Arab adalah orang-orang yang bahasa ibunya menggunakan bahasa Arab. Meskipun mereka tinggal di Eropa atau Afrika dan menggunakan bahasa Inggris, Francis atau lainnya, tetapi mereka sering mengidentifikasi diri mereka sebagai orang Arab.
Dan disebabkan luasnya ajaran Islam yang dipraktekkan didunia Arab atau oleh populasi Arab, sering kali Anti-Arabisme diidentikkan dengan Anti-Islam atau Islamophobia. Meskipun non-muslim sebenarnya cukup banyak didunia Arab, seperti Kristen di Mesir, Lebanon, Palestina, Suriah, Yordania, Irak, Kuwait dan sebagainya.
Sikap anti-Arab dipicu oleh banyaknya peristiwa dalam sejarah saling menaklukkan. Dalam The Arabic Language and National Identity: a Study in Ideology, disebutkan ada beberapa gerakan anti-Arab, seperti gerakan Turkification di Kekaisaran Ottoman, ekstrim-nasionalis dan Pan-Iranist di Iran dan komunisme. Tujuan anti-Arabisme untuk menyerang nasionalisme Arab, memutarbalikkan sejarah, menekankan regresi Arab, menyangkal budaya Arab, dan umumnya menjadi bermusuhan dengan segala sesuatu yang berbau Arab.
Anti-Arab, Anti-Islam dan Islam Nusantara?
Anti-Arab merupakan bentuk diskriminasi permusuhan terhadap etnis Arab. Sikap yang demikian tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam. Namun, tidak bisa dikatakan bahwa Anti-Arab berarti Anti-Islam. Islam merupakan agama, sedangkan Arab adalah etnis atau bangsa yang mendiami kawasan tertentu walaupun keduanya tidak bisa dipisahkan, sebab Islam datang dari dunia Arab.
Kaitannya dengan Islam Nusantara yang sering disalah pahami atau sengaja disalah pahami atau tidak mau memahami, bahwa Islam Nusantara merupakan gerakan anti Arab, dan ujung-ujungnya dituduh anti-Islam. Bahkan, Islam Nusantara dianggap sebagai aliran baru atau mazhab baru. Ada pula yang menuduh sebagai bentuk sinkretis antara Islam dan agama Jawa.
Berkaitan isu tersebut, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj menegaskan apa yang dikatakan orang-orang tersebut sama sekali tidak benar. “Ini bukan aliran baru, kita tetap Islam aswaja yang berpegang teguh pada mazhab Asy’ari dan Syafii,” katanya di gedung PBNU, Jum’at (3/7) sebagaimana dilansir situs resmi Nahdlatul Ulama, NU Online.
Ia menjelaskan, Islam Nusantara merupakan Islam yang menghargai budaya lokal. Secara umum, masyarakat Nusantara sudah memiliki budaya yang beragam, tradisi yang beragam sebelum kedatangan Islam. “Islam datang tidak menghapus budaya, tidak memusuhi khazanah peradaban. Tidak menyingkirkan tradisi yang ada, asalkan jelas tidak bertentangan dengan Islam. Kalau ritual hubungan seks bebas atau minum arak, itu kita tidak menerima.”
“Selama tradisi tidak bertentangan dengan prinsip kita, maka Islam melebur dengan tradisi tersebut karena dakwah di Nusantara itu pendekatannya pendekatan budaya, bukan pendekatan senjata seperti di Timur Tengah,” tandasnya.
Dengan strategi dakwah kebudayaan seperti itu, pelan-pelan budaya yang ada di Nusantara sekarang sudah bernapaskan Islam. “Islam menjadi kuat karena menyatu dengan budaya, budaya menjadi Islami karena disitu ada nilai Islam.”
Ia mencontohkan transformasi tradisi non Islam yang kemudian diislamkan seperti pemberian sesajen kepada para dewa yang kemudian menjadi slametan. Slametan tujuh bulan kehamilan tadinya budaya Jawa, kemudian diislamkan dengan nilai Islam, salah satunya dengan membacakan surat Lukman pada peringatan tujuh bulan tersebut, supaya anaknya baik, taat pada orang tua sebagaimana Lukmanul Hakim dalam kisah Al-Qur’an.
“Jadi budaya yang sudah ada kita masuki dengan nilai Islam. Ini berangkat dari sinergi antara teologi dan budaya, maka NU memberi nama Islam Nusantara,” tegasnya
Dari penjelasan KH. Said Aqil Siraj tersebut, justru Islam Nusantara merupakan upaya untuk senantiasa membumikan Islam di Nusantara, tidak ada kaitannya dengan Anti-Arab, apalagi Anti-Islam. Tidak anti keduanya.
Kedatangan Islam ke Nusantara pun berhasil memasukkan ribuan kata sebagai bahasa Nusantara. Sebagaimana pernah dikatakan pula oleh KH. Said Aqil Siraj, dalam kesempatan ceramahnya. " Para habaib, para sadah dulu datang kesini membawa ilmu, membawa akhlak, sambil berdagang, sambil bergaul memberi contoh yang baik, sampai-sampai memasukkan ribuan kata bahasa arab menjadi bahasa Indonesia. Itu jasanya para habaib dulu.", tutur Kiai Said.
"Misal, majelis, dewan, wakil, musyawarah, rakyat, bahasa arab semua itu. Sabtu ahad senin selasa rabu kamis jum'at, bahasa Arab semua itu. Lezat hebat dahsyat melarat juga (asalnya) bahasa arab. Selama ribuan kata asli bahasa arab itu kita pakai, selama ini pula Islam masih ada. Dulu cara berjuangnya seperti itu.", lanjutnya.
KH. MAIMOEN ZUBAIR, KYAI NUSANTARA
Romo KH. Maimoen Zubair dalam pembekalan Kaum Muda NU di acara Muktamar NU ke-33 di Jombang berpesan, diantaranya:
ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﺎﻗﻞ ﺍﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻋﺎﺭﻓﺎ ﺑﺰﻣﺎﻧﻪ
"Orang cerdas itu orang yang mengetahui perkembangan zamannya."Islam di Indonesia harus beda dengan Islam di negara manapun. Meski sumbernya sama tapi racikannya harus beda, sebab beda zaman dan budaya. Dari sinilah beliau setuju dengan Islam Nusantara. (Gus Fajar Bashir).
Ada suatu kisah, ketika putra Kyai Maimoen, Gus Ghofur, menikah diadakan terbangan. Lalu ketika Gus Najih, juga putra Kyai Maimoen, datang beliau menyuruhnya untuk dihentikan.
Lalu datanglah Kyai Maimoen seraya berkata: "Kok meneng-menengan?"
"Tidak boleh sama Gus Najih, Kyai." Jawab mereka.
Kemudian Kyai Maimoen dawuh: "Teruskan, Najih itu kyainya orang Arab."
Rebana lalu ditabuh lagi, dan Gus Najih pun keluar. (Gus Shampton Masduqi).
ULAMA NUSANTARA BUKAN ISLAM NUSANTARA
Syaikhyna Maimoen Zubair:
"Ora Islame Sing Nusantara, Tapi Ulama'e Sing Nusantara", "(Bukan Islamnya yang nusantara, tapi Ulama'nya yang nusantara)"
Ulama yg ilmunya tersebar luas ke seluruh penjuru nusantara bahkan ke luar negeri. Misal:
√ Syaikh Nawawi al Banteny,
√ Syaikh Mahfudh al Termasy,
√ Syaikh Bakir al Jogjawy,
√ Syaikh Yasin al Padangy,
√ Syaikh Khothib al Minangkabawy,
√ Syaikh Ihsan al Jampesy, dan yg lain.
Semoga bermanfaat
Islam orang di Nusantara
Meneguhkan Islam Nusantara Untuk Peradaban Indonesia dan Dunia
Berita Terkait
Ayo Mondok: Beberapa Alasan Pentingnya Belajar di Pesantren
Teks dan Karakter Islam Nusantara
Usaha Memperluas Pemahaman Terhadap Sebuah Tradisi
Menghidupkan Kembali Ajaran Autentik Islam Nusantara
Lapis Baru Pemikiran NU
Oleh KH Afifuddin Muhajir
Istilah Islam Nusantara agaknya ganjil didengar. Sama dengan Islam Malaysia, Islam Saudi, Islam Amerika, dan seterusnya, karena bukankah Islam itu satu, dibangun di atas landasan yang satu, yaitu Al-Quran dan Sunah. Memang betul Islam itu hanya satu dan memiliki landasan yang satu. Akan tetapi selain memiliki landasan nash-nash syariat (Al-Quran dan Sunah).
Islam juga memiliki acuan maqasidus syariah (tujuan syariat). Maqasidus syariah sendiri digali dari nash-nash syariah melalui sekian istiqro (penelitian).
Ulama kita zaman dahulu sudah terlalu banyak yang dilakukan. Di antaranya adalah melakukan penelitian dengan menjadikan nash-nash syariat, hukum-hukum yang digali daripadanya, ʻillat-ʻillat dan hikmah-hikmahnya sebagai obyek penelitian. Dari penelitian itu diperoleh simpulan bahwa di balik aturan-aturan syariat ada tujuan yang hendak dicapai, yaitu terwujudnya kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.
Kemaslahatan (maṣlaḥah) semakna dengan kebaikan dan kemanfaatan. Namun, yang dimaksud dengan maslahat dalam konteks ini adalah kebaikan dan kemanfaatan yang bernaung di bawah lima prinsip pokok (al-kulliyatul khams), yaitu hifzhud din, hifẓhul ʻaql, hifẓhun nafs, hifzhul mal, dan hifzh al-ʻirḍ.
Ulama Ushul Fiqih membagi maslahat pada tiga bagian. Pertama, maslahat muʻtabarah, yaitu maslahat yang mendapat apresiasi dari syariat melalui salah satu nashnya seperti kearifan dan kebijakan dalam menjalankan dakwah islamiyah. Kedua, maslahat mulgoh, yaitu maslahat yang diabaikan oleh syariat melalui salah satu nashnya seperti menyamaratakan pembagian harta pusaka antara anak laki-laki dan anak perempuan. Ketiga, maslahat mursalah, yaitu kemaslahatan yang terlepas dari dalil, yakni tidak memiliki acuan nash khusus, baik yang mengapreasiasi maupun yang mengabaikannya seperti pencatatan akad nikah.
Tujuan negara dalam Islam sejatinya sejalan dengan tujuan syariat, yaitu terwujudnya keadilan dan kemakmuran yang berketuhanan yang Maha Esa, negara yang memiliki dimensi kemaslahatan duniawi dan ukhrowi seperti tersebut sesungguhnya sudah memenuhi syarat untuk disebut negara khilafah, sekurang-kurangnya menurut konsep al-Mawardi. Dalam hal ini menurutnya,
“الامامة موضوعة لخلافة النبوة فى حراسة الدين وسياسة الدنيا”
kepemimpinan negara diletakkan sebagai kelanjutan tugas kenabian dalam menjadi agama dan mengatur dunia.Maqasidus syariʻah sekurang-kurangnya penting diperhatikan dalam dua hal:
1. Dalam memahami nususus syariah, nash-nash syariat yang dipahami dengan memperhatikan maqasidus syariʻah akan melahirkan hukum yang tidak selalu tekstual tetapi juga kontekstual.
2. Dalam memecahkan persoalan yang tidak memiliki acuan nash secara langsung. Lahirnya dalil-dalil sekunder (selain Al-Quran dan Sunah) merupakan konsekuensi logis dari posisi maslahat sebagai tujuan syariat. Di antara dalil-dalil sekunder adalah al-Qiyas, Istihsan, Saddudz dzariʻah, ʻUrf, dan maslaḥah mursalah seperti disinggung di atas.
Al-Qiyas ialah memberlakukan hukum kasus yang memiliki acuan nash untuk kasus lain yang tidak memiliki acuan nash karena keduanya memiliki ʻillat (alasan hukum) yang sama.
Istiḥsan ialah kebijakan yang menyimpang dari dalil yang lebih jelas atau dari ketentuan hukum umum karena ada kemaslahatan yang hendak dicapai.
Saddudz dzariʻah ialah upaya menutup jalan yang diyakini atau diduga kuat mengantarkan pada mafsadat.
ʻUrf adalah tradisi atau adat istiadat yang dialami dan dijalani oleh manusia baik personal maupun komunal. ʻUrf seseorang atau suatu masyarakat harus diperhatikan dan dipertimbangkan di dalam menetapkan hukum sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat. Mengabaikan ʻurf yang sahih seperti tersebut bertentangan dengan cita-cita kemaslahatan sebagai tujuan (maqasidus) syariʻah.
Sebagian ulama mendasarkan posisi ʻurf sebagai hujjah syarʻiyyah pada firman Allah,
خذ العفو وأمر بالعرف وأعرض عن الجاهلين
“Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.” (al-Aʻraf: 199)
Dan sebagian yang lain mendasarkan pada hadis riwayat Ibn Masʻud,
ما رآه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
“Apa yang oleh kaum muslimin dipandang baik, maka baik pula menurut Allah.”
As-Sarakhsi mengungkapkan dalam kitab al-Mabsuṭ,
الثابت بالعرف كاالثابت بالنص
“Yang ditetapkan oleh ʻurf sama dengan yang ditetapkan oleh nash.”
Pada titik ini perlu ditegaskan bahwa Islam bukanlah budaya karena yang pertama bersifat ilahiyah sementara yang kedua adalah insaniyah. Akan tetapi, berhubung Islam juga dipraktikkan oleh manusia, maka pada satu dimensi ia bersifat insaniyah dan karenanya tidak mengancam eksistensi kebudayaan.
Selain nususus syariʻah dan maqasidus syariʻah, Islam juga memiliki mabadi'us syariʻah (prinsip-prinsip syariat). Salah satu prinsip syariat yang paling utama sekaligus sebagai ciri khas agama Islam yang paling menonjol adalah al-wasaṭhiyyah. Hal ini dinyatakan langsung oleh Allah swt dalam firman-Nya,
وَكَذلِك جَعَلْناكُم أُمَّةً وَسَطا لِتَكُوْنُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكَم شَهِيدًا
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu…” (al-Baqarah: 143)
Wasaṭhiyyah yang sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kata moderasi memiliki beberapa makna. Salah satu maknanya adalah al-waqiʻiyyah (realistis). Realistis di sini tidak berarti taslim atau menyerah pada keadaan yang terjadi, akan tetapi berarti tidak menutup mata dari realitas yang ada dengan tetap berusaha untuk menggapai keadaan ideal.
Banyak kaidah fiqih yang mengacu pada prinsip waqiʻiyyah, di antaranya:
الضرر يزال
اذا ضاق الامر اتسع واذا اتسع ضاق
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
النزول الى الواقع الأدنى عند تعذر المثل الأعلى
دارهم ما دمت فى دارهم، وحيهم ما دمت فى حيهم
Dakwah beberapa Wali Songo mencerminkan beberapa kaidah di atas. Secara
terutama adalah Kalijaga dan Sunan Kudus. Sunan Kalijaga misalnya sangat
toleran pada budaya lokal. Ia berkeyakinan bahwa masyarakat akan
menjauh jika pendirian mereka diserang. Maka mereka harus didekati
secara bertahap, mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga
berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama
hilang. Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis (penyesuaian
antara aliran-aliran) dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir,
wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah
pencipta baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, layang
kalimasada, lakon wayang Petruk jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa
keraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai
karya Sunan Kalijaga.Metode dakwah tersebut tidak hanya kreatif, tapi juga sangat efektif (wa yadkhuluna fi dinillahi afwaja). Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede, Yogyakarta). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu, selatan Demak.
Demikian juga dengan metode Sunan Kudus yang mendekati masyarakatnya melalui simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.
Ada cerita masyhur, suatu waktu ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tablighnya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al-Baqarah yang berarti “Seekor Sapi”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi. Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Suatu pendekatan yang agaknya mencopy-paste kisah 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.
Perlu juga dikemukakan perbedaan prinsip antara fiqih ibadat (ritual) dan muamalat (sosial). Salah satu kaidah fiqih ibadat mengatakan
“الله لا يعبد الا بما شرع”,
Allah tidak boleh disembah kecuali dengan cara yang disyariatkan-Nya. Sebaliknya kaidah fiqih muamalat mengatakan,“المعاملات طلق حتى يعلم المنع”,
muamalat itu bebas sampai ada dalil yang melarang.Paparan di atas dikemukakan untuk menjelaskan manhaj Islam Nusantara sebagaimana dibangun dan diterapkan oleh Wali Songo serta diikuti oleh ulama Ahlis Sunah di negara ini dalam periode berikutnya.
Islam Nusantara ialah paham dan praktik keislaman di bumi Nusantara sebagai hasil dialektika antara teks syariat dengan realita dan budaya setempat.
Satu lagi contoh penting dari bagaimana ulama Nusantara memahami dan menerapkan ajaran Islam adalah lahirnya Pancasila. Pancasila yang digali dari budaya bangsa Indonesia diterima dan disepakati untuk menjadi dasar negara Indonesia meskipun pada awalnya kaum muslimin keberatan dengan itu. Pasalnya yang mereka idealkan adalah Islam secara eksplisit yang menjadi dasar negara. Namun, akhirnya mereka sadar bahwa secara substansial Pancasila adalah sangat Islami. Sila pertama yang menjiwai sila-sila yang lain mencerminkan tauhid dalam akidah keislaman. Sedangkan sila-sila yang lain merupakan bagian dari representasi syariat.
Seandainya kaum muslimin ngotot dengan Islam formalnya dan kelompok lain bersikeras dengan sekulerismenya barang kali sampai saat ini negara Indonesia belum lahir. Itulah pentingnya berpegang pada kaidah
“درء المفاسد مقدم على جلب المصالح”,
menolak mudarat didahulukan daripada menarik maslahat.Pemahaman, pengalaman, dan metode dakwah ulama Nusantara, sejauh ini telah memberikan kesan yang baik, yaitu Islam yang tampil dengan wajah semringah dan tidak pongah, toleran tapi tidak plin-plan, serta permai nan damai.
Saat ini, dunia Islam di Timur Tengah tengah dibakar oleh api kekerasan yang berujung pada pertumpahan darah. Ironisnya, agama Islam acapkali digunakan sebagai justifikasi bagi perusakan-perusakan tersebut. Maka cara berislam penuh damai sebagaimana di Nusantara ini kembali terafirmasi sebagai hasil tafsir yang paling memadai untuk masa kini.
Yang menjadi pekerjaan rumah bersama adalah bagaimana nilai-nilai keislaman yang telah dan sedang kita hayati ini, terus dipertahankan. Bahkan, kita harus berupaya ‘mengekspor’ Islam Nusantara ke seantero dunia, terutama ke bangsa-bangsa yang diamuk kecamuk perang tak berkesudahan, yaitu mereka yang hanya bisa melakukan kerusakan (fasad) tapi tidak kunjung melakukan perbaikan (sholah). Tugas kita adalah mengenalkan Allah yang tidak hanya menjaga perut hamba-Nya dari kelaparan, tapi juga menenteramkan jiwa dari segala kekhawatiran,
فَلْيَعْبُدُوا رَبَّ هَذَا الْبَيْتِ، الَّذِي أَطْعَمَهُمْ مِنْ جُوْعٍ وَآمَنَهُمْ مِنْ خَوْفٍ
“Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan pemilik rumah ini (Ka’bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan” (Quraisy: 3-4). Wallahu A’lam.*) KH Afifuddin Muhajir, Katib Syuriyah PBNU. Ia merupakan guru utama fiqih dan ushul fiqih di Ma’had Aly Pesantren Salafiyah As-Syafi’iyyah, Sukorejo, Situbondo. Tulisan ini dikutip dari situs jejaring Ma’had Aly setempat. Ia baru saja meluncurkan karya Fathul Mujib sebagai syarah kitab Taqrib.
Catatan :
Dicontohkan Kanjeng Sunan Kalijogo, Kanjeng Sunan Kudus :
Kejujuran (Realitas) dalam usaha menyampaikan fahan Islam mensiasati sikon saat itu - sasaran Islam diyakini dan dijalankan dalam alam nyata. Matur suwun para pejuang Islam Nusantara.
Islam Nusantara ialah paham dan praktik keislaman di bumi Nusantara sebagai hasil dialektika antara teks syariat dengan realita dan budaya setempat.
inilah perbedaan pemikiran Ulama dengan Intelektual muslim. Maaf, saya menggunakan kedua istilah ini sebagai pembeda ulama Ahlissunnah wal Jamaah dengan non Aswaja. Ulama Aswaja menterjemahkan teks teks kitab disesuaikan dengan realitas sosial yang ada dan ini berbeda dengan kaum intelekstual muslim yang mengartikan teks kitab apa adanya. Implikasi dari kedua pendekatan pemikiran ini jelas sangat berbeda.
Habib Rizik dan konco-koncone yang Wahabi sebaiknya belajar dari para kiya yang punya pesantren. Wong baru datang kemarin gak tahu apa-apa ya seperti itu. Habib Rizik tidak tahu realitas, dia hanya baca teks. Sebenarnya dia adalah Arab yang tersesat di Nusantara.
Mari kita ikut melestarikan budaya luhur Nusantara..
Sumber :
http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,60241-lang,id-c,kolom-t,Meneguhkan+Islam+Nusantara+Untuk+Peradaban+Indonesia+dan+Dunia-.phpx
Katatanya : Menentang #IslamNusantara TIDAK SAMA dengan menentang NU. Islam Nusantara adalah produk kaum liberal yang ingin menghancurkan Islam.
Ini photo orang wahabi
Memang, ada sebagian pegiat Islam Nusantara yang merupakan anggota NU. Namun mereka hanyalah oknum. Secara umum, saya tak pernah ingin menentang organisasi atau harokah apapun di dalam Islam, selama mereka masih sesuai Al Quran dan Sunnah. Perbedaan mazhab itu biasa. Yang penting adalah tetap bersatu membangun ukhuwah. Kalau Islam Liberal, Islam Nusantara, dan Syiah, tentu mereka itu jelas-jelas sesat. Harus ditentang!"
Demikian ditulis oleh Jonru di facebooknya pada link https://www.facebook.com/jonru.page/posts/10153499272519729 . Umat Islam perlu tahu, mengapa Jonru tidak menyebut Wahhabi ? Sebab dia sendiri sebagai muallaf yang terjerumus kedalam Wahhabi, dan termasuk daripada orang PKS. Hal ini patut menjadi catatan tersendiri bagi kalangan Aswaja (Ahlussunnah wal Jama'ah).
Jonru mengatakan bahwa Islam Nusantara adalah produk kaum liberal. Ini tuduhan yang tidak benar. Apalagi mengatakan bahwa itu hanya oknum yang menyuarakan. Perlu diketahui bahwa tema Muktamar NU pada Agustus 2015 mendatang adalah "Meneguhkan Islam Nusantara untuk peradaban Indonesia dan dunia". Ini tema organisasi Islam terbesar, NU, bukan oknum.
Maka ada baiknya membaca penjelasan salah seorang ulama, KH Afifuddin Muhajir, Guru utama fiqih dan ushul fiqih di Ma’had Aly Pesantren Salafiyah As-Syafi’iyyah, Sukorejo, Situbondo. Beliau seorang ulama Aswaja, bukan liberal, bukan Syi'ah, bukan Wahhabi, tetapi Katib Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang beberapa waktu lalu melaunching kitab karya terbarunya, Fathul Mujib sebagai syarah kitab Taqrib.
Maksud Istilah Islam Nusantara, Oleh KH. Afifuddin Muhajir
Istilah Islam Nusantara akhir-akhir ini mengundang banyak perdebatan sejumlah pakar ilmu-ilmu keislaman. Sebagian menerima dan sebagian menolak. Alasan penolakan mungkin adalah karena istilah itu tidak sejalan dengan dengan keyakinan bahwa Islam itu satu dan merujuk pada yang satu (sama) yaitu Al-Qur’an dan As-Sunah.
Kadang suatu perdebatan terjadi tidak karena perbedaan pandangan semata, tetapi lebih karena apa yang dipandang itu berbeda. Tulisan singkat ini mungkin menjadi jawaban bagi mereka yang menolak “Islam Nusantara” menurut apa yang saya pahami dan saya maksudkan dengan istilah tersebut.
Seperti jamak diketahui, Al-Quran sebagai sumber utama Agama Islam memuat tiga ajaran. Pertama, ajaran akidah, yaitu sejumlah ajaran yang berkaitan dengan apa yang wajib diyakini oleh mukallaf menyangkut eksistensi Allah, malaikat, para utusan, kitab-kitab Allah, dan hari pembalasan. Kedua, ajaran akhlak/tasawuf, yaitu ajaran yang berintikan takhalli dan tahalli, yakni membersihkan jiwa dan hati dari sifat-sifat tercela dan menghiasinya dengan sifat terpuji. Ketiga, ajaran syariat, yaitu aturan-aturan praktis (al-ahkam al-‘amaliyah) yang mengatur perilaku dan tingkah laku mukallaf, mulai dari peribadatan, pernikahan, transaksi, dan seterusnya.
Yang pertama dan kedua sifatnya universal dan statis, tidak mengalami perubahan di manapun dan kapanpun. Tentang keimanan kepada Allah dan hari akhir tidak berbeda antara orang dahulu dan sekarang, antara orang-orang benua Amerika dengan benua Asia. Demikian juga, bahwa keikhlasan dan kejujuran adalah prinsip yang harus dipertahankan, tidak berbeda antara orang Indonesia dengan orang Nigeria. Penipuan selalu buruk, di manapun dan kapanpun. Dalam segmen keyakinan dan tuntunan moral ini, Islam tidak bisa di-embel-embeli dengan nama tempat, nama waktu, maupun nama tokoh.
Sementara yang ketiga, yaitu ajaran syari’at, masih harus dipilah antara yang tsawabith/qath’iyyat dan ijtihadiyyat. Hukum-hukum qath’iyyat seperti kewajiban shalat lima kali sehari semalam, kewajiban puasa, keharaman berzina, tata cara ritual haji, belum dan tidak akan mengalami perubahan (statis) walaupun waktu dan tempatnya berubah. Shalatnya orang Eropa tidak berbeda dengan salatnya orang Afrika. Puasa, dari dahulu hingga Kiamat dan di negeri manapun, dimulai semenjak Subuh dan berakhir saat kumandang azan Maghrib. Penjelasan Al-Quran dan As-Sunah dalam hukum qath’iyyat ini cukup rinci, detil, dan sempurna demi menutup peluang kreasi akal. Akal pada umumnya tidak menjangkau alasan mengapa, misalnya, berlari bolak-balik tujuh kali antara Shafa dan Marwa saat haji. Oleh karena itu akal dituntut tunduk dan pasrah dalam hukum-hukum qath’iyyat tersebut.
Sementara itu, hukum-hukum ijtihadiyyat bersifat dinamis, berpotensi untuk berubah seiring dengan kemaslahatan yang mengisi ruang, waktu, dan kondisi tertentu. Hukum kasus tertentu dahulu boleh jadi haram, tapi sekarang atau kelak bisa jadi boleh. Al-Quran dan As-Sunah menjelaskan hukum-hukum jenis ini secara umum, dengan mengemukakan prinsip-prinsipnya, meski sesekali merinci. Hukum ini memerlukan kreasi ijtihad supaya sejalan dengan tuntutan kemaslahatan lingkungan sosial.
Para tabi’in berpendapat bahwa boleh menetapkan harga (tas’ir), padahal Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam melarangnya. Tentu saja mereka tidak menyalahi As-Sunah. Perbedaan putusan itu karena kondisi pasar yang berubah, yaitu bahwa pada masa Nabi SAW harga melambung naik karena kelangkaan barang dan meningkatnya permintaan, sedangkan pada masa tabi’in disebabkan keserakahan pedagang. (Nailul Authar, V, 220) Di sini, para tabi’in membedakan antara-apa yang disebut ekonomi modern dengan-pasar persaingan sempurna dari pasar monopoli atau oligopoli misalnya.
Para tabi’in juga memfatwakan larangan keluar menuju masjid untuk perempuan muda karena melihat zaman demikian rusak, banyak laki-laki berandal yang sering usil hingga berbuat jahil, (Al-Muntaqa Syarḥul Muhadzdzab, I, 342) padahal Nabi sendiri bersabda-seperti dalam riwayat Abu Daud
(لا تمنعوا اماء الله مساجد الله، ولكن ليخرجن تفلات. رواه أبو داود عن أبي هريرة.)-
supaya jangan sampai perempuan dilarang keluar menuju masjid.Dalam pengertian hukum yang terakhir ini kita sah dan wajar menambahkan pada ‘Islam’ kata deiksis, seperti Islam Nusantara, Islam Amerika, Islam Mesir, dan seterusnya. Makna Islam Nusantara tak lain adalah pemahaman, pengamalan, dan penerapan Islam dalam segmen fiqih mu’amalah sebagai hasil dialektika antara nash, syari’at, dan ‘urf, budaya, dan realita di bumi Nusantara. Dalam istilah “Islam Nusantara”, tidak ada sentimen benci terhadap bangsa dan budaya negara manapun, apalagi negara Arab, khususnya Saudi sebagai tempat kelahiran Islam dan bahasanya menjadi bahasa Al-Qur’an. Ini persis sama dengan nama FPI misalnya, saya benar-benar yakin kalau anggota FPI tidak bermaksud bahwa selain mereka bukan pembela Islam.
Semoga bermanfaat.
Apakah Nabi Muhammad Berjiwa NASIONALISME ?
Amat penting memperhatikan Muhammad sebagai manusia. Ia bukan nabi tiban, nabi karbitan, atau nabi mendadak. Proses Muhammad dari maqom manusia biasa menuju Muhammad menjadi Nabi, ditempuh dengan cara yang sama persis seperti manusia siapa saja. Ia berjuang untuk jujur, tekun, bersih, kerja keras, hingga dijuluki Al Amin atau DIPERCAYA, sebuah julukan yang tak satu pun orang mampu menyandangnya kala itu.
Muhammad terlibat aktif di pergumulan sosial, kontemplatif, bertanya, mempertanyakan, mengembangkan wawasan-wawasan tentang persoalan masyarakat di sekitarnya. Lantaran wawasannya dianggap Tuhan masih kurang di usianya 40 tahun kala itu, Tuhan lantas bilang, “Iqra! Bacalah!” Baca apa? Qur’an? Qur`an belum ada, baru lima ayat pertama?
Apa maknanya? Bacalah problematika di sekitarmu. Bacalah kehidupan di sekitarmu. Muhammad pun membaca. Hasilnya, bukan ini Arab, itu non Arab. Melainkan itu jahiliyyah, ini Islam, itu kebodohan, ini ilmu, itu penindasan, itu perlawanan untuk keadilan. Itu patronage, ini tauhid. Itu superioritas, itu inferioritas, ini kesamaan manusia di hadapan Allah. Ini monopoli, ini distribusi. Itu kekuasaan atas manusia, ini pengabdian manusia kepada Allah langsung dan lewat sesama. Itu eksistensialisme Jahal-Lahab, ini tawadlu’. Itu hidup untuk makan, ini makan untuk hidup. Itu akumulasi dan kerakusan, itu dominasi, ini sumeleh, Islam!
Semua pengetahuan tentang nilai alternatif itu sungguh tidak datang gratisan dari Tuhan, melainkan ‘dibeli’ oleh Muhammad dengan laku yang panjang dan menyakitkan. Muhammad frustasi bertahun-tahun sendirian di tengah jaman edan yang bisa menikamkan pedang kapan saja ke perutnya. Ia sendirian merenung di Gua Hira, karena belum ada sarasehan atau seminar LSM. Muhammad bersujud beratus kali lebih lama dari manusia lain, berpuasa lebih lapar, belajar tanpa buku, otodidak teladan. Itu semua tidak untuk cita-cita ke Araban, melainkan kemanusiaan dalam keIlahian. Tidak untuk obsesi “Arab Uber alles”, melainkan internasionalisme dan universalisme.
Sesudah menggarap kepribadian seperti demikian, Islam yang pertama-tama merupakan anjuran tentang kepribadian manusia, tentang akhlak dan budi pekerti. “Dan tidaklah aku diutus, kecuali untuk menyempurnakan akhlak manusia.” Setelah memperbaiki akhlak manusia, baru Muhammad pergi bergerilya.
Alqur’an yang memuat pokok-pokok ajaran syiar, namun Muhammad mengkreatifinya dengan menggali dan mengembangkan metode-metode perubahan sosial, perubahan masyarakat, perubahan sejarah. Diterapkannya metode sirri (sembunyi/gerilya)¸ jahri (terang-terangan), usaha-usaha konsistensi yang nonstop di tengah pedang-pedang mengancam, cemoohan organisasi dan koperasi, ia mengenali persis setiap entry-point sosio-kultural, menerapkan konsep hijrah, serta segala sesuatu yang begitu relevan dan kontekstualnya untuk dikerjakan oleh kaum marginal di Dunia Ketiga dewasa ini.
Muhammad berhasil total merombak sejarah lingkungannya dalam waktu yang teramat singkat untuk sebuah takaran periode sejarah ketika itu tanpa komputer dan tanpa grand dan foundation manapun. Namun, Muhammad tidak lantas ‘menguasai’ apa yang dihasilkannya itu. Muhammad tidak bertengger di singgasana ‘Bapak Pembangunan Arab’, tidak memonopoli perdagangan ke Syam, tidak punya perusahaan apalagi mengusasai dinasti atau partai politik politik, bahkan tidak merancang sebutir pasir pun buat makamnya kelak.
Muhammad tetap melanjutkan perjuangan untuk menjadi pribadi yang kuat dalam keimanan, kuat terhadap lapar dan haus, kuat memberikan apapun kepada keluarganya, kuat dalam berpakaian dan berharta pas-pasan, kuat dalam mempertahankan sifat mulia, jujur, bersahaja, dan terpercaya.
Ia seorang rakyat yang bersedia cancut dan terluka. Kehidupan materiilnya sama sekali tak berbeda dengan tetangga-tetangganya yang miskin, seorang pekerja keras dan pekerja kasar, sekaligus pemikir dan perenung, seorang yang tenggelam bersama orang banyak, sekaligus seorang sufi yang frekuennsi ibadatnya tak alang kepalang.
Hari itu, karena tak ada kurma atau roti sekeratpun, maka ia mengajak Aisyah berpuasa. Muhammad lantas bersembahyang, berdzikir, beristighfar seharian. Namun menjelang sore setelah kecapaian, ia tertidur di bawah pohon kurma, di atas sesobek daun yang membuat pipinya tergores-gores. Ibnu Mas’ud melintas dan terbengong. “Ini orang menguasai seluruh jazirah Arab, tapi hidupnya seperti ini ?!”
Ibnu Mas’ud bermaksud mengambilkan bantal, namun Muhammad menjawab, “Apa yang bisa diperbuat oleh bantal? Aku ini musafir di tengah padang pasir yang panas. Aku menjumpai sebuah pohon rindang, dan karena aku letih, aku berteduh dan istirahat. Nanti kulanjutkan perjalanan untuk menemui Tuhanku”.
Jika segala nilai hidup, segala konsep dan isme, digali dan dikelola oleh manusia (kualitas kepribadiannya), maka komitmen kebangsaan Muhammad bukan saja tidak dibatasi oleh ras dan geografi, bukan saja meluas ke pembelaan atas kaum tertindas sebagai sebuah ‘bangsa’ tersendiri, namun bahkan juga bersih dari kehendak kekuasaan dan nafsu ekonomi yang berlebihan.
Muhammad tidak mendirikan Negara Arab atau Negara Islam yang memaksa setiap warganya untuk beragama Islam, melainkan menyebarkan berita keselamatan, memperjuangkan keselamatan kemanusiaan, dengan tetap memelihara hak setiap manusia dalam bingkai “laa ikraha fiddin” ; tak ada paksaan dalam agama.
Islam Nusantara Tetap Berpijak pada Aqidah Tauhid yang Dibawa Rasulullah
Habib Luthfi: Islam Nusantara Tetap Berpijak pada Aqidah Tauhid yang Dibawa Rasulullah
Sebenarnya maksudnya Islam di Nusantara, bukan merupakan ajaran atau aliran sendiri. Jadi bagaimana mewarisi Islam yang telah digagas atau dikembangkan para wali-wali dulu. Islam di belahan bumi Indonesia itu punya karakteristik sendiri yang unik. Kalau saja Wali Songo itu tidak coba beradaptasi dengan lingkungan sekitar ketika Hindu dan Budha masih menjadi agama mayoritas, mungkin kita tidak bisa menyaksikan Islam yang tumbuh subur seperti sekarang ini.
Inti Indonesia adalah terletak pada rasa persatuan dan kesatuan. Rasa inilah yang agaknya menjadi barang mahal dan sulit sekarang ini. Rasa itu sesungguhnya yang membingkai keberadaan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Karenanya tugas kita bagaimana terus menjaga NKRI ini dan mengukuhkan Persatuan Bangsa dan Negara.
Indonesia itu tidak disukai kalau ekonominya maju. Karenanya selalu ada upaya eksternal (asing) untuk memperlemah ekonomi Indonesia. Sekaligus terus mengancam NKRI. Ketika gagal melemahkan dari sisi ekonomi, dilemparlah isu Sunni-Syiah. Begitu merasa gagal dengan isu itu kemudian konflik antar umat beragama seperti insiden di Tolikara Papua. Intinya cuma satu: MEMECAH BELAH NKRI.
Laut itu punya jati diri, pendirian, dan harga diri. Sehingga betapapun zat yang masuk ke dalam laut melalui sungai-sungai yang mengalir kepadanya, keasinan air laut tidak akan terkontaminasi. Karena laut itu bisa mengantisipasi limbah-limbah yang masuk. Ikan yang berada di dalam laut pun juga demikian. Ia tetap tawar dan tidak terkontaminasi oleh asinnya air laut. Sedangkan air laut sendiri tidak mengintervensi ikan yang ada di laut. Keduanya mempunyai jati diri yang luar biasa dan bisa hidup bersama, serta saling menghargai dalam “ideologinya” masing-masing.
Dalam hidup berbangsa dan bernegara, laut adalah contoh konkret. Jati diri bangsa, harga diri bangsa, kehormatan bangsa tetep punya kepribadian yang luar biasa, dan kedua-duanya dapat hidup bareng dengan harmoni. Kalau kita bisa meniru kehidupan yang ada di laut, maka bangsa ini akan aman dan enggak bakal ruwet.
Perlu ditegaskan disini bahwa Islam Nusantara tidaklah anti budaya Arab, akan tetapi untuk melindungi Islam dari Arabisasi dengan memahaminya secara kontekstual. Islam Nusantara tetaplah berpijak pada aqidah tauhid sebagaimana esensi ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad. Arabisasi bukanlah esensi ajaran Islam. Karenanya, kehadiran karakteristik Islam Nusantara bukanlah respon dari upaya Arabisasi atau percampuran budaya Arab dengan ajaran Islam, akan tetapi menegaskan pentingnya sebuah keselarasan dan kontekstualisasi terhadap budaya lokal sepanjang tidak melanggar esensi ajaran Islam.
Inilah Fakta Islam Nusantara Sudah Ada Sejak Zaman Dahulu
MusliModerat.Com - Berdasarkan catatan Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa I sarga 3, pada sekitar tahun 536 Masehi ditepian sungai musi, telah ada sebuah pelabuhan Internasional.
Pelabuhan ini, menjadi sarana pengiriman barang berupa tanaman gaharu, rempah wangi, pala, dan kapur barus, ke berbagai Negara seperti Yaman, Mesir, Cina, India, Persia dan sebagainya. Pelabuhan Internasional ini merupakan sebuah wilayah otonom, yang bernama Sriwijaya, dan daerah ini berada di bawah kendali Kerajaan Melayu, Sribuja.
Sriwijaya dan Utusan Rasulullah
Pada sekitar tahun 628 M, penguasa Sriwijaya kedatangan utusan dari Tanah Arab, bernama Akasyah bin Muhsin al-Usdi. Akasyah diutus oleh Nabi akhir zaman, Muhammad Rasulullah, untuk menyampaikan dakwah Islam, kepada Penguasa Sriwijaya.
Inilah Fakta Islam Nusantara Sudah Ada Sejak Zaman Sahabat Nabi Muhammad
Doa Akasyah bin Muhsin al Usdi
Utusan Rasulullah ini, mendapat sambutan yang baik, oleh Penguasa Sriwijaya ketika itu. Salah satu alasannya, Islam adalah ajaran monotheisme, yang memiliki kemiripan dengan keyakinan yang dianut sebagian bangsawan Sriwijaya.
Keyakinan Monotheisme di Kerajaan Sriwijaya, dikenal sebagai Ajaran Braham (ajaran monotheime peninggalan Nabi Ibrahim). Keberadaan ajaran Braham pada saat itu, bisa terliihat pada catatan Fa Xian/Fa Shien sepulang dari India di era tahun ke-7 Kaisar Xiyi (411M).
“Kami tiba di sebuah negeri bernama Yapoti (Jawa dan atau Sumatera) di negeri itu Agama Braham sangat berkembang, sedangkan Buddha tidak seberapa pengaruhnya.“
Hal ini, semakin diperkuat dengan adanya pendapat yang mengatakan, pada sekitar tahun 607 Masehi, telah ada Kerajaan Sriwijaya (Sriboza) yang bercorak Brahminik (Early Indonesian Commerce : A Study of the Origins of Srivijaya, by Wolters, 1967 dan Maritime Trade and State Development in Early South East Asia, by K.R. Hall, 1985).
Untuk kemudian dakwah Islamiyah di tanah Sriwijaya ini terus berlanjut, terutama dilakukan oleh Para Pedagang dari jazirah Arab. Bahkan salah seorang Penguasa Sriwijaya, yang bernama Sri Indrawarman, diperkirakan seorang muslim, yang menjalin persahabatan dengan Khalifah Islam, Umar bin Abdul Aziz.
Sriwijaya dan Palarian Politik
Sebagian penduduk Kerajaan Sriwijaya, jika diselusuri secara genealogy, ternyata ada yang masih terhitung kerabat Kerajaan Persia. Hal ini tergambar di dalam kitab sejarah melayu, yang mengisahkan pemimpin wilayah Palembang, Demang Lebar Daun, merupakan anak cucu Raja Sulan, keturunan dari Raja Nusirwan ‘Adil bin Kibad Syahriar (King Anushirvan “The Just” of Persia, 531-578 M).
Ada dugaan keberadaan keluarga Kerajaan Persia ini, dikarenakan terjadinya konflik internal di Persia, sepeningal Raja Nusirwan ‘Adil, yang berakibat, sebagian Bangsawan Persia mengungsi ke Kerajaan Sriwijaya.
Para pelarian politik Persia ini, dimanfaatkan oleh para penguasa Sriwijaya, untuk dijadikan instruktur di angkatan perang-nya. Bahkan dalam upaya memperkuat pasukannya, Kerajaan Sriwijaya mendirikan pangkalan militer di daerah Minanga yang berada di tepian sungai komering.
Pada tahun 669 Masehi, Sriwijaya dipimpin oleh Dapunta Hiyang Sri Jayanaga. Sang Raja, dikenal seorang yang sangat berwibawa, dan dengan kekuatan angkatan perang-nya, yang sangat terlatih. Sriwijaya mulai menaklukkan beberapa daerah disekitarnya. Bahkan kemudian Kerajaan induknya, Kerajaan Sribuja berhasil dikuasai.
Pelarian politik juga berasal dari wilayah Cina. Kedatangan mereka ini disebab-kan terjadinya peristiwa pemberontakan petani-petani muslim Cina terhadap kekuasaan Dinasti T’ang di masa pemerintahan Kaisar Hi-Tsung (878-889M).
Inilah Fakta Islam Nusantara Sudah Ada Sejak Zaman Sahabat Nabi Muhammad
Kaum muslimin banyak mati dibunuh dalam pemberontakan itu, sehingga mereka yang selamat melarikan diri ke berbagai negara, termasuk ke kota Palembang, yang menjadi pusat Kerajaan Sriwijaya.
Keberadaan Pelarian Politik asal Persia dan Cina, Kemudian Para Pedagang Arab yang sekaligus juga juru dakwah Islam, serta berdirinya pusat-pusat pengajaran agama Buddha di Kerajaan Sriwijaya, menunjukkan bahwa negeri ini, merupakan daerah yang sangat pluralis, dimana penduduknya terdiri atas berbagai suku dan ras, serta memiliki keyakinan yang beragam.
Catatan :
1. Keberadaan Akasyah bin Muhsin al-Usdi di Sriwijaya, diperkirakan setelah perjanjian Hudaibiyah tahun 6H. Pada masa itu, Rasulullah memperkenalkan Islam melalui surat yang beliau kirimkan, kepada para penguasa, pemimpin suku, tokoh agama nasrani dan lain sebagainya.
2. Pendapat yang mengatakan Akasyah bin Muhsin al-Usdi di Sriwijaya, pada sekitar tahun 2H, nampaknya perlu diteliti lebih mendalam lagi. Hal ini disebabkan, berdasarkan fakta sejarah, pada saat tersebut, kaum muslimin sedang berkosentrasi menghadapi kaum kafir Quraish. Jadi terasa agak aneh, jika ada sahabat yang berada jauh dari kota madinah.
3. Beberapa Sahabat Rasulullah yang pernah berdakwah di Nusantara
1. Ali bin Abi Thalib, pernah datang dan berdakwah di Garut, Cirebon, Jawa Barat (Tanah Sunda), Indonesia, tahun 625 Masehi. Perjalanan dakwahnya dilanjutkan ke dari Indonesia ke kawasan Nusantara, melalui: Timur Leste, Brunai Darussalam, Sulu, Filipina, Singapura, Thailand, Vietnam, Laos, Myanmar, Kampuchea. (Sumber: H.Zainal Abidin Ahmad, Ilmu politik Islam V, Sejarah Islam dan Umatnya sampai sekarang, Bulan Bintang, 1979; Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, h.31; S. Q. Fatini, Islam Comes to Malaysia, Singapura: M. S. R.I., 1963, hal. 39)
2. Ja’far bin Abi Thalib, berdakwah di Jepara, Kerajaan Kalingga, Jawa Tengah (Jawa Dwipa), Indonesia,sekitar tahun 626 M/ 4 H. (Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, h.33)
3. Ubay bin Ka’ab, berdakwah di Sumatera Barat, Indonesia, kemudian kembali ke Madinah. sekitar tahun 626 M/ 4 H. (Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, h.35)
4. Abdullah bin Mas’ud, berdakwah di Aceh Darussalam dan kembali lagi ke Madinah. sekitar tahun 626 M/ 4 H. (Sumber: G. E. Gerini, Futher India and Indo-Malay Archipelago)
5. ‘Abdurrahman bin Mu’adz bin Jabal, dan putera-puteranya Mahmud dan Isma’il, berdakwah dan wafat dimakamkan di Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. sekitar tahun 625 M/ 4 H. (Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, h.38)
6. Akasyah bin Muhsin Al-Usdi, berdakwah di Palembang, Sumatera Selatan dan sebelum Rasulullah Wafat, ia kembali ke Madinah. sekitar tahun 623 M/ 2 H. (Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, h.39; Pangeran Gajahnata, Sejarah Islam Pertama Di Palembang, 1986; R.M. Akib, Islam Pertama di Palembang, 1929; T. W. Arnold, The Preaching of Islam, 1968)
7. Salman Al-Farisi, berdakwah Ke Perlak, Aceh Timur dan Kembali Ke Madinah. sekitar tahun 626 M/ 4 H. (Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, h.39)
8. Zaid ibn Haritsah, berdakwah di Kerajaan Lamuri/Lambari (Lambharo/Lamreh, Aceh) pada tahun 35 H (718 M).
9. Wahab bin Abi Qabahah, telah mengunjungi Riau dan menetap selama 5 tahun di sana sebelum pulang ke Madinah. Dipetik dari kitab ‘Wali Songo dengan perkembangan Islam di Nusantara’, oleh Haji Abdul Halim Bashah, terbitan Al Kafilah Enterprise, Kelantan, 1996, m/s 79, bab 9, ISBN 983-99852-8-0
-------------------
Sumber: kiki emotikon http://www.muslimoderat.com/…/inilah-fakta-islam-nusantara-…
Bisa di lanjut ke klik >>
Islam orang di Nusantara
Cinta Tanah Air adalah Naluri rakyat terhadap bangsa
Islam sangat toleran terhadap tradisi negara dimana orang islam berada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar