Selasa, 24 Juni 2014

Puasa: Rasulullah Menggunakan Hisab Atau Rukyat ?

Hisab artinya hitungan sedangkan ru`yat adalah pandangan/penglihatan. Istilah ilmu hisab maknanya adalah disiplin ilmu untuk menetukan penanggalan berdasrkan hitungan matematis. Sedangkan ru`yat adalah penetuan jatuhnya awal bulan qamariyah berdasarkan penghilatan mata atau pengamatan ada tidaknya bulan sabit (hilal) tanggal satu pada hari terakhir (tanggal 29) bulan qamariyah. Pengamatan dilakukan pada sore hari menjelang matahari terbenam. Bila di hari itu nampak hilal, maka dipastikan bahwa esok telah masuk kepada bulan baru atau tanggal satu. Dan hari itu (tanggal 29) menjadi hari terakhir dari bulan sebelumnya.
Rasulullah saw dalam beribadah selalu menjalankannya sesuai dengan kehendak Allah. Dan apa yang dikerjakannya itu menjadi dasar hukum Islam yang harus diikuti oleh umat Islam seluruhnya hingga akhir masa. Dalam penentuan awal Ramadhan, Idul Fithri dan Idul Ahda tidak pernah Rasulullah saw menentukannya berdasarkan hisab. Bukan karena di zaman itu tidak ada ilmu hisab, tapi karena memang itulah yang dijadikan ajaran Islam. Pada abad ke-7 dimana Rasulullah saw hidup, ilmu hisab sebenarnya sudah ada dan cukup maju. Dan bila memang mau, tidak ada kesulitan sedikitpun untuk menggunakan ilmu hisab di zaman itu. Apalagi bangsa arab terkenal sebagai pedangan yang sering melakukan perjalanan ke berbagai peradaban besar dunia seperti Syam dan Yaman. Namun, belum pernah didapat sekalipun keterangan dimana Rasulullah saw memerintahkan untuk mempelajari ilmu hisab ini terutama untuk penentuan awal bulan. Karena itu alasan yang pasti mengapa Rasulullah saw tidak menggunakan hisab dalam penetuan tanggal adalah karena memang ajaran Islam tidak merekomendir penggunaan hisab untuk dijadikan penentu penanggalan.
Sebaliknya Rasulullah saw sejak awal telah mengunakan ru`yatul hilal dan ada sekian banyak hadits menyebutkan hal itu. Dari Abi Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw telah bersabda : ”Puasalah kamu dengan melihat hilal dan berbukalah kamu (lebaran) dengan melihatnya. Apabila tertutup awan, maka genapkanlah bulan sya`ban menjadi 30 hari”. (HR. Bukhari dan Muslim). Dan Rasulullah saw bersabda : “Satu bulan itu ada 29 hari, maka janganlah kamu puasa kecuali melihat hilal. Namun bila hilal tertutup awan, maka genapkanlah menjadi 30 hari”. (HR. Bukhari)
Karena itu wajar bila semua ulama baik di zaman dahulu maupun di zaman sekarang semuanya sepakat bahwa dalam menentukan pergantian kalender hijriyah yang berkaitan dengan masalah jadwal ibadah seperti awal ramadhan, jatuh hari Raya Idul Fithri dan Idul Adha serta yang lainnya adalah dengan menggunakan ru’yatul hilal. Hikmah di balik penggunaan ru’yatul hilal tidak lain adalah bahwa agama Islam itu mudah. Tidak memerlukan teknologi canggih untuk bisa menerapkannya. Juga tidak membutuhkan perhitungan (hisab) yang njelimet untuk menentukannya. Bahkan seorang arab badui yang tinggal di tengah padang pasir dan jauh dari pusat peradaban bisa sekalipun bisa melakukannya.
Sebaliknya, meski sering dikatakan lebih ilmiyah, namun metode hisab itu sendiri juga penuh dengan perbedaan. Karena ada banyak cara atau metode penghitungan yang dikenal. Selain itu juga ada sekian banyak ketentuan dan sistem yang dipakai oleh masing-masing pelaku hisab. Walhasil, meski menggunakan ilmu hitung yang paling modern sekalipun, hasilnya tidak selalu sama. Sehingga bila kita menelusuri leteratur fiqih baik klasik maupun modern, maka kita hampir tidak mendapati metode hisab dalam penentuan tanggal hijriyah.
Kalaupun hisab itu akan digunakan, maka sifatnya hanya sebagai pengiring atau pemberi informasi umum tentang dugaan posisi hilal, namun bukan sebagai eksekutor dimana hanya dengan hisab lalu belum apa-apa sudah dipastikan jatuh awal Ramadhan. Ini jelas tidak bisa diterima dalam Fiqih Islam. Sema orang yang pernah belajar fiqih apalagi di universitas Islam, pasti tahu hal itu. Karena itu aneh kiranya bila jabatan Menteri Agama dipegang oleh seorang doktor syariah dari Universitas Ummul Quro Mekkah, tapi kebijakannya dalam masalah penetapan awal Ramadhan masih lebih bertumpu kepada hisab dan bukan ru’yatul hilal. Karena pendapat tentang keabsahan hisab dalam penetuan awal Ramadhan dan sebagainya adalah pendapat yang asing dan tidak dikenal dalam wilayah fiqih Islam. [ Hakam Ahmed ElChudrie ].
PENETAPAN AWAL RAMADHAN DENGAN RU’YATULHILAL
Sejak dari bulan Rajab kita sudah melaksanakan doa yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad Sallallahu ’Alaihi Wasallam melalui puji-pujian menjelang Shalat Fardhu atau pada saat-saat tertentu yang kita sempatkan untuk membaca-nya. Doa yang dimaksud adalah;
اَللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِىرَجَبَ وَشَعْبَانَ وَبَالِغْنَا رَمَضَانَ
“Ya Allah berilah keberkahan pada kami dibulan rajab, bulan sya’ban dan sampaikanlah kami di bulan Ramadhan”
Alhamdulillah, pada kesempatan ini, doa kita dikabulkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Kita akhrnya bisa sampai pada Bulan Suci Ramadhan, bulan yang penuh berkah, penuh ampunan dan bulan di mana pahala dilipatgandakan. Di dalam doa tersebut tersirat makna; 2 (dua) bulan sebelum Ramadhan, Kita sudah mengharap dan mempersiapkan diri untuk menyambut datangnya Ramadhan bulan yang suci dan mulia. Dengan harapan kita termasuk golongan orang-orang dalam Hadis Rasulullah SAW dinyatakan;
مَنْ فَرَحَ بِدُخُوْلِ رَمَضَانَ حَرَّمَ اللهُ جَسَدَهُ عَلَى النِّيْرَانْ
“Barang siapa yang senang dengan datangnya bulan Ramadhan, maka Allah SWT mengharamkan jasad orang tersebut atas api neraka”
Lantas kapan saatnya Bulan Ramadhan tiba? Pertanyaan ini penting untuk dikemukakan untuk menambah wawasan keilmuan dan memperkuat keyakinan kita. Seperti dinyatakan oleh Jumhurul Ulama; mereka sepakat bahwa penetapan awal Ramadhan itu dilakukan dengan salah satu dari 2 (dua) cara, yaitu;
Dihitung dengan (melihat) hilal (tanggal) bulan Ramadhan, bila tidak ada yang menghalangi pandangan seperti mendung, awan, asap, debu dll.
Dengan menyempurnakan bulan Sya’ban 30 hari, bila tanggal 29 sya’ban ada penghalang Ru’yatul hilal.
Hal ini berdasar hadis Nabi Muhammad SAW :
صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَاَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَاِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاَكْمِلُوْا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا
“Berpuasalah kalian apabila melihat bulan, dan berbukalah (berhari raya-lah) kalian, apabila telah melihat bulan. Namun jika pandanganmu terhalang oleh awan, maka sempurnakan bulan sya’ban itu sampai dengan 30 hari”. (HR. Bukhori)
Dalam keyakinan kita, Ru’yah adalah Pegangan dan Pedoman yang diyakini untuk dilaksanakan. Oleh karena itu, seseorang dilarang memulai puasa ataupun mengakhirinya sebelum ada keputusan hasil Ru’yah, sebagai mana sabda Rasulullah SAW :
عَنْ عَبْدِاللهِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا اَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ لاَ تَصُوْمُوْا حَتَّى تَرَوا الهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوْا حَتَّى تَرَوْهُ فَاءِنْ غَمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوْا لَهُ (صحيح البخارى)
“Dari Abdullah Bin Umar RA. Bahwa suatu ketika Rosululloh bercerita tentang bulan Ramadhan. Rosul bersabda : janganlah kalian berpuasa sehingga kamu melihat bulan dan janganlah kamu berbuka (hari raya) sampai kamu melihat bulan, namun jika pandanganmu tertutup mendung, maka perkirakanlah jumlah harinya” (HR. Bukhari)
Kalaupun ada golongan atau kelompok lain di negara Kita yang menggunakan selain Ru’yah Al - Hilal dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan, itu lebih dikarenakan kurang tepat dalam menempatkan dan mempedomani Hujjah/Dalil semisal Hadis Rasulullah SAW :
عَنْ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنَّهُ قَالَ اَنَّا اُمَّةٌ اُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتَبَ وَلاَ نَحْسُبٌ اَلشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِى مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِيْنَ وَمَرَّةً ثَلاَثِيْنَ
“Dari Ibnu Umar RA. Dari Nabi SAW, bahwa beliau bersabda, kami adalah umat yang tidak dapat menulis dan berhitung satu bulan itu seperti ini. Seperti ini maksudnya : satu saat berjumlah 29 hari dan pada waktu lain 30 hari”. (HR. Bukhari).
Hadis di atas dijadikan landasan untuk melemahkan metode Ru’yah al Hilal sebagai mana yang kita yakini. Dalam pemahaman mereka, Rasulullah SAW menggunakan Ru’yah, karena dizaman Rasul Muhammad SAW, belum mampu melakukan Hisab / perhitungan. Oleh karenanya, bagi mereka, metode Ru’yah Al Hilal sudah tidak relevan lagi di zaman sekarang yang serba bertehnologi canggih ini di mana Metode Hisab (Penentuan awal Ramadhan dengan Metode Perhitungan) di dukung oleh dan didasarkan pada hitungan berbasis Komputer.
Pemahaman tersebut sungguh belum bisa diterima karena kenyataannya di zaman Rasulullah SAW, telah ada Sahabat-Sahabat yang mahir Ilmu Hisab terutama seperti sahabat Ibnu Abas RA. Kita meyakini dan mengikuti; bahwa Ru’yah Al Hilal cara yang diajarkan, dianjurkan dan yang telah dilaksanakan Rasulullah dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan; bukan dengan Hisab, atau malah dengan mengikuti keputusan Negara lain yang berbeda Matla’.
Hadis tentang Ru’yah Al Hilal dikukuhkan oleh para Ulama sebagai sebuah Keputusan yang WAJIB diikuti oleh umat islam. Maka, Berdasarkan Keputusan Munas Alim Ulama Nahdlatul Ulama Tahun 1987 di PP Al Ihya Ulumaddin Kesugihan, ditetapkan bahwa: warga NU/ Warga Nahdliyyin mengawali Puasa Romadlon dan Idul Fitri berdasarkan Rukyat bil Fi’li / Ru’yah Al Hilal dan atau Istikmal jika proses Ru’yah Al Hilal tidak dicapai karena terhalang awan/mendung, serta mengikuti Hasil Sidang Itsbat oleh Pemerintah RI, juga berdasarkan Rukyatul Hilal.
Jika Pemerintah RI ternyata menetapkan Awal Ramadhan dan atau Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha berdasarkan Hisab semata dan bukan berdasarkan Ru’yatul Hilal atas dasar Sumpah terhadap Dua Orang Saki atau lebih, seperti pernah terjadi beberapa tahun yang lalu, maka umat islam tidak Wajib mengikutinya. Artinya, demi menjaga keyakinan yang kita anut, kita tetap melaksanakan Ibadah Puasa Ramadhan dan Merayakan Idul Fitri tetap berdasarkan hasil Ru’yatul Hilal. [ Irsyad Rezpector La'nus ].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar