Kamis, 16 Juli 2015

Hari raya pas jum'at, bagaimana sholat jum'atannya?

KETIKA HARI JUM'AT BERTEPATAN DENGAN HARI RAYA
PERTANYAAN
Perlukah shalat jum'at apabila "idul'adha jatuh pada hari jum'at
JAWABAN
Di anatara masalah furu’iyah yang muncul adalah : jika hari raya Idul Fitri atau Idul Adlha jatuh pada hari Jum’at. Apakah shalat Jum’at masih wajib bagi orang yang sudah melakukan shalat id atau tidak? Dengan pengertian mendapat rukhshah (keringanan untuk tidak melakukan shalat Jum’at).
Hal tersebut memang merupakan salah satu dari sekian banyak masalah khilafiyah (terdapat perbedaan pendapat di antara para imam madzhab) sebagaimana tercantum dalam kitab Rahmatul Ummah :

(فَصْلٌ) إِذَا اتَّفَقَ يَوْمُ عِيْدٍ وَيَوْمُ جُمْعَةٍ فَاْلأَصَحُّ عِنْدَ الشَّافِعِيِّ أَنَّ الْجُمْعَةَ لاَ تَسْقُطُ عَنْ أَهْلِ الْبَلَدِ بِصَلاَةِ الْعِيْدِ، وَأَمَّا مَنْ حَضَرَ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَالرَّاجِحُ عِنْدَهُ سُقُوْطُهَا عَنْهُمْ فَإِذَا صَلَّوْا الْعِيْدَ جَازَ لَهُمْ أَنْ يَنْصَرِفُوْا وَيَتْرُكُوْا الْجُمْعَةَ. وَقَالَ أَبُوْ حَنِيْفَةَ بِوُجُوْبِ الْجُمْعَةِ عَلَى أَهْلِ الْبَلَدِ. وَقَالَ أَحْمَدُ لاَ تَجِبُ الْجُمْعَةُ عَلَى أَهْلِ الْقُرَى وَلاَ عَلَى أَهْلِ الْبَلَدِ، بَلْ يَسْقُطُ فَرْضُ الْجُمْعَةِ بِصَلاَةِ الْعِيْدِ وَيُصَلُّوْنَ الظُّهْرَ. وَقَالَ عَطَاءٌ: تَسْقُطُ الْجُمْعَةُ وَالظُّهْرُ مَعًا فِيْ ذَلِكَ الْيَوْمِ فَلاَ صَلاَةَ بَعْدَ الْعِيْدِ إِلاَّ الْعَصْرَ. إه رحمة الأمة ص: 69

Maksud dari ibarat yang ada dalam kitab Rahmatul Ummah tersebut adalah apabila hari raya bertepatan dengan hari Jum’at, maka mengenai pelaksanaan shalat Jum’at dan shalat dzuhur bagi umat Islam yang telah menunaikan shalat id, itu para ulama madzhab berbeda pendapat :
1. Menurut madzhab Imam Syafi’i : Jum’atan wajib bagi seluruh ahlil balad, sedangkan bagi ahlil qaryah tidak wajib;
2. Menurut madzhab Imam Hanafi : Jum’atan wajib bagi seluruh ahlul balad;
3. Menurut madzhab Imam Hambali : tidak wajib Jum’atan bagi ahlil qaryah dan ahlil balad, mereka tetap wajib shalat dzuhur.
4. Menurut madzhab Imam Atho’ : Jum’atan dan shalat dzuhur keduanya tidak wajib bagi mereka yang telah menunaikan shalat id, mereka langsung melakukan shalat Ashar.
Perbedaan pendapat antara Imam-imam madzhab tersebut, karena peninjauannya masing-masing pada hadits nabi SAW. :

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: قَدِ اجْتَمَعَ فِى يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ. رواه أبو داود

وَفِيْ رِوَايَةٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَم قَالَ: صَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ فَقَالَ: مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ. رواه الخمسة إلا الترمذي

Maksud kedua hadits tersebut : karena pada hari itu terjadi dua hari raya (yaumul jum’at dan yaumul id), maka Nabi SAW. mempersilahkan bagi orang-orang yag telah menunaikan shalat id, jika ia menghendaki (مَنْ شَاءَ) untuk tidak mengikuti shalat Jum’at.
Pertanyaannya sekarang : Siapa yang dimaksuk dengan kata مَنْ شَاءَ dalam hadits tersebut? Apakah ditujukan kepada semua hadirin yang melaksanakan shalat id atau ditujukan kepada sebagian hadirin?
Mengenai hal ini, Imam Syafi’i menerangkan dalam kitab Al-Umm juz I hal. 212 sebagai berikut :

أَخْبَرَنَا إبْرَاهِيمُ بن مُحَمَّدٍ قال أخبرنا إبْرَاهِيمُ بن عُقْبَةَ عَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ قَالَ: اجْتَمَعَ عِيدَانِ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: من أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ مِنْ أَهْلِ الْعَالِيَةِ فَلْيَجْلِسْ في غَيْرِ حَرَجٍ.

أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ أَبِيْ عُبَيْدٍ مَوْلىَ ابْنِ أَزْهَرَ قَالَ: شَهِدْتُ الْعِيدَ مع عُثْمَانَ بن عَفَّانَ فَجَاءَ فَصَلَّى ثُمَّ انْصَرَفَ فَخَطَبَ فقال إنَّهُ قد اجْتَمَعَ لَكُمْ في يَوْمِكُمْ هذا عِيدَانِ فَمَنْ أَحَبَّ من أَهْلِ الْعَالِيَةِ أَنْ يَنْتَظِرَ الْجُمُعَةَ فَلْيَنْتَظِرْهَا وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَرْجِعَ فَلْيَرْجِعْ فَقَدْ أَذِنْتُ لَهُ.

Dalam kedua riwayat tersebut bisa difahami bahwa pemberian rukhsah/kemurahan untuk tidak melaksanakan shalat itu tidak ditujukan kepada semua orang yang hadir, akan tetapi hanya ditujukan kepada ahlul aliyah (penduduk kampung yang jauh dari tempat shalat id).
Lebih jelas lagi, Imam Nawawi dalam kitab Muhadzdzab juz I hal. 109 menerangkan :

وَإِنِ اتَفَقَ يَوْمُ عِيْدٍ وَيَوْمُ جُمْعَةٍ فَحَضَرَ أَهْلُ السَّوَادِ فَصَلَّوْا الْعِيْدَ جَازَ أَنْ يَنْصَرِفُوْا وَيَتْرُكُوْا الْجُمْعَةَ لِمَا رُوِيَ عَنْ عُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ فِيْ خُطْبَتِهَ: "أَيُّهَا النَّاسُ قَدِ اجْتَمَعَ عِيْدَانِ فِيْ يَوْمِكُمْ هَذَا فَمَنْ أَرَادَ مِنْ أَهْلِ الْعَالِيَةِ أَنْ يُصَلِّيَ مَعَنَا الْجُمْعَةَ فَلْيُصَلِّ وَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَرِفَ فَلْيَنْصَرِفْ" وَلَمْ يُنْكِرْ عَلَيْهِ أَحَدٌ (قَوْلُهُ السَّوَاد) هُمْ أَهْلُ الْقُرَى وَالْمَزَارِعِ حَوْلَ الْمَدِيْنَةِ الْكَبِيْرَةِ (قَوْلُهُ أَهْلِ الْعَالِيَةِ) قَالَ الْجَوْهَرِيْ: الْعَالِيَةُ مَا فَوْقَ نَجْدٍ إِلَى أَرْضِ تِهَامَةَ وَإِلَى وَرَاءِ مَكَّةَ وَهُوَ الْحِجَازُ وَمَا وَالاَهَا. (قَالَ الشَّافِعِيُّ) وَلاَ يَجُوْزُ هَذَا لأَحَدٍ مَنْ أَهْلِ الْمِصْرِ أَنْ يَدَعُوْا أَنْ يَجْتَمِعُوْا إِلاَّ مِنْ عُذْرٍ يَجُوْزُ لَهُمْ بِهِ تَرْكُ الْجُمْعَةِ وَإِنْ كَانَ يَوْمَ عِيْدٍ. اهـ

Artinya :
“Apabila hari raya betepatan dengan hari Jum’at, maka penduduk kampung yang jauh dari tempat shalat id yang telah hadir untuk melaksanakan shalat id boleh kembali ke kampungnya, tidak usah mengikuti jum’atan. Diriwayatkan dari sayyidina Utsman ra beliau bekata dalam khutbahnya wahai manusia, pada hari ini terjadi dua hari raya, maka barang siapa di antara penduduk kampung yang jauh dari tempat shalat id ini menghendaki ikut shalat Jum’at, silahkan dan barang siapa yang pulang ke kampungnya silahkan ia pulang. Terhadap katata sayyidina Utsman ini tidak seorangpun sahabat yang mengingkarinya.
(kata-kata “as-sawad”) artinya: penduduk perkampungan dan persawahan di sekitar kota besar (kata-kata “al-aliyah”) Imam Jauhari mengatakan yaitu kawasan pegunungan di atas kota Najd sampai daratan Tihamah sampai belakang Makkah, Hijaz dan sekitarnya. Imam Syafi’i bekata: tidak boleh meninggalkan Jum’atan bagi salah seorang penduduk kota kecuali karena adanya udzur yang memperbolehkan tidak Jum’atan, walaupun bertepatan dengan hari raya.
Maka dari itu, warga Nahdiyin tidak usah goyah, berdasarkan dalil-dalil yang bersumber dari hadits dan pendapat ulama madzhab (madzhab syafi’i) serta fakta yang nyata yakni dekatnya domisili kaum muslimin dari tempat shalat Jum’atan, pada saat sekarang ini wajib hukumnya bagi mereka melaksanakan shalat Jum’at pada hari raya yang kebetulan jatuh pada hari Jum’at, selama tidak ada salah satu udzur min a’dzaril Jum’ah.

Tambahan >>
Bagi orang yang tergolong ahl al-Balad (penduduk setempat) menurut kesepakan ulama tetap diwajibkan menjalankan shalat jumat, sedang orang-orang yang tergolong ahl al-Qura dan al-Bawaadi (penduduk pedalaman) ada pendapat ulama yang menyatakan gugur kewajiban shalat jumahnya dengan syarat apabila setelah ia mengerjakan shalat Ied dan pulang ketempat tinggalnya masing-masing sebelum tergelincirnya matahari dan bila ia kembali kemasjid lagi untuk menunaikan shalat jumat mereka sudah tidak dapat mengiluti pelaksanaan shalat jumat.

(مسألة) : فيما إذا وافق يوم الجمعة يوم العيد ففي الجمعة أربعة مذاهب ، فمذهبنا أنه إذا حضر أهل القرى والبوادي العيد وخرجوا من البلاد قبل الزوال لم تلزمهم الجمعة وأما أهل البلد فتلزمهم ، ومذهب أحمد لا تلزم أهل البلد ولا أهل القرى فيصلون ظهراً ، ومذهب عطاء لا تلزم الجمعة ولا الظهر فيصلون العصر ، ومذهب أبي حنيفة تلزم الكل مطلقاً ، اهـ من الميزان الشعراني.

MASALAH
Dalam pembahasan “SAAT HARI JUMAT BERTEPATAN DENGAN HARI RAYA” Maka dalam kewajiban pelaksaan menunaikan shalat jumat terdapat empat madzhab :
• Madzhab kami (syafi’iyyah) bila penduduk desa dan pedalaman menjalankan shalat Ied dan keluar dari desa sebelum tergelincirnya matahari maka tidak wajib bagi penduduk pedalaman mengerjakan shalat jumat sedang bagi penduduk desa masih diwajibkan mengerjakannya.
• Madzhab Imam Ahmad, bagi penduduk desa dan pedalaman tidak berkewajiban menjalankan shalat jumat, kerjakanlah shalat dhuhur.
• Madzhab Imam ‘Atha’ tidak diwajibkan bagi mereka menjalankan shalat Jumat juga shalat dhuhur, kerjakanlah shalat Ashar.
• Madzhab Abu Hanifah, semua shalat masih diwajibkan bagi mereka. (al-Miizaan as-Sya’rooni)
Bughyah al-Mustarsyidiin I/187
____________________

فرعإذا وافق يوم العيد يوم جمعة وحضر أهل القرى الذين يبلغهم لصلاة العيد وعلموا أنهم لو انصرفوا لفاتتهم الجمعة فلهم أن ينصرفوا ويتركوا الجمعة في هذا اليوم على الصحيح المنصوص في القديم والجديد. وعلى الشاذ عليهم الصبر للجمعة.

SUB BAHASAN
Bila hari raya bertepatan dengan hari jumah dan penduduk desa yakni mereka-mereka yang mendengan seruan shalat Ied dan mereka yakin andaikan mereka membubarkan diri (meninggalkan masjid dan pulang kerumah masing-masing) mereka akan ketinggalan shalat maka bagi mereka diperkenankan membubarkan diri dan meninggalkan shalat jumah dihari seperti ini menurut pendapat yang shahih, sedang menurut pendapat yang SYADZ (ganjil) bagi mereka wajib menunggu pelaksanaan shalat jumat.
Raudhah at-Thoolibiin I/173
____________
NB :Dengan demikian, bila menilik letak geografis tempat tinggal jamaah suatu masjid pada zaman sekarang ini yang tidak akan tergambarkan saat mereka pulang kerumah setelah shalat ied kemudian kembali kemasjid guna menunaikan shalat jumat mereka akan ketinggalan menunaikan shalat jumah, secara pribadi saya lebih cenderung masih diwajibkannya shalat jumah meskipun bertepatan dengan shalat ied.
Wallaahu A'lamu Bis Showaab

>>
Kembali kepada sunah RasulNya? ada sebuah hadits dari Zaid bin Arqam :

لِخَبَرِ زَيْدِ بن أَرْقَمَ قال اجْتَمَعَ عِيدَانِ على عَهْدِ رسول اللَّهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم في يَوْمٍ وَاحِدٍ فَصَلَّى الْعِيدَ في أَوَّلِ النَّهَارِ وقال يا أَيُّهَا الناس إنَّ هذا يَوْمٌ اجْتَمَعَ لَكُمْ فيه عِيدَانِ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَشْهَدَ مَعَنَا الْجُمُعَةَ فَلْيَفْعَلْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْصَرِفَ فَلْيَفْعَلْ رَوَاهُ أبو دَاوُد وَالْحَاكِمُ وَصَحَّحَ إسْنَادَه

Hadits dari Zaid bin Arqom berkata : telah berkumpul dua Ied (jumat dan hari raya) pada masa Rosulullah saw pada satu hari itu, maka Beliau shalat ied di awal siang, Beluau bersabda : "para hadirin, pada hari ini bertemu dua hari raya (jum'at dan ied) barang siapa suka menghadiri jum'at bersama kami maka hadirilah, dan barang siapa yg suka memilih pulang (tidak shalat jumat) maka pulanglah. diriwayatkan oleh abu dawud dan hakim dan menshahihkan isnadnya.
---------------------------------------

Ini Hukum Shalat Jum'at Ketika Hari Raya Jatuh pada Hari Jum'at
Ketika Hari Raya Idul Adha atau Idul Fitri jatuh pada hari Jumat, apakah kewajiban shalat Jum'at menjadi gugur? Apakah cukup dengan shalat Ied saja tanpa melakukan shalat Jumat?
JAWABAN :
Permasalahan yang ditanyakan merupakan satu masalah yang menjadi perbedaan pendapat para ulama. Perbedaan ini berangkat dari perbedaan mereka dalam menshahihkan hadits dan asar seputar masalah ini dalam satu sisi, dan makna yang dimaksud olehnya dalam sisi lain.
Di antara hadits tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Nasa`I, Ibnu Majah dan Hakim dari Iyas bin Abi Ramlah asy-Syami, dia berkata, "Saya melihat Mu'awiyah bin Abi Sufyan bertanya kepada Zaid bin Arqam r.a., "Apakah ketika bersama Rasulullah saw. engkau pernah menjumpai dua hari raya bertemu dalam satu hari?" Zaid bin Arqam menjawab, "Ya, saya pernah mengalaminya". Mu'awiyah bertanya lagi, "Apa yang dilakukan Rasulullah saw. ketika itu?" Dia menjawab, "Beliau melakukan shalat Ied dan memberi keringanan untuk meninggalkan shalat Jumat. Beliau bersabda, "Barang siapa ingin melakukan shalat Jumat maka lakukanlah."
Juga hadits riwayat Abu Hurairah r.a., dari Nabi saw., beliau bersabda, "Pada hari ini telah bertemu dua hari raya. Barang siapa tidak ingin menunaikan shalat Jumat, maka shalat Ied ini sudah menggantikannya. Sedangkan kami akan tetap menunaikan shalat Jumat." (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Hakim).
Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa pelaksanaan shalat Ied tidak mengakibatkan gugurnya kewajiban shalat Jumat. Mereka berdalil dengan keumuman dalil kewajiban shalat Jumat untuk seluruh hari. Di samping itu shalat Jumat dan shalat Ied adalah ibadah yang masing-masing berdiri sendiri dan tidak bisa saling menggantikan. Di sisi lain hadits dan atsar tentang keringanan untuk tidak menunaikan shalat Jumat tidaklah kuat untuk mengkhususkan hadits tentang kewajiban shalat Jumat tersebut, karena di dalam sanadnya terdapat masalah. Ini adalah mazhab Hanafi dan Maliki.
Sedangkan Imam Ahmad berpendapat –dan ini adalah salah satu pendapat dalam Mazhab Syafi'i— bahwa kewajiban shalat Jumat menjadi gugur bagi orang yang menunaikan shalat Ied, namun orang itu tetap wajib menunaikan shalat zhuhur. Hal ini juga berdasarkan hadits dan atsar yang telah disebutkan sebelumnya.
Adapun jumhur ulama –termasuk Imam Syafi'I dalam pendapatnya yang paling shahih—berpendapat wajibnya shalat Jumat bagi orang-orang yang tinggal dalam kawasan yang di dalamnya dilaksanakan shalat Jumat dan gugur dari orang-orang yang tinggal di daerah pedalaman yang syarat-syarat kewajiban shalat Jumat terealisasi pada mereka. Karena mewajibkan mereka untuk menunaikan shalat Jumat setelah shalat Ied dapat menyebabkan kesulitan bagi mereka. Dalil jumhur ulama adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam al-Muwatha` bahwa Utsman bin Affan r.a. berkata dalam khutbanya, "Sesungguhnya pada hari ini telah bertemu dua Ied. Maka orang yang tinggal di daerah gunung jika ingin menunggu pelaksanaan shalat Jumat maka hendaknya dia menunggu, sedangkan orang yang ingin kembali ke rumahnya maka aku telah mengizinkannya."
Perkataan Utsman ini tidak ditentang oleh seorang sahabat pun, sehingga dianggap sebagai ijmak sukuti. Berdasarkan penjelasan Utsman inilah jumhur ulama memahami hadits keringanan untuk tidak melaksanakan shalat Jumat bagi orang yang telah melakuan shalat Ied.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka selama masalah ini merupakan masalah khilafiyah maka ia bersifat lapang, dan tidak sepatutnya seseorang membenturkan pendapat satu mazhab dengan pendapat mazhab yang lain. Dengan demikian, shalat Jumat tetap dilaksanakan di masjid-masjid, sebagai pengamalan terhadap hukum asalnya dan sebagai suatu kehati-hatian dalam pelaksanaan ibadah. Dan barang siapa yang kesulitan untuk menghadiri shalat Jumat atau ingin mengambil rukhshah dengan mentaklid pendapat yang menggugurkan kewajiban shalat Jumat karena menunaikan shalat Ied, maka dia boleh melakukannya dengan syarat dia tetap melakukan shalat zhuhur sebagai ganti dari shalat Jumat. Juga dengan tidak menyalahkan orang yang menghadiri shalat Jumat, mengingkari orang yang menunaikannya di masjid-masjid atau memicu fitnah dalam perkara yang di dalamnya para salaf saleh menerima adanya perbedaan pendapat.
Adapun gugurnya shalat Zhuhur karena telah dilaksanakannya shalat Ied maka pendapat yang diambil oleh jumhur ulama baik dahulu maupun sekarang adalah bahwa shalat Jum'at jika gugur karena suatu rukhshah (keringanan), uzur atau terlewatkan waktunya maka harus dilaksanakan shalat Zhuhur sebagai gantinya. Sedangkan Atha' berpendapat bahwa shalat Jum'at dan Zhuhur dianggap gugur karena telah dilaksanakannya shalat Ied. Dalil yang digunakan oleh Atha' adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, "Ibnu Zubair r.a. melaksanakan shalat Ied yang jatuh pada hari Jum'at pada awal siang (pagi hari) bersama kami. Lalu kami pergi untuk melaksanakan shalat Jum'at, namun ia tidak datang. Akhirnya, kami pun melaksanakan shalat sendiri. Ketika itu Ibnu Abbas r.a. sedang berada di Thaif. Ketika ia datang, maka kami menceritakan hal itu. Beliau pun berkata, "Ia telah melaksanakan sunnah."
Hanya saja riwayat ini tidak dapat dijadikan sebagai dalil karena memiliki kemungkinan makna yang lain. Sebuah dalil yang mengandung berbagai kemungkinan menjadi batal nilai kedalilannya. Hadits ini tidak menunjukkan bahwa Ibnu Zubair tidak melaksanakan shalat Zhuhur di rumahnya. Bahkan penjelasan Atha' bahwa mereka melaksanakan shalat sendiri (shalat Zhuhur) mengisyaratkan bahwa tidak ada yang mengatakan bahwa shalat Zhuhur menjadi gugur. Pendapat ini mungkin dapat ditafsirkan sebagai mazhab yang berpendapat kebolehan melaksanakan shalat Jum'at sebelum tergelincir matahari (zawal). Pendapat ini diriwayatkan dari Imam Ahmad. Bahkan diriwayatkan dari Atha' sendiri, dimana ia pernah mengatakan, "Setiap shalat Ied dilaksanakan ketika telah masuk waktu Dhuha: shalat Jum'at, Iedul Adha dan Iedul Fitri." Penafsiran ini diperkuat oleh riwayat Wahb bin Kaysan yang diriwayatkan oleh Nasa`i: "Dua Ied telah berkumpul pada masa Ibnu Zubair. Maka ia pun mengakhirkan keluar rumah hingga siang semakin tinggi. Ia lalu keluar dan berkhutbah serta memanjangkan khutbahnya. Lalu ia turun dan melaksanakan shalat lalu tidak melasakanakan shalat Jum'at bersama masyarakat." Sebagaimana diketahui bahwa khutbah Jum'at dilaksanakan sebelum shalat, sedangkan khutbah Ied dilaksanakan setelah shalat. Oleh karena itu, Abul Barakat Ibnu Taimiyah berkata, "Penjelasannya adalah bahwa ia memandang kebolehan mendahulukan shalat Jum'at sebelum tergelinciri matahari. Zubair mensegerakan shalat Jum'at dan menjadikannya sebagai pengganti shalat Ied."
Ditambah lagi bahwa syariat tidak pernah menjadikan shalat fardhu empat kali dalam keadaan apapun, bahkan dalam keadaan sakit parah atau di tengah-tengah pertempuran. Shalat fardhu tetap dilaksanakan lima kali sebagaimana ditetapkan dalam dalil-dalil qath'I, seperti sabda Rasulullah saw. kepada seorang Arab badui yang bertanya tentang kewajiban Islam,

خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ

"Lima shalat dalam sehari semalam." (Muttafaq alaih dari hadits Thalhah bin Ubaidillah r.a.).
Nabi saw. juga pernah bersabda kepada Muadz bin Jabal r.a. ketika mengutusnya ke Yaman,

فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِيْ كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ

"Beritahulah mereka bahwa Allah 'azza wa jalla mewajibkan mereka melakukan shalat lima kali dalam sehari semalam." (Muttafaq alaih dari hadits Ibnu Abbas r.a.).
Rasulullah saw. juga bersabda,

خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللهُ عَلَى الْعِبَادِ

"Lima shalat yang diwajibkan Allah kepada para hamba-Nya." (HR. Malik, Abu Dawud, Nasa`I dari hadits Ubadah bin Shamit r.a.).
Dan masih banyak lagi dalil yang menjelaskan mengenai hal ini. Jika shalat fardhu tidak dapat gugur dengan melaksanakan shalat fardhu lainnya, maka bagaimana mungkin dapat gugur dengan melaksanakan shalat Ied yang hukumnya hanyalah fardhu kifayah dalam skala komunitas dan sunah dalam sekala pribadi?
Syariat Islam telah mewajibkan shalat lima waktu ini dalam keadaan, tempat, person dan keadaan apapun, kecuali yang dikecualikan seperti wanita haid dan nifas. Bahkan, ketika Nabi saw. menjelaskan lama hidup Dajjal di dunia, beliau bersabda,

أَرْبَعُوْنَ يَوْماً، يَوْمٌ كَسَنَةٍ، وَيَوْمٌ كَشَهْرٍ، وَيَوْمٌ كَجُمُعَةٍ، وَسَاِئُر أَيَّامِهِ كَأَيَّامِكُمْ

"Empat puluh hari. Satu hari seperti setahun, satu hari seperti sebulan dan satu hari seperti satu jum'at. Sisa hari-harinya seperti hari-hari kalian."
Para sahabat bertanya, "Pada hari yang seperti setahun itu, apakah kita cukup melaksanakan shalat satu hari saja?" Beliau menjawab, "Tidak. Tapi perkirakan kadar waktu-waktu shalat itu." (HR. Muslim).
Ini adalah nash bahwa shalat fardhu tidak dapat gugur pada keadaan atau waktu apapun.
Dengan demikian, pendapat yang menyatakan bahwa shalat Jum'at dan Zhuhur menjadi gugur dengan melaksanakan shalat Ied adalah tidak dapat dipegangi karena kelemahan dalilnya dalam satu sisi dan karena ketidakpastian penisbatan pendapat ini kepada ulama yang mengatakannya.
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
Mufti Agung Prof. Dr. Syaikh Ali Jum'ah Muhammad
-----------------------------------------------------

Mengenai gugurnya kewajiban shalat Jumat bagi mereka yang sudah melaksanakan shalat hari raya, dalilnya adalah hadits-hadits Nabi SAW yang shahih, antara lain yang diriwayatkan dari Zayd bin Arqam RA bahwa dia berkata :

صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِي الْجُمُعَةِ فَقَالَ مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُصَلِّ

“Nabi SAW melaksanakan shalat Ied (pada suatu hari Jumat) kemudian beliau memberikan rukhshah (kemudahan/keringanan) dalam shalat Jumat. Kemudian Nabi berkata,’Barangsiapa yang berkehendak (shalat Jumat), hendaklah dia shalat.” (HR. Al Khamsah, kecuali At Tirmidzi. Hadits ini menurut Ibnu Khuzaimah, shahih).

Diriwayatkan dari Abu Hurayrah RA bahwa Nabi SAW bersabda :

قَدْ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنْ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ

“Sungguh telah berkumpul pada hari kalian ini dua hari raya. Maka barangsiapa berkehendak (shalat hari raya), cukuplah baginya shalat hari raya itu, tak perlu shalat Jumat lagi. Dan sesungguhnya kami akan mengerjakan Jumat.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Al Hakim juga meriwayatkan hadits ini dari sanad Abu Shalih, dan dalam isnadnya terdapat Baqiyah bin Walid, yang diperselisihkan ulama. Imam Ad Daruquthni menilai, hadits ini shahih. Ulama hadits lain menilainya hadits mursal).

Hadits-hadits ini merupakan dalil bahwa shalat Jumat setelah shalat hari raya, menjadi rukhshah. Yakni, maksudnya shalat Jumat boleh dikerjakan dan boleh tidak. Pada hadits Zayd bin Arqam di atas (hadits pertama) Nabi SAW bersabda “tsumma rakhkhasha fi al jumu’ati” (kemudian Nabi memberikan rukhshash dalam [shalat] Jumat). Ini menunjukkan bahwa setelah shalat hari raya ditunaikan, shalat hari raya menjadi rukhshah (kemudahan/keringanan).


Pendapat ‘Atha bin Abi Rabah

‘Atha bin Abi Rabbah berpendapat bahwa jika hari Jumat bertepatan dengan hari raya, maka shalat Jumat dan zhuhur gugur semuanya. Tidak wajib shalat apa pun pada hari itu setelah shalat hari raya melainkan shalat ‘Ashar.


Imam Ash’ani menjelaskan bahwa pendapat ‘Atha` tersebut didasarkan pada 3 (tiga) alasan, yaitu :

Pertama, berdasarkan perbuatan sahabat Ibnu Zubayr RA sebagaimana diriwayatkan Imam Abu Dawud, bahwasanya :

عِيدَانِ اجْتَمَعَا فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ فَجَمَعَهُمَا جَمِيعًا فَصَلَّاهُمَا رَكْعَتَيْنِ بُكْرَةً لَمْ يَزِدْ عَلَيْهِمَا حَتَّى صَلَّى الْعَصْرَ


“Dua hari raya (hari raya dan hari Jumat) telah berkumpul pada satu hari yang sama. Lalu dia (Ibnu Zubayr) mengumpulkan keduanya dan melakukan shalat untuk keduanya sebanyak dua rakaat pada pagi hari. Dia tidak menambah atas dua rakaat itu sampai dia mengerjakan shalat Ashar.” (HR Abu Dawud).

Kedua, shalat Jumat adalah hukum asal (al ashl) pada hari Jumat, sedang shalat zhuhur adalah hukum pengganti (al badal) bagi shalat Jumat. Maka dari itu, jika hukum asal telah gugur, otomatis gugur pulalah hukum penggantinya.

Ketiga, yang zhahir dari hadits Zayd bin Arqam, bahwa Rasul SAW telah memberi rukhshah pada shalat Jumat. Namun Rasul SAW tidak memerintahkan untuk shalat zhuhur bagi orang yang tidak melaksanakan shalat Jumat.
 


Ketika Idul Fitri Jatuh pada Hari Jumat

(dalam Madzhab Syafi’i)
Dalam Kitab Al Umm, karya Imam Syafi’i (wafat tahun 204 H) juz 1 halaman 274, cetakan 1410 H, Daarul Fikr, Beirut:

اِجْتِمَاعُ الْعِيْدَيْنِ

Berkumpulnya Dua Ied

أَخْبَرَنَا الرَّبِيْعُ قَالَ أَخْبَرَنَا الشَّافِعِيُّ قَالَ أَخْبَرَنَا إبْرَاهِيمُ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ أَخْبَرَنَا إبْرَاهِيْمُ بْنُ عُقْبَةَ عَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيْزِ قَالَ اِجْتَمَعَ عِيْدَانِ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ مِنْ أَهْلِ الْعَالِيَةِ فَلْيَجْلِسْ فِيْ غَيْرِ حَرَجٍ

Telah mengkhabarkan kepada kami Arrabi’, dia berkata, telah mengkhabarkan kepada kami Asysyafi’i, beliau berkata, telah mengkhabarkan kepada kami Ibrahim bin Muhammad, dia berkata, telah mengkhabarkan kepada kami Ibrahim bin Uqbah dari Umar bin Abdul Aziz, beliau berkata: “Telah berhimpun dua ’Ied pada masa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam maka bersabda beliau: “Barangsiapa yang suka duduk daripada Ahli ’Aliyah (nama daerah di Madinah) maka hendaklah ia duduk tanpa sesuatu kesempitan”

أَخْبَرَنا الرَّبِيْعُ قَالَ أَخْبَرنَا الشَّافِعِيُّ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنِ بْنِ شِهَابٍ عَنْ أَبِيْ عُبَيْدٍ مَوْلَى ابْنِ أَزْهَرَ قَالَ شَهِدْتُ الْعِيْدَ مَعَ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ فَجَاءَ فَصَلَّى ثُمَّ انْصَرَفَ فَخَطَبَ فَقَالَ إنَّهُ قَدِ اجْتَمَعَ لَكُمْ فِيْ يَوْمِكُمْ هَذَا عِيْدَانِ فَمَنْ أَحَبَّ مِنْ أَهْلِ الْعَالِيَةِ أَنْ يَنْتَظِرَ الْجُمُعَةَ فَلْيَنْتَظِرْهَا وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَرْجِعَ فَلْيَرْجِعْ فَقَدْ أَذِنْتُ لَهُ

Telah mengkhabarkan kepada kami Arrabi’, dia berkata, telah mengkhabarkan kepada kami Asysyafi’i, beliau berkata, telah mengkhabarkan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Abu Ubaid Maula ibn Az_har, dia berkata, saya telah menyaksikan shalat ied bersama Utsman bin Affan, beliau datang melakukan shalat kemudian berpaling lalu berhutbah, seraya berkata: “Sesungguhnya berhimpun bagi bagi kamu pada hari kamu ini dua Ied, maka barang siapa yang suka dari Ahlil ’Aliyah, akan menunggu Jumat, hendaklah ditunggunya. Dan barangsiapa yang mau pulang, bolehlah pulang, maka sesungguhnya aku telah izinkan baginya

( قَالَ الشَّافِعِيُّ ) وَإِذَا كَانَ يَوْمُ الْفِطْرِ يَوْم الْجُمُعَةِ صَلَّى الْإِمَامُ الْعِيْدَ حِيْنَ تَحِلُّ الصَّلَاةُ ثُمَّ أَذِنَ لِمَنْ حَضَرَهُ مِنْ غَيْرِ أَهْلِ الْمِصْرِ فِيْ أَنْ يَنْصَرِفُوْا إنْ شَاؤُوْا إلَى أَهْلِيْهِمْ وَلَا يَعُوْدُوْنَ إلَى الْجُمُعَةِ وَالْاِخْتِيَارُ لَهُمْ أَنْ يُقِيْمُوْا حَتَّى يَجْمَعُوا أَوْ يَعُوْدُوْا بَعْدَ انْصِرَافِهِمْ إنْ قَدَرُوْا حَتَّى يُجَمِّعُوْا وَإِنْ لَمْ يَفْعَلُوْا فَلَا حَرَجَ إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى

Imam Syafi’i berkata: “Apabila hari Iedul Fitri itu hari Jumat, maka imam melakukan shalat Ied ketika diperbolehkan melakukan shalat, kemudian ia mengizinkan bagi orang yang hadir, selain orang kota untuk pulang menuju keluarga mereka, jika mereka mau, dan tidak usah melakukan shalat Jumat.
Yang terpilih untuk mereka adalah agar berdiam diri lalu melakukan shalat Jumat. Dan jika mereka tidak melakukannya maka tidaklah mengapa, Insya Allahu Ta’ala

( قَالَ الشَّافِعِيُّ ) وَلَا يَجُوْزُ هَذَا لِأَحَدٍ مِنْ أَهْلِ الْمِصْرِ أَنْ يَدَعُوْا أَنْ يُجَمِّعُوْا إِلَّا مِنْ عُذْرٍ يَجُوْزُ لَهُمْ بِهِ تَرْكُ الْجُمُعَةِ وَإِنْ كَانَ يَوْمَ عِيْدٍ

Imam Syafi’i berkata : “Tidak boleh ini bagi seorang pun dari penduduk kota meninggalkan shalat Jumat kecuali disebabkan ada udzur yang membolehkan meninggalkan Jumat, meskipun hari raya”
dalam kitab Al Bayaan, karya Syeikh Yahya bin Abul Khair bin Salim Al Imroni (wafat tahun 558 H), juz 2 halaman 551-553, cetakan ke I tahun 1421 H, Daarul Minhaaj, Beirut:

مَسْأَلَةٌ: اِتِّفِاقُ الْعِيْدِ وَالْجُمُعَةِ

Permasalahan Ied Bertepatan dengan Jumat

وَإِنِ اتَّفَقَ الْعِيْدُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَجَبَتِ الْجُمُعَةِ عَلَى أَهْلِ الْمِصْرِ، وَلَا تَسْقُطُ عَنْهُمْ بِفِعْلِ الْعِيْدِ، وَبِهِ قَالَ أَكْثَرُ الْفُقَهَاءِ .

Jika Ied bertepatan hari hari Jumat maka shalat Jumat tetap wajib atas orang kota. Shalat Jumat tidak gugur atas mereka dengan melakukan shalat Ied. Pendapat ini dipegangi mayoritas ahli fiqh.

وَدَلِيْلُنَا: مَا ذَكَرْنَاهُ مِنَ الظَّوَاهِرِ فِيْ وُجُوْبِ الْجُمُعَةِ، وَلَمْ يُفَرَّقْ فِيْهَا بَيْنَ يَوْمِ الْعِيْدِ وَغَيْرِهِ .

Dalil kami apa yang telah kami sebutkan yaitu zahirnya dalil mengenai wajibnya shalat Jumat, tidak membedakan hari raya atau bukan.

وَأَمَّا أَهْلُ السَّوَادِ - وَهُمْ مَنْ كَانَ خَارِجَ الْمِصْرِ الَّذِيْنَ يَجِبُ عَلَيْهِمْ حُضُوْرُ الْجُمُعَةِ بِسَمَاعِ النِّدَاءِ مِنَ الْمِصْرِ إِذَا حَضَرُوا الْعِيْدَ، وَرَاحُوْا فَلَا يَجِبُ عَلَيْهِمْ حُضُوْرُ الْجُمُعَةِ فِيْ يَوْمِهِمْ ذَلِكَ .

Adapun penduduk sawad yatu orang-orang yang berada diluar perkotaan yang mana mereka wajib mendatangi Jumat dengan mendengar Adzan dari Kota, ketika mereka menghadiri Ied, dan mereka telah pulang maka mereka tidak wajib mendatangi shalat Jumat pada hari tsb.

وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ: لَا يَسْقُط عَنْهُمْ فَرْضُ الْجُمُعَةِ؛ لِأَنَّ مَنْ لَزِمَهُ فَرْضُ الْجُمُعَةِ فِيْ غَيْرِ يَوْمِ الْعِيْدِ لَزِمَهُ فِيْ يَوْمِ الْعِيْدِ، كَأَهْلِ الْمِصْرِ .

Diantara ashab kami ada yang berpendapat bahwasanya kewajiban shalat Jumat tidak gugur atas mereka, karena orang yang berkewajiban shalat Jumat pada selain hari Ied tetap wajib melakukannya pada hari Ied seperti penduduk kota.

وَالْمَنْصُوْصُ هُوَ الْأَوَّلُ، وَالدَّلِيْلُ عَلَيْهِ: مَا رُوِيَ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ وَابن عُمَرَ أَنَّهُمَا قَالَا

اِجْتَمَعَ عِيْدَانِ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ يَوْمٍ وَاحِدٍ، فَصَلَّى الْعِيْدَ فِيْ أَوَّلِ النَّهَارِ، وَقَالَ: أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ هَذَا يَوْمٌ اِجْتَمَعَ فِيْهِ عِيْدَاِن لَكُمْ، فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَشْهَدَ مَعَنَا الْجُمُعَةَ فَلْيَفْعَلْ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْصَرِفَ فَلْيَفْعَلْ

Yang manshsus adalah pendapat yang pertama. Dalilnya yaitu hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah dan Ibn Umar, bahwasanya mereka berdua berkata: berkumpul dua Ied atas Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pada hari yang satu. Maka beliau melakukan shalat Ied pada awal siang. Beliau bersabda: “Wahai manusia, sesungguhnya hari ini berkumpul untuk kalian dua Ied. Barang siapa yang akan menyaksikan (melakukan) shalat Jumat bersama kami, maka lakukanlah, dan barang siapa yang ingin pulang maka lakukanlah.”

وَأَرَادَ بِهِ أَهْلَ الْعَالِيَةِ وَالسَّوَادَاتِ، بِدَلِيْلِ مَا رُوِيَ عَنْ عُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : أَنَّهُ قَالَ فِيْ خُطْبَتِهِ: (أَيُّهَا النَّاسُ، قَدِ اجْتَمَعَ عِيْدَانِ فِيْ يَوْمِكُمْ هَذَا، فَمَنْ أَرَادَ مِنْ أَهْلِ الْعَالِيَةِ أَنْ يُصَلِّيَ مَعَنَا الْجُمُعَةَ فَلْيَفْعَلْ، وَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَرِفَ فَلْيَفْعَلْ

Yang dikehendaki oleh beliau dengan orang yang ingin pulang adalah penduduk Aliyah dan penduduk diluar perkotaan dengan dalil hadits yang diriwayatkan dari Utsman radhiyallaahu ‘anhu bahwasanya beliau berkata dalam khutbahnya: Wahai manusia, sungguh telah kumpul dua Ied di hari kalian ini. Barang siapa dari penduduk Aliyah yang ingin shalat bersama kami maka lakukanlah, dan barang siapa yang ingin pulang maka lakukanlah.

وَلِأَنَّهُمْ إِذَا قَعَدُوْا فِي الْبَلَدِ بَعْدَ صَلَاةِ الْعِيْدِ إِلَى صَلَاةِ الْجُمُعَةِ فَاتَتْهُمْ لَذَّةُ الْعِيْدِ، وَإِنْ رَاحُوْا بَعْدَ صَلَاةِ الْعِيْدِ إِلَى مَنَازِلِهْمْ، ثُمَّ رَجَعُوْا لِصَلَاةِ الْجُمُعَةِ كَانَ عَلَيْهِمْ مَشَقَّةٌ، وَالْجُمُعَةُ تَسْقُطُ بِالْمَشَقَّةِ، بِخِلَافِ أَهْلِ الْمِصْرِ، فَإِنَّ ذَلِكَ لَا يُوْجَدُ فِيْ حَقِّهِمْ.

Lagian jika di kota mereka duduk-dukuk setelah shalat Ied menunggu shalat Jumat, maka hilanglah kenikmatan hari raya dari mereka. Jika setelah shalat ed mereka pulang kerumahnya masing-masng lalu mereka kembali (ke kota) untuk melakukan shalat Jumat, maka hal itu merupakan kepayahan atas mereka. Sementara shalat Jumat gugur dengan adanya kepayahan, berbeda dengan penduduk kota, hal tsb tidak terjadi atas mereka.
Dalam Kitab Al Majmu’, Syarh Al Muhadzdab, karya Imam Nawawi (wafat tahun 676 H) juz 4 halaman 492:

قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ مَذْهَبَنَا وُجُوْبُ الْجُمُعَةِ عَلَى أَهْلِ الْبَلَدِ وَسُقُوْطُهَا عَنْ أَهْلِ الْقُرَى وَبِهِ قَالَ عُثْمَانُ ابْنُ عَفَّانَ وَعُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيْزِ وَجُمْهُوْرُ الْعُلَمَاءِ

Telah kami sebutkan bahwasanya madzhab kami adalah wajib melakukan shalat Jumat bagi penduduk kota, dan shalat Jumat gugur bagi penduduk desa.
Pendapat ini yang dikatakan oleh Utsman bin Affan, Umar bin Abdul Aziz dan jumhur ulama.
Dalam Mushonnaf Abdurrazzaq, karya Syeikh Abdurrazzaaq ( wafat tahun 211 H) juz 3 halaman 304 hadits nomor 5729:

عَبْدُ الرَّزَّاقِ عَنِ بْنِ جُرَيْجٍ قَالَ أَخْبَرَنِيْ بَعْضُ أَهْلِ الْمَدِيْنَةِ عَنْ غَيْرِ وَاحِدٍ مِنْهُمْ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِجْتَمَعَ فِيْ زَمَانِهِ يَوْمُ جُمُعَةٍ وَيَوْمُ فِطْرٍ أَوْ يَوْمُ جُمُعَةٍ وَأَضْحَى فَصَلَّى بِالنَّاسِ اَلْعِيْدَ الْأَوَّلَ ثُمَّ خَطَبَ فَأَذِنَ لِلْأَنْصَارِ فِي الرُّجُوْعِ إِلَى الْعَوَالِيْ وَتَرْكِ الْجُمُعَةِ فَلَمْ يَزَلْ اَلْاَمْرُ عَلَى ذَلِكَ بَعْدُ

Abdurrazzaq, dari Ibn Juraij, dia berkata: Telah mengkhabarkan kepada saya penduduk Madinah bukan satu orang saja dari mereka bahwasanya telah berkumpul di zaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam hari Jumat dan Iedul Fitri atau hari Jumat dan Iedul Adha. Maka beliau melakukan Ied yang pertama bersama orang-orang, kemudian belau berkhutbah dan mengijinkan kepada kaum Anshar untuk kembali ke Awali dan meninggalkan shalat Jumat. Perkara tsb berulang-ulang setelahnya.
Wallaahu A’lam
Semoga bermanfaat.

Catatan :

Tidak boleh meninggalkan sholat jumat dalam keadaan demikian bgi orang yg dkat mesjid.... lha wong sekarang mesjid mumbruk kok arep ora jumatan dgn alasan ono hadise... woco syarahe poro ulama ttg hadis trsebut.... illate boleh tidak jumatan untuk orang yang jauh berjalan menuju mesjid, turun naik gurung mendaki lembah mungkin.

Rukhsoh itu bukankah 'illatnya masyaqqoh untuk berulangkali hadir ke masjid karena jarak yang jauh pada waktu itu.
Lha sekarang masjid jarak cuma sejeengkal masak banyak yang tidak sholat,,,,, ayo Jum'atan
 

KISAH Idul Fitri pada zaman ROSULULLAH SAW
Alhamdulillah hi robbil aalamin, Hari Raya Idul Fitri telah datang,
Salah satu Idul Fitri pada zaman Nabi terjadi pada hari Jumat, yaitu 1 Syawal 3 H yang bertepatan dengan 15 Maret 625. Inilah satu-satunya idul fitri yang jatuh pada hari Jum'at semasa Rasulullah SAW hidup. Mungkin inilah kejadian yang berkaitan dengan hadits yang membolehkan meninggalkan salat Jum'at bila pagi harinya telah mengikuti salat hari raya. Dalam hadits dari Abu Hurairah yang diriwayatkan dari Abu Dawud disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Pada hari ini (Jumat) telah berkumpul dua hari raya, maka siapa yang mau, (salat hari rayanya) telah mencukupi salat Jumatnya, tetapi kami tetap akan melakukan salat Jumat."
Berkata Al Hafidh Ibnu Hajar[Fathul Bari 2/446] : “Dalam “Al Mahamiliyat” dengan isnad yang hasan dari Jubair bin Nufair, ia berkata (yang artinya) : Para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila bertemu pada hari raya, maka berkata sebagian mereka kepada yang lainnya : Taqabbalallahu minnaa wa minkum (Semoga Allah menerima dari kami dan darimu)”.
Ibnu Qudamah dalam “Al-Mughni” (2/259) menyebutkan bahwa Muhammad bin Ziyad berkata : “Aku pernah bersama Abu Umamah Al Bahili dan selainnya dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka bila kembali dari shalat Id berkata sebagiannya kepada sebagian yang lain : Taqabbalallahu minnaa wa minka.
Beberapa shahabat menambahkan ucapan shiyamana wa shiyamakum, yang artinya puasaku dan puasa kalian. Jadi ucapan ini bukan dari Rasulullah, melainkan dari para sahabat.
Kemudian, untuk ucapan minal ‘aidin wal faizin itu sendiri adalah salah satu ungkapan yang seringkali diucapkan pada hari raya fithri. Sama sekali tidak bersumber dari sunnah nabi, melainkan merupakan ‘urf (kebiasaan) yang ada di suatu masyarakat, dalam hal ini ya di Indonesia saja.
Sering kali kita salah kaprah mengartikan ucapan tersebut, karena biasanya diikuti dengan “mohon maaf lahir dan batin”. Jadi seolah-olah minal ‘aidin wal faizin itu artinya mohon maaf lahir dan batin. Padahal arti sesungguhnya bukan itu. Kata minal aidin wal faizin itu sebenarnya sebuah ungkapan harapan atau doa. Tapi masih ada penggalan yang terlewat. Seharusnya lafadz lengkapnya adalah ja’alanallahu wa iyyakum minal aidin wal faizin, artinya semoga Allah menjadikan kami dan anda sebagai orang-orang yang kembali dan beruntung (menang).
Referensi Hadist
Hadis riwayat Jabir bin Abdullah, ia berkata:
Bahwa Nabi pernah melaksanakan salat hari Raya Fitri. Beliau memulai dengan salat terlebih dahulu. Sesudah itu beliau berkhutbah kepada kaum muslimin. Selesai khutbah Nabi turun dan mendatangi kaum wanita. Beliau memberikan peringatan kepada mereka sambil berpegangan pada tangan Bilal. Lalu Bilal membentangkan pakaiannya dan para wanita memberikan sedekah. (Shahih Muslim No.1466)
Hadis riwayat Ibnu Abbas dan Jabir bin Abdullah Al-Anshari, ia berkata:
Dari Ibnu Juraij, ia berkata: Atha telah mengabarkanku dari Ibnu Abbas dan dari Jabir bin Abdullah Al-Anshari, keduanya berkata: Tidak ada azan bagi salat hari raya idul fitri atau idul adha. Kemudian aku bertanya kepadanya tentang itu, lalu Jabir bin Abdullah Al-Anshari memberitahukan kepadaku bahwa tidak ada azan untuk salat hari raya idul fitri, baik saat imam menaiki mimbar maupun sesudahnya. Juga tidak ada iqamat, seruan atau apapun. Pada saat itu tidak ada azan atau iqamat. (Shahih Muslim No.1468)
Hadis riwayat Ibnu Umar, ia berkata:
Bahwa Nabi, Abu Bakar dan Umar, mereka melakukan salat Ied (idul fitri dan idul adha) sebelum khutbah. (Shahih Muslim No.1471)
Dan yang Paling populer adalah :
Anas berkata, "Rasulullah tidak pergi (ke tempat shalat) pada hari raya Fitri sehingga beliau memakan beberapa buah kurma. (Dan beliau memakannya dalam jumlah ganjil.)
QS. AN-NUR :22

وَلا يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبَى وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

"Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat (nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Semoga dengan berakhirnya bulan suci ini, kita mendapat ampunan yang besar dari Allah dan dengan berkumandangnya takbir, kita bisa menjadi bayi yang baru lahir (tidak memiliki dosa). Marilah kita saling berlapang dada, mengulurkan tangan dan saling mengucapkan minal `aidin wal faizin. semoga kita dapat kembali mendapatkan jati diri kita yang Fitri dengan memperoleh ampunan,ridha, dan kenikmatan dari Allah SWT. Amiiin.
SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1436 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar