Kamis, 19 Desember 2013

Kisah makmum masbuk(terlambat)

Bagaimana Cara Orang yang Masbuk Menyempurnakan Shalatnya?
Pertanyaan:Apakah kita harus menyempurnakan satu rakaat yang tertinggal, ketika kita sampai dalam shaf dan kita dapati imam bertakbir untuk rukuk?

Jawaban:
Alhamdulillah wash-shalatu was-salamu ‘ala Rasulillah. Wa ba’du.
Jika seorang masbuk mendapati imam dalam keadaan rukuk maka dia telah memperoleh satu rakaat dan dia tidak perlu lagi menambah satu rakaat di akhir shalat.

Hal ini berdasarkan hadis Abu Bakrah bahwa dia mendapati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau sedang rukuk, lalu Abu Bakrah rukuk sebelum sampai ke shaf (lalu dia berjalan menuju shaf). Kemudian, hal itu diceritakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau bersabda, “Semoga Allah menambahkan semangat kepadamu, dan janganlah engkau ulangi.” (H.R. Bukhari)

Segi pendalilan dari hadit ini adalah bahwa Abu Bakrah menjadi makmum masbuk dan dia mendapati imam dalam keadaan rukuk, kemudian dia pun rukuk bersama imam, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan Abu Bakrah untuk menambah rakaat shalatnya.

Sutrah artinya penutup


sutroh
Pertanyaan:
Ustadz Kholid Syamhudi,
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kesehatan dan kelapangan kepada Ustadz sekeluarga. Selanjutnya, ana ada pertanyaan mengenai sutroh bagi masbuq.
  1. Apakah seorang masbuq masih diwajibkan menghadap sutroh untuk sisa rakaat sholatnya?
  2. Seandainya jawaban atas pertanyaan no 1 adalah wajib, mohon diulas mengenai poin-poin berikut ya Ustadz:
    1. Terkadang seorang masbuq menjadikan punggung jamaah yang sedang berdzikir yang telah selesai menunaikan sholatnya sebagai sutroh. Secara umum, apakah menjadikan punggung orang lain sebagi sutroh diperbolehkan?
    2. Dan bagaimana seandainya orang yang dijadikan sutroh ini bangkit berdiri dan berpindah dari tempatnya semula, apakah si masbuq juga perlu mencari sutroh lagi?
    3. Dan bagaimana teknis mencari sutroh kalau jumlah masbuq nya lumayan banyak (misalkan lebih dari 10 orang)? Sementara jumlah tiang masjid tidak banyak, juga untuk melangkah menuju dinding cukup jauh.
  3. Ada sebagian orang yang belum paham mengenai sutroh, dan selepas sholat berjamaah orang ini sholat sunnah rawatib tanpa sutroh. Apakah dibenarkan si Fulan yang berjarak lebih dari 3 hasta, misalkan saja berjarak 6 hasta di depan orang yang sedang sholat sunnah rawatib tersebut, berjalan di depannya? Ataukah dia harus tetap menunggunya atau mencari jalan lain walaupun dia berjarak lumayan jauh semisal 6 hasta?
Jazakallaah khairan wa barakallaahu fiikum,

  Wa’alaikumussalam.

Telah maklum bahwa orang yang melakukan shalat berkewajiban mendekat ke sutrah. Dan dilarang melakukan shalat tanpa menghadap sutroh. Yang dimaksudkan dengan sutroh pada shalat yaitu benda yang ada di hadapan orang yang shalat, minimal setinggi sehasta, untuk menutupinya dari apa-apa yang lewat di depannya. Sutroh ini dapat berupa tembok, tiang, atau lainnya. Nabi -shalallahu alaihi wasallam- bersabda:

لاَ تُصَلّ ِ إِلاَّ إِلَى سُتْرَةٍ

Artinya: “Janganlah engkau melakukan shalat kecuali menghadap sutroh.” (HR. Ibnu Khuzaimah; dishahihkan oleh syaikh Al-Albani di dalam Shifat Shalat Nabi)

Nabi -shalallahu alaihi wasallam- juga bersabda:

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى سُتْرَةٍ فَلْيَدْنُ مِنْهَا لَا يَقْطَعْ الشَّيْطَانُ عَلَيْهِ صَلَاتَهُ

Artinya: “Jika seseorang dari kamu melakukan shalat menghadap sutroh, maka hendaklah dia mendekat kepadanya, jangan sampai syaithaan membatalkan shalatnya.” (HR. Abu Dawud, no. 695; An-Nasai, no. 748; dishahihkan oleh syaikh Al-Albani)

Adapun ukuran kedekatan tempat berdiri orang shalat dengan sutroh adalah kira-kira tiga hasta, sebagaimana diriwayatkan oleh imam Al-Bukhari, hadits no. 506. Maka orang yang melakukan shalat itu harus mendekat ke sutroh, jika dia tidak melakukan berarti dia bermaksiat kepada Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam- .

Sutrohnya makmum adalah sutrohnya imam, karena sutrah di dalam shalat jama’ah merupakan tanggungan imam. Sehingga jika diperlukan seseorang boleh lewat di depan makmum, dan makmum tidak wajib menolaknya. Dalil hal ini adalah hadits sebagai berikut:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ أَقْبَلْتُ رَاكِبًا عَلَى حِمَارٍ أَتَانٍ وَأَنَا يَوْمَئِذٍ قَدْ نَاهَزْتُ الِاحْتِلَامَ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِالنَّاسِ بِمِنًى إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ فَمَرَرْتُ بَيْنَ يَدَيْ بَعْضِ الصَّفِّ فَنَزَلْتُ وَأَرْسَلْتُ الْأَتَانَ تَرْتَعُ وَدَخَلْتُ فِي الصَّفِّ فَلَمْ يُنْكِرْ ذَلِكَ عَلَيَّ أَحَدٌ

Artinya:

“Dari Abdullah bin ‘Abbas, dia berkata: “Aku datang mengendarai keledai betina, waktu itu aku hampir baligh, ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam melakukan shalat dengan orang banyak di Mina tanpa menghadap tembok. Lalu aku melewati depan sebagian shaf, lalu aku turun dan melepaskan keledai itu merumput. Dan aku masuk ke dalam shaf, tidak ada seorangpun yang mengingkariku.” (HR. Bukhari, no. 493; Muslim, no. 504)

Adapun jika ada makmum masbuq, maka setelah imam mengucapkan salam, imam tidak lagi menjadi sutrahnya, karena imam telah keluar dari shalatnya dan dia telah keluar sebagai makmum. Dengan demikian ia masih diwajibkan mencari sutroh, walaupun berupa orang yang duduk didepannya. Apabila kemudian orang yang didepannya pergi maka ia boleh bergeser sedikit kearah sutroh lainnya atau tembok yang dekat dengannya. Sebagaimana disampaikan Az-Zarqani yang meriwayatkan bahwa imam Malik rahimahullah berkata, “Orang yang meneruskan shalat setelah salamnya imam, tidak mengapa bergeser ke tiang yang dekat darinya, baik di depannya, kanannya, kirinya, atau belakangnya dengan mundur sedikit, untuk bersutrah dengannya, jika tiang itu dekat. Jika jauh, maka dia tetap berdiri dan menolak orang yang lewat semampunya.” (Syarh Zarqani ‘ala Mukhtashar Khalil, 1/208; dinukil dari Ahkamus Sutrah, hlm. 26, karya Syaikh Muhammad bin Rizq bin Tharhuuni)

Apabila jumlahnya banyak maka berusahalah memiliki sutroh dengan tanpa melakukan banyak gerakan yang dapat menghilangkan kekhusyu’an.

Permasalahan orang yang melewati orang yang sholat tanpa sutroh, maka bila melewati jauh dari hadapan orang yang sholat maka diperbolehkan. Syeikh bin Baaz menyatakan,” Kapan jauh orang yang lewat didepan orang sholat apabila tidak memasang sutrah didepannya, maka ia selamat dari dosa. Hal ini karena ia telah menjauhinya sejarak yang telah dianggap jauh menurut adat kebiasaan. Jika demikian ini tidak dinamakan melewati depan orang yang sholat. Hukumnya sama dengan orang yang lewan setelah sutroh.” (komentar beliau dalam kitab Fathu al-baari 1/582)

Para ulama berbeda pendapat tentang ukuran minimal diperbolehkannya seorang melewati depan orang sholat tanpa sutroh. Mayoritas ulama menyatakan sejauh 3 hasta atau setelah ukuran tempat sujudnya.

Wallahu a’lam.

Menepuk Pundak ketika Menjadi Makmum


orang yang datang dan hendak bermakmum, tidak perlu menepuk pundaknya, tapi langsung memposisikan diri di samping kanan orang yang sedang shalat sendirian itu, lurus sejajar, dan tidak geser sedikit ke belakang.

Kesimpulan ini berdasarkan hadis dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan,

بِتُّ عِنْدَ خَالَتِي مَيْمُونَةَ لَيْلَةً، فَلَمَّا كَانَ فِي بَعْضِ اللَّيْلِ قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَوَضَّأَ مِنْ شَنٍّ مُعَلَّقٍ وُضُوءًا خَفِيفًا، وَقَامَ يُصَلِّي، فَتَوَضَّأْتُ نَحْوًا مِمَّا تَوَضَّأَ، ثُمَّ جِئْتُ فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ فَحَوَّلَنِي فَجَعَلَنِي عَنْ يَمِينِهِ

Pada suatu malam, saya menginap di rumah bibiku Maimunah, di Saya shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu malam. Setelah larut malam, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bangun dan berwudhu dari air yang terdapat dalam bejana yang menggantung, lalu beliau shalat. Akupun berwudhu seperti wudhu beliau, dan langsung menuju beliau dan aku berdiri di sebelah kiri beliau. Lalu beliau memindahkanku ke sebelah kanan beliau. (HR. Bukhari 138).

Maimunah adalah salah satu istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sekaligus bibi Ibnu Abbas dari ibunya. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan jatah malam di Maimunah, Ibnu Abbas ikut bersama mereka. Dan ketika itu, Ibnu Abbas belum baligh.

Dalam hadis di atas, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma datang ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mulai shalat. Dan beliau tidak menepuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun langsung berdiri di samping kiri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena posisinya yang salah, Ibnu Abbas dipindah ke posisi sebelah kanan.

MAKMUM MASBUK, Mulainya dari Mana?

Sering kan kalau kita akan mengikuti shalat berjama’ah namun imam sudah memulai shalat berjama’ah? Apakah itu kita datangnya pada pertengahan rakaat pertama, pada rakaat ke dua dan seterusnya. Maka kalau kondisinya sudah demikian berarti sudah terhitung masbuk. Nah, dalam keseharian saya melihat bermacam-macam cara orang masbuk. Ada yang setelah takbiratul ihram, dia langsung mengikuti imam, apakah pada saat itu imam sedang sujud, sedang duduk antara dua sujud atau duduk tasyahud akhir. Ada juga yang menunggu imam imam berdiri dahulu untuk rakaat berikutnya. Ada yang melihat situasi, kalau shalat belum hampir selesai dan imam belum tahyat askhir, maka ia menunggu dahulu imam berdiri, tapi kalau ternyata imam sudah tahyat akhir maka ia baru takbiratul ihram, kemudian mengikuti imam yang sedang tahyat akhir. Nah manakah cara masbuk yang benar menurut aturan syariahnya.? berikut sedikit saya berbagi tentang tata cara dan adab masbuk yang saya ambil dari berbagai sumber.

Siapakah Makmum Masbuk??

Masbuk sendiri dalam pengertian awam kita-kita adalah orang yang terlambat dalam mengikuti shalat berjama’ah. Namun terlambat yang bagaimana? Ulama memiliki 2 (dua) pandangan. Pendapat pertama yaitu pendapat Jumhur Ulama yang menyatakan bahwa seorang makmum disebut masbuq itu apabila ia tertinggal ruku’ bersama imam.   Jika seorang makmum mendapati imam sedang ruku’, kemudian ia ruku bersama imam, maka ia mendapatkan satu raka’at dan tidak disebut masbuq. Dan gugurlah kewajiban membaca surat al-Fatihah. Dalil-dalil dari pendapat yang pertama adalah sebagai berikut:
مَنْ أَدْرَكَ الرُّكُوْعَ فَقَدْ أَدْرَكَ الرَّكْعَةَ { أبو داود ، الفقه الإسلامي – سليمان رشيد 116 }116 }
Artinya: “Siapa yang mendapatkan ruku’, maka ia mendapatkan satu raka’at”. (HR. Abu Dawud, FIqh Islam-Sulaiman Rasyid : 116)
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلّى الله عليه و سلم : ” إِذَا جِئْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ وَ نَحْنُ سُجُوْدٌ فَاسْجُدُوْا وَ لاَ تَعُدُّوْهاَ شَيْئاً وَ مَنْ أَدْرَكَ الرَّكْعَةَ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَةَ “ { رواه أبو داود 1 : 207،عون المعبود 3 : 145}
Dari Abu Hurairah, ia mengatakan bahwa Rasulullah SAW telah bersabda : “ Apabila kamu datang untuk shalat, padahal kami sedang sujud, maka bersujudlah, dan jangan kamu hitung sesuatu (satu raka’at) dan siapa yang mendapatkan ruku’, bererti ia mendapat satu rak’at dalam sholat (nya)”. ( H.R Abu Dawud 1 : 207, Aunul Ma’bud – Syarah Sunan Abu Dawud 3 : 145 )
Jumhur Ulama berkata: “Yang dimaksud dengan raka’at disni adalah ruku’, maka yang mendapati imam sedang ruku’ kemudian ia ruku’ maka ia mendapatkan satu raka’at. (Al-Mu’in Al-Mubin 1 : 93, Aunul Ma’bud 3 : 145)
إِنَّ أَباَ بَكْرَةَ إِنْتَهَى إِلَى النَّبِيِّ صلّى الله عليه و سلم وَ هُوَ رَاكِعٌ فَرَكَعَ قَبْلَ أَنْ يَصِلَ إِلَى الصَّفِّ فَذَكَرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صلّى الله عليه و سلم فَقاَلَ : ” زَادَكَ اللهُ حِرْصاً وَ لاَ تُعِدْ “ { رواه البخاري، فتح الباري 2 : 381}
“ Sesungguhnya Abu Bakrah telah datang untuk solat bersama Nabi SAW (sedangkan) Nabi SAW dalam keadaan ruku’, kemudian ia ruku’ sebelum sampai menuju shaf. Hal itu disampaikan kepada Nabi SAW, maka Nabi SAW bersabda (kepadanya) : “ Semoga Allah menambahkan kesungguhanmu, tetapi jangan kamu ulangi lagi ”.
Sedangkan pendapat ke dua mengatakan kalau  seseorang itu masbuk pabila ia tertinggal bacaan surat Al-Fatihah. Ini adalah pendapat segolongan ulama.
Namun saya lebih cenderung ke pendapat pertama, dan juga berdasarkan pengamatan saya umumnya masyarakat di sini mengikuti pendapat pertama.

Bagaimanakah Seharusnya Makmum Masbuk?

Oke, setelah paham bagaimana masbuk tersebut, selanjutnya bagaimanakah cara masbuk yang benar dan dibenarkan oleh Nabi dan para ulama?
Apakah harus menunggu imam berdiri dahulu, atau kalau imam sedang tahyat akhir, baru mengikuti gerakan imam yang tahyat, atau mengikuti pada posisi mana imam saat makmum masbuk tsb memulai shalatnya. Biar hal ini tidak dibilang pendapat pribadi saya, maka saya menyertakan dalilnya. :)

Dalil Pertama:
Dari Abdul Aziz bin Rofi’ dari seorang laki-laki (yakni, Abdullah bin Mughoffal Al-Muzaniy) -radhiyallahu ‘anhu- berkata, Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
إِذَا وَجَدْتُمُوْهُ قَائِمًا أَوْ رَاكِعًا أَوْ سَاجِدًا أَوْ جَالِسًا, فَافْعَلُوْا كَمَا تَجِدُوْنَهُ, وَلاَ تَعْتَدُّوْا بِالسَّجْدَةِ إِذَا لَمْ تُدْرِكُوْا الرَّكْعَةَ
“Jika kalian mendapati imam dalam keadaan berdiri atau ruku’, atau sujud, atau duduk, maka lakukanlah sebagaimana engkau mendapatinya. Janganlah engkau memperhitungkan sujudnya, jika engkau tak mendapati ruku’nya”. [HR. Abdur Rozzaq dalam Al-Mushonnaf (2/281/no.3373), Al-Baihaqiy dalam Al-Kubro (2/296/no. 3434), dan Al-Marwaziy dalam Masa'il Ahmad wa Ishaq (1/127/1) sebagaimana dalam Ash-Shohihah (1188)]
Faedah : Kata ( الرَّكْعَةَ ) bisa bermakna raka’at, dan bisa juga bermakna ruku’. Namun dalam riwayat hadits Abdullah bin Mughoffal ini, yang dimaksud adalah ruku’. Hal itu dikuatkan oleh riwayat lain dari jalur Abdul Aziz bin Rofi’ di sisi Al-Baihaqiy dari Abdullah bin Mughoffal -radhiyallahu ‘anhu-

Dalil kedua
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
إِذَا جِئْتُمْ وَاْلإِمَامُ رَاكِعٌ فَارْكَعُوْا, وَإِنْ كَانَ سَاجِدًا فَاسْجُدُوْا, وَلاَ تَعْتَدُّوْا بِالسُّجُوْدِ إِذَا لَمْ يَكُنْ مَعَهُ الرُّكُوْعُ
“Jika kalian datang, sedang imam ruku’, maka ruku’lah. Jika ia sujud, maka bersujudlah, dan jangan perhitungkan sujudnya, jika tak ada ruku’ yang bersamanya”. [HR. Al-Baihaqiy dalam As-Sunan Al-Kubro (2/89/no.2409)]


Naaaahhhh… Saya pikir dari Hadist di atas udah terang menjelaskan bagaimana seharusnya makmum masbuk tersebut. Makmum masbuk harus mengikuti imam sebagaimana ia mendapati imam, apah imam sedang berdiri, rukuk ataupun sujud. Jadi salah jika makmum masbuk tersebut menunggu sampai imam berdiri untuk rakaat berikutnya, dan lebih parahnya  mengikuti imam kalau sudah kepepet, maksudnya jika imam sudah tahyat akhir baru ngikut biat terhitung shalat berjamaah juga.. :D
Mungkin yang saya posting di sini bukanlah hal yang baru lagi bagi sebagian orang. Namun tidak sedikit juga, apakah itu teman, sahabat, saudara atau keluarga sendiri yang tidak tahu Ilmunya.
Ya, tentu alangkah baiknya – meskipun agak terlambat – untuk menggali ilmu untuk setiap ibadah yang kita lakukan. Karena bisa jadi dari kebiasaan yang kita temui atau diajarkan dulunya, ternyata bukan tata cara beribadah yang benar sesuai petunjuk rasul dan para ulama.
Oke, cuku demikian dahulu postingan kali ini.

Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar