjukkan bahwa Nabi Yusuf a.s. punya keinginan yang buruk terhadap wanita itu (Zulaikha), akan tetapi godaan itu demikian besanya sehingga andaikata Nabi Yusuf tidak dikuatkan dengan keimanan kepada Allah s.w.t tentu Dia jatuh ke dalam kemaksiatan. Dan ayat inilah menunjukkan keimanan dari Nabi Yusuf yang kuat dalam melaksanakan Ihsan, merasa dilihat dan diawasi oleh Allah SWT.
b. Melalui Muhasabah
Muhasabah berarti orang selalu memikirkan, memperhatikan dan memperhitung& shy;kan apa saja yang telah dan yang akan di perbuat. Pedomannya dalam S. Al-Hasyr (59) : 18.
18. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Dari pengertian ini dapat diambil pelajaran bahwa Muhasabah :
1. Membuktikan adanya iman dan takwa kepada Allah dalam dirinya dan Allah mengakui hal itu. Bagi ummat Islam, iman merupakan kekuatan yang maha dahsyat untuk memelihara manusia dari nilai-nilai rendah, dan merupakan alat yang menggerakan manusia untuk meningkatkan nilai luhur dan moral yang bersih. Orang yang beriman akan berusaha mengamalkan akhlak yang mulia/mah mudah, bukan akhlak yang tercela/mazmumah dalam kehidupannya sehari- hari sehingga orang tersebut akan terhindar dari kejahatan apapun. Itulah gambaran orang bertakwa, bersih dari dosa, dapat mengalahkan tuntutan hawa nafsu.
2. Orang yang bermuhasabah, pasti mempunyai keyakinan akan datangnya Hari Pembalasan (secara khusus) begitu merasuk dalam hatinya sehingga ia merasa pelu sangat hati-hati dalam setiap langkahnya. Dia tidak berani main-main akan larangan Allah SWT.
3. Orang tersebut akan selalu berusaha meningkatkan kualitas amalnya, karena ia merasa tak mau merugi dari hari ke hari. Ibaratnya seperti pedagang, sebelum berangkat akan memperhitungkan berapa modalnya, berapa pula ia harus menjual dagangannya, dan setelah selesai akan menghitung lagi berapa hasil uang yang bisa dibawa pulang. Begitu juga dalam hal beragama, modalnya adalah kumpulan kewajiban yang berhasil dikerjakan, sedang labanya adalah amalan-amalan sunnah yang berhasil dikerjakannya.
4. Pesan Sayidina Amirul Mukminin Umar bin Khattab r.a : Perhitungkanlah dirimu sendiri sebelum dirimu diperhitungkan. Oleh karena itu sikap hidup muraqobah dan muhasabah merupakan peningkatan ruhaniyah dan mental manusia sehingga benar-benar menjadi hamba Allah yang bertakwa, hidup dalam ketaatan dan terhindar dari maksiat.
c. Melalui Dzikir
Dzikir berarti ingat, mengingat, merenung, menyebut. Termasuk dalam pengertian dzikir ialah dia, membaca Al-Qur’an, tasbih (mensucikan Allah) tahmid (memuji Allah), takbir (membesarkan Allah) tahlil (mentauhidkan Allah), istighfar (memohon ampun kepada Allah) hauqalah (membaca lahula wala quwwata illah billahi ‘aliylil ‘adziem) dan lain sebagainya.
Ada dzikir yang menyatu dengan ibadah lainnya seperti dengan salat, thawaf, sa’i, wukuf dan lain sebagainya. Dan ada pula dzikir yang dilakukan secara khusus/ter sendiri diucapkan pada saat-saat tertentu, atau pada, setiap saat. Ada dzikir yang jumlahnya tidak ditentukan oleh syara’, tetapi ada dzikir yang jumlahnya ditentukan oleh syara’ menurut ketentuan Thoriqoh yang bersangkutan, Nabi SAW. sendiri baik dengan pernyataan beliau maupun dengan contoh amalan beliau. Sedang dzikir dalam pengertian ingat atau mengingat Allah, seharusnya dilakukan pada setiap saat. Artinya kegiatan apapun yang dilakukan oleh seorang Muslim hendaknya jangan sampai melupakan Allah SWT.
Dimanapun seorang Muslim berada, hendaknya selalu ingat kepada Allah, sehingga melahirkan cinta beramal saleh kepada Allah dan malu berbuat dosa dan maksiat kepada Allah SWT. Dzikir dalam arti menyebut asma Allah yang diamalkan secara rutin, biasanya disebut wind atau jamaknya disebut aurad.
Dzikir dalam menyebut asma Allah termasuk ibadah makhdhoh yaitu ibadah langsung kepada Allah SWT. Sebagai ibadah langsung, maka terikat dengan norma-norma ibadah langsung kepada Allah SWT, yaitu mesti ma’sur ada contoh atau ada perintah dari Rasulullah SWT. atau ada izin dari beliau. Artinya jenis dzikir ini tidak boleh dikarang oleh seseorang. Dzikir hanyalah mengingat atau menyebut asma Allah, atau nama-nama Allah atau kalamullah, Al-Qur’an.
Petunjuk Al-Qur’an dan Hadis perihal kegiatan dzikir cukup banyak, antara lain dapat disebutkan :
Firman Allah : Ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat pula kepadamu.
(S. Al-Baqarah (2) : 152)
41. Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya.
(S. Al-Ahzab (33) : 41).
191. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.
(Q.S. Ali-Imran : 191).
205. dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu Termasuk orang-orang yang lalai.
(S. Al-A’rof (7) : 205).
28. (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.
(S. Ar-Ra’du (13) : 28).
Hadis-hadis Nabi :
Telah berfirman Allah SWT. (dalam suatu hadis Qudsi) : Aku bersama-sama hamba-Ku selama ini mengingat Aku dan bibirnya bergerak menyebut nama-Ku. (HR. Al Baihaqy dan Ibnu Hiban).
Tak seorangpun manusia mengerjakan suatu perbuatan yang dapat menjauhkan dari azab Allah SWT. lebih baik dari pada dzikir. Para sahabat bertanya tidak pula jihad fi sabilillah, kecuali apabila engkau menghantam musuh dengan pedangmu itu sehingga ia patah, kemudian engkau menghantam lagi dengan pedangmu sehingga ia patah, kemudian menghantam lagi dengan pedangmu sehingga ia patah. (HR. Ibn Abi Syaibah dalam Al Musshanaf).
Rasulullah SAW. pernah ditanya : Amalan apa yang paling afdol ? Jawab beliau : Engkau mati dalam keadaan lidahmu basah karena berdzikir kepada Allah (HR. Ibnu Hiban & Athabrani).
Nabi SAW. telah bersabda : Allah SWT. berfirman dalam suatu hadis qudsy : Barang siapa disibukkan dzikir kepada-Ku, sedemikian sehingga tidak sempat memohon sesuatu dari-Ku, maka Aku akan memberinya yang terbaik dari apa saja yang Ku berikan kepada para pemohon (HR. Bukhori)
Seorang tokoh Shufian Abdul Qosim berkata : Ingat kepada Allah adalah bagian yang sangat kuat untuk menempuh jalan mendekatkan diri kepada Allah Yang Maha Suci. Bahkan sebagai unit/pokok didalam jalan/thoriqah ini (jalan shufiyah). Dan seorang hanya dapat sampai kepada Allah dengan terus menerus ingat kepada Allah (Abul Muhammad Abdulah Al-Yafi’i : Nasrul Mahasin Al-Ghoyah : 247).
Perlu disampaikan secara garis besar bahwa praktek dzikir dalam dunia thoriqoh, pelaksanaannya bisa berbeda-beda dalam tehnisnya tergantung ciri dan kepribadian thoriqoh itu sendiri sesuai petunjuk Mursyid nya.
Ulama Thoriqoh membaca jenis dzikir menjadi tiga jenjang :
a. Dzikir lisan : Laa ilaaha Illalah. Mulamula pelan kemudian bisa naik menjadi cepat setelah merasa meresap dalam diH.
b. Dzikir qalbu (hati) : Allah, Allah.
Mula-mula mulutnya berdzikir diikuti oleh hati, kemudian dari hati ke mulut, lalu lidah berdzikir sendiri, dengan dzikir tanpa sadar, akal pikiran tidak jalan lagi, melainkan terjadi sebagai Ilham yang menjelma Nur Ilahi dalam hati memberitahukan : Innany Anal Laahu, yang naik ke mulut mengucapkan Allah, Allah.
c. Dzikir Sir atau Rahasia : Hu Hu. Biasanya sebelum sampai ke tingkat dzikir orang itu sudah fana lebih dahulu. Dalam situasi yang demikian perasaan antara diri dengan Dia menjadi satu. Man lam jazuk Lam ya’rif : Barang siapa belum merasakan, maka is belum mengetahui.
Adapun juga ulama ahl-Thariqoh yang membagi jenis dzikir menjadi empat macam : Dzikir Qolbiyah, Dzikir Aqliyah, Dzikir Lisan dan Dzikir Amaliyah.
Semua tehnis berdzikir itu baik semua. Pada akhirnya terpulang kepada kemampuan kita masing-masing untuk melaksanakan dzikir itu sesuai dengan pilihan Thoriqoh dan petunjuk Mursyid yang bersangkutan selaku murid hanya bisa taat dengan petunjuk gurunya.
Demikian uraian singkat kami dalam menyajikan Thoriqoh sebagai jalan- menuju khusnul khatimah, yang semoga merupakan ikhtiar seorang hamba menjadi idaman bagi setiap muslim diakhir hayatnya. Mudah-mudahan ada manfaatnya. Dan Allah SWT, selalu membimbing dan memberi hidayah kepada kita semua. Amin.
Wa min Allah at taufiq hidayah wal inayah, wa bi hurmati Habib wa bi hurmati fatihah!!
Sifat-sifat Wahabi / Salafi yang Tercela
Dari Kitab DURARUSSANIYAH FIR RADDI ALAL WAHABIYAH Syeikhul Islam Allamah Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan Asy-Syafi’i.
Diantara sifat-sifatnya yang tercela ialah kebusukannya dan
kekejiannya dalam melarang orang berziarah ke makam Nabi saw dan membaca
sholawat atas Nabi saw, bahkan Muhammad bin Abdul Wahhab sampai
menyakiti orang yang hanya sekedar mendengarkan bacaan sholawat dan
yang membacanya dimalam Jum’at serta yang mengeraskan bacaannya di atas
menara-menara dengan siksaan yang amat pedih.
Pernah suatu ketika salah seorang lelaki buta yang memiliki suara yang bagus bertugas sebagai muadzin, dia telah dilarang mengucapkan shalawat di atas menara, namun lelaki itu selesai melakukan adzan membaca shalawat, maka langsung seketika itu pula dia diperintahkan untuk dibunuh, kemudian dibunuhlah dia. Setelah itu Muhammad bin Abdul Wahhab berkata : “perempuan-perempuan yang berzina dirumah pelacuran adalah lebih sedikit dosanya daripada para muadzin yang melakukan adzan di menara-menara dengan membaca shalawat atas Nabi.
Kemudian dia memberitahukan kepada sahabat-sahabatnya bahwa apa yang dilakukan itu adalah untuk memelihara kemurnian tauhid. Maka betapa kejinya apa yang diucapkannya dan betapa jahatnya apa yang dilakukanya Tidak hanya itu saja, bahkan diapun membakar kitab Dalail ul-Khairat. Kitab Dalail Khairat adalah kitab yang memuat 200 Nama-nama Nabi saw, kitab inilah yang dibaca para pejuang Afghanistan sehingga mampu mengusir Uni Sovyet / Rusia, seperti juga Salahuddin al Ayubi yang menghidupkan Mawlid Nabi sehingga tentaranya mampu menahan pasukan Nasrani.
Namun kemudian Wahabi mengirim Taliban yang akan membakar kitab-kitab tsb) dan juga kitab-kitab lainnya yang memuat bacaan-bacaan shalawat serta keutamaan membaca salawat Nabi saw ikut dibakar, sambil berkata apa yang dilakukan ini semata-mata untuk memelihara kemurnian tauhid.
Dia juga melarang para pengikutnya membaca kitab-kitab fiqih, tafsir dan hadits serta membakar sebagian besar kitab-kitab tsb, karena dianggap susunan dan karangan orang-orang kafir. Kemudian menyarankan kepada para pengikutnya untuk menafsirkan Al Qur’an sesuai dengan kadar kemampuannya, sehingga para pengikutnya menjadi BIADAB dan masing-masing menafsirkan Al Qur’an sesuai dengan kadar kemampuannya, sekalipun tidak secuilpun dari ayat Al Qur’an yang dihafalnya.
Lalu ada seseorang dari mereka berkata kepada seseorang : “Bacalah ayat Al Qur’an kepadaku, aku akan menafsirkanya untukmu, dan apabila telah dibacakannya kepadanya maka dia menafsirkan dengan pendapatnya sendiri. Dia memerintah kepada mereka untuk mengamalkan dan menetapkan hukum sesuai dengan apa yang mereka fahami serta memperioritaskan kehendaknya diatas kitab-kitab ilmu dan nash-nash para ulama, dia mengatakan bahwa sebagian besar pendapat para imam keempat madzhab itu tidak ada apa-apanya.
Sekali waktu, kadang memang dia menutupinya dengan mengatakan bahwa para imam ke empat madzhab Ahlus Sunnah adalah benar, namun dia juga mencela orang-orang yang sesat lagi menyesatkan. Dan dilain waktu dia mengatakan bahwa syari’at itu sebenarnya hanyalah satu, namun mengapa mereka (para imam madzhab) menjadikan 4 madzhab.
Ini adalah kitab Allah dan Sunnah Rasul, kami tidak akan beramal, kecuali dengan berdasar kepada keduanya dan kami sekali-kali tidak akan mengikuti pendapat orang-orang Mesir, Syam dan India. Yang dimaksud adalah pendapat tokoh-tokoh ulama Hanabilah dll dari ulama-ulama yang menyusun buku-buku yang menyerang fahamnya.
Dengan demikian, maka faham Wahabi adalah orang yang membatasi kebenaran, hanya yang ada pada sisinya, yang sejalan dengan nash-nash syara’ dan ijma’ ummat, serta membatasi kebathilan di sisinya apa yang tidak sesuai dengan keinginannya, sekalipun berada diatas nash yang jelas yang sudah disepakati oleh ummat.
Dan mereka wahabi adalah orang yang mengurangi keagungan Rasulullah saw dengan banyak sekali atas dasar memelihara kemurnian tauhid mereka mengatakan bahwa Nabi saw itu tak ubahnya :”THORISY”. Thorisy adalah istilah kaum orientalis yang berarti seseorang yang diutus dari suatu kaum kepada kaum yang lain. Artinya, bahwa Nabi saw itu adalah pembawa kitab, yakni puncak kerasulan beliau itu seperti “Thorisy” yang diperintah seorang amir atau yang lain dalam suatu masalah untuk manusia agar disampaikannya kepada mereka, kemudian sesudah itu berpaling.
Mereka menganggap Rasulullah saw tak ubahnya seperti seorang tukang pos yang bertugas menyampaikan surat kepada orang yang namanya tercantum dalam sampul surat, kemudian sesudah menyampaikannya kepada yang bersangkutan, maka pergilah dia. Dengan ini maka jelaslah bahwa kaum Wahabi hanya mengambil al Qur’an sebagian dan sebagian dia tinggalkan.
Dan meraka (para pengikutnya itu) pun memberitahukan apa yang mereka ucapkan itu kepadanya namun dia menampakkan kerelaannya, serta boleh jadi mereka juga mengucapkan kata-kata itu dihadapan gurunya, namun rupa-rupanya dia juga merestuinya, sehingga ada sebagian pengikutnya yang berkata
:”SESUNGGUHNYA TONGKATKU INI LEBIH BERGUNA DARIPADA MUHAMMAD, KARENA TONGKATKU INI BISA AKU PAKAI UNTUK MEMUKUL ULAR, SEDANG MUHAMMAD SETELAH MATI TIDAK ADA SEDIKITPUN KEMANFA’ATAN YANG TERSISA DARINYA, KARENA DIA (RASULULLAH S A W) ADALAH SEORANG THORISY DAN SEKARANG SUDAH BERLALU”.
Sebagian ulama’ yang menyusun buku yang menolak faham ini mengatakan bahwa ucapan-ucapan seperti itu adalah “KUFUR” menurut ke empat madzhab, bahkan kufur menurut pandangan seluruh para ahli Islam.
Catatan :
Jika perlakuan Abdul Wahhab dan pengikutnya kepada Nabi s a w sedemikian rupa, maka apakah masuk akalkah orang-orang kayak ini setia kepada sahabat dan kaum Salafush-Sholihin ? Sungguh sangat berbeda antara Salfus Solihin dengan mereka saat ini, jadi pengakuannya sebagai akidah yang mengikuti Salaf-Sholeh / Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah penipuan untuk mengelabuhi orang-orang awam.
Jika Nabi s a w dikatakan “Thorisy karena sudah berlalu”, mengapa para pengikut Wahabi itu tidak juga mengatakan Muhammad bin Abdul Wahhab itu “sudah berlalu”, mengapa mereka masih diangung-agungkan dan diikuti dengan taklid. Inilah yang dinamakan “PELARANGAN PENGKULTUSAN YANG
MELAHIRKAN PENGKULTUSAN BARU”.
- Wahabi membid’ahkan Mawlid Salawat Nabi, semntara dalam Al-Qur’an Allah berfirman, Innalloha wa malaikatuhu yu sholluna alan Nabi, Ya ayyuhal ladzina amanu shollu alaiihi wa salimu taslima.
“Aku dan Malaikatku bersalawat untuk nabi, wahai orang yang beriman, bersalawatlah kalian dan menucapkan salam kepada nabi saw”. Allah swt menyuruh kita solat, puasa, zakat, haji, tetapi Allah tak perlu dan tak butuh solat kita, Allah menuruh kita bersalawat atas nabi, dan Allah sendiri bersalawat kepada Nabi saw"
.
- Orang-orang Wahabi yang membenci Mawlid Nabi ini nantinyapun minta syafa’at pada Nabi saw di Hari Mahsyar nanti, sementara didunia ini mereka membenci orang2 yang bersalawat.
- Mereka membid’ahkan ziarah ke makam Nabi saw, sementara mereka sendiri menziarahi makam Abdul Wahab. Mereka pun berziarah kemakam orang tuanya ketika puasa akan dimulai, atau ketika lebaran. Sementara mereka membid’ahkan ziarah. Ziarah dalam hadist Nabi saw bahkan dianjurkan untuk mengingat mati. Apakah kita tak boleh berziarah kemakam orang tua kita, memeliharanya, mendoakan guru-guru kita yang mengajarkan Islam kepada kita. Inilah Islam sejati yang penuh cinta, bukan seperti Islam Wahabai salafi yang penuh kemarahan dengan kata-kata Bid’ah. Ucapannya menyakiti hati sesama muslim lainnya.
- Wahabi melarang Mawlid Nabi saw yang artinya memperingati Kelahiran Nabi tercinta saw, tetapi mereka merayakan hari ulang tahun anaknya , orang tuanya. Bila mereka mengatakan tak tak merayakan, lihatlah bahkan betapa keringnya hati mereka, tak ada cinta samasekali. Bukan Islam yang kering seperti ini yang dianut Mayoritas Muslim dunia. Ahlul Sunah wal Jamaah hampir 90% masyarakat muslim dunia merayakan mawlid, di Yaman , Damascus, Yordania, Negara- afrika, Asia Tenggara, Timur Tengah dll.
Wahabi di Indonesia sangat sedikit dan minoritas, tetapi lihatlah teriakan mereka begitu menantang para Ahlul Sunah wal Jamaah, Islam tradisional (90%) mereka telah menabuh genderang peperangan kepada kaum muslim yang lain di Indonesia dan di negara2 lain. Mereka diusir di Eropa Amerika karena faham fundamentalis radikalnya.
Shaykh Muhammad Nazim Adil al Haqqani qs
Bismillahir rahmaanir rahiim
Allahumma shalli ‘alaa Muhammadin wa ‘alaa aali Muhammadin wa sallim
Allah berfirman dalam al-Qur’an [9:109]1 bahwa jika seseorang membangun rumahnya pada karang yang terjal tanpa pondasi yang kuat, maka rumahnya pasti akan runtuh. Jika seseorang membangun pondasi rumahnya dengan bahan yang baik, atau pada tanah yang padat, lapisan demi lapisan ditata dengan baik, dia akan mempunyai rumah yang kokoh. Segalanya membutuhkan orang yang ahli. Jika Saya bilang kepada saudara Saya, “Bisakah kamu membuatkan rumah untuk kami?” Dia akan menjawab, “Tidak, Saya bukan tukang kayu.” Jadi kita harus memanggil orang lain dan berkata, “Tolong buatkan rumah untuk kami karena Anda ahlinya.” Orang itu akan menjawab, “Baiklah! Begini rencananya, di sini kita meletakkan dinding, lalu di sini pondasi, di sini semen dan seterusnya.”
Jika kalian memerlukan seorang ahli untuk membangun rumah yang biasa, bagaimana dengan hati kalian? Bagaimana kalian membuat suatu pendekatan kepada Tuhanmu tanpa dibimbing seorang ahli? Kalian harus mencari ahlinya. Kalian tidak dapat mencapai-Nya tanpa bantuan seorang pemandu, tidak peduli betapa keras kalian mencoba mengikuti jalan-Nya sendirian. Tak seorang pun yang dapat mencapainya sendirian karena kadang-kadang walaupun seseorang tahu bahwa dia berada di jalur yang benar, bisa saja dia melakukan sesuatu yang bukan pada tempat dan waktunya. Seterusnya dia akan gagal. Jadi kita memang memerlukan bantuan seorang ahli dan dia akan menjadi pemandu kita.
Untuk mencapai Tuhan, kalian tidak akan menemukan jalan dalam mengarungi gurun kehidupan ini kecuali dengan bantuan seorang pemandu karena angin yang berasal dari keinginan ego dan hasrat ingin menonjolkan diri dapat mengubah segalanya. Ego memiliki keinginan. Angin dari ego adalah keinginan yang kosong dan nafsu untuk menonjolkan diri. Bila keinginan tersebut muncul, dia akan menutupi jalur yang benar sehingga kalian akan tersesat. Kalian akan berhenti dan tidak tahu cara melanjutkannya. Itulah sebabnya kalian membutuhkan bantuan dari seorang pemandu yang benar-benar ahli dalam mengarungi gurun kehidupan tersebut. Dia adalah ahli dalam mengarungi jalur-jalur ego. Bila kalian tidak dapat menemukannya berarti buang-buang waktu saja dalam mencoba mendekati Tuhan di kehidupan ini. Tuhan Maha Penyayang, karena kalian berusaha untuk mencapai-Nya kalian akan menemukan-Nya di akhir hayat bahkan tanpa bantuan seorang pemandu, tetapi kalian tidak bisa mencapai-Nya dengan cepat. Sekarang kalian telah kehilangan waktu tanpa kemajuan yang berarti, tetapi segera setelah kalian menemukan seorang pemandu dan kalian menerima panduan yang diberikannya, melewati kemauan ego dan keinginan untuk menonjolkan diri, maka kalian akan sampai di sisi sebrang. Sebaliknya jika kalian tidak menerimanya, kalian akan tersesat di gurun yang sangat luas.
Ketika Rasulullah saw diperintahkan untuk berhijrah dari Mekkah ke Madinah, beliau bersabda, “Saya memerlukan seorang pemandu.” Beliau adalah seorang rasul, mengapa beliau memerlukan seorang pemandu? Untuk mengajari kita bahwa walaupun beliau adalah seorang rasul, beliau tetap membutuhkan seorang pemandu, pemandu eksternal yang dapat menunjukkan jalan menuju Madinah. Misalnya, kita ingin menunjukkan jalan ke air terjun Niagara kepada anak kita, tetapi kita tidak tahu jalan menuju ke sana, maka kita akan mencari seorang yang ahli, yang tidak akan menyesatkan kita. Beliau adalah rasul tetapi beliau tetap mencari seorang pemandu, apakah beliau tidak tahu? Nabi ‘Isa as bersabda, “Salah satu di antara kalian akan menghianatiku.” Ini adalah benar, dan sebagai Muslim kita wajib mempercayainya. Beliau mengatakan ‘salah satu di antara kalian,’ apakah beliau tidak tahu? Beliau tahu tetapi tidak mengatakannya. Rasulullah saw pun tahu, tetapi mereka (Nabi ‘Isa dan Rasulullah saw) ingin menunjukkan kelemahan dan kerendahan hati sepenuhnya. Beliau mengajari kita untuk mencari seorang pemandu. Mereka membutuhkan seorang pemandu untuk menunjukkan jalan dari Makkah ke Madinah dan dengan bantuannya mereka bisa sampai di Madinah dengan aman.
Jika kita membutuhkan seorang pemandu untuk mengarungi gurun pasir, bagaimana dengan kehidupan spiritual kita? Ini lebih sulit. Kalian jelas membutuhkan seorang pemandu untuk masalah ini. Rasulullah saw mempunyai pemandu, yaitu malaikat Jibril as yang memberinya inspirasi dan menyampaikan wahyu. Pada peristiwa Isra’ Mi’raj, Rasulullah saw dibimbing menuju Kehadirat Ilahi. Jadi secara eksternal beliau membutuhkan seorang pemandu yaitu ketika hijrah dari Makkah ke Madinah dan secara internal beliau juga membutuhkan seorang pemandu, ketika hijrah menuju Tuhannya di malam Isra’ Mi’raj. Tanpa ada jalan mustahil melakukan hijrah, kalian tidak bisa pergi ke mana-mana tanpa ada jalan.
Itulah sebabnya mengapa setiap orang harus mencari seorang pemandu untuk menunjukkan jalan kebenaran dan jalan menuju realitas. Tanpa panduannya kalian akan berada dalam keraguan, apakah yang kalian lakukan benar atau salah. Kalian tidak akan mengetahuinya. Dengan adanya pemandu, kalian akan bergantung kepadanya karena dia adalah seorang yang ahli. Seperti yang telah dikatakan bahwa Rasulullah saw mengambil seorang pemandu untuk menunjukkan jalan ke Madinah. Beliau tidak berkata kepadanya, “Tidak! Mengapa kamu membawaku ke jalan yang ini, bukan yang itu?” Beliau menggantungkan dirinya kepada pemandunya karena keahliannya.
Pemandu yang menunjukkan jalan harus dapat dipercaya. Kalian tidak bisa mengambil sembarang pemandu dan mengaku bahwa dia adalah pemandu kalian. Jika kalian mengambil pemandu yang keliru, bisa saja dia membawa kalian ke dalam samudra Setan. Kalian akan tersesat dalam samudra halusinasi. Banyak orang yang mengikuti pemandu semacam ini, suatu saat para pengikutnya akan mengalami halusinasi. Apa yang mereka lihat sebenarnya tidak ada. Oleh sebab itu pemandu yang sejati sangatlah penting.
Bagaimana kalian bisa mengenalinya? Grandsyaikh pernah berkata bahwa jika kalian ingin mengetahui apakah seseorang itu adalah seorang pemandu yang sejati, pertama kali yang harus dilakukan adalah melihat pakaian luarnya. Apakah dia telah memakai pakaian luar dengan lengkap? Jika belum, berarti ada kerusakan dalam hatinya, oleh sebab itu jangan ikuti dia. Segala sesuatu pada seorang guru Sufi, (kita berbicara tentang Sufisme, bukan hal yang lain) yang tidak sesuai dengan pakaian dan perilaku seorang guru yang sejati, menunjukkan suatu ketidaksempurnaan atau kesalahan. Grandsyaikh berkata, “Jika kalian mempunyai sebuah jam dan jam itu secara internal bekerja 100% tetapi tidak mempunyai jarum, jam itu tidak bisa menunjukkan waktu kepada kalian sehingga tidak ada manfaat yang dapat diambil darinya. Sama halnya dengan jam yang mempunyai jarum, tetapi mekanik internalnya tidak bekerja 100%, dia juga tidak dapat menunjukkan waktu yang tepat bagi kalian.” Jadi bagi seorang pemandu bagian eksternal dan internal harus sempurna.
Kita tidak berbicara tentang diri kita. Kita mengikuti guru kita. Beliaulah pemandu kita. Beliau bekerja 100% baik secara eksternal maupun internal. Kita hanya mencoba mengikutinya. Itulah sebabnya bila kita melihat kepada seseorang dan berpikir apakah dia adalah seorang pemandu sejati, kalian harus melihat bahwa dia telah melengkapi bagian eksternalnya tanpa ada kekurangan. Jika ada sesuatu yang hilang, kalian jangan mengikutinya. Bila dia kehilangan salah satu bagian eksternalnya berarti dia telah kehilangan banyak bagian internalnya, yang tidak dapat diketahui orang. Kalian berpakaian dengan rapi karena tahu bahwa orang melihat kalian. Tetapi bila menyangkut hal-hal yang tidak dapat dilihat, kalian berkata, “Biarkan saja, toh tidak ada yang melihat.” Jika kalian kehilangan salah satu item dari pakaian eksternal yang jelas akan dilihat orang, berarti kalian ‘tidak fit’. Apalagi kalau menyangkut hal-hal yang tidak terlihat, tentu akan lebih banyak yang hilang. Orang seperti itu tidak bisa menjadi pemandu sejati. Dia adalah pemandu yang tidak terhubung. Bisa saja dia membawa kalian ke jarak tertentu dalam kehidupan spiritual, tetapi dia tidak terhubung dengan tingkat yang lebih tinggi lagi. Pemandu sejati harus mempunyai eksterior yang lengkap, tidak kurang sedikit pun.
Grandsyaikh berkata bahwa itu adalah langkah pertama untuk menentukan seorang pemandu sejati. Bila kalian melihatnya dan mengatakan, “Dia sudah lolos,” bukan ujian pertama, tetapi lolos dari “kriteria pertama.” Berikutnya kita tinjau dari sisi dalam. Bagaimana kalian bisa melihat sisi dalamnya? Grandsyaikh berkata, “Kalian harus lihat bahwa orang itu mempunyai rasa hormat kepada setiap orang tanpa diskriminasi sekecil apa pun, tanpa memandang agama karena setiap manusia adalah hamba Tuhan yang sama. Sang pemandu harus menghormatinya, pertama karena seluruh manusia adalah ciptaan Tuhan dan mempunyai Cahaya Ilahi dalam hatinya. Selain itu dia juga harus mempunyai rasa cinta terhadap mereka. Menerima apa yang dia inginkan baginya dan bagi anak-anaknya, untuk menjadi dan bertindak atas nama mereka, walaupun mereka hanya orang biasay yang belum menjadi pengikutnya. Jadi dia harus bisa menunjukkan rasa hormat dan cinta kepada mereka. Ketiga, dia harus menunjukkan kerendahan hati kepada mereka. Dia tidak bisa berkata bahwa dia lebih tinggi dari mereka. Tidak ada seorang pun yang tinggi kecuali Tuhan. Jika dia menganggap dirinya lebih tinggi dari mereka berarti dia seperti Setan yang menganggap dirinya lebih tinggi dari Adam as.
Ketiga kriteria ini adalah “aksesoris dalam” yang dimiliki pemandu sejati. Dalam hal pakaian dia harus memiliki pakaian lengkap seorang guru Sufi. Jika guru kalian seperti itu, barulah dia seorang pemandu sejati, ikutilah dia. Bersamanya kalian akan menemukan kepuasan hati dan menemukan hal-hal yang telah hilang. Jika kalian tidak menemukan orang seperti itu, lanjutkan pencarian kalian. Kalian akan menemukannya karena Allah Maha Penyayang. Bila kalian melihatnya, Allah akan memberi. Bila kalian tidak meminta, Allah tidak akan memberi. Jika kalian sungguh-sungguh, memohonlah dengan hati kalian. Kalian akan menemukannya dan dia akan memberi kunci hati kalian. Jika kalian tidak melakukannya dengan sungguh-sungguh, tidak melakukannya sepenuh hati, hanya di lidah saja mungkin kalian akan menemukannya atau mungkin juga tidak.
Ahmad al-Badawi adalah seorang wali yang sangat terkenal di semua kalangan Sufi. Beliau menyatakan “Aku tidak membutuhkan seorang pemandu. Pemanduku adalah al-Qur’an,” sebagaimana yang dikatakan orang Wahhabi sekarang, “…dan cara hidup Rasulullah saw.” Beliau mencoba mendekati Tuhannya sebagaimana Rasulullah saw bersabda atas nama Tuhannya, “Hambaku tidak berhenti untuk mendekati-Ku melalui ibadah sunnah atau perbuatan baik, sampai Aku mencintainya. Dan bila Aku mencintainya, pada saat itu Aku akan menjadi telinga yang digunakan untuk mendengar, mata yang dipakainya untuk melihat, tangan untuk merasakan, dan kaki untuk berjalan. Jika dia meminta, Aku akan memberi. Jika dia memohon perlindungan, Aku akan melindunginya. Aku akan menjadi dia, dan dia dapat mengatakan kepada sesuatu, “Jadilah!” maka jadilah ia.”2 Orang-orang Wahhabi biasanya memotong bagian terakhir dari hadits tersebut, tetapi kita mengucapkannya secara lengkap.
Ahmad al-Badawi berusaha mendekatai Tuhannya sampai mencapai pintu Kehadirat Ilahi, lalu dia berkata, “Ya Tuhanku! Bukakanlah pintu ini untukku.” Tetapi dia tidak mendapat jawaban. Dia mencobanya berulang-ulang sampai akhirnya dia bertemu ‘secara tidak sengaja’ dengan seseorang. Saya bilang ‘tidak sengaja’ tetapi sebetulnya itu sudah direncanakan dengan sangat rapi, karena itu adalah Kehendak Allah untuk mengujinya. Dia bertemu orang itu di jalan, seseorang yang kelihatannya biasa saja. Orang itu lalu memanggilnya, “Hei Ahmad!” bahkan dia tidak menyebutnya “Syaikh Ahmad!” sebagai tanda penghormatan. Dia berkata, “Wahai Ahmad! Engkau perlu kunci untuk mencapai kehadirat Ilahi? Aku punya kuncinya dan jika Kau mau, datanglah kepadaku dan akan kuberikan kepadamu.”
Banyak di antara kita yang menolak fakta atau kenyataan karena merasa bangga, walaupun dia tahu sebenarnya itu adalah jalan yang benar. Mereka tidak menerima sebab ego mereka mengatakan, “tidak!”. Ego Ahmad berkata kepadanya, “Bagaimana mungkin Engkau menerima sesuatu darinya? Jangan menerima kunci darinya. Terimalah dari Tuhan.” Lalu dia berkata, “Wahai Saudaraku, Aku tidak akan menerima kunci darimu, tidak juga dari orang lain, kecuali dari Sang Pembuat Kunci. Siapa Engkau. Engkau bukan siapa-siapa.”
Selanjutnya Ahmad berusaha untuk mencapai Kehadirat Ilahi sampai dia mendengar Tuhan berbicara kepadanya, “Wahai Ahmad, kehidupan ini adalah kehidupan yang berisi sebab dan akibat. Aku tidak akan memberimu kunci. Sesuai Kehendakku kunci untukmu berada pada orang itu. Pergilah dan dapatkan kunci itu darinya.” Sekarang persoalannya sudah selesai. Dia mendengarnya langsung dari Tuhannya, dan dia menerimanya. Sekarang dia harus mencari pemandunya. Tetapi sang pemandu telah lenyap. Dia telah meninggalkannya. Selama enam bulan pemandu itu mengamati hati Ahmad secara rahasia, melihat bahwa dia mencarinya dan berdo’a kepada Tuhan siang dan malam, “Ya Tuhanku kirimkanlah orang itu kembali kepadaku,” sampai akhirnya dia bisa menemukannya kembali. Dengan segera orang itu membuka tabir yang ada pada dirinya selama ini.
Jadi sang pemandu membuka tabir dan menampakkan dirinya di hadapan Ahmad. Ahmad berkata, “Wahai Syaikhku! Aku menemukanmu.” Dia tidak menemukannya tetapi sang pemandulah yang menghilangkan tabirnya. Tetapi tetap saja dia berpikir bahwa dia telah menemukannya. Dia berkata, “Wahai Syaikhku, Aku menerimamu sebagai pemanduku.” Sang pemandu menjawab, “Jika engkau menerimaku sebagai pemandumu sekarang, engkau harus pasrah, menyerahkan diri, dan menyerahkan seluruh kehendakmu kepadaku. Engkau tidak diperkenankan mempunyai kemauan selama bersamaku. Engkau telah membangun ilmu pengetahuanmu pada sebuah karang yang hanya dengan satu tiupan angin dari ego, dia akan jatuh. Aku harus membangun pondasi yang kuat bagimu. Jadi, lihatlah ke dalam mataku.” Ahmad melihat ke matanya dan pemandu itu dengan segera menghapus seluruh pengetahuan yang telah dipelajari oleh Ahmad al-Badawi dari buku. “Lewat buku” maksudnya ada banyak hal yang berasal dari ego si penulis. Maka dia menghilangkan pengetahuan itu dari hati Ahmad dan kemudian lenyap. Dia meninggalkannya selama 6 bulan lagi bahkan dalam keadaan tidak tahu bagaimana mengucapkan, “bismillahir rahmaanir rahiim,” bahkan tanpa mengetahui bagaimana mengucapkan Nama Allah.
Orang-orang di kota kini mengejek Ahmad al-Badawi, yang kelihatannya seperti orang gila setelah sebelumnya menjadi ulama yang terkemuka. Karena keterbatasan pengetahuan spiritual mereka, mereka berpikir bahwa dia benar-benar sakit. Yang mereka ketahui hanyalah bahwa dia mengikuti seseorang yang membuatnya gila, tetapi Ahmad al-Badawi tahu bahwa dia telah mendengar suara Tuhannya yang mengatakan bahwa, “Kuncimu ada pada orang itu.” Tidak ada yang membuatnya gila. Dia mengikuti orang itu. Tetapi bila dia menerimanya sejak awal, ketika pemandu itu datang untuk pertama kalinya atas Kehendak Allah, dia tidak harus melewati ujian ini. Jadi mengapa kalian membuat diri kalian harus melewati ujian yang sama? Bila kalian menemukan kebenaran, seorang pemandu yang benar, terimalah dia dengan segera! Jangan bermain-main dengan ego kalian.
Dia meninggalkannya selama 6 bulan lagi dan muncul kembali di waktu yang lain. Dalam kurun waktu tersebut Ahmad al-Badawi terus mencarinya dan ketika dia bertemu kembali, Ahmad al-Badawi berkata, “Wahai Syaikhku, Aku menemukanmu lagi.” Saat itu sang pemandu memandang mata Ahmad al-Badawi dan memancarkan sesuatu dari lubuk hatinya kepada hati Ahmad al-Badawi melalui matanya. Pada saat itu terjadi transfer pengetahuan internal, pengetahuan dari Kitab Allah dan rahasia-rahasianya. Pemandu itu melakukannya 3 kali sampai mata Ahmad al-Badawi memancarkan sinar yang begitu kuat bahkan orang yang melihatnya bisa tewas. Oleh sebab itu dia menutup wajahnya dengan cadar. Saat itu dia bisa memasuki Kehadirat Ilahi dan dia menerima kuncinya.
Tanpa bantuan pemandu sejati kalian tidak akan bisa mencapai Kehadirat-Nya. Dialah yang akan membukakan pintu bagimu ke mana pun kalian akan pergi. Ahmad al-Badawi adalah seorang ulama besar yang mengetahui banyak hal. Dia bangga dengan pengetahuannya itu dan tidak mau menerima pelajaran dari orang lain. Dia hanya mau mengambil langsung dari posisi Yang Maha Tinggi. Dia tidak melihat ada yang lebih tinggi darinya kecuali Tuhan. Bagaimana mungkin dia akan mengambil pelajaran dari orang lain? Berarti tidak ada sifat rendah hati pada dirinya. Dia telah kehilangan satu dari tiga karakteristik yang diperlukan oleh hamba Allah. Dia mempunyai rasa hormat, dia juga mencintai sesamanya, tetapi dia tidak mempunyai kerendahan hati untuk menerima nasihat dari orang lain. Dan karena dia telah kehilangan satu karakteristik itu, seolah-olah dia tidak mengalami kemajuan lagi.
Seorang Wali, seorang guru harus memiliki karakteristik hormat, cinta dan rendah hati. Jika kalian melihat salah satunya tidak ada, maka dia bukanlah seorang pemandu sejati. Dia hanya akan membawa kalian ke jarak tertentu seperti yang kita lihat pada diri Ahmad al-Badawi yang bisa mencapai Tuhan sampai pada jarak tertentu, namun tidak bisa membukanya. Dia membutuhkan seseorang yang mempunyai kunci tetapi ketika ditemukan dia tidak menerimanya langsung karena kesombongannya. Dia terlalu banyak memikirkan dirinya. Akhirnya dia menerima juga setelah mendengar langsung dari Tuhannya, tetapi dia harus melewati ujian tertentu. Jika pada mulanya dia langsung menerimanya tanpa melalui rasa bangga terhadap dirinya, pintu itu segera terbuka baginya tanpa harus melewati ujian selama 2 tahun.
Bila kalian menemukan seorang pemandu dan hatimu merasa senang dengan kehadirannya, jangan dengarkan egomu. Katakan kepada ego, “Kau salah! Apa ruginya jika Aku menerimanya sebagai guru? “ Kalian tidak akan kehilangan apa pun. Bila kalian menunjukkan sifat rendah hati, ini cukup bagi Allah untuk menaikkan kalian. Jika Saya datang dan mengatakan, “Si Anu dan si Anu” adalah Syaikh Saya, dan Saya telah berbay’at dengannya. Apa salahnya? Saya menerimanya dan Saya menunjukkan kerendahan hati, Allah akan menaikkan Saya.
Mempunyai sifat rendah hati adalah sangat penting. Jika kalian bersifat rendah hati, kalian akan menerima semua orang sebab setiap orang dapat menjadi pemandu bagimu. Ada sebuah peribahasa di Turki yang berupa pertanyaan kepada seseorang yang baik, “Dari mana Engkau belajar perilaku yang sempurna dalam masyarakat?” jawabnya, “Dari orang-orang yang bersalah. Aku mengamatinya, melihat kesalahan yang mereka lakukan lalu Aku menghindarinya. Jadi Aku bisa memperbaiki diriku lewat kesalahan orang lain.” Jika kalian bisa menerima semua orang sebagai pemandu kalian, bahkan seorang yang jahat pun dapat memandumu. Dengan mengamati dan melihat kesalahan yang dilakukannya, kalian berhenti.
Wa min Allah at taufiq
Pernah suatu ketika salah seorang lelaki buta yang memiliki suara yang bagus bertugas sebagai muadzin, dia telah dilarang mengucapkan shalawat di atas menara, namun lelaki itu selesai melakukan adzan membaca shalawat, maka langsung seketika itu pula dia diperintahkan untuk dibunuh, kemudian dibunuhlah dia. Setelah itu Muhammad bin Abdul Wahhab berkata : “perempuan-perempuan yang berzina dirumah pelacuran adalah lebih sedikit dosanya daripada para muadzin yang melakukan adzan di menara-menara dengan membaca shalawat atas Nabi.
Kemudian dia memberitahukan kepada sahabat-sahabatnya bahwa apa yang dilakukan itu adalah untuk memelihara kemurnian tauhid. Maka betapa kejinya apa yang diucapkannya dan betapa jahatnya apa yang dilakukanya Tidak hanya itu saja, bahkan diapun membakar kitab Dalail ul-Khairat. Kitab Dalail Khairat adalah kitab yang memuat 200 Nama-nama Nabi saw, kitab inilah yang dibaca para pejuang Afghanistan sehingga mampu mengusir Uni Sovyet / Rusia, seperti juga Salahuddin al Ayubi yang menghidupkan Mawlid Nabi sehingga tentaranya mampu menahan pasukan Nasrani.
Namun kemudian Wahabi mengirim Taliban yang akan membakar kitab-kitab tsb) dan juga kitab-kitab lainnya yang memuat bacaan-bacaan shalawat serta keutamaan membaca salawat Nabi saw ikut dibakar, sambil berkata apa yang dilakukan ini semata-mata untuk memelihara kemurnian tauhid.
Dia juga melarang para pengikutnya membaca kitab-kitab fiqih, tafsir dan hadits serta membakar sebagian besar kitab-kitab tsb, karena dianggap susunan dan karangan orang-orang kafir. Kemudian menyarankan kepada para pengikutnya untuk menafsirkan Al Qur’an sesuai dengan kadar kemampuannya, sehingga para pengikutnya menjadi BIADAB dan masing-masing menafsirkan Al Qur’an sesuai dengan kadar kemampuannya, sekalipun tidak secuilpun dari ayat Al Qur’an yang dihafalnya.
Lalu ada seseorang dari mereka berkata kepada seseorang : “Bacalah ayat Al Qur’an kepadaku, aku akan menafsirkanya untukmu, dan apabila telah dibacakannya kepadanya maka dia menafsirkan dengan pendapatnya sendiri. Dia memerintah kepada mereka untuk mengamalkan dan menetapkan hukum sesuai dengan apa yang mereka fahami serta memperioritaskan kehendaknya diatas kitab-kitab ilmu dan nash-nash para ulama, dia mengatakan bahwa sebagian besar pendapat para imam keempat madzhab itu tidak ada apa-apanya.
Sekali waktu, kadang memang dia menutupinya dengan mengatakan bahwa para imam ke empat madzhab Ahlus Sunnah adalah benar, namun dia juga mencela orang-orang yang sesat lagi menyesatkan. Dan dilain waktu dia mengatakan bahwa syari’at itu sebenarnya hanyalah satu, namun mengapa mereka (para imam madzhab) menjadikan 4 madzhab.
Ini adalah kitab Allah dan Sunnah Rasul, kami tidak akan beramal, kecuali dengan berdasar kepada keduanya dan kami sekali-kali tidak akan mengikuti pendapat orang-orang Mesir, Syam dan India. Yang dimaksud adalah pendapat tokoh-tokoh ulama Hanabilah dll dari ulama-ulama yang menyusun buku-buku yang menyerang fahamnya.
Dengan demikian, maka faham Wahabi adalah orang yang membatasi kebenaran, hanya yang ada pada sisinya, yang sejalan dengan nash-nash syara’ dan ijma’ ummat, serta membatasi kebathilan di sisinya apa yang tidak sesuai dengan keinginannya, sekalipun berada diatas nash yang jelas yang sudah disepakati oleh ummat.
Dan mereka wahabi adalah orang yang mengurangi keagungan Rasulullah saw dengan banyak sekali atas dasar memelihara kemurnian tauhid mereka mengatakan bahwa Nabi saw itu tak ubahnya :”THORISY”. Thorisy adalah istilah kaum orientalis yang berarti seseorang yang diutus dari suatu kaum kepada kaum yang lain. Artinya, bahwa Nabi saw itu adalah pembawa kitab, yakni puncak kerasulan beliau itu seperti “Thorisy” yang diperintah seorang amir atau yang lain dalam suatu masalah untuk manusia agar disampaikannya kepada mereka, kemudian sesudah itu berpaling.
Mereka menganggap Rasulullah saw tak ubahnya seperti seorang tukang pos yang bertugas menyampaikan surat kepada orang yang namanya tercantum dalam sampul surat, kemudian sesudah menyampaikannya kepada yang bersangkutan, maka pergilah dia. Dengan ini maka jelaslah bahwa kaum Wahabi hanya mengambil al Qur’an sebagian dan sebagian dia tinggalkan.
Dan meraka (para pengikutnya itu) pun memberitahukan apa yang mereka ucapkan itu kepadanya namun dia menampakkan kerelaannya, serta boleh jadi mereka juga mengucapkan kata-kata itu dihadapan gurunya, namun rupa-rupanya dia juga merestuinya, sehingga ada sebagian pengikutnya yang berkata
:”SESUNGGUHNYA TONGKATKU INI LEBIH BERGUNA DARIPADA MUHAMMAD, KARENA TONGKATKU INI BISA AKU PAKAI UNTUK MEMUKUL ULAR, SEDANG MUHAMMAD SETELAH MATI TIDAK ADA SEDIKITPUN KEMANFA’ATAN YANG TERSISA DARINYA, KARENA DIA (RASULULLAH S A W) ADALAH SEORANG THORISY DAN SEKARANG SUDAH BERLALU”.
Sebagian ulama’ yang menyusun buku yang menolak faham ini mengatakan bahwa ucapan-ucapan seperti itu adalah “KUFUR” menurut ke empat madzhab, bahkan kufur menurut pandangan seluruh para ahli Islam.
Catatan :
Jika perlakuan Abdul Wahhab dan pengikutnya kepada Nabi s a w sedemikian rupa, maka apakah masuk akalkah orang-orang kayak ini setia kepada sahabat dan kaum Salafush-Sholihin ? Sungguh sangat berbeda antara Salfus Solihin dengan mereka saat ini, jadi pengakuannya sebagai akidah yang mengikuti Salaf-Sholeh / Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah penipuan untuk mengelabuhi orang-orang awam.
Jika Nabi s a w dikatakan “Thorisy karena sudah berlalu”, mengapa para pengikut Wahabi itu tidak juga mengatakan Muhammad bin Abdul Wahhab itu “sudah berlalu”, mengapa mereka masih diangung-agungkan dan diikuti dengan taklid. Inilah yang dinamakan “PELARANGAN PENGKULTUSAN YANG
MELAHIRKAN PENGKULTUSAN BARU”.
- Wahabi membid’ahkan Mawlid Salawat Nabi, semntara dalam Al-Qur’an Allah berfirman, Innalloha wa malaikatuhu yu sholluna alan Nabi, Ya ayyuhal ladzina amanu shollu alaiihi wa salimu taslima.
“Aku dan Malaikatku bersalawat untuk nabi, wahai orang yang beriman, bersalawatlah kalian dan menucapkan salam kepada nabi saw”. Allah swt menyuruh kita solat, puasa, zakat, haji, tetapi Allah tak perlu dan tak butuh solat kita, Allah menuruh kita bersalawat atas nabi, dan Allah sendiri bersalawat kepada Nabi saw"
.
- Orang-orang Wahabi yang membenci Mawlid Nabi ini nantinyapun minta syafa’at pada Nabi saw di Hari Mahsyar nanti, sementara didunia ini mereka membenci orang2 yang bersalawat.
- Mereka membid’ahkan ziarah ke makam Nabi saw, sementara mereka sendiri menziarahi makam Abdul Wahab. Mereka pun berziarah kemakam orang tuanya ketika puasa akan dimulai, atau ketika lebaran. Sementara mereka membid’ahkan ziarah. Ziarah dalam hadist Nabi saw bahkan dianjurkan untuk mengingat mati. Apakah kita tak boleh berziarah kemakam orang tua kita, memeliharanya, mendoakan guru-guru kita yang mengajarkan Islam kepada kita. Inilah Islam sejati yang penuh cinta, bukan seperti Islam Wahabai salafi yang penuh kemarahan dengan kata-kata Bid’ah. Ucapannya menyakiti hati sesama muslim lainnya.
- Wahabi melarang Mawlid Nabi saw yang artinya memperingati Kelahiran Nabi tercinta saw, tetapi mereka merayakan hari ulang tahun anaknya , orang tuanya. Bila mereka mengatakan tak tak merayakan, lihatlah bahkan betapa keringnya hati mereka, tak ada cinta samasekali. Bukan Islam yang kering seperti ini yang dianut Mayoritas Muslim dunia. Ahlul Sunah wal Jamaah hampir 90% masyarakat muslim dunia merayakan mawlid, di Yaman , Damascus, Yordania, Negara- afrika, Asia Tenggara, Timur Tengah dll.
Wahabi di Indonesia sangat sedikit dan minoritas, tetapi lihatlah teriakan mereka begitu menantang para Ahlul Sunah wal Jamaah, Islam tradisional (90%) mereka telah menabuh genderang peperangan kepada kaum muslim yang lain di Indonesia dan di negara2 lain. Mereka diusir di Eropa Amerika karena faham fundamentalis radikalnya.
Shaykh Muhammad Nazim Adil al Haqqani qs
Bismillahir rahmaanir rahiim
Allahumma shalli ‘alaa Muhammadin wa ‘alaa aali Muhammadin wa sallim
Allah berfirman dalam al-Qur’an [9:109]1 bahwa jika seseorang membangun rumahnya pada karang yang terjal tanpa pondasi yang kuat, maka rumahnya pasti akan runtuh. Jika seseorang membangun pondasi rumahnya dengan bahan yang baik, atau pada tanah yang padat, lapisan demi lapisan ditata dengan baik, dia akan mempunyai rumah yang kokoh. Segalanya membutuhkan orang yang ahli. Jika Saya bilang kepada saudara Saya, “Bisakah kamu membuatkan rumah untuk kami?” Dia akan menjawab, “Tidak, Saya bukan tukang kayu.” Jadi kita harus memanggil orang lain dan berkata, “Tolong buatkan rumah untuk kami karena Anda ahlinya.” Orang itu akan menjawab, “Baiklah! Begini rencananya, di sini kita meletakkan dinding, lalu di sini pondasi, di sini semen dan seterusnya.”
Jika kalian memerlukan seorang ahli untuk membangun rumah yang biasa, bagaimana dengan hati kalian? Bagaimana kalian membuat suatu pendekatan kepada Tuhanmu tanpa dibimbing seorang ahli? Kalian harus mencari ahlinya. Kalian tidak dapat mencapai-Nya tanpa bantuan seorang pemandu, tidak peduli betapa keras kalian mencoba mengikuti jalan-Nya sendirian. Tak seorang pun yang dapat mencapainya sendirian karena kadang-kadang walaupun seseorang tahu bahwa dia berada di jalur yang benar, bisa saja dia melakukan sesuatu yang bukan pada tempat dan waktunya. Seterusnya dia akan gagal. Jadi kita memang memerlukan bantuan seorang ahli dan dia akan menjadi pemandu kita.
Untuk mencapai Tuhan, kalian tidak akan menemukan jalan dalam mengarungi gurun kehidupan ini kecuali dengan bantuan seorang pemandu karena angin yang berasal dari keinginan ego dan hasrat ingin menonjolkan diri dapat mengubah segalanya. Ego memiliki keinginan. Angin dari ego adalah keinginan yang kosong dan nafsu untuk menonjolkan diri. Bila keinginan tersebut muncul, dia akan menutupi jalur yang benar sehingga kalian akan tersesat. Kalian akan berhenti dan tidak tahu cara melanjutkannya. Itulah sebabnya kalian membutuhkan bantuan dari seorang pemandu yang benar-benar ahli dalam mengarungi gurun kehidupan tersebut. Dia adalah ahli dalam mengarungi jalur-jalur ego. Bila kalian tidak dapat menemukannya berarti buang-buang waktu saja dalam mencoba mendekati Tuhan di kehidupan ini. Tuhan Maha Penyayang, karena kalian berusaha untuk mencapai-Nya kalian akan menemukan-Nya di akhir hayat bahkan tanpa bantuan seorang pemandu, tetapi kalian tidak bisa mencapai-Nya dengan cepat. Sekarang kalian telah kehilangan waktu tanpa kemajuan yang berarti, tetapi segera setelah kalian menemukan seorang pemandu dan kalian menerima panduan yang diberikannya, melewati kemauan ego dan keinginan untuk menonjolkan diri, maka kalian akan sampai di sisi sebrang. Sebaliknya jika kalian tidak menerimanya, kalian akan tersesat di gurun yang sangat luas.
Ketika Rasulullah saw diperintahkan untuk berhijrah dari Mekkah ke Madinah, beliau bersabda, “Saya memerlukan seorang pemandu.” Beliau adalah seorang rasul, mengapa beliau memerlukan seorang pemandu? Untuk mengajari kita bahwa walaupun beliau adalah seorang rasul, beliau tetap membutuhkan seorang pemandu, pemandu eksternal yang dapat menunjukkan jalan menuju Madinah. Misalnya, kita ingin menunjukkan jalan ke air terjun Niagara kepada anak kita, tetapi kita tidak tahu jalan menuju ke sana, maka kita akan mencari seorang yang ahli, yang tidak akan menyesatkan kita. Beliau adalah rasul tetapi beliau tetap mencari seorang pemandu, apakah beliau tidak tahu? Nabi ‘Isa as bersabda, “Salah satu di antara kalian akan menghianatiku.” Ini adalah benar, dan sebagai Muslim kita wajib mempercayainya. Beliau mengatakan ‘salah satu di antara kalian,’ apakah beliau tidak tahu? Beliau tahu tetapi tidak mengatakannya. Rasulullah saw pun tahu, tetapi mereka (Nabi ‘Isa dan Rasulullah saw) ingin menunjukkan kelemahan dan kerendahan hati sepenuhnya. Beliau mengajari kita untuk mencari seorang pemandu. Mereka membutuhkan seorang pemandu untuk menunjukkan jalan dari Makkah ke Madinah dan dengan bantuannya mereka bisa sampai di Madinah dengan aman.
Jika kita membutuhkan seorang pemandu untuk mengarungi gurun pasir, bagaimana dengan kehidupan spiritual kita? Ini lebih sulit. Kalian jelas membutuhkan seorang pemandu untuk masalah ini. Rasulullah saw mempunyai pemandu, yaitu malaikat Jibril as yang memberinya inspirasi dan menyampaikan wahyu. Pada peristiwa Isra’ Mi’raj, Rasulullah saw dibimbing menuju Kehadirat Ilahi. Jadi secara eksternal beliau membutuhkan seorang pemandu yaitu ketika hijrah dari Makkah ke Madinah dan secara internal beliau juga membutuhkan seorang pemandu, ketika hijrah menuju Tuhannya di malam Isra’ Mi’raj. Tanpa ada jalan mustahil melakukan hijrah, kalian tidak bisa pergi ke mana-mana tanpa ada jalan.
Itulah sebabnya mengapa setiap orang harus mencari seorang pemandu untuk menunjukkan jalan kebenaran dan jalan menuju realitas. Tanpa panduannya kalian akan berada dalam keraguan, apakah yang kalian lakukan benar atau salah. Kalian tidak akan mengetahuinya. Dengan adanya pemandu, kalian akan bergantung kepadanya karena dia adalah seorang yang ahli. Seperti yang telah dikatakan bahwa Rasulullah saw mengambil seorang pemandu untuk menunjukkan jalan ke Madinah. Beliau tidak berkata kepadanya, “Tidak! Mengapa kamu membawaku ke jalan yang ini, bukan yang itu?” Beliau menggantungkan dirinya kepada pemandunya karena keahliannya.
Pemandu yang menunjukkan jalan harus dapat dipercaya. Kalian tidak bisa mengambil sembarang pemandu dan mengaku bahwa dia adalah pemandu kalian. Jika kalian mengambil pemandu yang keliru, bisa saja dia membawa kalian ke dalam samudra Setan. Kalian akan tersesat dalam samudra halusinasi. Banyak orang yang mengikuti pemandu semacam ini, suatu saat para pengikutnya akan mengalami halusinasi. Apa yang mereka lihat sebenarnya tidak ada. Oleh sebab itu pemandu yang sejati sangatlah penting.
Bagaimana kalian bisa mengenalinya? Grandsyaikh pernah berkata bahwa jika kalian ingin mengetahui apakah seseorang itu adalah seorang pemandu yang sejati, pertama kali yang harus dilakukan adalah melihat pakaian luarnya. Apakah dia telah memakai pakaian luar dengan lengkap? Jika belum, berarti ada kerusakan dalam hatinya, oleh sebab itu jangan ikuti dia. Segala sesuatu pada seorang guru Sufi, (kita berbicara tentang Sufisme, bukan hal yang lain) yang tidak sesuai dengan pakaian dan perilaku seorang guru yang sejati, menunjukkan suatu ketidaksempurnaan atau kesalahan. Grandsyaikh berkata, “Jika kalian mempunyai sebuah jam dan jam itu secara internal bekerja 100% tetapi tidak mempunyai jarum, jam itu tidak bisa menunjukkan waktu kepada kalian sehingga tidak ada manfaat yang dapat diambil darinya. Sama halnya dengan jam yang mempunyai jarum, tetapi mekanik internalnya tidak bekerja 100%, dia juga tidak dapat menunjukkan waktu yang tepat bagi kalian.” Jadi bagi seorang pemandu bagian eksternal dan internal harus sempurna.
Kita tidak berbicara tentang diri kita. Kita mengikuti guru kita. Beliaulah pemandu kita. Beliau bekerja 100% baik secara eksternal maupun internal. Kita hanya mencoba mengikutinya. Itulah sebabnya bila kita melihat kepada seseorang dan berpikir apakah dia adalah seorang pemandu sejati, kalian harus melihat bahwa dia telah melengkapi bagian eksternalnya tanpa ada kekurangan. Jika ada sesuatu yang hilang, kalian jangan mengikutinya. Bila dia kehilangan salah satu bagian eksternalnya berarti dia telah kehilangan banyak bagian internalnya, yang tidak dapat diketahui orang. Kalian berpakaian dengan rapi karena tahu bahwa orang melihat kalian. Tetapi bila menyangkut hal-hal yang tidak dapat dilihat, kalian berkata, “Biarkan saja, toh tidak ada yang melihat.” Jika kalian kehilangan salah satu item dari pakaian eksternal yang jelas akan dilihat orang, berarti kalian ‘tidak fit’. Apalagi kalau menyangkut hal-hal yang tidak terlihat, tentu akan lebih banyak yang hilang. Orang seperti itu tidak bisa menjadi pemandu sejati. Dia adalah pemandu yang tidak terhubung. Bisa saja dia membawa kalian ke jarak tertentu dalam kehidupan spiritual, tetapi dia tidak terhubung dengan tingkat yang lebih tinggi lagi. Pemandu sejati harus mempunyai eksterior yang lengkap, tidak kurang sedikit pun.
Grandsyaikh berkata bahwa itu adalah langkah pertama untuk menentukan seorang pemandu sejati. Bila kalian melihatnya dan mengatakan, “Dia sudah lolos,” bukan ujian pertama, tetapi lolos dari “kriteria pertama.” Berikutnya kita tinjau dari sisi dalam. Bagaimana kalian bisa melihat sisi dalamnya? Grandsyaikh berkata, “Kalian harus lihat bahwa orang itu mempunyai rasa hormat kepada setiap orang tanpa diskriminasi sekecil apa pun, tanpa memandang agama karena setiap manusia adalah hamba Tuhan yang sama. Sang pemandu harus menghormatinya, pertama karena seluruh manusia adalah ciptaan Tuhan dan mempunyai Cahaya Ilahi dalam hatinya. Selain itu dia juga harus mempunyai rasa cinta terhadap mereka. Menerima apa yang dia inginkan baginya dan bagi anak-anaknya, untuk menjadi dan bertindak atas nama mereka, walaupun mereka hanya orang biasay yang belum menjadi pengikutnya. Jadi dia harus bisa menunjukkan rasa hormat dan cinta kepada mereka. Ketiga, dia harus menunjukkan kerendahan hati kepada mereka. Dia tidak bisa berkata bahwa dia lebih tinggi dari mereka. Tidak ada seorang pun yang tinggi kecuali Tuhan. Jika dia menganggap dirinya lebih tinggi dari mereka berarti dia seperti Setan yang menganggap dirinya lebih tinggi dari Adam as.
Ketiga kriteria ini adalah “aksesoris dalam” yang dimiliki pemandu sejati. Dalam hal pakaian dia harus memiliki pakaian lengkap seorang guru Sufi. Jika guru kalian seperti itu, barulah dia seorang pemandu sejati, ikutilah dia. Bersamanya kalian akan menemukan kepuasan hati dan menemukan hal-hal yang telah hilang. Jika kalian tidak menemukan orang seperti itu, lanjutkan pencarian kalian. Kalian akan menemukannya karena Allah Maha Penyayang. Bila kalian melihatnya, Allah akan memberi. Bila kalian tidak meminta, Allah tidak akan memberi. Jika kalian sungguh-sungguh, memohonlah dengan hati kalian. Kalian akan menemukannya dan dia akan memberi kunci hati kalian. Jika kalian tidak melakukannya dengan sungguh-sungguh, tidak melakukannya sepenuh hati, hanya di lidah saja mungkin kalian akan menemukannya atau mungkin juga tidak.
Ahmad al-Badawi adalah seorang wali yang sangat terkenal di semua kalangan Sufi. Beliau menyatakan “Aku tidak membutuhkan seorang pemandu. Pemanduku adalah al-Qur’an,” sebagaimana yang dikatakan orang Wahhabi sekarang, “…dan cara hidup Rasulullah saw.” Beliau mencoba mendekati Tuhannya sebagaimana Rasulullah saw bersabda atas nama Tuhannya, “Hambaku tidak berhenti untuk mendekati-Ku melalui ibadah sunnah atau perbuatan baik, sampai Aku mencintainya. Dan bila Aku mencintainya, pada saat itu Aku akan menjadi telinga yang digunakan untuk mendengar, mata yang dipakainya untuk melihat, tangan untuk merasakan, dan kaki untuk berjalan. Jika dia meminta, Aku akan memberi. Jika dia memohon perlindungan, Aku akan melindunginya. Aku akan menjadi dia, dan dia dapat mengatakan kepada sesuatu, “Jadilah!” maka jadilah ia.”2 Orang-orang Wahhabi biasanya memotong bagian terakhir dari hadits tersebut, tetapi kita mengucapkannya secara lengkap.
Ahmad al-Badawi berusaha mendekatai Tuhannya sampai mencapai pintu Kehadirat Ilahi, lalu dia berkata, “Ya Tuhanku! Bukakanlah pintu ini untukku.” Tetapi dia tidak mendapat jawaban. Dia mencobanya berulang-ulang sampai akhirnya dia bertemu ‘secara tidak sengaja’ dengan seseorang. Saya bilang ‘tidak sengaja’ tetapi sebetulnya itu sudah direncanakan dengan sangat rapi, karena itu adalah Kehendak Allah untuk mengujinya. Dia bertemu orang itu di jalan, seseorang yang kelihatannya biasa saja. Orang itu lalu memanggilnya, “Hei Ahmad!” bahkan dia tidak menyebutnya “Syaikh Ahmad!” sebagai tanda penghormatan. Dia berkata, “Wahai Ahmad! Engkau perlu kunci untuk mencapai kehadirat Ilahi? Aku punya kuncinya dan jika Kau mau, datanglah kepadaku dan akan kuberikan kepadamu.”
Banyak di antara kita yang menolak fakta atau kenyataan karena merasa bangga, walaupun dia tahu sebenarnya itu adalah jalan yang benar. Mereka tidak menerima sebab ego mereka mengatakan, “tidak!”. Ego Ahmad berkata kepadanya, “Bagaimana mungkin Engkau menerima sesuatu darinya? Jangan menerima kunci darinya. Terimalah dari Tuhan.” Lalu dia berkata, “Wahai Saudaraku, Aku tidak akan menerima kunci darimu, tidak juga dari orang lain, kecuali dari Sang Pembuat Kunci. Siapa Engkau. Engkau bukan siapa-siapa.”
Selanjutnya Ahmad berusaha untuk mencapai Kehadirat Ilahi sampai dia mendengar Tuhan berbicara kepadanya, “Wahai Ahmad, kehidupan ini adalah kehidupan yang berisi sebab dan akibat. Aku tidak akan memberimu kunci. Sesuai Kehendakku kunci untukmu berada pada orang itu. Pergilah dan dapatkan kunci itu darinya.” Sekarang persoalannya sudah selesai. Dia mendengarnya langsung dari Tuhannya, dan dia menerimanya. Sekarang dia harus mencari pemandunya. Tetapi sang pemandu telah lenyap. Dia telah meninggalkannya. Selama enam bulan pemandu itu mengamati hati Ahmad secara rahasia, melihat bahwa dia mencarinya dan berdo’a kepada Tuhan siang dan malam, “Ya Tuhanku kirimkanlah orang itu kembali kepadaku,” sampai akhirnya dia bisa menemukannya kembali. Dengan segera orang itu membuka tabir yang ada pada dirinya selama ini.
Jadi sang pemandu membuka tabir dan menampakkan dirinya di hadapan Ahmad. Ahmad berkata, “Wahai Syaikhku! Aku menemukanmu.” Dia tidak menemukannya tetapi sang pemandulah yang menghilangkan tabirnya. Tetapi tetap saja dia berpikir bahwa dia telah menemukannya. Dia berkata, “Wahai Syaikhku, Aku menerimamu sebagai pemanduku.” Sang pemandu menjawab, “Jika engkau menerimaku sebagai pemandumu sekarang, engkau harus pasrah, menyerahkan diri, dan menyerahkan seluruh kehendakmu kepadaku. Engkau tidak diperkenankan mempunyai kemauan selama bersamaku. Engkau telah membangun ilmu pengetahuanmu pada sebuah karang yang hanya dengan satu tiupan angin dari ego, dia akan jatuh. Aku harus membangun pondasi yang kuat bagimu. Jadi, lihatlah ke dalam mataku.” Ahmad melihat ke matanya dan pemandu itu dengan segera menghapus seluruh pengetahuan yang telah dipelajari oleh Ahmad al-Badawi dari buku. “Lewat buku” maksudnya ada banyak hal yang berasal dari ego si penulis. Maka dia menghilangkan pengetahuan itu dari hati Ahmad dan kemudian lenyap. Dia meninggalkannya selama 6 bulan lagi bahkan dalam keadaan tidak tahu bagaimana mengucapkan, “bismillahir rahmaanir rahiim,” bahkan tanpa mengetahui bagaimana mengucapkan Nama Allah.
Orang-orang di kota kini mengejek Ahmad al-Badawi, yang kelihatannya seperti orang gila setelah sebelumnya menjadi ulama yang terkemuka. Karena keterbatasan pengetahuan spiritual mereka, mereka berpikir bahwa dia benar-benar sakit. Yang mereka ketahui hanyalah bahwa dia mengikuti seseorang yang membuatnya gila, tetapi Ahmad al-Badawi tahu bahwa dia telah mendengar suara Tuhannya yang mengatakan bahwa, “Kuncimu ada pada orang itu.” Tidak ada yang membuatnya gila. Dia mengikuti orang itu. Tetapi bila dia menerimanya sejak awal, ketika pemandu itu datang untuk pertama kalinya atas Kehendak Allah, dia tidak harus melewati ujian ini. Jadi mengapa kalian membuat diri kalian harus melewati ujian yang sama? Bila kalian menemukan kebenaran, seorang pemandu yang benar, terimalah dia dengan segera! Jangan bermain-main dengan ego kalian.
Dia meninggalkannya selama 6 bulan lagi dan muncul kembali di waktu yang lain. Dalam kurun waktu tersebut Ahmad al-Badawi terus mencarinya dan ketika dia bertemu kembali, Ahmad al-Badawi berkata, “Wahai Syaikhku, Aku menemukanmu lagi.” Saat itu sang pemandu memandang mata Ahmad al-Badawi dan memancarkan sesuatu dari lubuk hatinya kepada hati Ahmad al-Badawi melalui matanya. Pada saat itu terjadi transfer pengetahuan internal, pengetahuan dari Kitab Allah dan rahasia-rahasianya. Pemandu itu melakukannya 3 kali sampai mata Ahmad al-Badawi memancarkan sinar yang begitu kuat bahkan orang yang melihatnya bisa tewas. Oleh sebab itu dia menutup wajahnya dengan cadar. Saat itu dia bisa memasuki Kehadirat Ilahi dan dia menerima kuncinya.
Tanpa bantuan pemandu sejati kalian tidak akan bisa mencapai Kehadirat-Nya. Dialah yang akan membukakan pintu bagimu ke mana pun kalian akan pergi. Ahmad al-Badawi adalah seorang ulama besar yang mengetahui banyak hal. Dia bangga dengan pengetahuannya itu dan tidak mau menerima pelajaran dari orang lain. Dia hanya mau mengambil langsung dari posisi Yang Maha Tinggi. Dia tidak melihat ada yang lebih tinggi darinya kecuali Tuhan. Bagaimana mungkin dia akan mengambil pelajaran dari orang lain? Berarti tidak ada sifat rendah hati pada dirinya. Dia telah kehilangan satu dari tiga karakteristik yang diperlukan oleh hamba Allah. Dia mempunyai rasa hormat, dia juga mencintai sesamanya, tetapi dia tidak mempunyai kerendahan hati untuk menerima nasihat dari orang lain. Dan karena dia telah kehilangan satu karakteristik itu, seolah-olah dia tidak mengalami kemajuan lagi.
Seorang Wali, seorang guru harus memiliki karakteristik hormat, cinta dan rendah hati. Jika kalian melihat salah satunya tidak ada, maka dia bukanlah seorang pemandu sejati. Dia hanya akan membawa kalian ke jarak tertentu seperti yang kita lihat pada diri Ahmad al-Badawi yang bisa mencapai Tuhan sampai pada jarak tertentu, namun tidak bisa membukanya. Dia membutuhkan seseorang yang mempunyai kunci tetapi ketika ditemukan dia tidak menerimanya langsung karena kesombongannya. Dia terlalu banyak memikirkan dirinya. Akhirnya dia menerima juga setelah mendengar langsung dari Tuhannya, tetapi dia harus melewati ujian tertentu. Jika pada mulanya dia langsung menerimanya tanpa melalui rasa bangga terhadap dirinya, pintu itu segera terbuka baginya tanpa harus melewati ujian selama 2 tahun.
Bila kalian menemukan seorang pemandu dan hatimu merasa senang dengan kehadirannya, jangan dengarkan egomu. Katakan kepada ego, “Kau salah! Apa ruginya jika Aku menerimanya sebagai guru? “ Kalian tidak akan kehilangan apa pun. Bila kalian menunjukkan sifat rendah hati, ini cukup bagi Allah untuk menaikkan kalian. Jika Saya datang dan mengatakan, “Si Anu dan si Anu” adalah Syaikh Saya, dan Saya telah berbay’at dengannya. Apa salahnya? Saya menerimanya dan Saya menunjukkan kerendahan hati, Allah akan menaikkan Saya.
Mempunyai sifat rendah hati adalah sangat penting. Jika kalian bersifat rendah hati, kalian akan menerima semua orang sebab setiap orang dapat menjadi pemandu bagimu. Ada sebuah peribahasa di Turki yang berupa pertanyaan kepada seseorang yang baik, “Dari mana Engkau belajar perilaku yang sempurna dalam masyarakat?” jawabnya, “Dari orang-orang yang bersalah. Aku mengamatinya, melihat kesalahan yang mereka lakukan lalu Aku menghindarinya. Jadi Aku bisa memperbaiki diriku lewat kesalahan orang lain.” Jika kalian bisa menerima semua orang sebagai pemandu kalian, bahkan seorang yang jahat pun dapat memandumu. Dengan mengamati dan melihat kesalahan yang dilakukannya, kalian berhenti.
Wa min Allah at taufiq
Syekh Hisyam Kabbani qs mengenai Imam Ghazali
A’uudzubillaahi minasy syaythaanir rajiim
Bismillaahir rahmaanir rahiim
Wash-shalaatu was-salaamu ‘alaa asyrafil anbiyaai wal mursaliin, Sayyidinaa Muhammadiw wa ‘alaa aalihi wa Shahbihi ajma’iin
Berikut ini adalah petikan artikel mengenai Imam Ghazali dari buku Encyclopedia of Islamic Doctrine Vol 5: Self-Purification and the State of Excellence karya Syekh Muhammad Hisyam Kabbani ar-Rabbani qs
Hujjatul Islam Imam al-Ghazali (w. 505 H.)
Hujjatul Islam, Abu Hamid al-Tusi al-Ghazali adalah orang yang membangkitkan kembali pemikiran Islam pada abad ke-5 H., seorang ahli ushul fikih, dan penulis kitab tasawuf paling terkenal yaitu Ihyâ’ ‘UlĂ»m al-DĂ®n (Menghidupkan Kembali Ilmu-Ilmu Agama). Dalam otobiografinya, al-Munqizh min al-Dhalâl (Pembangkit dari Kesesatan), ia mengatakan,
Tasawuf adalah menyucikan hati dari apa saja selain Allah… Aku simpulkan bahwa kaum sufi adalah para pencari di Jalan Allah, dan perilaku mereka adalah perilaku yang terbaik, jalan mereka adalah jalan yang terbaik, dan pola hidup mereka adalah pola hidup yang paling tersucikan. Mereka telah membersihkan hati mereka dari berbagai hal selain Allah dan menjadikannya sebagai saluran tempat mengalirnya sungai-sungai yang membawa ilmu-ilmu dari Allah.
Seperti disebutkan oleh Ibn Ajibah dalam kitabnya, ĂŽqâzh al-Himam, al-Ghazali menyatakan secara terbuka bahwa tasawuf merupakan fardu ain atas setiap muslim dan muslimah yang telah mukalaf, “karena, selain para nabi, tak ada seorang pun yang sama sekali terbebas dari kerusakan dan penyakit rohani.”
Berikut ini adalah terjemahan dari beberapa bagian kitab Ihyâ’ ‘UlĂ»m al-DĂ®n, yang meliputi:
1. Ulasan terhadap beberapa definisi di awal Kitâb Syarh ‘Ajâ’ib al-Qalb (Kitab Penjelasan tentang Keajaiban Hati)
2. Bab berjudul, “Tentara-Tentara Hati” dalam kitab yang sama.
3. Bab berjudul, “Penguasaan Setan atas Hati melalui Bisikan (al-waswas)” dalam kitab yang sama.
4. Bab berjudul, “Bukti-bukti …” dari Kitâb Riyâdhâh al-Nafs wa TahdzĂ®b al-Akhlâq wa Mu‘âlajât Amrâdh al-Qalb (Kitab tentang Melatih Ego, Disiplin Akhlak, dan Pengobatan Penyakit Hati).
Ada dua arti nafs: pertama, kata ini bermakna kekuatan amarah dan hasrat seksual manusia… dan arti inilah yang sering dipergunakan di kalangan sufi, yang mempergunakan kata nafs untuk menyebut berbagai sifat buruk seseorang. Karena itulah mereka berkata, “Orang harus memerangi ego dan menghancurkannya, sesuai dengan hadis Nabi saw., a‘dâ ‘aduwwika nafsaka al-latĂ® bayna janibayk—“Musuhmu yang paling buruk adalah egomu yang terletak di antara kedua sisi tubuhmu.” Hadis ini dapat ditemukan dalam Kitâb al-Zuhd (Kitab tentang Zuhud) karya al-Baihaqi.
Kedua, kata nafs berarti jiwa, atau hakikat manusia, dirinya dan pribadinya. Meski demikian, nafs dapat dikategorikan ke dalam beberapa kategori yang berbeda sesuai dengan keadaannya. Jika ia tenang di bawah perintah dan telah bersih dari segala gejolak nafsu maka ia disebut al-nafs al-muthma’innah (jiwa yang tenang) . . . Dalam pengertian yang pertama (amarah dan hasrat seksual), nafs tidak mempertimbangkan akan kembali kepada Allah karena ia jauh dari-Nya; nafs sejenis ini termasuk dalam golongan setan. Nafs yang tidak mencapai ketenangan, namun berusaha melawan kecintaan pada hawa nafsu dan mencelanya, ia disebut al-nafs al-lawwâmah (jiwa yang mencela-diri) . Ia mencela pemilik nafs yang lalai beribadah kepada tuannya… Apabila ia menghentikan celaan dan perlawanannya, kemudian sepenuhnya menaati panggilan hawa nafsu dan setan, ia disebut al-nafs al-ammârah bi al-sĂ»’i (jiwa yang menyuruh kepada keburukan)… Jiwa semacam ini dapat dikategorikan ke dalam pengertian yang
pertama…
Allah memiliki pasukan bersenjata yang Dia tempatkan dalam hati dan jiwa dan di tempat-tempat lainnya di dunia-Nya. Tak seorang pun yang mengetahui sifat sejati dan jumlah tepatnya mereka kecuali Dia … [Al-Ghazali kemudian menerangkan bahwa anggota tubuh, panca indra, kehendak, insting, serta kekuatan emosi dan intelek termasuk pasukan-Nya ini.] Ketahuilah bahwa dua dari pasukan itu, yakni amarah dan hasrat seksual, dapat dibimbing sepenuhnya oleh hati… atau sebaliknya, sepenuhnya melawan dan memberontak, bahkan memperbudak hati. Pada saat itulah terjadi kematian hati dan akhir perjalanan menuju kebahagiaan abadi. Hati punya tentara-tentara lain, termasuk pengetahuan (‘ilm), kebijakan (hikmah), dan perenungan atau refleksi (tafakkur) yang bantuannya sangat diharapkan oleh hati, karena mereka itu termasuk Golongan Allah yang melawan kedua tentara golongan setan …
Allah berfirman, “Apakah kamu tidak melihat orang yang memilih hawa nafsunya sendiri sebagai tuhannya?” (Q.S. al-Furqân [25]: 43), dan “Ia mengikuti hawa nafsunya sendiri. Karena itu, perumpamaan mereka adalah seperti anjing; apabila kamu mengusirnya, ia akan menjulurkan lidahnya dan apabila kamu biarkan, ia pun akan menjulurkan lidahnya” (Q.S. al-A‘râf [7]: 176) dan mengenai orang yang mengendalikan dorongan nafsunya, Allah berfirman, “Dan adapun orang yang takut berdiri di hadapan Tuhannya dan mencegah jiwanya dari hawa nafsunya, sesungguhnya surga akan menjadi tempat tinggalnya” (Q.S. al-Nâzi’ât [79]: 40–41).
Ketahuilah, tubuh itu seperti sebuah kerajaan, dan akal adalah rajanya. Semua kekuatan, lahir maupun batin, adalah tentara dan pembantunya. Ego yang bergabung dengan kejahatan (nafs ammârah), yaitu nafsu dan amarah, adalah ibarat pemberontak yang membuat kerusakan di kerajaan dan berusaha membantai penduduknya. Karena itu, tubuh menjadi seperti pos garnizun atau pos pasukan terdepan, dan jiwa seperti petugas penjaga yang ditempatkan di sana. Apabila ia berperang melawan musuh-musuhnya, mengalahkan dan memaksa mereka mengikuti perintahnya, ia akan mendapat pujian tatkala kembali ke Hadirat Allah, sebagaimana firman-Nya, “Allah telah menganugerahkan derajat lebih tinggi kepada orang-orang yang berjuang dengan harta dan jiwanya di atas orang-orang yang duduk berdiam” (Q.S. al-Nisâ’ [4]: 95)
Ada dua jenis pikiran yang menggerakkan keinginan seseorang, yaitu pikiran yang terpuji, yang disebut ilhâm, dan pikiran yang tercela, yang disebut waswas (bisikan). Hati menjadi ajang perebutan antara kekuatan setan dan kekuatan malaikat… Malaikat merupakan makhluk yang telah diciptakan Allah untuk menyebarkan kebaikan, memberikan ilmu, menyingkap kebenaran, menjanjikan pahala, dan menyuruh kepada kebaikan… Sedangkan setan adalah makhluk yang pekerjaannya melawan semua ini … Waswâs melawan ilhâm, kekuatan setan melawan kekuatan malaikat, dan taufĂ®q (keberhasilan) melawan khidzlân (kekecewaan) .
Nabi saw. bersabda, “Ada dua dorongan dalam jiwa, yaitu dorongan dari malaikat yang mengajak kepada kebaikan dan mengokohkan kebenaran. Siapa saja yang mendapatkannya, hendaklah ia mengetahui bahwa itu berasal dari Allah dan hendaklah ia memuji kepada-Nya. Dorongan lain berasal dari musuh yang menggiring kepada keraguan, mengingkari kebenaran, dan melarang kebaikan; siapa saja yang mendapatkannya, hendaklah ia meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.” Kemudian al-Ghazali membaca ayat, “Setan membangkitkan rasa takut akan kemiskinan dan mengajakmu bergabung dalam kejahatan” (Q.S. al-Baqarah [2]: 268).
Nabi saw. bersabda, “Tidak ada seorang pun di antara kalian yang bersih dari dorongan setan.” Mereka berkata, “Bahkan engkau juga, wahai Rasulullah saw?” Beliau berkata, “Bahkan diriku juga, tetapi Allah membantuku untuk menguasainya dan ia telah tunduk patuh kepadaku sehingga ia tidak menyuruhku selain kepada kebaikan” Perseteruan antara tentara malaikat dan setan berjalan terus-menerus untuk menguasai hati hingga hati ditundukkan oleh salah satu dari keduanya, yang kemudian menguasai penduduknya dan bercokol di sana… Sayangnya, kebanyakan hati dikepung oleh tentara setan, yang mencekokkan berbagai bisikan yang mengajak manusia untuk mencintai dunia yang fana ini dan mengabaikan hari akhirat.
Nabi saw. bersabda, “Pejuang sejati adalah orang yang berjuang melawan egonya untuk menaati Allah” (al-mujâhidu man jâhada nafsahĂ» fĂ® thâ’atillâh.)…. Sufyan al-Tsauri berkata, “Aku tidak pernah melawan sesuatu yang lebih kuat daripada egoku sendiri; kadang ia bersamaku, dan kadang melawanku….” Yahya ibn Muadz al-Razi berkata, “Perangilah egomu dengan empat bilah pedang: sedikit makan, sedikit tidur, sedikit bicara, dan sabar ketika seseorang menjahatimu. .. Dengan begitu, egomu akan menapaki jalan ketaatan, seperti seorang penunggang kuda yang melaju di medan perang.”
Para Penyerang al-Ghazali
Kaum “salaf” mutakhir cenderung berusaha menghidupkan kembali kebiasaan menyerang Imam al-Ghazali, meremehkan orang yang membaca karya-karyanya, dan mengungkapkan berbagai argumen untuk menentang pandangan-pandangan nya. Serangan mereka itu lebih hebat lagi ketika berurusan dengan kitab Ihyâ’ ‘UlĂ»m al-DĂ®n. Kitab ini merupakan karya besar dan petunjuk paling penting dalam kajian tasawuf. Kesuksesan dan sangat besarnya jumlah pembaca karya ini telah membuat panik musuh-musuh tasawuf. Bahkan, ada sebagian kalangan yang kelewatan dengan menyatakan bahwa al-Ghazali dalam keadaan gila ketika menulis kitab ini; sebagian lainnya salah memahami bacaannya menjelang ajal terhadap karya Imam Bukhari sebagai penolakannya terhadap tasawuf. Sebagian lainnya, yang kebanyakan ulama anti-sufi, mencela kitab ini lebih jauh. Meski demikian, kitab ini telah menunjukkan keunggulannya atas para pengkritiknya yang hanya sibuk mencela. Semakin banyak karya terjemahan dari karya ini dilahirkan yang
kualitasnya semakin baik. Bagian berikut ini akan memberikan kepada para pembaca sejumlah rujukan yang dapat diandalkan berkenaan dengan kehidupan al-Ghazali dan karya-karyanya.
Shalahuddin al-Safadi (w. 764 H.), murid Abu Hayyan al-Andalusi, dalam karya biografisnya yang sangat besar, al-Wâfî, yang memuat lebih dari 14.000 riwayat hidup, menceritakan:
Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad, Hujjatul Islam, Ornamen Iman, Abu Hamid al-Tusi (al-Ghazali) , ahli fikih Mazhab Syafi’i, adalah orang yang tidak ada tandingannya pada masanya.
Pada 488 H. ia meninggalkan seluruh kehidupan duniawinya (termasuk karir akademisnya di Madrasah Nizamiyyah, tempat ia mengajar sejak 484 H.) untuk menempuh jalan takhallĂ® (pengosongan diri dari keduniaan) dan uzlah (penyepian diri). Sepulangnya dari ibadah haji, ia pergi ke Syria dan tinggal sebentar di Damaskus, sambil mengajar di salah satu sudut masjid (zâwiyat al-jâmi‘) sebelah barat yang kini dinamai dengan namanya. Ia kemudian bepergian ke Yerusalem, menyibukkan dirinya dalam ibadah dan menziarahi tempat-tempat suci. Kemudian ia pergi ke Mesir dan tinggal beberapa lama di Iskandaria…
Kemudian ia pulang ke negeri asalnya di Tus (menjelang 492 H.). Di kota inilah ia menyusun sejumlah buku (termasuk Ihyâ’) sebelum kembali ke Naisabur, tempat ia diberi tugas untuk memberi kuliah di Nizamiyah (499 H.). Namun, ia tak lama berkarir di sana dan kembali ke kampung halamannya. Di sinilah ia memimpin khâniqah untuk para sufi dan lembaga pendidikan di sebelahnya untuk para pelajar umum. Ia membagi waktunya untuk melakukan berbagai aktivitas yang bermanfaat, seperti membaca Alquran dan memberikan kuliah kepada kaum sufi…
Kitab ini termasuk di antara kitab yang paling agung, sampai-sampai ada yang mengatakan, “Apabila semua kitab tentang Islam telah hilang dan yang tertinggal hanya Ihyâ’ maka cukuplah kitab itu menggantikan semua yang hilang…” Para penentang al-Ghazali menyebutkan beberapa hadis dalam kitab ini yang dianggap tidak sahih, tetapi di sisi lain, mereka membiarkan hadis-hadis serupa yang terdapat dalam karya-karya anjuran kepada kebaikan dan cegahan dari keburukan (al-targhĂ®b wa al-tarhĂ®b). Kitab ini tetap bertahan sebagai kitab yang sangat bernilai. Imam Fakhruddin al-Razi pernah mengatakan, “Seolah-olah Allah telah menghimpun segala ilmu di bawah satu kubah, dan memperlihatkannya kepada al-Ghazali,” atau sesuatu yang maksudnya seperti ini. Ia meninggal pada 505 H. di Tabaran, benteng pertahanan kota Tus, tempat ia dikebumikan.
Uraian di atas sangat jelas menyangkal tuduhan yang mengada-ada bahwa al-Ghazali menolak tasawuf di akhir hayatnya. Ada juga orang yang membedakan antara al-Ghazali sebagai ahli ushul dan al-Ghazali sebagai ahli tasawuf. Apabila diberitahukan kepada mereka bahwa kitab-kitab Imam al-Ghazali tentang metodologi dan dasar-dasar hukum Islam dianggap sebagai bacaan wajib dalam bidang ini, mereka berdalih bahwa karya-karya itu ditulis sebelum ia mengasingkan diri dan menempuh jalan sufi. Padahal kenyataannya, kitab terbesar dan paling komprehensif dari empat kitabnya mengenai ushul-fikih disusun pada masa-masa akhir hayatnya, sebagaimana dinyatakan oleh Dr. Taha al-Alwani:
Ensiklopaedia Imam al-Ghazali tentang Metodologi Sumber Hukum Syariah, yaitu kitab keempatnya mengenai masalah ini, dan merupakan karya terakhirnya, adalah al-Mustasyfâ, yang telah dicetak berulang kali di Mesir dan di berbagai kawasan lainnya. Kitab ini ditulis setelah ia keluar dari masa penyepian dan pengasingan dirinya.
Dan dalam buku Reliance, ketika bertutur mengenai al-Ghazali, disebutkan:
Di Damaskus ia tinggal menyepi sekitar sepuluh tahun, memusatkan diri pada perjuangan rohani dan zikir kepada Allah. Pada saat-saat terakhirnya, ia menulis karya agungnya, Ihyâ’ ‘UlĂ»m al-DĂ®n, sebuah kitab klasik di antara kitab-kitab kaum muslim tentang membina ketakwaan dengan selalu terhubung kepada Allah, menerangi jiwa melalui ketaatan kepada-Nya dan tahapan-tahapan orang beriman untuk sampai ke sana. Karyanya ini menunjukkan betapa al-Ghazali sangat memahami persoalan yang ditulisnya. Ia menyuguhkan pemecahan yang sangat mengagumkan mengenai ratusan persoalan yang berkenaan dengan kehidupan spiritual, yang tak pernah dibahas dan dipecahkan oleh seorang pun sebelumnya. Ini menunjukkan kecerdasan penulisnya yang sangat berdisiplin dan pemahamannya yang mendalam mengenai psikologi manusia. Ia juga menulis hampir dua ratus karya lainnya, yang meliputi berbagai bidang, termasuk teori pemerintahan, hukum Islam, bantahan terhadap filsafat, keimanan, tasawuf, tafsir, kalam,
dan dasar-dasar hukum Islam.
Salah seorang pengkritik al-Ghazali yang paling vokal adalah Ibn al-Jauzi, yang juga sangat meremehkan kaum sufi. Ia menentang kitab Ihyâ’ dalam empat karyanya: I‘lâm al-Ahyâ bi Aghlath al-Ihyâ (Pemberitahuan tentang Kesalahan-Kesalahan Ihyâ’), TalbĂ®s al-IblĂ®s, Kitâb al-Qussâs, dan kitab tarikhnya, al-Muntazham fĂ® TârĂ®kh al-Muluki wa al-Umam.
Sebagian pandangan Ibn al-Jauzi diikuti oleh Ibn Taimiyah dan muridnya, al-Dzahabi. Dasar pendangan mereka adalah karena al-Ghazali banyak menggunakan hadis daif. Sebenarnya, kritik mereka hanyalah pernyataan yang dibesar-besarkan, mengingat baik Hafiz al-Iraqi (w. 806 H.) maupun Hafiz al-Zabidi (w. 1205 H.) menghapal hadis-hadis yang dimuat dalam kitab Ihyâ’ dan tidak pernah mempertanyakannya. Sebaliknya, mereka menghargai keberadaan kitab tersebut yang sangat diapresiasi oleh umat Islam. Keduanya mengungkapkan komentar yang baik tentang kitab itu, dan mempromosikannya sebagai sebuah kitab pegangan yang dapat dipercaya untuk meningkatkan kemajuan rohani. Sebagaimana ditegaskan oleh al-Subki, al-Ghazali tidak berlebih-lebihan dalam mempergunakan hadis.
Lebih penting lagi, kebanyakan ahli hadis membolehkan penggunaan hadis daif dalam berbagai persoalan selain penetapan masalah hukum. Misalnya, para ahli hadis yang tak terhitung banyaknya, dan para ulama lainnya membolehkan penggunaan hadis daif untuk mendorong kebaikan dan mencegah keburukan (al-targhîb wa al-tarhîb).
Harus dipahami bahwa al-Ghazali menyertakan semua bahan yang berguna untuk mencapai sasaran pendidikannya. Ia memilih hadis berdasarkan pertimbangan isinya daripada rangkaian periwayatannya. Bagian terbesar kitab Ihyâ’ memuat kutipan dari Alquran, hadis, dan perkataan para ulama, sedangkan pandangan al-Ghazali sendiri tidak lebih dari 35% dari keseluruhan isinya. Terakhir, dari keseluruhan hadis yang dikutip oleh al-Ghazali, sebagian besarnya merupakan hadis yang sanadnya kuat.
Sebagai kesimpulan, sebagaimana dikatakan al-Safadi, kitab Ihyâ’ termasuk jenis karya targhĂ®b, atau etika, yang menyampaikan prinsip-prisip tasawuf. Autentisitas dalil-dalil yang dikutip dalam karya sejenis, menurut kebanyakan ulama, tidak mesti terlalu ketat seperti dalam kitab mengenai akidah dan fikih. Penerapan kriteria yang sama untuk karya-karya tentang tasawuf sama saja dengan membandingkan apel dengan jeruk. Karena itu, sebagaimana juga ditunjukkan secara tepat oleh al-Safadi, kritik terhadap Ihyâ’ ‘UlĂ»m al-DĂ®n yang menekankan pada hadis-hadis daif yang dikutip di dalamnya adalah tidak tepat. Tidak tepat pula kritik serupa terhadap karya-kraya targhĂ®b semacam ini, seperti kritik al-Dzahabi terhadap kitab QĂ»t al-QulĂ»b karya Abu Thaliq al-Makki. Ia menekankan kritiknya hanya pada sisi autentisitas dalil yang dikutipnya seraya mengabaikan dukungan yang begitu besar terhadap tasawuf dan karya-karya tentangnya. Iangatlah selalu nasihat al-Dzahabi: “Jangan terburu-buru menghakimi, tetapi berprasangka baiklah kepada kaum sufi” atau nasihat Imam al-Ghazali: “Berpikir baiklah (tentang kaum sufi) dan jangan menyimpan keraguan dalam hatimu”; atau nasihat Ibn Hajar al-Haitsami: “Buruk sangka terhadap mereka (kaum sufi) merupakan tanda kematian hati.”121 Langkah terbaik adalah mengambil manfaat yang terdapat dalam setiap karya para sufi dengan hati yang bersih, seraya tetap menghormati para tokoh sufi. Sesungguhnya mereka merupakan kelompok kecil di tengah masyarakat; dan dari sisi pengetahuan, mereka adalah menara yang tinggi menjulang di atas kebanyakan orang. Jangan mencari-cari perbedaan pandangan di antara para ulama, dan hormatilah mereka yang berbicara tentang Allah.
Keabsahan Hadis Daif
Selain pendapat-pendapat di atas, ada beberapa pendapat lain yang mendukung penggunaan hadis daif yang disampaikan oleh para ahli hadis. Semua pernyataan itu berujung pada satu simpul, sebagaimana dikatakan al-Sakhawi: “Jumhur ulama berpandangan bahwa hadis daif dapat digunakan sebagai dasar pegangan untuk melakukan kebaikan dan memperbaiki akhlak, tetapi tidak untuk menetapkan hukum.” Ibn Hajar, misalnya, menulis dalam HâdĂ® al-Sari:
Malik dan Bukhari punya pemahaman yang berbeda mengenai keabsahan hadis. Malik beranggapan bahwa terputusnya sanad tidak merusak suatu hadis. Karena alasan inilah ia mengutip beberapa hadis mursal dan munqati yang terputus sanadnya; ia juga mengutip sejumlah riwayat yang tak bersanad (balaghât) dalam materi utama dari kitabnya (al-Muwaththa’ ), sedangkan Bukhari menganggap bahwa terputusnya sanad merusak hadis. Karena itu, ia tidak suka mengutip hadis-hadis semacam ini kecuali sebagai tambahan di luar materi utama kitabnya (al-Jâmi‘ al-ShahĂ®h), seperti dalam komentar (ta‘lĂ®q) dan judul bab.
Al-Hakim (w. 405 H.) meriwayatkan dalam kitabnya yang menjadi salah satu pedoman ilmu hadis, Madkhal, bahwa:
Aku mendengar dari Abu Zakariya al-Anbari dari Muhammad Ibn Ishaq ibn Ibrahim al-Hanzhali dari ayahnya bahwa Abdurrahman ibn Mahdi berkata, “Dalam hadis-hadis tentang pahala, hukuman, dan perbuatan terpuji, kami bersikap cukup longgar menyikapi sanad dalam periwayatan kami. Dan kami cukup terbuka menyikapi para perawinya (yaitu berkenaan dengan identitas dan keterpercayaannya) . Namun, jika kami meriwayatkan hadis yang berkaitan dengan urusan halal dan haram, kami meneliti sanadnya dengan sangat ketat, dan kami mempertimbangkan setiap perawinya dengan sangat saksama.”
Aku mendengar dari Abu Zakariya Yahya ibn Muhammad al-Anbari dari Abu al-Abbas Ahmad ibn Muhammad al-Sijzi dari al-Naufal bahwa Ahmad ibn Hanbal mengatakan, “Apabila kami meriwayatkan dari Rasulullah saw yang berkaitan dengan urusan halal dan haram, urusan muamalah dan ketetapan hukum, kami bersikap sangat ketat; tetapi apabila kami meriwayatkan dari Nabi saw. menyangkut tindakan dan perilaku mulia dan tidak menetapkan atau membatalkan suatu keputusan hukum, kami bersikap akomodatif dalam urusan sanadnya.”
Berikut ini kutipan lengkap dari kitab al-Qawl al-Bâdî karya al-Sakhawi:
Syekh al-Islam abu Zakariya al-Nawawi mengatakan dalam kitab Adzkâr bahwa para ahli hadis, ahli fikih, dan kalangan ulama lainnya memperbolehkan dan (bahkan) menganggap baik penggunaan hadis daif sebagai dasar untuk amal-amal agama yang berkaitan dengan perbuatan baik dan keutamaan (fadhâ’il), serta untuk mendorong kebaikan dan mencegah keburukan (al-targhĂ®b wa al-tarhĂ®b) selama hadis itu tidak dipalsukan. Sementara jika berkaitan dengan ketetapan hukum (ahkâm), seperti apa yang diperbolehkan dan apa yang dilarang, atau syarat-rukun perdagangan, pernikahan, perceraian, dan lain-lain setiap orang hendaklah mendasarkannya pada hadis sahih atau hasan, kecuali sebagai tindak pencegahan dalam beberapa hal yang berkaitan dengan salah satu yang di atas, misalnya penggunaan hadis daif berkenaan dengan suatu tindakan yang tercela (karâhât) dalam urusan jual-beli atau pernikahan. Dalam kasus semacam itu, dianjurkan (mustahabb) untuk menghindari tindakan tercela itu.
Ibn Arabi al-Maliki tidak menyetujui pendapat itu dan mengatakan, “Secara mutlak tidak ada satu pun perbuatan yang boleh didasarkan atas hadis daif.”
Aku pernah mendengar guruku (Ibn Hajar al-Atsqalani) menegaskan hal berikut dan menyampaikannya kepadaku secara tertulis:
Ada tiga persyaratan bagi amalan agama yang boleh didasarkan atas hadis daif:
1. Amal kebaikan yang disepakati secara ijmak, dan hadis yang dimaksudkan tidak terlalu berat kedaifannya. Jadi, tidak termasuk dalam kriteria ini hadis-hadis yang diriwayatkan sendirian oleh para pembohong atau orang yang dituduh suka bohong, dan orang yang melakukan dosa besar.
2. Ada dasar hukum umum untuknya. Maka, tidak termasuk dalam kriteria ini hadis palsu dan yang tidak punya dasar yang sah untuk dijadikan dalil.
3. Ketika seseorang melakukan suatu perbuatan yang mengacu pada hadis itu, janganlah berpikir bahwa perbuatan itu telah dibenarkan. Ini dimaksudkan agar tidak ada ucapan yang tidak dikatakan Nabi saw. dinisbatkan kepada beliau.
Dua syarat terakhir diungkapkan oleh Ibn Abdissalam dan sahabatnya, Ibn Daqiq al-Id; Abu Sa‘id al-Ala’i menyebutkan bahwa syarat yang pertama disepakati bersama oleh para ahli hadis.
Imam Ahmad mengatakan bahwa seseorang dapat mengerjakan suatu amal berdasarkan hadis daif jika tidak ada hadis lain yang serupa dengannya dan tidak ada hadis lain yang berlawanan dengannya. Dalam sebuah riwayat ia pernah mengatakan, “Aku lebih memilih hadis daif daripada pendapat seseorang.” Dan menurut Ibn Hazm, para ulama Hanafi bersepakat bahwa hadis daif lebih disukai daripada pikiran (ra’y) dan analogi (qiyâs). Imam Ahmad pernah ditanya mengenai seseorang yang berada di suatu negeri yang memiliki, di satu sisi, seorang yang hapal banyak hadis (shâhib al-hadĂ®ts) namun tidak mengetahui mana yang sahih dan mana yang tidak sahih, dan di sisi lain, seorang yang pandai menggunakan pikiran (shâhib al-ra’y), siapakah yang harus ia mintai petunjuk? Ia menjawab, “Hendaklah ia meminta petunjuk kepada shâhib al-hadĂ®ts.”
Abu Abdillah ibn Mandah mengabarkan bahwa Abu Dawud, penulis kitab Sunan dan murid Imam Ahmad, suka menyebutkan rantai periwayatan suatu hadis daif apabila dalam suatu persoalan tertentu ia tidak menemukan hadis lain. Ia menganggapnya sebagai dalil yang lebih kuat daripada pendapat ulama.
Jadi, kita menemukan tiga macam pandangan yang berbeda mengenai permasalahan ini:
· Tidak ada satu pun perbuatan yang boleh didasarkan atas hadis daif.
· Perbuatan dapat didasarkan atas hadis daif jika tidak ditemukan dalil lain mengenai suatu masalah tertentu.
· Jumhur ulama berpandangan bahwa hadis daif dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan suatu perbuatan baik dan mencapai keutamaan (fadhâ’il), tetapi tidak dapat dipergunakan untuk menetapkan hukum. Allah-lah Pemberi segala keberhasilan.
Berkaitan dengan persoalan ini, Ibn Taimiyah mengatakan, “Orang yang meriwayatkan dari Ahmad bahwa ia suka menggunakan hadis daif—tidak sahih atau hasan—telah melakukan kesalahan.” Memang pendapatnya itu benar, karena, sebagaimana dikatakan al-Sakhawi, Imam Ahmad tidak menerapkan hadis daif dalam hukum, atau yang berkaitan dengan penetapan hukum. Jadi, semestinya Ibn Taimiyah mengatakan, “Orang yang meriwayatkan dari Ahmad bahwa ia suka menggunakan hadis daif dalam penetapan hukum syariat telah melakukan kesalahan.” Namun, tidak ada keraguan bahwa Imam Ahmad menerima hadis daif sebagaimana diceritakan oleh al-Hakim dan dikuatkan oleh Ibn Arabi al-Maliki, dan bahkan dikuatkan juga oleh Ibn
Taimiyah di berbagai tempat dalam karya-karyanya. Misalnya ia menyatakan bahwa,
Ahmad ibn Hanbal dan ulama lainnya membolehkan periwayatan hadis tentang keutamaan selama hadis itu tidak diketahui sebagai suatu kebohongan… karena mungkin saja pahalanya benar meskipun tidak ada seorang imam pun yang memperbolehkan penetapan sesuatu sebagai wajib atau dianjurkan (mustahabb) hanya berdasarkan hadis daif. Siapa saja yang memperbolehkannya berarti telah menentang ijmak.
Namun, pernyataan Ibn Taimiyah bahwa “tidak ada seorang imam pun yang memperbolehkan penetapan sesuatu sebagai wajib atau dianjurkan (mustahabb) hanya berdasarkan hadis daif. Siapa saja yang memperbolehkannya berarti telah menentang kesepakatan (ijmak)” adalah tidak benar, sebagaimana dibuktikan oleh riwayat al-Sakhawi yang tidak dapat dibantah tentang kata-kata al-Nawawi, yang telah kami sebutkan di atas.
Bismillaahir rahmaanir rahiim
Wash-shalaatu was-salaamu ‘alaa asyrafil anbiyaai wal mursaliin, Sayyidinaa Muhammadiw wa ‘alaa aalihi wa Shahbihi ajma’iin
Berikut ini adalah petikan artikel mengenai Imam Ghazali dari buku Encyclopedia of Islamic Doctrine Vol 5: Self-Purification and the State of Excellence karya Syekh Muhammad Hisyam Kabbani ar-Rabbani qs
Hujjatul Islam Imam al-Ghazali (w. 505 H.)
Hujjatul Islam, Abu Hamid al-Tusi al-Ghazali adalah orang yang membangkitkan kembali pemikiran Islam pada abad ke-5 H., seorang ahli ushul fikih, dan penulis kitab tasawuf paling terkenal yaitu Ihyâ’ ‘UlĂ»m al-DĂ®n (Menghidupkan Kembali Ilmu-Ilmu Agama). Dalam otobiografinya, al-Munqizh min al-Dhalâl (Pembangkit dari Kesesatan), ia mengatakan,
Tasawuf adalah menyucikan hati dari apa saja selain Allah… Aku simpulkan bahwa kaum sufi adalah para pencari di Jalan Allah, dan perilaku mereka adalah perilaku yang terbaik, jalan mereka adalah jalan yang terbaik, dan pola hidup mereka adalah pola hidup yang paling tersucikan. Mereka telah membersihkan hati mereka dari berbagai hal selain Allah dan menjadikannya sebagai saluran tempat mengalirnya sungai-sungai yang membawa ilmu-ilmu dari Allah.
Seperti disebutkan oleh Ibn Ajibah dalam kitabnya, ĂŽqâzh al-Himam, al-Ghazali menyatakan secara terbuka bahwa tasawuf merupakan fardu ain atas setiap muslim dan muslimah yang telah mukalaf, “karena, selain para nabi, tak ada seorang pun yang sama sekali terbebas dari kerusakan dan penyakit rohani.”
Berikut ini adalah terjemahan dari beberapa bagian kitab Ihyâ’ ‘UlĂ»m al-DĂ®n, yang meliputi:
1. Ulasan terhadap beberapa definisi di awal Kitâb Syarh ‘Ajâ’ib al-Qalb (Kitab Penjelasan tentang Keajaiban Hati)
2. Bab berjudul, “Tentara-Tentara Hati” dalam kitab yang sama.
3. Bab berjudul, “Penguasaan Setan atas Hati melalui Bisikan (al-waswas)” dalam kitab yang sama.
4. Bab berjudul, “Bukti-bukti …” dari Kitâb Riyâdhâh al-Nafs wa TahdzĂ®b al-Akhlâq wa Mu‘âlajât Amrâdh al-Qalb (Kitab tentang Melatih Ego, Disiplin Akhlak, dan Pengobatan Penyakit Hati).
Ada dua arti nafs: pertama, kata ini bermakna kekuatan amarah dan hasrat seksual manusia… dan arti inilah yang sering dipergunakan di kalangan sufi, yang mempergunakan kata nafs untuk menyebut berbagai sifat buruk seseorang. Karena itulah mereka berkata, “Orang harus memerangi ego dan menghancurkannya, sesuai dengan hadis Nabi saw., a‘dâ ‘aduwwika nafsaka al-latĂ® bayna janibayk—“Musuhmu yang paling buruk adalah egomu yang terletak di antara kedua sisi tubuhmu.” Hadis ini dapat ditemukan dalam Kitâb al-Zuhd (Kitab tentang Zuhud) karya al-Baihaqi.
Kedua, kata nafs berarti jiwa, atau hakikat manusia, dirinya dan pribadinya. Meski demikian, nafs dapat dikategorikan ke dalam beberapa kategori yang berbeda sesuai dengan keadaannya. Jika ia tenang di bawah perintah dan telah bersih dari segala gejolak nafsu maka ia disebut al-nafs al-muthma’innah (jiwa yang tenang) . . . Dalam pengertian yang pertama (amarah dan hasrat seksual), nafs tidak mempertimbangkan akan kembali kepada Allah karena ia jauh dari-Nya; nafs sejenis ini termasuk dalam golongan setan. Nafs yang tidak mencapai ketenangan, namun berusaha melawan kecintaan pada hawa nafsu dan mencelanya, ia disebut al-nafs al-lawwâmah (jiwa yang mencela-diri) . Ia mencela pemilik nafs yang lalai beribadah kepada tuannya… Apabila ia menghentikan celaan dan perlawanannya, kemudian sepenuhnya menaati panggilan hawa nafsu dan setan, ia disebut al-nafs al-ammârah bi al-sĂ»’i (jiwa yang menyuruh kepada keburukan)… Jiwa semacam ini dapat dikategorikan ke dalam pengertian yang
pertama…
Allah memiliki pasukan bersenjata yang Dia tempatkan dalam hati dan jiwa dan di tempat-tempat lainnya di dunia-Nya. Tak seorang pun yang mengetahui sifat sejati dan jumlah tepatnya mereka kecuali Dia … [Al-Ghazali kemudian menerangkan bahwa anggota tubuh, panca indra, kehendak, insting, serta kekuatan emosi dan intelek termasuk pasukan-Nya ini.] Ketahuilah bahwa dua dari pasukan itu, yakni amarah dan hasrat seksual, dapat dibimbing sepenuhnya oleh hati… atau sebaliknya, sepenuhnya melawan dan memberontak, bahkan memperbudak hati. Pada saat itulah terjadi kematian hati dan akhir perjalanan menuju kebahagiaan abadi. Hati punya tentara-tentara lain, termasuk pengetahuan (‘ilm), kebijakan (hikmah), dan perenungan atau refleksi (tafakkur) yang bantuannya sangat diharapkan oleh hati, karena mereka itu termasuk Golongan Allah yang melawan kedua tentara golongan setan …
Allah berfirman, “Apakah kamu tidak melihat orang yang memilih hawa nafsunya sendiri sebagai tuhannya?” (Q.S. al-Furqân [25]: 43), dan “Ia mengikuti hawa nafsunya sendiri. Karena itu, perumpamaan mereka adalah seperti anjing; apabila kamu mengusirnya, ia akan menjulurkan lidahnya dan apabila kamu biarkan, ia pun akan menjulurkan lidahnya” (Q.S. al-A‘râf [7]: 176) dan mengenai orang yang mengendalikan dorongan nafsunya, Allah berfirman, “Dan adapun orang yang takut berdiri di hadapan Tuhannya dan mencegah jiwanya dari hawa nafsunya, sesungguhnya surga akan menjadi tempat tinggalnya” (Q.S. al-Nâzi’ât [79]: 40–41).
Ketahuilah, tubuh itu seperti sebuah kerajaan, dan akal adalah rajanya. Semua kekuatan, lahir maupun batin, adalah tentara dan pembantunya. Ego yang bergabung dengan kejahatan (nafs ammârah), yaitu nafsu dan amarah, adalah ibarat pemberontak yang membuat kerusakan di kerajaan dan berusaha membantai penduduknya. Karena itu, tubuh menjadi seperti pos garnizun atau pos pasukan terdepan, dan jiwa seperti petugas penjaga yang ditempatkan di sana. Apabila ia berperang melawan musuh-musuhnya, mengalahkan dan memaksa mereka mengikuti perintahnya, ia akan mendapat pujian tatkala kembali ke Hadirat Allah, sebagaimana firman-Nya, “Allah telah menganugerahkan derajat lebih tinggi kepada orang-orang yang berjuang dengan harta dan jiwanya di atas orang-orang yang duduk berdiam” (Q.S. al-Nisâ’ [4]: 95)
Ada dua jenis pikiran yang menggerakkan keinginan seseorang, yaitu pikiran yang terpuji, yang disebut ilhâm, dan pikiran yang tercela, yang disebut waswas (bisikan). Hati menjadi ajang perebutan antara kekuatan setan dan kekuatan malaikat… Malaikat merupakan makhluk yang telah diciptakan Allah untuk menyebarkan kebaikan, memberikan ilmu, menyingkap kebenaran, menjanjikan pahala, dan menyuruh kepada kebaikan… Sedangkan setan adalah makhluk yang pekerjaannya melawan semua ini … Waswâs melawan ilhâm, kekuatan setan melawan kekuatan malaikat, dan taufĂ®q (keberhasilan) melawan khidzlân (kekecewaan) .
Nabi saw. bersabda, “Ada dua dorongan dalam jiwa, yaitu dorongan dari malaikat yang mengajak kepada kebaikan dan mengokohkan kebenaran. Siapa saja yang mendapatkannya, hendaklah ia mengetahui bahwa itu berasal dari Allah dan hendaklah ia memuji kepada-Nya. Dorongan lain berasal dari musuh yang menggiring kepada keraguan, mengingkari kebenaran, dan melarang kebaikan; siapa saja yang mendapatkannya, hendaklah ia meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.” Kemudian al-Ghazali membaca ayat, “Setan membangkitkan rasa takut akan kemiskinan dan mengajakmu bergabung dalam kejahatan” (Q.S. al-Baqarah [2]: 268).
Nabi saw. bersabda, “Tidak ada seorang pun di antara kalian yang bersih dari dorongan setan.” Mereka berkata, “Bahkan engkau juga, wahai Rasulullah saw?” Beliau berkata, “Bahkan diriku juga, tetapi Allah membantuku untuk menguasainya dan ia telah tunduk patuh kepadaku sehingga ia tidak menyuruhku selain kepada kebaikan” Perseteruan antara tentara malaikat dan setan berjalan terus-menerus untuk menguasai hati hingga hati ditundukkan oleh salah satu dari keduanya, yang kemudian menguasai penduduknya dan bercokol di sana… Sayangnya, kebanyakan hati dikepung oleh tentara setan, yang mencekokkan berbagai bisikan yang mengajak manusia untuk mencintai dunia yang fana ini dan mengabaikan hari akhirat.
Nabi saw. bersabda, “Pejuang sejati adalah orang yang berjuang melawan egonya untuk menaati Allah” (al-mujâhidu man jâhada nafsahĂ» fĂ® thâ’atillâh.)…. Sufyan al-Tsauri berkata, “Aku tidak pernah melawan sesuatu yang lebih kuat daripada egoku sendiri; kadang ia bersamaku, dan kadang melawanku….” Yahya ibn Muadz al-Razi berkata, “Perangilah egomu dengan empat bilah pedang: sedikit makan, sedikit tidur, sedikit bicara, dan sabar ketika seseorang menjahatimu. .. Dengan begitu, egomu akan menapaki jalan ketaatan, seperti seorang penunggang kuda yang melaju di medan perang.”
Para Penyerang al-Ghazali
Kaum “salaf” mutakhir cenderung berusaha menghidupkan kembali kebiasaan menyerang Imam al-Ghazali, meremehkan orang yang membaca karya-karyanya, dan mengungkapkan berbagai argumen untuk menentang pandangan-pandangan nya. Serangan mereka itu lebih hebat lagi ketika berurusan dengan kitab Ihyâ’ ‘UlĂ»m al-DĂ®n. Kitab ini merupakan karya besar dan petunjuk paling penting dalam kajian tasawuf. Kesuksesan dan sangat besarnya jumlah pembaca karya ini telah membuat panik musuh-musuh tasawuf. Bahkan, ada sebagian kalangan yang kelewatan dengan menyatakan bahwa al-Ghazali dalam keadaan gila ketika menulis kitab ini; sebagian lainnya salah memahami bacaannya menjelang ajal terhadap karya Imam Bukhari sebagai penolakannya terhadap tasawuf. Sebagian lainnya, yang kebanyakan ulama anti-sufi, mencela kitab ini lebih jauh. Meski demikian, kitab ini telah menunjukkan keunggulannya atas para pengkritiknya yang hanya sibuk mencela. Semakin banyak karya terjemahan dari karya ini dilahirkan yang
kualitasnya semakin baik. Bagian berikut ini akan memberikan kepada para pembaca sejumlah rujukan yang dapat diandalkan berkenaan dengan kehidupan al-Ghazali dan karya-karyanya.
Shalahuddin al-Safadi (w. 764 H.), murid Abu Hayyan al-Andalusi, dalam karya biografisnya yang sangat besar, al-Wâfî, yang memuat lebih dari 14.000 riwayat hidup, menceritakan:
Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad, Hujjatul Islam, Ornamen Iman, Abu Hamid al-Tusi (al-Ghazali) , ahli fikih Mazhab Syafi’i, adalah orang yang tidak ada tandingannya pada masanya.
Pada 488 H. ia meninggalkan seluruh kehidupan duniawinya (termasuk karir akademisnya di Madrasah Nizamiyyah, tempat ia mengajar sejak 484 H.) untuk menempuh jalan takhallĂ® (pengosongan diri dari keduniaan) dan uzlah (penyepian diri). Sepulangnya dari ibadah haji, ia pergi ke Syria dan tinggal sebentar di Damaskus, sambil mengajar di salah satu sudut masjid (zâwiyat al-jâmi‘) sebelah barat yang kini dinamai dengan namanya. Ia kemudian bepergian ke Yerusalem, menyibukkan dirinya dalam ibadah dan menziarahi tempat-tempat suci. Kemudian ia pergi ke Mesir dan tinggal beberapa lama di Iskandaria…
Kemudian ia pulang ke negeri asalnya di Tus (menjelang 492 H.). Di kota inilah ia menyusun sejumlah buku (termasuk Ihyâ’) sebelum kembali ke Naisabur, tempat ia diberi tugas untuk memberi kuliah di Nizamiyah (499 H.). Namun, ia tak lama berkarir di sana dan kembali ke kampung halamannya. Di sinilah ia memimpin khâniqah untuk para sufi dan lembaga pendidikan di sebelahnya untuk para pelajar umum. Ia membagi waktunya untuk melakukan berbagai aktivitas yang bermanfaat, seperti membaca Alquran dan memberikan kuliah kepada kaum sufi…
Kitab ini termasuk di antara kitab yang paling agung, sampai-sampai ada yang mengatakan, “Apabila semua kitab tentang Islam telah hilang dan yang tertinggal hanya Ihyâ’ maka cukuplah kitab itu menggantikan semua yang hilang…” Para penentang al-Ghazali menyebutkan beberapa hadis dalam kitab ini yang dianggap tidak sahih, tetapi di sisi lain, mereka membiarkan hadis-hadis serupa yang terdapat dalam karya-karya anjuran kepada kebaikan dan cegahan dari keburukan (al-targhĂ®b wa al-tarhĂ®b). Kitab ini tetap bertahan sebagai kitab yang sangat bernilai. Imam Fakhruddin al-Razi pernah mengatakan, “Seolah-olah Allah telah menghimpun segala ilmu di bawah satu kubah, dan memperlihatkannya kepada al-Ghazali,” atau sesuatu yang maksudnya seperti ini. Ia meninggal pada 505 H. di Tabaran, benteng pertahanan kota Tus, tempat ia dikebumikan.
Uraian di atas sangat jelas menyangkal tuduhan yang mengada-ada bahwa al-Ghazali menolak tasawuf di akhir hayatnya. Ada juga orang yang membedakan antara al-Ghazali sebagai ahli ushul dan al-Ghazali sebagai ahli tasawuf. Apabila diberitahukan kepada mereka bahwa kitab-kitab Imam al-Ghazali tentang metodologi dan dasar-dasar hukum Islam dianggap sebagai bacaan wajib dalam bidang ini, mereka berdalih bahwa karya-karya itu ditulis sebelum ia mengasingkan diri dan menempuh jalan sufi. Padahal kenyataannya, kitab terbesar dan paling komprehensif dari empat kitabnya mengenai ushul-fikih disusun pada masa-masa akhir hayatnya, sebagaimana dinyatakan oleh Dr. Taha al-Alwani:
Ensiklopaedia Imam al-Ghazali tentang Metodologi Sumber Hukum Syariah, yaitu kitab keempatnya mengenai masalah ini, dan merupakan karya terakhirnya, adalah al-Mustasyfâ, yang telah dicetak berulang kali di Mesir dan di berbagai kawasan lainnya. Kitab ini ditulis setelah ia keluar dari masa penyepian dan pengasingan dirinya.
Dan dalam buku Reliance, ketika bertutur mengenai al-Ghazali, disebutkan:
Di Damaskus ia tinggal menyepi sekitar sepuluh tahun, memusatkan diri pada perjuangan rohani dan zikir kepada Allah. Pada saat-saat terakhirnya, ia menulis karya agungnya, Ihyâ’ ‘UlĂ»m al-DĂ®n, sebuah kitab klasik di antara kitab-kitab kaum muslim tentang membina ketakwaan dengan selalu terhubung kepada Allah, menerangi jiwa melalui ketaatan kepada-Nya dan tahapan-tahapan orang beriman untuk sampai ke sana. Karyanya ini menunjukkan betapa al-Ghazali sangat memahami persoalan yang ditulisnya. Ia menyuguhkan pemecahan yang sangat mengagumkan mengenai ratusan persoalan yang berkenaan dengan kehidupan spiritual, yang tak pernah dibahas dan dipecahkan oleh seorang pun sebelumnya. Ini menunjukkan kecerdasan penulisnya yang sangat berdisiplin dan pemahamannya yang mendalam mengenai psikologi manusia. Ia juga menulis hampir dua ratus karya lainnya, yang meliputi berbagai bidang, termasuk teori pemerintahan, hukum Islam, bantahan terhadap filsafat, keimanan, tasawuf, tafsir, kalam,
dan dasar-dasar hukum Islam.
Salah seorang pengkritik al-Ghazali yang paling vokal adalah Ibn al-Jauzi, yang juga sangat meremehkan kaum sufi. Ia menentang kitab Ihyâ’ dalam empat karyanya: I‘lâm al-Ahyâ bi Aghlath al-Ihyâ (Pemberitahuan tentang Kesalahan-Kesalahan Ihyâ’), TalbĂ®s al-IblĂ®s, Kitâb al-Qussâs, dan kitab tarikhnya, al-Muntazham fĂ® TârĂ®kh al-Muluki wa al-Umam.
Sebagian pandangan Ibn al-Jauzi diikuti oleh Ibn Taimiyah dan muridnya, al-Dzahabi. Dasar pendangan mereka adalah karena al-Ghazali banyak menggunakan hadis daif. Sebenarnya, kritik mereka hanyalah pernyataan yang dibesar-besarkan, mengingat baik Hafiz al-Iraqi (w. 806 H.) maupun Hafiz al-Zabidi (w. 1205 H.) menghapal hadis-hadis yang dimuat dalam kitab Ihyâ’ dan tidak pernah mempertanyakannya. Sebaliknya, mereka menghargai keberadaan kitab tersebut yang sangat diapresiasi oleh umat Islam. Keduanya mengungkapkan komentar yang baik tentang kitab itu, dan mempromosikannya sebagai sebuah kitab pegangan yang dapat dipercaya untuk meningkatkan kemajuan rohani. Sebagaimana ditegaskan oleh al-Subki, al-Ghazali tidak berlebih-lebihan dalam mempergunakan hadis.
Lebih penting lagi, kebanyakan ahli hadis membolehkan penggunaan hadis daif dalam berbagai persoalan selain penetapan masalah hukum. Misalnya, para ahli hadis yang tak terhitung banyaknya, dan para ulama lainnya membolehkan penggunaan hadis daif untuk mendorong kebaikan dan mencegah keburukan (al-targhîb wa al-tarhîb).
Harus dipahami bahwa al-Ghazali menyertakan semua bahan yang berguna untuk mencapai sasaran pendidikannya. Ia memilih hadis berdasarkan pertimbangan isinya daripada rangkaian periwayatannya. Bagian terbesar kitab Ihyâ’ memuat kutipan dari Alquran, hadis, dan perkataan para ulama, sedangkan pandangan al-Ghazali sendiri tidak lebih dari 35% dari keseluruhan isinya. Terakhir, dari keseluruhan hadis yang dikutip oleh al-Ghazali, sebagian besarnya merupakan hadis yang sanadnya kuat.
Sebagai kesimpulan, sebagaimana dikatakan al-Safadi, kitab Ihyâ’ termasuk jenis karya targhĂ®b, atau etika, yang menyampaikan prinsip-prisip tasawuf. Autentisitas dalil-dalil yang dikutip dalam karya sejenis, menurut kebanyakan ulama, tidak mesti terlalu ketat seperti dalam kitab mengenai akidah dan fikih. Penerapan kriteria yang sama untuk karya-karya tentang tasawuf sama saja dengan membandingkan apel dengan jeruk. Karena itu, sebagaimana juga ditunjukkan secara tepat oleh al-Safadi, kritik terhadap Ihyâ’ ‘UlĂ»m al-DĂ®n yang menekankan pada hadis-hadis daif yang dikutip di dalamnya adalah tidak tepat. Tidak tepat pula kritik serupa terhadap karya-kraya targhĂ®b semacam ini, seperti kritik al-Dzahabi terhadap kitab QĂ»t al-QulĂ»b karya Abu Thaliq al-Makki. Ia menekankan kritiknya hanya pada sisi autentisitas dalil yang dikutipnya seraya mengabaikan dukungan yang begitu besar terhadap tasawuf dan karya-karya tentangnya. Iangatlah selalu nasihat al-Dzahabi: “Jangan terburu-buru menghakimi, tetapi berprasangka baiklah kepada kaum sufi” atau nasihat Imam al-Ghazali: “Berpikir baiklah (tentang kaum sufi) dan jangan menyimpan keraguan dalam hatimu”; atau nasihat Ibn Hajar al-Haitsami: “Buruk sangka terhadap mereka (kaum sufi) merupakan tanda kematian hati.”121 Langkah terbaik adalah mengambil manfaat yang terdapat dalam setiap karya para sufi dengan hati yang bersih, seraya tetap menghormati para tokoh sufi. Sesungguhnya mereka merupakan kelompok kecil di tengah masyarakat; dan dari sisi pengetahuan, mereka adalah menara yang tinggi menjulang di atas kebanyakan orang. Jangan mencari-cari perbedaan pandangan di antara para ulama, dan hormatilah mereka yang berbicara tentang Allah.
Keabsahan Hadis Daif
Selain pendapat-pendapat di atas, ada beberapa pendapat lain yang mendukung penggunaan hadis daif yang disampaikan oleh para ahli hadis. Semua pernyataan itu berujung pada satu simpul, sebagaimana dikatakan al-Sakhawi: “Jumhur ulama berpandangan bahwa hadis daif dapat digunakan sebagai dasar pegangan untuk melakukan kebaikan dan memperbaiki akhlak, tetapi tidak untuk menetapkan hukum.” Ibn Hajar, misalnya, menulis dalam HâdĂ® al-Sari:
Malik dan Bukhari punya pemahaman yang berbeda mengenai keabsahan hadis. Malik beranggapan bahwa terputusnya sanad tidak merusak suatu hadis. Karena alasan inilah ia mengutip beberapa hadis mursal dan munqati yang terputus sanadnya; ia juga mengutip sejumlah riwayat yang tak bersanad (balaghât) dalam materi utama dari kitabnya (al-Muwaththa’ ), sedangkan Bukhari menganggap bahwa terputusnya sanad merusak hadis. Karena itu, ia tidak suka mengutip hadis-hadis semacam ini kecuali sebagai tambahan di luar materi utama kitabnya (al-Jâmi‘ al-ShahĂ®h), seperti dalam komentar (ta‘lĂ®q) dan judul bab.
Al-Hakim (w. 405 H.) meriwayatkan dalam kitabnya yang menjadi salah satu pedoman ilmu hadis, Madkhal, bahwa:
Aku mendengar dari Abu Zakariya al-Anbari dari Muhammad Ibn Ishaq ibn Ibrahim al-Hanzhali dari ayahnya bahwa Abdurrahman ibn Mahdi berkata, “Dalam hadis-hadis tentang pahala, hukuman, dan perbuatan terpuji, kami bersikap cukup longgar menyikapi sanad dalam periwayatan kami. Dan kami cukup terbuka menyikapi para perawinya (yaitu berkenaan dengan identitas dan keterpercayaannya) . Namun, jika kami meriwayatkan hadis yang berkaitan dengan urusan halal dan haram, kami meneliti sanadnya dengan sangat ketat, dan kami mempertimbangkan setiap perawinya dengan sangat saksama.”
Aku mendengar dari Abu Zakariya Yahya ibn Muhammad al-Anbari dari Abu al-Abbas Ahmad ibn Muhammad al-Sijzi dari al-Naufal bahwa Ahmad ibn Hanbal mengatakan, “Apabila kami meriwayatkan dari Rasulullah saw yang berkaitan dengan urusan halal dan haram, urusan muamalah dan ketetapan hukum, kami bersikap sangat ketat; tetapi apabila kami meriwayatkan dari Nabi saw. menyangkut tindakan dan perilaku mulia dan tidak menetapkan atau membatalkan suatu keputusan hukum, kami bersikap akomodatif dalam urusan sanadnya.”
Berikut ini kutipan lengkap dari kitab al-Qawl al-Bâdî karya al-Sakhawi:
Syekh al-Islam abu Zakariya al-Nawawi mengatakan dalam kitab Adzkâr bahwa para ahli hadis, ahli fikih, dan kalangan ulama lainnya memperbolehkan dan (bahkan) menganggap baik penggunaan hadis daif sebagai dasar untuk amal-amal agama yang berkaitan dengan perbuatan baik dan keutamaan (fadhâ’il), serta untuk mendorong kebaikan dan mencegah keburukan (al-targhĂ®b wa al-tarhĂ®b) selama hadis itu tidak dipalsukan. Sementara jika berkaitan dengan ketetapan hukum (ahkâm), seperti apa yang diperbolehkan dan apa yang dilarang, atau syarat-rukun perdagangan, pernikahan, perceraian, dan lain-lain setiap orang hendaklah mendasarkannya pada hadis sahih atau hasan, kecuali sebagai tindak pencegahan dalam beberapa hal yang berkaitan dengan salah satu yang di atas, misalnya penggunaan hadis daif berkenaan dengan suatu tindakan yang tercela (karâhât) dalam urusan jual-beli atau pernikahan. Dalam kasus semacam itu, dianjurkan (mustahabb) untuk menghindari tindakan tercela itu.
Ibn Arabi al-Maliki tidak menyetujui pendapat itu dan mengatakan, “Secara mutlak tidak ada satu pun perbuatan yang boleh didasarkan atas hadis daif.”
Aku pernah mendengar guruku (Ibn Hajar al-Atsqalani) menegaskan hal berikut dan menyampaikannya kepadaku secara tertulis:
Ada tiga persyaratan bagi amalan agama yang boleh didasarkan atas hadis daif:
1. Amal kebaikan yang disepakati secara ijmak, dan hadis yang dimaksudkan tidak terlalu berat kedaifannya. Jadi, tidak termasuk dalam kriteria ini hadis-hadis yang diriwayatkan sendirian oleh para pembohong atau orang yang dituduh suka bohong, dan orang yang melakukan dosa besar.
2. Ada dasar hukum umum untuknya. Maka, tidak termasuk dalam kriteria ini hadis palsu dan yang tidak punya dasar yang sah untuk dijadikan dalil.
3. Ketika seseorang melakukan suatu perbuatan yang mengacu pada hadis itu, janganlah berpikir bahwa perbuatan itu telah dibenarkan. Ini dimaksudkan agar tidak ada ucapan yang tidak dikatakan Nabi saw. dinisbatkan kepada beliau.
Dua syarat terakhir diungkapkan oleh Ibn Abdissalam dan sahabatnya, Ibn Daqiq al-Id; Abu Sa‘id al-Ala’i menyebutkan bahwa syarat yang pertama disepakati bersama oleh para ahli hadis.
Imam Ahmad mengatakan bahwa seseorang dapat mengerjakan suatu amal berdasarkan hadis daif jika tidak ada hadis lain yang serupa dengannya dan tidak ada hadis lain yang berlawanan dengannya. Dalam sebuah riwayat ia pernah mengatakan, “Aku lebih memilih hadis daif daripada pendapat seseorang.” Dan menurut Ibn Hazm, para ulama Hanafi bersepakat bahwa hadis daif lebih disukai daripada pikiran (ra’y) dan analogi (qiyâs). Imam Ahmad pernah ditanya mengenai seseorang yang berada di suatu negeri yang memiliki, di satu sisi, seorang yang hapal banyak hadis (shâhib al-hadĂ®ts) namun tidak mengetahui mana yang sahih dan mana yang tidak sahih, dan di sisi lain, seorang yang pandai menggunakan pikiran (shâhib al-ra’y), siapakah yang harus ia mintai petunjuk? Ia menjawab, “Hendaklah ia meminta petunjuk kepada shâhib al-hadĂ®ts.”
Abu Abdillah ibn Mandah mengabarkan bahwa Abu Dawud, penulis kitab Sunan dan murid Imam Ahmad, suka menyebutkan rantai periwayatan suatu hadis daif apabila dalam suatu persoalan tertentu ia tidak menemukan hadis lain. Ia menganggapnya sebagai dalil yang lebih kuat daripada pendapat ulama.
Jadi, kita menemukan tiga macam pandangan yang berbeda mengenai permasalahan ini:
· Tidak ada satu pun perbuatan yang boleh didasarkan atas hadis daif.
· Perbuatan dapat didasarkan atas hadis daif jika tidak ditemukan dalil lain mengenai suatu masalah tertentu.
· Jumhur ulama berpandangan bahwa hadis daif dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan suatu perbuatan baik dan mencapai keutamaan (fadhâ’il), tetapi tidak dapat dipergunakan untuk menetapkan hukum. Allah-lah Pemberi segala keberhasilan.
Berkaitan dengan persoalan ini, Ibn Taimiyah mengatakan, “Orang yang meriwayatkan dari Ahmad bahwa ia suka menggunakan hadis daif—tidak sahih atau hasan—telah melakukan kesalahan.” Memang pendapatnya itu benar, karena, sebagaimana dikatakan al-Sakhawi, Imam Ahmad tidak menerapkan hadis daif dalam hukum, atau yang berkaitan dengan penetapan hukum. Jadi, semestinya Ibn Taimiyah mengatakan, “Orang yang meriwayatkan dari Ahmad bahwa ia suka menggunakan hadis daif dalam penetapan hukum syariat telah melakukan kesalahan.” Namun, tidak ada keraguan bahwa Imam Ahmad menerima hadis daif sebagaimana diceritakan oleh al-Hakim dan dikuatkan oleh Ibn Arabi al-Maliki, dan bahkan dikuatkan juga oleh Ibn
Taimiyah di berbagai tempat dalam karya-karyanya. Misalnya ia menyatakan bahwa,
Ahmad ibn Hanbal dan ulama lainnya membolehkan periwayatan hadis tentang keutamaan selama hadis itu tidak diketahui sebagai suatu kebohongan… karena mungkin saja pahalanya benar meskipun tidak ada seorang imam pun yang memperbolehkan penetapan sesuatu sebagai wajib atau dianjurkan (mustahabb) hanya berdasarkan hadis daif. Siapa saja yang memperbolehkannya berarti telah menentang ijmak.
Namun, pernyataan Ibn Taimiyah bahwa “tidak ada seorang imam pun yang memperbolehkan penetapan sesuatu sebagai wajib atau dianjurkan (mustahabb) hanya berdasarkan hadis daif. Siapa saja yang memperbolehkannya berarti telah menentang kesepakatan (ijmak)” adalah tidak benar, sebagaimana dibuktikan oleh riwayat al-Sakhawi yang tidak dapat dibantah tentang kata-kata al-Nawawi, yang telah kami sebutkan di atas.
Pengakuan ulama besar fiqh tentang tasawwuf dan ulama sufi
Imam Abu Hanifa (81-150 H./700-767 CE)
Imam Abu Hanifa (r) (85 H.-150 H) berkata, “Jika tidak karena dua tahun, saya telah celaka. Karena dua tahun saya bersama Sayyidina Ja’far as-Sadiq dan mendapatkan ilmu spiritual yang membuat saya lebih mengetahui jalan yang benar”.
Ad-Durr al-Mukhtar, vol 1. p. 43 bahwa Ibn ‘Abideen said, “Abi Ali Dakkak, seorang sufi, dari Abul Qassim an-Nasarabadi, dari ash-Shibli, dari Sariyy as-Saqati dari Ma’ruf al-Karkhi, dari Dawad at-Ta’i, yang mendapatkan ilmu lahir dan batin dari Imam Abu Hanifa (r), yang mendukung jalan Sufi.” Imam berkata sebelum meninggal: lawla sanatan lahalaka Nu’man, “Jika tidak karena dua tahun, Nu’man (saya) telah celaka.” Itulah dua tahun bersama Ja’far as-Sadiq
Imam Malik (94-179 H./716-795 CE)
Imam Malik (r): “man tassawaffa wa lam yatafaqah faqad tazandaqa wa man tafaqaha wa lam yatsawwaf faqad fasadat, wa man tafaqaha wa tassawafa faqad tahaqqaq. (Barangsiapa mempelajari/mengamalkan tasauf tanpa fikh maka dia telah zindik, dan barangsiapa mempelajari fikh tanpa tasauf dia tersesat, dan siapa yang mempelari tasauf dan fikh dia meraih kebenaran).” (dalam buku ‘Ali al-Adawi dari keterangan Imam
Abil-Hassan, ulama fikh, vol. 2, p. 195
Imam Shafi’i (150-205 H./767-820 CE)
Imam Shafi’i: “Saya bersama orang sufi dan aku menerima 3 ilmu:
1. mereka mengajariku bagaimana berbicara
2. mereka mengajariku bagaimana meperlakukan orang
dengan kasih dan hati lembut
3. mereka membimbingku ke dalam jalan tasawwuf
[Kashf al-Khafa and Muzid al-Albas, Imam 'Ajluni, vol.
1, p. 341.]
Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H./780-855 CE)
Imam Ahmad (r): “Ya walladee ‘alayka bi-jallassati ha’ula’i as-Sufiyya. Fa innahum zaadu ‘alayna
bikathuratil ‘ilmi wal murqaba wal khashiyyata waz-zuhda wa ‘uluwal himmat (Anakku jika kamu harus
duduk bersama orang-orang sufi, karena mereka adalah mata air ilmu dan mereka tetap mengingat Allah dalam hati mereka. Mereka orang-orang zuhud dan mereka memiliki kekuatan spiritual yang tertinggi,” –Tanwir al-Qulub, p. 405, Shaikh Amin al-Kurdi). Imam Ahmad (r) tentang Sufi:”Aku tidak melihat orang yang lebih baik dari mereka” ( Ghiza al-Albab, vol. 1, p. 120)
Imam al-Muhasibi (d. 243 H./857 CE)
Imam al-Muhasibi meriwayatkan dari Rasul, “Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan dan hanya satu yang akan menjadi kelompok yang selamat” . Dan Allah yang lebih mengetahui bahwa itu adalah Golongan orang tasawwuf. Dia menjelaskan dengan mendalam dalam Kitab al-Wasiya p. 27-32.
Imam al-Qushayri (d. 465 H./1072 CE)
Imam al-Qushayri tentang Tasawwuf: “Allah membuat golongan ini yang terbaik dari wali-wali-Nya dan Dia
mengangkat mereka di atas seluruh hamba-hamba-Nya sesudah para Rasul dan Nabi, dan Dia memberi hati
mereka rahasia Kehadiran Ilahi-Nya dan Dia memilih mereka diantara umat-Nya yang menerima cahaya-Nya. Mereka adalah sarana kemanusiaan, Mereka menyucikan diri dari segala hubungan dengan dunia dan Dia mengangkat mereka ke kedudukan tertinggi dalam penampakan (kasyf). Dan Dia membuka kepada mereka Kenyataan akan Keesaan-Nya. Dia membuat mereka untuk melihat kehendak-Nya mengendalikan diri mereka. Dia membuat mereka bersinar dalam wujud-Nya dan menampakkan mereka sebagai cahaya dan cahaya-Nya .” [ar-Risalat al-Qushayriyya, p. 2]
Imam Ghazali (450-505 H./1058-1111 CE)
Imam Ghazali, hujjat ul-Islam, tentang tasawwuf: “Saya tahu dengan benar bahwa para Sufi adalah para
pencari jalan Allah, dan bahwa mereka melakukan yang terbaik, dan jalan mereka adalah jalan terbaik, dan
akhlak mereka paling suci. Mereka membersihkan hati mereka dari selain Allah dan mereka menjadikan mereka sebagai jalan bagi sungai untuk mengalirnya kehadiran Ilahi [al-Munqidh min ad-dalal, p. 131].
Imam Nawawi (620-676 H./1223-1278 CE)
Dalam suratnya al-Maqasid: “Ciri jalan sufi ada 5:
1. menjaga kehadiran Allah dalam hati pada waktu ramai
dan sendiri
2. mengikuti Sunah Rasul dengan perbuatan dan kata
3. menghindari ketergantungan kepada orang lain
4. bersyukur pada pemberian Allah meski sedikit
5. selalu merujuk masalah kepada Allah swt [Maqasid at-Tawhid, p. 20]
Imam Fakhr ad-Din ar-Razi (544-606 H./1149-1209 CE)
Imam Fakhr ad-Din ar-Razi: “Jalan para sufi adalah mencari ilmu untuk memutuskan diri mereka dari
kehidupan dunia dan menjaga diri mereka agar selalu sibuk dalam pikiran dan hati mereka dengan mengingat
Allah, pada seluruh tindakan dan perilaku” .”[Ictiqadat Furaq al-Musliman, p. 72, 73]
Ibn Khaldun (733-808 H./1332-1406 CE)
Ibn Khaldun: “Jalan sufi adalah jalan salaf, ulama-ulama di antara Sahabat, Tabi’een, and Tabi’
at-Tabi’een. Asalnya adalah beribadah kepada Allah dan meninggalkan perhiasan dan kesenangan dunia”
[Muqaddimat ibn Khaldan, p. 328]
Tajuddin as-Subki Mu’eed an-Na’eem, p. 190, dalam tasauf: “Semoga Allah memuji mereka dan memberi salam kepada mereka dan menjadikan kita bersama mereka di dalam sorga.
Banyak hal yang telah dikatakan tentang mereka dan terlalu banyak orang-orang bodoh yang mengatakan
hal-hal yang tidak berhubungan dengan mereka. Dan yang benar adalah bahwa mereka meninggalkan dunia dan menyibukkan diri dengan ibadah”. Dia berkata: “Mereka dalah manusia-manusia yang dekat dengan Allah yang doa dan shalatnya diterima Allah, dan melalui mereka Allah membantu manusia.
Jalaluddin as-Suyuti
Dalam Ta’yad al-haqiqat al-’Aliyya, p. 57: “tasawwuf dalam diri mereka adalah ilmu yang paling baik dan
terpuji. Dia menjelaskan bagaimana mengikuti Sunah Nabi dan meninggalkan bid’ah”
Ibn Taymiyya (661-728 H./1263-1328 CE)
Majmaca Fatawa Ibn Taymiyya, Dar ar-Rahmat, Cairo, Vol, 11, page 497, Kitab Tasawwuf: “Kamu harus tahu bahwa syaikh-syaikh terbimbing harus diambil sebagai petunjuk dan contoh dalam agama, karena mereka mengikuti jejak Para Nabi dan Rasul. Tariqat para syaikh itu adalah untuk menyeru manusia ke Kehadiran Allah dan ketaatan kepada Nabi.” Juga dalam hal 499: “Para syaikh dimana kita perlu mengambil sebagai pembimbing adalah teladan kita dan kita harus mengikuti mereka. Karena ketika kita dalam Haji, kita memerlukan petunjuk (dalal) untuk mencapai Ka’ bah, para syaikh ini adalah petunjuk kita (dalal) menuju Allah dan Nabi kita.
Di antara para syaikh yang dia sebut adalah: Ibrahim ibn Adham, Ma’ruf al-Karkhi, Hasan al-Basri, Rabia
al-Adawiyya, Junaid ibn Muhammad, Shaikh Abdul Qadir Jilani, Shaikh Ahmad ar-Rafa’i, and Shaikh Bayazid al- Bistami. Ibn Taymiyya mengutip Bayazid al-Bistami pada
510, Volume 10: “…Syaikh besar, Bayazid al-Bistami, dan kisah yang terkenal ketika dia menyaksikan Tuhan dalam kasyf dan dia berkata kepada Dia:” Ya Allah, bagaimana jalan menuju Engkau?”. Dan Allah menjawab: “Tinggalkan dirimu dan datanglah kepada-Ku”.
Ibn Taymiah melanjutakan kutipan Bayazid al-Bistami, ” Saya keluar dari diriku seperti seekor ular keluar
dari kulitnya”. Implisit dari kutipan ini adalah sebuah indikasi tentang perlunya zuhd (pengingkaran-diri atau pengingkaran terhadap kehidupan dunia), seperti jalan yang diikuti Bayazid al-Bistami ( Mursyid Tariqah Naqshbandi). Kita melihat dari kutipan di atas bahwa Ibn Taymiah menerima banyak Syaikh dengan mengutipnya dan meminta orang untuk mengikuti bimbingannya untuk menunjukkan
cara menaati Allah dan Rasul saas.
Apa kata Ibn Taymiah tentang istilah Tasawwuf :
Berikut adalah pendapat Ibn Tamiah tentang definisi Tasawwuf dari strained, Whether you are gold or
gold-plated copper.” Sanai. Following is what Ibn Taymiyya said about the definition of Tasawwuf, from
Volume 11, At-Tasawwuf, of Majmu’a Fatawa Ibn
Taymiyya al-Kubra, Dar ar-Rahmah, Cairo: “Alhamdulillah, penggunaan kata tasauf telah didiskusikan secara mendalam. Ini adalah istilah yang diberikan kepada hal yang berhubungan dengan cabang
ilmu (tazkiyat an-nafs and Ihsan).” “Tasawwuf adalah ilmu tentang kenyataan dan keadaan dari pengalaman.
Sufi adalah orang yang menyucikan dirinya dari segala sesuatu yang menjauhkan dari mengingat Allah dan orang yang mengisi dirinya dengan ilmu hati dan ilmu pikiran di mana harga emas dan batu adalah sama saja baginya. Tasawwuf menjaga makna-makna yang tinggi dan meninggalkan mencari ketenaran dan egoisme untuk meraih keadaan yang penuh dengan Kebenaran. Manusia terbaik sesudah Nabi adalah Shidiqin, sebagaimana disebutkan Allah: “Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu: Nabi, para shiddiqqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (QS. 4:69)” Dia melanjutkan mengenai Sufi,”mereka berusaha untuk menaati Allah..
Sehingga dari mereka kamu akan mendapati mereka merupakan yang terdepan (sabiqunas-sabiqun) karena
usaha mereka. Dan sebagian dari merupakan golongan kanan (ashabus-syimal).”
Imam Ibn Qayyim (d. 751 H./1350 CE)
Imam Ibn Qayyim menyatakan bahwa, “Kita menyasikan kebesaran orang-orang tasawwuf dalam pandangan salaf bagaimana yang telah disebut oleh by Sufyan ath-Thawri (d. 161 H./777 CE). Salah satu imam terbesar abad kedua dan salah satu mujtahid terkemuka, dia berkata:
“Jika tidak karena Abu Hisham as-Sufi (d. 115 H./733 CE) saya tidak pernah mengenal bentuk munafik yang kecil (riya’) dalam diri (Manazil as-Sa’ireen). Lanjut Ibn Qayyim:”Diantara orang terbaik adalah Sufi yang mempelajari fiqh” ‘Abdullah ibn Muhammad ibn ‘Abdul Wahhab (1115-1201H./1703-1787 CE) Dari Muhammad Man ar Nu’mani’s book (p. 85), Ad- ia’at al-Mukaththafa Didd ash-Shaikh Mu ammad ibn ‘Abdul Wahhab: “Shaikh ‘Abdullah, anak shaikh Muhammad ibn ‘Abdul Wahhab, mengatakan mengenai Tasawwuf: ‘Anakku dan saya tidak pernah menolak atau mengkritik ilmu tasawwuf, tetapi sebaliknya kami mendukungnya karena ia menyucikan baik lahir maupun batin dari dosa tersembunyi yang berhubungan dengan hati dan bentuk batin. Meskipun seseorang mungkin secara lahir benar, secara batin mungkin salah; dan untuk memperbaikinya tasauf diperlukan.”
Dalam volume 5 dari Muhammad ibn ‘Abdul Wahhab entitled ar-Rasa’il ash-Shakhsiyya, hal 11, serta hal.
12, 61, and 64 dia menyatakan: “Saya tidak pernah menuduh kafir Ibn ‘Arabi atau Ibn al-Fari karena
interpretasi sufinya” Ibn ‘Abidin Ulama besar, Ibn ‘Abidin dalam Rasa’il Ibn cAbidin (p. 172-173) menyatakan: ” Para pencari jalan ini tidak mendengar kecuali Kehadiran Ilahi dan mereka tidak mencintai selain Dia. Jika mereka mengingat Dia mereka menangis. Jika mereka memikirkan Dia mereka
bahagia. Jika mereka menemukan Dia mereka sadar. Jika mereka melihat Dia mereka akan tenang. Jika mereka berjalan dalan Kehadiran Ilahi, mereka menjadi lembut.
Mereka mabuk dengan Rahmat-Nya. Semoga Allah merahmati mereka”. [Majallat al-Muslim, 6th ed., 1378 H, p. 24].
Shaikh Rashad Rida Dia berkata,”tasawwuf adalah salah satu pilar dari pilar-pilar agama. Tujuannya adalah untuk membersihkan diri dan mempertanggungjawabkan perilaku sehari-hari dan untuk menaikan manusia menuju maqam spiritual yang tinggi” [Majallat al-Manar, 1st year, p. 726].
Maulana Abul Hasan ‘Ali an-Nadwi Maulana Abul Hasan ‘Ali an-Nadwi anggota the Islamic-Arabic Society of India and Muslim countries. Dalam, Muslims in India, , p. 140-146, “Para sufi ini memberi inisiasi (baiat) pada manusia ke dalam keesaan Allah dan keikhlasan dalam mengikuti Sunah Nabi dan dalam menyesali kesalahan dan dalam menghindari setiap ma’siat kepada Allah SWT. Petunjuk mereka merangsang orang-orang untuk berpindah ke jalan kecintaan penuh kepada Allah” “Di Calcutta, India, lebih dari 1000 orang mengambil inisiasi (baiat) ke dalam Tasawuf” “Kita bersyukur atas pengaruh orang-orang sufi, ribuan dan ratusan ribu orang di India menemukan Tuham merka dan meraih kondisi kesempurnaan melalui Islam”
Abul ‘Ala Mawdudi Dalam Mabadi’ al-Islam (p. 17), “Tasawwuf adalah kenyataan yang tandanya adalah cinta kepada Allah dan Rasul saw, di mana sesorang meniadakan diri mereka karena tujuan mereka (Cinta), dan seseorang meniadakan dari segala sesuatu selain cinta Allah dan Rasul”. “Tasawwuf mencari ketulusan hati, menyucikan niat dan kebenaran untuk taat dalam seluruh perbuatannya.”
Ringkasnya, tasawwuf, dahulu maupun sekarang, adalah sarana efektif untuk menyebarkan kebenaran Islam,
memperluas ilmu dan pemahaman spiritual, dan meningkatkan kebahagian dan kedamaian. Dengan itu
manusia dapat menemukan diri sendir dan, dengan demikian, menemukan Tuhannya. Dengan itu manusia dapat meningkatkan, merubah dan menaikan diri sendiri dan mendapatkan keselamatan dari kebodohan dunia dan dari godaan keindahan materi. Dan Allah yang lebih mengetahui niat hamba-hamba-Nya. Posted by iwang_q at.
Imam Abu Hanifa (r) (85 H.-150 H) berkata, “Jika tidak karena dua tahun, saya telah celaka. Karena dua tahun saya bersama Sayyidina Ja’far as-Sadiq dan mendapatkan ilmu spiritual yang membuat saya lebih mengetahui jalan yang benar”.
Ad-Durr al-Mukhtar, vol 1. p. 43 bahwa Ibn ‘Abideen said, “Abi Ali Dakkak, seorang sufi, dari Abul Qassim an-Nasarabadi, dari ash-Shibli, dari Sariyy as-Saqati dari Ma’ruf al-Karkhi, dari Dawad at-Ta’i, yang mendapatkan ilmu lahir dan batin dari Imam Abu Hanifa (r), yang mendukung jalan Sufi.” Imam berkata sebelum meninggal: lawla sanatan lahalaka Nu’man, “Jika tidak karena dua tahun, Nu’man (saya) telah celaka.” Itulah dua tahun bersama Ja’far as-Sadiq
Imam Malik (94-179 H./716-795 CE)
Imam Malik (r): “man tassawaffa wa lam yatafaqah faqad tazandaqa wa man tafaqaha wa lam yatsawwaf faqad fasadat, wa man tafaqaha wa tassawafa faqad tahaqqaq. (Barangsiapa mempelajari/mengamalkan tasauf tanpa fikh maka dia telah zindik, dan barangsiapa mempelajari fikh tanpa tasauf dia tersesat, dan siapa yang mempelari tasauf dan fikh dia meraih kebenaran).” (dalam buku ‘Ali al-Adawi dari keterangan Imam
Abil-Hassan, ulama fikh, vol. 2, p. 195
Imam Shafi’i (150-205 H./767-820 CE)
Imam Shafi’i: “Saya bersama orang sufi dan aku menerima 3 ilmu:
1. mereka mengajariku bagaimana berbicara
2. mereka mengajariku bagaimana meperlakukan orang
dengan kasih dan hati lembut
3. mereka membimbingku ke dalam jalan tasawwuf
[Kashf al-Khafa and Muzid al-Albas, Imam 'Ajluni, vol.
1, p. 341.]
Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H./780-855 CE)
Imam Ahmad (r): “Ya walladee ‘alayka bi-jallassati ha’ula’i as-Sufiyya. Fa innahum zaadu ‘alayna
bikathuratil ‘ilmi wal murqaba wal khashiyyata waz-zuhda wa ‘uluwal himmat (Anakku jika kamu harus
duduk bersama orang-orang sufi, karena mereka adalah mata air ilmu dan mereka tetap mengingat Allah dalam hati mereka. Mereka orang-orang zuhud dan mereka memiliki kekuatan spiritual yang tertinggi,” –Tanwir al-Qulub, p. 405, Shaikh Amin al-Kurdi). Imam Ahmad (r) tentang Sufi:”Aku tidak melihat orang yang lebih baik dari mereka” ( Ghiza al-Albab, vol. 1, p. 120)
Imam al-Muhasibi (d. 243 H./857 CE)
Imam al-Muhasibi meriwayatkan dari Rasul, “Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan dan hanya satu yang akan menjadi kelompok yang selamat” . Dan Allah yang lebih mengetahui bahwa itu adalah Golongan orang tasawwuf. Dia menjelaskan dengan mendalam dalam Kitab al-Wasiya p. 27-32.
Imam al-Qushayri (d. 465 H./1072 CE)
Imam al-Qushayri tentang Tasawwuf: “Allah membuat golongan ini yang terbaik dari wali-wali-Nya dan Dia
mengangkat mereka di atas seluruh hamba-hamba-Nya sesudah para Rasul dan Nabi, dan Dia memberi hati
mereka rahasia Kehadiran Ilahi-Nya dan Dia memilih mereka diantara umat-Nya yang menerima cahaya-Nya. Mereka adalah sarana kemanusiaan, Mereka menyucikan diri dari segala hubungan dengan dunia dan Dia mengangkat mereka ke kedudukan tertinggi dalam penampakan (kasyf). Dan Dia membuka kepada mereka Kenyataan akan Keesaan-Nya. Dia membuat mereka untuk melihat kehendak-Nya mengendalikan diri mereka. Dia membuat mereka bersinar dalam wujud-Nya dan menampakkan mereka sebagai cahaya dan cahaya-Nya .” [ar-Risalat al-Qushayriyya, p. 2]
Imam Ghazali (450-505 H./1058-1111 CE)
Imam Ghazali, hujjat ul-Islam, tentang tasawwuf: “Saya tahu dengan benar bahwa para Sufi adalah para
pencari jalan Allah, dan bahwa mereka melakukan yang terbaik, dan jalan mereka adalah jalan terbaik, dan
akhlak mereka paling suci. Mereka membersihkan hati mereka dari selain Allah dan mereka menjadikan mereka sebagai jalan bagi sungai untuk mengalirnya kehadiran Ilahi [al-Munqidh min ad-dalal, p. 131].
Imam Nawawi (620-676 H./1223-1278 CE)
Dalam suratnya al-Maqasid: “Ciri jalan sufi ada 5:
1. menjaga kehadiran Allah dalam hati pada waktu ramai
dan sendiri
2. mengikuti Sunah Rasul dengan perbuatan dan kata
3. menghindari ketergantungan kepada orang lain
4. bersyukur pada pemberian Allah meski sedikit
5. selalu merujuk masalah kepada Allah swt [Maqasid at-Tawhid, p. 20]
Imam Fakhr ad-Din ar-Razi (544-606 H./1149-1209 CE)
Imam Fakhr ad-Din ar-Razi: “Jalan para sufi adalah mencari ilmu untuk memutuskan diri mereka dari
kehidupan dunia dan menjaga diri mereka agar selalu sibuk dalam pikiran dan hati mereka dengan mengingat
Allah, pada seluruh tindakan dan perilaku” .”[Ictiqadat Furaq al-Musliman, p. 72, 73]
Ibn Khaldun (733-808 H./1332-1406 CE)
Ibn Khaldun: “Jalan sufi adalah jalan salaf, ulama-ulama di antara Sahabat, Tabi’een, and Tabi’
at-Tabi’een. Asalnya adalah beribadah kepada Allah dan meninggalkan perhiasan dan kesenangan dunia”
[Muqaddimat ibn Khaldan, p. 328]
Tajuddin as-Subki Mu’eed an-Na’eem, p. 190, dalam tasauf: “Semoga Allah memuji mereka dan memberi salam kepada mereka dan menjadikan kita bersama mereka di dalam sorga.
Banyak hal yang telah dikatakan tentang mereka dan terlalu banyak orang-orang bodoh yang mengatakan
hal-hal yang tidak berhubungan dengan mereka. Dan yang benar adalah bahwa mereka meninggalkan dunia dan menyibukkan diri dengan ibadah”. Dia berkata: “Mereka dalah manusia-manusia yang dekat dengan Allah yang doa dan shalatnya diterima Allah, dan melalui mereka Allah membantu manusia.
Jalaluddin as-Suyuti
Dalam Ta’yad al-haqiqat al-’Aliyya, p. 57: “tasawwuf dalam diri mereka adalah ilmu yang paling baik dan
terpuji. Dia menjelaskan bagaimana mengikuti Sunah Nabi dan meninggalkan bid’ah”
Ibn Taymiyya (661-728 H./1263-1328 CE)
Majmaca Fatawa Ibn Taymiyya, Dar ar-Rahmat, Cairo, Vol, 11, page 497, Kitab Tasawwuf: “Kamu harus tahu bahwa syaikh-syaikh terbimbing harus diambil sebagai petunjuk dan contoh dalam agama, karena mereka mengikuti jejak Para Nabi dan Rasul. Tariqat para syaikh itu adalah untuk menyeru manusia ke Kehadiran Allah dan ketaatan kepada Nabi.” Juga dalam hal 499: “Para syaikh dimana kita perlu mengambil sebagai pembimbing adalah teladan kita dan kita harus mengikuti mereka. Karena ketika kita dalam Haji, kita memerlukan petunjuk (dalal) untuk mencapai Ka’ bah, para syaikh ini adalah petunjuk kita (dalal) menuju Allah dan Nabi kita.
Di antara para syaikh yang dia sebut adalah: Ibrahim ibn Adham, Ma’ruf al-Karkhi, Hasan al-Basri, Rabia
al-Adawiyya, Junaid ibn Muhammad, Shaikh Abdul Qadir Jilani, Shaikh Ahmad ar-Rafa’i, and Shaikh Bayazid al- Bistami. Ibn Taymiyya mengutip Bayazid al-Bistami pada
510, Volume 10: “…Syaikh besar, Bayazid al-Bistami, dan kisah yang terkenal ketika dia menyaksikan Tuhan dalam kasyf dan dia berkata kepada Dia:” Ya Allah, bagaimana jalan menuju Engkau?”. Dan Allah menjawab: “Tinggalkan dirimu dan datanglah kepada-Ku”.
Ibn Taymiah melanjutakan kutipan Bayazid al-Bistami, ” Saya keluar dari diriku seperti seekor ular keluar
dari kulitnya”. Implisit dari kutipan ini adalah sebuah indikasi tentang perlunya zuhd (pengingkaran-diri atau pengingkaran terhadap kehidupan dunia), seperti jalan yang diikuti Bayazid al-Bistami ( Mursyid Tariqah Naqshbandi). Kita melihat dari kutipan di atas bahwa Ibn Taymiah menerima banyak Syaikh dengan mengutipnya dan meminta orang untuk mengikuti bimbingannya untuk menunjukkan
cara menaati Allah dan Rasul saas.
Apa kata Ibn Taymiah tentang istilah Tasawwuf :
Berikut adalah pendapat Ibn Tamiah tentang definisi Tasawwuf dari strained, Whether you are gold or
gold-plated copper.” Sanai. Following is what Ibn Taymiyya said about the definition of Tasawwuf, from
Volume 11, At-Tasawwuf, of Majmu’a Fatawa Ibn
Taymiyya al-Kubra, Dar ar-Rahmah, Cairo: “Alhamdulillah, penggunaan kata tasauf telah didiskusikan secara mendalam. Ini adalah istilah yang diberikan kepada hal yang berhubungan dengan cabang
ilmu (tazkiyat an-nafs and Ihsan).” “Tasawwuf adalah ilmu tentang kenyataan dan keadaan dari pengalaman.
Sufi adalah orang yang menyucikan dirinya dari segala sesuatu yang menjauhkan dari mengingat Allah dan orang yang mengisi dirinya dengan ilmu hati dan ilmu pikiran di mana harga emas dan batu adalah sama saja baginya. Tasawwuf menjaga makna-makna yang tinggi dan meninggalkan mencari ketenaran dan egoisme untuk meraih keadaan yang penuh dengan Kebenaran. Manusia terbaik sesudah Nabi adalah Shidiqin, sebagaimana disebutkan Allah: “Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu: Nabi, para shiddiqqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (QS. 4:69)” Dia melanjutkan mengenai Sufi,”mereka berusaha untuk menaati Allah..
Sehingga dari mereka kamu akan mendapati mereka merupakan yang terdepan (sabiqunas-sabiqun) karena
usaha mereka. Dan sebagian dari merupakan golongan kanan (ashabus-syimal).”
Imam Ibn Qayyim (d. 751 H./1350 CE)
Imam Ibn Qayyim menyatakan bahwa, “Kita menyasikan kebesaran orang-orang tasawwuf dalam pandangan salaf bagaimana yang telah disebut oleh by Sufyan ath-Thawri (d. 161 H./777 CE). Salah satu imam terbesar abad kedua dan salah satu mujtahid terkemuka, dia berkata:
“Jika tidak karena Abu Hisham as-Sufi (d. 115 H./733 CE) saya tidak pernah mengenal bentuk munafik yang kecil (riya’) dalam diri (Manazil as-Sa’ireen). Lanjut Ibn Qayyim:”Diantara orang terbaik adalah Sufi yang mempelajari fiqh” ‘Abdullah ibn Muhammad ibn ‘Abdul Wahhab (1115-1201H./1703-1787 CE) Dari Muhammad Man ar Nu’mani’s book (p. 85), Ad- ia’at al-Mukaththafa Didd ash-Shaikh Mu ammad ibn ‘Abdul Wahhab: “Shaikh ‘Abdullah, anak shaikh Muhammad ibn ‘Abdul Wahhab, mengatakan mengenai Tasawwuf: ‘Anakku dan saya tidak pernah menolak atau mengkritik ilmu tasawwuf, tetapi sebaliknya kami mendukungnya karena ia menyucikan baik lahir maupun batin dari dosa tersembunyi yang berhubungan dengan hati dan bentuk batin. Meskipun seseorang mungkin secara lahir benar, secara batin mungkin salah; dan untuk memperbaikinya tasauf diperlukan.”
Dalam volume 5 dari Muhammad ibn ‘Abdul Wahhab entitled ar-Rasa’il ash-Shakhsiyya, hal 11, serta hal.
12, 61, and 64 dia menyatakan: “Saya tidak pernah menuduh kafir Ibn ‘Arabi atau Ibn al-Fari karena
interpretasi sufinya” Ibn ‘Abidin Ulama besar, Ibn ‘Abidin dalam Rasa’il Ibn cAbidin (p. 172-173) menyatakan: ” Para pencari jalan ini tidak mendengar kecuali Kehadiran Ilahi dan mereka tidak mencintai selain Dia. Jika mereka mengingat Dia mereka menangis. Jika mereka memikirkan Dia mereka
bahagia. Jika mereka menemukan Dia mereka sadar. Jika mereka melihat Dia mereka akan tenang. Jika mereka berjalan dalan Kehadiran Ilahi, mereka menjadi lembut.
Mereka mabuk dengan Rahmat-Nya. Semoga Allah merahmati mereka”. [Majallat al-Muslim, 6th ed., 1378 H, p. 24].
Shaikh Rashad Rida Dia berkata,”tasawwuf adalah salah satu pilar dari pilar-pilar agama. Tujuannya adalah untuk membersihkan diri dan mempertanggungjawabkan perilaku sehari-hari dan untuk menaikan manusia menuju maqam spiritual yang tinggi” [Majallat al-Manar, 1st year, p. 726].
Maulana Abul Hasan ‘Ali an-Nadwi Maulana Abul Hasan ‘Ali an-Nadwi anggota the Islamic-Arabic Society of India and Muslim countries. Dalam, Muslims in India, , p. 140-146, “Para sufi ini memberi inisiasi (baiat) pada manusia ke dalam keesaan Allah dan keikhlasan dalam mengikuti Sunah Nabi dan dalam menyesali kesalahan dan dalam menghindari setiap ma’siat kepada Allah SWT. Petunjuk mereka merangsang orang-orang untuk berpindah ke jalan kecintaan penuh kepada Allah” “Di Calcutta, India, lebih dari 1000 orang mengambil inisiasi (baiat) ke dalam Tasawuf” “Kita bersyukur atas pengaruh orang-orang sufi, ribuan dan ratusan ribu orang di India menemukan Tuham merka dan meraih kondisi kesempurnaan melalui Islam”
Abul ‘Ala Mawdudi Dalam Mabadi’ al-Islam (p. 17), “Tasawwuf adalah kenyataan yang tandanya adalah cinta kepada Allah dan Rasul saw, di mana sesorang meniadakan diri mereka karena tujuan mereka (Cinta), dan seseorang meniadakan dari segala sesuatu selain cinta Allah dan Rasul”. “Tasawwuf mencari ketulusan hati, menyucikan niat dan kebenaran untuk taat dalam seluruh perbuatannya.”
Ringkasnya, tasawwuf, dahulu maupun sekarang, adalah sarana efektif untuk menyebarkan kebenaran Islam,
memperluas ilmu dan pemahaman spiritual, dan meningkatkan kebahagian dan kedamaian. Dengan itu
manusia dapat menemukan diri sendir dan, dengan demikian, menemukan Tuhannya. Dengan itu manusia dapat meningkatkan, merubah dan menaikan diri sendiri dan mendapatkan keselamatan dari kebodohan dunia dan dari godaan keindahan materi. Dan Allah yang lebih mengetahui niat hamba-hamba-Nya. Posted by iwang_q at.
Pesan Fatwa dari Ulama Wahaby Yuk…?!
“Bumi Berupa Hamparan Bagaikan Papan tulis, Bukan Bulat”
Beberapa saat yang lalu teman-teman dikagetkan dengan fatwa seorang Syeikh dari kalangan Wahaby yang sangat dihormati di taklidi secara buta oleh kelompoknya, Wahabisme. Terbukti hampir setiap blog dan situs Wahaby –yang mengaku dirinya sebagai kelompok Salafy- selalu mengambil tulisan-tulisan bahkan menjadikan situs beliau sebagai link alternatif dari beberapa jajaran ulama Wahaby lainnya. Syeikh tersebut bernama Utsaimin.
Fatwa syeikh tadi diberi judul; “Matahari Mengelilingi Bumi” yang dimuat dalam sebuah blog di wordpress.com. setelah muncul banyak kritikan dari berbagai kalangan -terkhusus kaum akademisi- para pendukung fanatic sang Syeikh tadi terus berusaha membenarkan (mencari pembenaran) fatwa syeikhnya dengan berbagai cara yang tak jarang menggunakan kata-kata kasar dalam menyangkal kritik-kritik yang datang. Sebutan jahil, tidak paham agama, taklid terhadap orang kafir dsb sering diluncurkan. Tentu, teks-teks agama selalu dijadikan sebagai tamengnya. Seakan agama Islam diturunkan hanya untuk mereka saja sehingga yang menentukan apakah hal tersebut agamis atau tidak ada ditangan mereka.
Kami sarankan agar ulama mereka yang masih hidup –karena syeikh Utsaimin telah meninggal- menafsirkan dan menfatwakan bahwa “Bumi berbentuk hamparan bagaikan papan tulis, tidak bulat seperti bola”. Kami pun juga memberi masukan ayat-ayat yang bisa rujukan, biar meringankan tugas mereka. ayat-ayat itu banyak sekali, namun yang paling jelas menjurus ke arah itu mencakup ayat-ayat sebagai berikut:
1. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu (al-Baqarah: 22).
2. Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. (ar-Ra’d: 3).
3. Dan kami Telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran. (al-Hijr: 19).
4. Dan kami hamparkan bumi itu dan kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh dan kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata, (al-Qof: 7)
5. Dan bumi itu kami hamparkan, Maka sebaik-baik yang menghamparkan (adalah Kami). (Adz-Dzariyaat: 51).
6. Dan Allah menjadikan bumi untukmu sebagai hamparan, (Nuh: 19).
7. Bukankah kami Telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan? (an-Naba’: 6).
8. Dan bumi bagaimana ia dihamparkan? (al-Ghosyiyah: 20).
Lihat zahir ayat-ayat di atas tadi, bukankah ini menunjukkan bahwa Bumi adalah hamparan bagaikan papan tulis ataupun tikar dan bukan berbentuk bulat? Harusnya dulu, syeikh Ustaimin lebih mendahulukan berfatwa tentang yang kami usulkan ketimbang yang beliau fatwakan. Zahir ayat-ayat di atas jelas bahwa bumi merupakan hamparan, bahkan lebih jelas dari ayat-ayat yang dikemukakan oleh Syeikh Utsaimin dalam membuktikan bahwa sebagai Bumi pusat galaxy. Tapi sudahlah itu telah berlalu. Sekarang syeikh itu sedang mempertanggungjawabkan fatwanya itu di hadapan Ilahi. Kita tunggu ulama Wahaby lain yang masih hidup mendengar saran kami ini.
Konon, menurut pendukung fanatik dan yang bertaklid buta terhadap syeikh –mungkin pemilik blog Abdurrahman. wordpress. com yang memuat fatwa aneh tapi nyata dan sangat menggelikan itu(buka:
http://abdurrahman.wordpress.com/2007/03/15/benarkah-bumi-mengelilingi-matahari/)-
yang berinisial Darmawan menyatakan bahwa metode penafsiran syeikh Utsaimin adalah mendahulukan cara penafsiran al-Quran dengan al-Quran yang telah disinggung oleh Ibnu Katsir, salah seorang murid setia Ibnu Taimiyah. Ibn Katsir dalam Muqodimah kitab tafsirnya:”Sesungguh nya penafsiran yang paling baik adalah Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, Al-Qur’an dengan hadits, dan Al-Qur’an dengan atsar sahabat…””. Karena ketiga cara tadi secara berurut maka cara pertama jauh lebih baik dari kedua cara lainnya. Oleh karenanya kami sarankan atau bisa dikatakan kami pesan fatwa dari ulama Wahaby yang masih hidup. Kalau mereka menolak? Dengan alasan apa mereka menolak, bukankah itulah yang disebutkan dalam zahir ayat al-Quran yang mereka suka bermain di skala zahir, seperti dalam kasus fatwa Matahari mengitari Bumi? Dan kalaupun mereka telah menfatwakan hal itu maka akan kami katakan kepada mereka (kaum Wahaby yang mengaku Salafy): “Jelas kalian akan salah kaprah dengan mengikuti hal-hal itu dalam memahami al-Quran. Al-Quran memiliki multi dimensi yang belum dapat kalian jamah. Dan tidak akan mungkin pernah kalian jamah selama kalian masih memegang erat metode (manhaj) yang salah parah itu”. Mereka (kaum Wahaby) akan menghadapi dilemma, antara mempercayai bahwa Bumi itu hamparan bagaikan papan tulis sebagaimana ungkapan zahir al-Quran, atau mengikuti penemu pesawat olang-alik dan penemu kamera yang keduanya dikarya oleh orang kafir? Sebenarnya gampang saja, jika mereka tidak percaya, silahkan saja sewa pesawat ulang-alik dengan biaya Negara kaya Saudi Arabia yang bermazhab Wahaby itu hingga ketinggian tertentu, dan buktikan, apakah Bumi bagaikan papan tulis seperti kata zahir al-Quran ataukah
Bulat seperti kata ilmuwan kafir?
Jika sesampai di atas ternyata terbukti Bumi bulat maka -saran kami- janganlah mereka lantas mengkufuri al-Quran dengan mengatakan “al-Quran bohong”. Karena al-Quran tidak salah. Hanya metode (manhaj) yang mereka pegangi selama ini yang salah dalam memahami al-Quran. Saran kami sekali lagi: “Rubahlah metode itu dan tanggalkan jubah Wahabisme yang kalian kenakan. Karena metode dan jubah kumuh itu yang menyebabkan kalian terjerumus ke dalam kekakuan (jumud) dalam memahami agama melalui teks-teks yang ada”. Kini, sudah saatnya Wahabisme dimusiumkan.
Allah yahdiikum insya-Allah.
Comment Pemilik Blog :
Satu fatwa konyol dan salah yaitu bahwa “Matahari itu bergerak mengelilingi bumi” yang dikeluarkan oleh salah satu “imam”nya wahabi tersebut seharusnya sudah cukup untuk membuka mata kita, dan semoga Allah membuka hati kita agar tidak mengikuti jalan yang salah tersebut. Bukankan akan sangat berbahaya jika kita mengikuti pendapat “imam” tersebut (yang sangat mungkin juga salah dan konyol sebagaimana fatwa tadi) apalagi dalam masalah yang lebih rawan, seperti aqidah misalnya.
Beberapa saat yang lalu teman-teman dikagetkan dengan fatwa seorang Syeikh dari kalangan Wahaby yang sangat dihormati di taklidi secara buta oleh kelompoknya, Wahabisme. Terbukti hampir setiap blog dan situs Wahaby –yang mengaku dirinya sebagai kelompok Salafy- selalu mengambil tulisan-tulisan bahkan menjadikan situs beliau sebagai link alternatif dari beberapa jajaran ulama Wahaby lainnya. Syeikh tersebut bernama Utsaimin.
Fatwa syeikh tadi diberi judul; “Matahari Mengelilingi Bumi” yang dimuat dalam sebuah blog di wordpress.com. setelah muncul banyak kritikan dari berbagai kalangan -terkhusus kaum akademisi- para pendukung fanatic sang Syeikh tadi terus berusaha membenarkan (mencari pembenaran) fatwa syeikhnya dengan berbagai cara yang tak jarang menggunakan kata-kata kasar dalam menyangkal kritik-kritik yang datang. Sebutan jahil, tidak paham agama, taklid terhadap orang kafir dsb sering diluncurkan. Tentu, teks-teks agama selalu dijadikan sebagai tamengnya. Seakan agama Islam diturunkan hanya untuk mereka saja sehingga yang menentukan apakah hal tersebut agamis atau tidak ada ditangan mereka.
Kami sarankan agar ulama mereka yang masih hidup –karena syeikh Utsaimin telah meninggal- menafsirkan dan menfatwakan bahwa “Bumi berbentuk hamparan bagaikan papan tulis, tidak bulat seperti bola”. Kami pun juga memberi masukan ayat-ayat yang bisa rujukan, biar meringankan tugas mereka. ayat-ayat itu banyak sekali, namun yang paling jelas menjurus ke arah itu mencakup ayat-ayat sebagai berikut:
1. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu (al-Baqarah: 22).
2. Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. (ar-Ra’d: 3).
3. Dan kami Telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran. (al-Hijr: 19).
4. Dan kami hamparkan bumi itu dan kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh dan kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata, (al-Qof: 7)
5. Dan bumi itu kami hamparkan, Maka sebaik-baik yang menghamparkan (adalah Kami). (Adz-Dzariyaat: 51).
6. Dan Allah menjadikan bumi untukmu sebagai hamparan, (Nuh: 19).
7. Bukankah kami Telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan? (an-Naba’: 6).
8. Dan bumi bagaimana ia dihamparkan? (al-Ghosyiyah: 20).
Lihat zahir ayat-ayat di atas tadi, bukankah ini menunjukkan bahwa Bumi adalah hamparan bagaikan papan tulis ataupun tikar dan bukan berbentuk bulat? Harusnya dulu, syeikh Ustaimin lebih mendahulukan berfatwa tentang yang kami usulkan ketimbang yang beliau fatwakan. Zahir ayat-ayat di atas jelas bahwa bumi merupakan hamparan, bahkan lebih jelas dari ayat-ayat yang dikemukakan oleh Syeikh Utsaimin dalam membuktikan bahwa sebagai Bumi pusat galaxy. Tapi sudahlah itu telah berlalu. Sekarang syeikh itu sedang mempertanggungjawabkan fatwanya itu di hadapan Ilahi. Kita tunggu ulama Wahaby lain yang masih hidup mendengar saran kami ini.
Konon, menurut pendukung fanatik dan yang bertaklid buta terhadap syeikh –mungkin pemilik blog Abdurrahman. wordpress. com yang memuat fatwa aneh tapi nyata dan sangat menggelikan itu(buka:
http://abdurrahman.wordpress.com/2007/03/15/benarkah-bumi-mengelilingi-matahari/)-
yang berinisial Darmawan menyatakan bahwa metode penafsiran syeikh Utsaimin adalah mendahulukan cara penafsiran al-Quran dengan al-Quran yang telah disinggung oleh Ibnu Katsir, salah seorang murid setia Ibnu Taimiyah. Ibn Katsir dalam Muqodimah kitab tafsirnya:”Sesungguh nya penafsiran yang paling baik adalah Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, Al-Qur’an dengan hadits, dan Al-Qur’an dengan atsar sahabat…””. Karena ketiga cara tadi secara berurut maka cara pertama jauh lebih baik dari kedua cara lainnya. Oleh karenanya kami sarankan atau bisa dikatakan kami pesan fatwa dari ulama Wahaby yang masih hidup. Kalau mereka menolak? Dengan alasan apa mereka menolak, bukankah itulah yang disebutkan dalam zahir ayat al-Quran yang mereka suka bermain di skala zahir, seperti dalam kasus fatwa Matahari mengitari Bumi? Dan kalaupun mereka telah menfatwakan hal itu maka akan kami katakan kepada mereka (kaum Wahaby yang mengaku Salafy): “Jelas kalian akan salah kaprah dengan mengikuti hal-hal itu dalam memahami al-Quran. Al-Quran memiliki multi dimensi yang belum dapat kalian jamah. Dan tidak akan mungkin pernah kalian jamah selama kalian masih memegang erat metode (manhaj) yang salah parah itu”. Mereka (kaum Wahaby) akan menghadapi dilemma, antara mempercayai bahwa Bumi itu hamparan bagaikan papan tulis sebagaimana ungkapan zahir al-Quran, atau mengikuti penemu pesawat olang-alik dan penemu kamera yang keduanya dikarya oleh orang kafir? Sebenarnya gampang saja, jika mereka tidak percaya, silahkan saja sewa pesawat ulang-alik dengan biaya Negara kaya Saudi Arabia yang bermazhab Wahaby itu hingga ketinggian tertentu, dan buktikan, apakah Bumi bagaikan papan tulis seperti kata zahir al-Quran ataukah
Bulat seperti kata ilmuwan kafir?
Jika sesampai di atas ternyata terbukti Bumi bulat maka -saran kami- janganlah mereka lantas mengkufuri al-Quran dengan mengatakan “al-Quran bohong”. Karena al-Quran tidak salah. Hanya metode (manhaj) yang mereka pegangi selama ini yang salah dalam memahami al-Quran. Saran kami sekali lagi: “Rubahlah metode itu dan tanggalkan jubah Wahabisme yang kalian kenakan. Karena metode dan jubah kumuh itu yang menyebabkan kalian terjerumus ke dalam kekakuan (jumud) dalam memahami agama melalui teks-teks yang ada”. Kini, sudah saatnya Wahabisme dimusiumkan.
Allah yahdiikum insya-Allah.
Comment Pemilik Blog :
Satu fatwa konyol dan salah yaitu bahwa “Matahari itu bergerak mengelilingi bumi” yang dikeluarkan oleh salah satu “imam”nya wahabi tersebut seharusnya sudah cukup untuk membuka mata kita, dan semoga Allah membuka hati kita agar tidak mengikuti jalan yang salah tersebut. Bukankan akan sangat berbahaya jika kita mengikuti pendapat “imam” tersebut (yang sangat mungkin juga salah dan konyol sebagaimana fatwa tadi) apalagi dalam masalah yang lebih rawan, seperti aqidah misalnya.
Allohu musta'an,tidaklah setiap ucapan yg keluar dri mulut anak adam,semua akan di mantai pertanggung jawaban,dihadadapan Alloh yg maha suci lagi mulia.istighfarlah yg banyat.
BalasHapus