Telah menjadi tabiat para penjajah untuk menghilangkan jejak sejarah
bangsa yang dijajahnya, misalnya Belanda mnjajah atas Indonesia.
Pelestarian sejarah wali songo
Karya tulis bukan satu-satunya alat ukur fakta atau mitosnya pelaku sejarah. Sebab Sayidina Abu Bakar, Sayidina Umar dan sahabat lain juga tidak meninggalkan karya tulis. Yang meninggalkan karya tulis malah ulama beberapa abad setelahnya seperti Ibnu Majah, Abu Dawud, Tirmidzi dll. Apakah karena tidak ada Sunan Abu Bakar, Sunan Umar dan yang ada Sunan (kumpulan hadis) Ibn Majah, Sunan Abu Dawud, Sunan Tirmidzi, apakah berarti Abu Bakar mitos, Umar mitos dan Ibn Majah faktual?Rabu, 27/05. Siang tadi di Kanzus Shalawat diadakan Seminar “Penelitian Ke-2 Sejarah Sunan Muria”. Acara yang terselenggara atas kerjasama Yayasan Masjid dan Makam Sunan Muria dan LP2M (Lembaga penelitian dan pengabdian kepada Masyarakat) UIN Walisongo Semarang.
Acara ini dihadiri oleh peneliti, pemerhati sejarah, dan Profesor sejarah di lingkungan PTAIN/ UIN, UGM dan pengurus yayasan walisongo dari Kudus (Sunan Kudus), Demak, Gersik, Cirebon, Muria, Bonang, dll. Hadir diantaranya Prof. Dr H Solihan MA, Prof. Dr. Musa Asy’ari, Ahwan Fanani (peneliti-presentator) dan Maulana Habib Muhammad Luthfi bin Yahya selaku Pembina Persatuan Pengurus Walisongo.
Dalam pemaparannya, Habib Luthfi menekankan pentingnya kegiatan seminar serupa, upaya pelestarian dan konservasi situs dan data sejarah Walisongo penting sekali, untuk generasi mendatang, agar kita bisa menunjukan tokoh-tokoh pendahulu melalui situs yang ada, seperti umat Budha bisa menunjukan dimana lahir dan tempat bertapa Sidarta Gautama, demikian juga agama lain. Tapi umat Islam semakin lama semakin kehilangan situs dan bukti sejarah.
Habib Luthfi menghimbau agar ada pemetaan seluruh situs disetiap kota kedalam wilayah Walisongo, misalnya Demak, bukan saja menjaga situs makam Raden Patah dan Masjid Demak tetapi juga menjaga, melestarikan dan menginventarisir data makam-makam lain selain Walisongo, tokoh ulama yang sejaman dengan Walisongo maupun setelahnya.
Pada kesempatan itu juga Habib Luthfi menjelaskan pentingnya menggunakan berbagai pendekatan dalam meneliti sebuah situs, baik antropologi, sosiologi, filologis, dendrokronologi, paleoekologi, arkeologi, dan penanggalan karbon. Habib Luthfi mengatakan, “usia batu, pohon, nisan, tidak bisa digunakan secara tunggal untuk menentukan sejarah situs makam bersejarah, nisan juga tidak menunjukan kebudayaan asli yang wafat karena yang memasang nisan pasti orang yang hidup bukan yang mati. Sedangkan orang hidup suka-suka mereka membuat nisan; ukiran maupun tulisannya sesuai kecenderungannya. Sekarang, di Jakarta kita menemukan rumah bergaya Spanyol, dan sama sekali kita tidak bisa mengatakan bahwa pemilik rumah atau yang membangun rumah adalah orang Spanyol”. Demikian beliau menjelaskan panjang lebar.
Dalam uraiannya Habib Luthfi juga menunjukan banyak terjadi kesalahan dalam penentuan tahun, terutama dalam menyikapi tahun terpaut antara tahun hijriah dan masehi yang mempunyai selisih 3 tahun setiap abad. Menurut Habib Luthfi tahun terpaut yang harus dihitung adalah tahun terjadinya sejarah bukan pada abad-abad setelahnya, jika tidak maka akan banyak peristiwa sejarah yang berubah tahunnya. Kalau setiap abad dihitung tahun terpautnya, boleh jadi 200 tahun mendatang kemedekaan Indonesia bukan pada tahun 1945 tapi 1951 demikian Habib Luthfi menjelaskan.
Habib Luthfi juga menyoroti pentingnya melakukan komparasi sejarah untuk mengukur satu peristiwa di satu kelompok sejarah dengan mata rantai peristiwa dan tokoh-tokohnya di peristiwa sejarah yang lain, menurut beliau metode ini dapat mengukur akurasi tahun lahir, wafat dan masa kehidupan pelaku sejarah. Misalkan Walisongo di Indonesia di sejajarkan dengan kehidupan tokoh sejarah semasa yang ada di Yaman, selain keduanya satu rumpun juga bisa melihat secara akurat tahun lahir dan wafat serta kemungkinan lainnya.
“Hasil penelitian itu harus jujur, kalau Arab katakana Arab, kalau Jawa katakana orang Jawa, jangan kepentingan pribadi mempengaruhi hasil penelitian”, Habib Luthfi menambahkan.
Menanggapi Wahabi yang tidak mempercayai Walisongo karena tidak ada karya tulis mereka, Habib Lutfhi menjelaskan, bahwa karya tulis bukan satu-satunya alat ukur ada tidaknya pelaku sejarah. Sebab Abu Bakar, Sayidina Umar dan sahabat lain juga tidak meninggalkan karya tulis. Yang meninggalkan karya tulis malah ulama setelahnya seperti Ibnu Majah, Abu Dawud, Tirmidzi dll. Apakah karena tidak ada Sunan Abu Bakar, Sunan Umar dan yang ada Sunan (kumpulan hadis) Ibn Majah, Sunan Abu Dawud, Sunan Tirmidzi, apakah berarti Abu Bakar mitos, Umar mitos dan Ibn Majah faktual?
Habib Luthfi juga mengingatkan, jangan sampai terjebak jika ada yang mengatakan Walisongo adalah Syi’ah karena beliau semua adalah para Sayid, tujuannya untuk membenturkan Suni dan Syiah dan kemudian membenturkan Sayid dan NU; Suni dan Suni.
Habib Luthfi juga menyebutkan berbagai literatur yang mungkin digunakan dalam komparasi sejarah. Pada saat ditanya kapan Sunan Muria lahir wafat dan siapa orang tuanya. Habib Luthfi belum bisa memastikan, beliau menyebutkan tahun lahir dan wafat sunan Muria berdasarkan catatan KH. Abdullah bin Nuh Bogor (ulama besar Jawa Barat) yang mempunyai catatan mengenai itu. Akan tetapi beliau menegaskan, “tapi harus ditelaah terlebih dahulu, dan saya minta waktu beberapa bulan kedepan untuk menelusuri lebih seksama data yang ada”.
Pada penutup, Habib Luthfi menyampaikan, sengaja saya lontarkan ini agar penelitian berikutnya lebih mendekati kebenaran.
Modus pemilihan hadits terkait pemindahan makam nabi Muhammad SAW
Modus itu melakukan sesuatu dengan menyembunyikan maksud yang sebenarnya.
Ada dua hadits yang sama sama menjelaskan tentang keberadaan “Roudloh” dengan redaksi yang berbeda, namun tetap menunjukkan jarak dan tempat yang sama, tetapi karena modus, mereka lebih mengunggulkan yang lain.
Dua hadits itu adalah:
١. ما بين بيتي ومنبري روضة من رياض الجنة
“Antara rumahku dan mimbarku terdapat pertamanan dari taman Surga”٢. ما بين قبري ومنبري روضة من رياض الجنة
“Antara Kuburanku dan mimbarku terdapat pertamanan dari taman Surga”Modus jika ada yang lebih mengunggulkan hadits yang pertama dalam hal untuk dijadikan hujjah dengan alasan kesahihannya. Hadits ini muttafaq ‘alaih.
Tetapi hadits yang kedua itu dikeluarkan oleh banyak Imam Hadits, yaitu Imam Al Bazzar, Imam Ahmad, Imam Thobroni, Imam Malik, Imam Abu Nu’aim, dan Imam Ibnu Abi ‘Ashim.
Dan para Ahli juga tidak menemukan cacatnya hadits yang kedua.
Nah, walaupun pemindahan Kuburan Nabi itu sekedar wacana yang tidak resmi dari pemerintah Saudi, agaknya para pewacana itu berhenti untuk melakukan profokasinya kepada pemerintah, disamping alasan diatas, wacana tersebut terlalu tidak menghormati apa yang telah dihormati oleh mayoritas Ummat Islam.
Keduanya, akan sangat merugikan pemerintah dalam politisnya, sebab apapun langkah yang akan ditempuh oleh pemerintah, secara simbolis, pemerintah itu harus menghormati nilai nilai kebudayaan yang ditinggalkan oleh penguasa masa lalu, sebut saja Turki.
Konstruksi yang ditinggalkan oleh Dinasti Utsmani dengan berbagai ornamennya di masjid Nabawi, bagaimanapun adalah bukti peradaban masa itu.
Jangan sampai Ummat Islam akan semakin kehilangan bukti sejarahnya, agar Kaum Muslimin bisa belajar dari sana, bahwa Ummat Islam adalah Ummat yang dimasa lalu telah memiliki kebesarannya akhirnya tidak menciutkan nyalinya dalam menghadapi tantangan zaman.
Memang telah menjadi tabiat para penjajah untuk menghilangkan jejak sejarah bangsa yang dijajahnya, misalnya Belanda atas Indonesia.
Betapa Bangsa Indonesia banyak kehilangan jejak sejarahnya dan kemudian kehilangan jati dirinya setelah sejarah bangsanya dirombak sedemikian rupa dan bukti bukti tertulis itu telah diboyong oleh belanda ke negaranya.
Saya pernah mendapatkan cerita dari teman yang mengatakan bahwa bukti jika sunan Bonang punya banyak karya tulis itu bisa dibuktikan di museum Negri Belanda.
Sementara Bangsa Indonesia tidak pernah tahu itu semua, dan fenomena ini telah digunakan kesempatan oleh pihak pihak yang ingin membuktikan bahwa Sunan Bonang itu bukan seorang Alim yang pantas untuk menyebarkan Islam dengan bukti tidak adanya bukti karya tulisnya. Maka dari itu mereka mengatakan bahwa Islam yang disampaikan oleh Sunan Bonang atau Wali Songo pada umumnya masih harus disempurnakan menurut versinya.
Kiranya saya akan sangat berterima kasih jika ada aktifis dakwah yang bersedia mengalih bahasakan tulisan saya diatas ke berbagai bahasa, agar apa yang kita khawatirkan tidak benar benar terjadi.
Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar