Jumat, 31 Juli 2015

Sejarah Kentongan di Musolla

Buku Menolak Wahabi, Membongkar Penyimpangan Sekte Wahabi; dari Ibnu Taimiyah hingga Abdul Qadir At-Tilmisani Karya KH. Muhammad Faqih Maskumambang Gresik
BUKU MENOLAK WAHABI KARYA WAKIL RAIS AKBAR DAN PENDIRI NAHDLATUL ULAMA KH MUHAMMAD FAQIH MASKUMAMBANG GRESIK TERBITAN SAHIFA SURABAYA, 2015.

(KITAB ASLI: AN-NUSHUSH AL-ISLAMIYYAH FI RADD AL-WAHHABIYYAH/ NASH-NASH ISLAM DALAM MENOLAK MADZHAB WAHABI TERBITAN DARUL AHYA-IL KUTUBIL ARABIYYAH MESIR, 1922)

Buku karya Wakil Rais Akbar dan Pendiri Nahdlatul Ulama, KH Muhammad Faqih Maskumambang ini ditulis tahun 1922 atau empat tahun sebelum kelahiran Nahdlatul Ulama (NU). Kitab berjudul “An-Nushush al-Isamiyyah fi Radd al-Wahhabiyyah” ini adalah karangan berbahasa Arab pertama yang membantah paham Islam anti-madzhab seperti Wahabi yang ditulis ulama asal Indonesia. Ini membuktikan persoalan Wahabi sudah menjadi sedemikian momok di awal abad ke-20.

KH Muhammad Faqih Maskumambang sendiri adalah putra keempat KH Abdul Djabbar yang masih merupakan keturunan dari Joko Tingkir alias Sultan Hadiwijaya. Ia memimpin Pesantren Maskumambang mulai tahun 1325H. sampai 1353 H. Ia seorang ulama besar yang terkenal di pulau Jawa, bahkan sampai keluar Jawa. Ia ahli dalam bidang Ilmu Tafsir, Tauhid, Fiqih, Nahwu dan Balaghah, Mantiq, Ushul Fiqih dan lain-lain. Ia sangat aktif dalam mengajar.


MENGENAL KH MUHAMMAD FAQIH MASKUMAMBANG GRESIK
Hikayat Wakil Rais Akbar dan Kentongan

Hampir di semua masjid, mushalla, maupun langgar di lingkungan warga NU memiliki sebuah bedug sebagai pertanda waktu shalat. Kadang juga didampingi oleh kentongan. Dari kentongan inilah tersimpan cerita hebat seorang kiai asal Gresik, Kiai Faqih Maskumambang.

Lahir sekitar tahun 1857 di Desa Sembungan Kidul, Kecamatan Dukun, Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Lokasinya berjarak lebih kurang 40 km arah barat laut Kota Surabaya. Ia adalah putra dari Kiai Abdul Jabbar dan Ibu Nyai Nursimah. Kiai Abdul Jabbar sendiri merupakan keturunan Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir yang nasabnya bersambung hingga ke Sunan Giri. Sedangkan Ibu Nyai Nursimah merupakan putri Kiai Idris, Kebondalem Burno, Bojonegoro. Maka tidak mengherankan jika Kiai Faqih Maskumambang nantinya akan menjadi seorang ulama yang mashyur dan disegani.

Masa kecil KH Muhammad Faqih atau Kiai Faqih Maskumambang dihabiskan dengan didikan dari orang tuanya yang merupakan seorang ulama yang disegani di daerahnya. Ayahnya adalah seorang pendiri sekaligus pengasuh Ponpes Maskumambang Gresik.

Usai belajar ilmu agama dari sang ayah, ia melanjutkan tafaqquh fiddin-nya menuju ke Ponpes Demangan, Bangkalan, yang diasuh oleh seorang ulama masyhur ilmu lahir-batinnya, Syaikhona Muhammad Kholil. Saat itu, pesantren ini memang dikenal jadug dalam mendidik para santri. Mereka kemudian menjadi tokoh atau pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama. Antara lain Hadratussyaikh KH Muhammad Hasyim Asy’ari, KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Muhammad Bisri Syamsuri, KH Ridwan Abdullah serta masih banyak lagi. Tidak ada catatan yang menyebutkan tentang berapa lama Kiai Faqih Maskumambang belajar di pesantren Syaikona Kholil.

Setelah itu Kiai Faqih Maskumambang melanjutkan studinya ke tanah suci Makkah al-Mukarramah, sebagaimana tradisi ulama terdahulu untuk lebih memantapkan keilmuannya. Ia belajar kepada ulama-ulama Haramain, terlebih kepada Syaikh Mahfudz at-Turmusi, salah satu pengajar di Masjidil Haram. Selama belajar di tanah suci ini, ia bertemu dengan banyak teman yang berasal dari Indonesia, seperti Hadratussyaikh KH Muhammad Hasyim Asy’ari dan Kiai Munawir Krapyak. Mereka berkawan karib hingga bersama-sama berjuang mendirikan Nahdlatul Ulama. Sedangkan Kiai Munawir menjadi ulama yang ahli dalam bidang Al-Quran dan Qiraah Sab’ah. Hampir semua sanad Al-Quran dan Qiraah Sab’ah yang ada di Indonesia ini, terlebih Jawa, melalui jalur Kiai Munawir Krapyak ini.

Menjadi Pengasuh Pesantren

Pesantren Maskumambang terletak di Desa Sembungan Kidul, Kecamatan Dukun, Kabupaten Gresik. Awalnya hanya mendidik masyarakat sekitar Maskumambang, dan itu pun terbatas pada pelajaran Al-Quran dan tafsir, serta fiqih. Namun, pada masa kepemimpinan Kiai Faqih Maskumambang, pondok ini mengalami banyak kemajuan serta perubahan besar. Santri yang datang mengaji tidak hanya berasal dari sekitar Maskumambang, tetapi banyak juga yang berasal dari daerah lain. Bahkan pelajaran yang diberikan tidak hanya Al-Quran, tafsir dan fiqih saja, namun mulai merambah ke cabang-cabang ilmu lainnya.

Kedatangan Kiai Faqih setelah beberapa tahun belajar di Makkah memberikan angin segar terhadap pesantren Maskumambang. Pada 1325 H/1907 M, Kiai Abdul Jabbar, sang ayah, pulang ke Rahmatullah hingga kemudian kepemimpinan pesantren Maskumambang dipegang oleh Kiai Faqih. Di antara santrinya beliau adalah KH Abdul Hadi, KH Zubair Dahlan, dan KH Imam Khalil bin Syuaib. KH Abdul Hadi kemudian menjadi Pengasuh Pesantren Langitan, KH Zubair Dahlan berhasil mendidik KH Maimoen Zubair Sarang, sedangkan KH Imam Khalil bin Syuaib menjadi Pengasuh Pesantren Sarang.

Urusan Kentongan

Kiai Faqih ternyata memiliki hubungan yang sangat akrab dengan Hadratussyaikh karena senasib dan seperjuangan dalam mencari ilmu serta dengan guru yang sama. Hubungan mereka pun semakin akrab tatkala NU didirikan pada 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 di Kota Surabaya. Yakni, keduanya didaulat oleh para kiai untuk menduduki jabatan Rais Akbar oleh Hadratussyaikh dan Kiai Faqih mendapat bagian sebagai Wakil Rais Akbar. Keakraban mereka dalam menjalankan roda organisasi bukannya tanpa cela. Mereka pernah tidak sepaham dalam menanggapi satu masalah yang berhubungan dengan hukum pemakaian kentongan.

Hadratussyaikh tidak memperbolehkan pemakaian kentongan sebagai alat pertanda waktu shalat sebelum atau sesudah adzan dikumandangkan. Namun, Kiai Faqih berpendapat lain, yakni menggunakan kentongan sah-sah saja. Mbah Hasyim memiliki alasan tersendiri atas pelarangan tersebut, yakni karena tidak adanya dalil yang memperbolehkan. Kiai Faqih pun tidak kalah argumen. Ia memperbolehkan penggunaan kentongan disebabkan oleh kebolehan menggunakan bedug, jadi diqiyaskan atau disamakan hukumnya. Bila bedug boleh digunakan untuk memanggil shalat hal ini berlaku pula bagi kentongan.

Mbah Hasyim menghormati pendapat Kiai Faqih dengan cara mengundang ulama se-Jombang serta para santri seniornya. Di hadapan mereka ini, Mbah Hasyim menyatakan boleh menggunakan kedua pendapat tersebut dengan bebas. Namun ada satu syarat yang diminta oleh Mbah Hasyim, yakni kentongan tidak digunakan di Masjid Tebuireng sampai kapan pun.

Pada suatu waktu Kiai Faqih mengadakan satu acara dengan mengundang Mbah Hasyim untuk berceramah di Pesantren Maskumambang. Kiai Faqih pun meminta takmir masjid atau mushalla di sekitarnya untuk menurunkan semua kentongan selama Mbah Hasyim berada di Gresik. Sungguh suatu sikap yang patut diteladani dari kedua tokoh besar NU bagi warga Nahdliyin jika terjadi suatu perselisihan.

Kiai Faqih Maskumambang mengabdikan hidupnya dijalan Allah dengan cara berdakwah hingga mencapai usia 80 tahun. Pada tahun 1353 H/1937, Kiai Faqih kembali ke Rahmatullah. Selain berdakwah keliling, serta mengabdikan dirinya di NU, Kiai Faqih juga sempat mengarang sejumlah kitab. Di antaranya “An-Nushushul Islamiyah fi Raddi ‘ala Madzhabil Wahhabiyah” (Nash-nash agama Islam dalam menolak madzhab Wahabi). Kitab yang diterbitkan oleh Darul Ahya-il Kutubil Arabiyah, Mesir, 1341 H/1922 ini berisi tentang penjelasan tentang penolakan terhadap ajaran Islam yang disampaikan oleh Wahabi. Kitab lainnya adalah “Al-Mandzumah ad-Daaliyah fi Awa’il al-Asyhur al-Qamariyyah.” Kitab yang selesai ditulis pada 1930 ini berisi 48 nazham (syair) yang menjelaskan tentang dasar-dasar ilmu falak dan tata cara penetapan awal bulan dengan mempertimbangkan iLaunching dan Bedah Buku Menolak Wahabimkanu rukyat.

KATA PENGANTAR BUKU MENOLAK WAHABI OLEH KH MAIMOEN ZUBAIR SARANG

“Kiai Faqih bin Abdul Jabar Maskumambang memiliki karisma—sekaligus popularitas—yang sedemikan tinggi di kalangan Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU). Ini tidak saja karena beliau salah seorang ulama yang memiliki peran penting di tubuh NU sejak kali pertama ia dibentuk, tetapi juga karena beliau sahabat karib Kiai Hasyim Asy’ari. Kalau kita teleusuri riwayat kehidupan mereka, kita akan dapati bahwa keduanya merupakan sahabat seperjuangan semenjak “nyantri” baik ketika di tanah suci Makkah, maupun di pondok pesantren Syeikhana Khalil Bangkalan. Bahkan dalam perkembangan selanjutnya, mereka berdua sama-sama menjadi pengurus inti NU: Kiai Hasyim menjadi Rais ‘Am dan Kiai Faqih menjadi Naib ‘Am”.

Buku Menolak Wahabi, Membongkar Penyimpangan Sekte Wahabi; dari Ibnu Taimiyah hingga Abdul Qadir At-Tilmisani

Launching dan Bedah Buku Menolak Wahabi Karya Wakil Rais Akbar Nahdlatul Ulama, pada Ahad 2 Agustus 2015, pukul 09.00-12.00 WIB dan 13.00-17.00 WIB, bertempat di Pondok Pesantren Al Aziziyyah Denanyar Jombang, dengan narasumber:

1. KH Aziz Masyhuri (Penterjemah Kitab An-Nushushul Islamiyah fi Raddi ‘ala Madzhabil Wahhabiyah/ Pengasuh Ponpes Al Aziziyyah Jombang),
2. Martin Van Bruinessen (Belanda) dan
3. KH Ahmad Baso (Penulis Buku Islam Nusantara).

Kajian Ceramah Islam Ahlussunnah wal Jamaah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar