Rabu, 25 Juni 2014

Penetapan tanggal 1 bulan Ramadhan

Firman Allah ta’ala yang artinya ”Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan bulan (di negeri tempat tinggalnya), maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” (QS. Al Baqarah [2] : 185) “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji” (QS Al Baqarah [2]:189 )
“Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua” (QS Yaasin [36]:39)
“Sebagai bentuk tandan yang tua” maksudnya: bulan-bulan itu pada awal bulan, kecil berbentuk sabit, kemudian sesudah menempati manzilah-manzilah, dia menjadi purnama, kemudian pada manzilah terakhir kelihatan seperti tandan kering yang melengkung
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya“. (QS An Nisaa [4]:59)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadi perselisihan maka ikutilah as-sawad al a’zham (pemahaman mayoritas kaum muslim atau pemahaman jumhur ulama).” (HR. Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al Lalika’i, Abu Nu’aim. Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir, ini adalah hadits Shohih)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda :

“إِنَّ اللهَ لَا يُجْمِعُ أُمَّةِ عَلَى ضَلَالَةٍ وَيَدُ اللهِ مَعَ الجَمَاعَةِ وَمَنْ شَذَّ شَذَّ إِلَى النَّارِ”
“Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku diatas kesesatan. Dan tangan(Kekuasaan) Allah bersama jama’ah. Barangsiapa yang menyelewengkan, maka ia menyeleweng ke neraka“. (HR. Tirmidzi: 2168).

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XII/37 menukil perkataan Imam Thabari rahimahullah yang menyatakan: “Berkata kaum (yakni para ulama), bahwa jama’ah adalah as-sawadul a’zham“.
Letak permasalahan mereka yang berbeda dengan keputusan ulil amri berdasarkan kesepakatan mayoritas ulama (as-sawadul a’zham) sehingga menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah pada umumnya mereka menggunakan metode perhitungan (hisab) dengan ketetapan berdasarkan "hisab hakiki wujudul hilal" artinya berapapun derajat positif tinggi hilal maka ditetapkan "hilal sudah wujud".
Mereka berkeyakinan "hilal sudah terwujud" apabila pada hari ke-29 bulan kamariah berjalan saat matahari terbenam terpenuhi tiga syarat berikut secara kumulatif, yaitu (1) telah terjadi ijtimak, (2) ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam, dan (3) pada saat matahari terbenam bulan (piringan atasnya) masih di atas ufuk. Apabila salah satu dari kriteria tersebut tidak dipenuhi, maka bulan berjalan digenapkan tiga puluh hari dan bulan baru dimulai lusa. Jadi andaipun mereka merukyat maka yang dilihat bukannya hilal namun pada saat matahari terbenam, bulan (piringan atasnya atau piringan bawah menurut kalender hijriah Ummul Qura dengan marjaknya adalah kota Mekah) masih di atas ufuk.
Sebenarnya tentu boleh menggunakan metode perhitungan (hisab) agar kita dapat mengetahui lebih awal namun kita harus menterjemahkan sunnah Rasulullah shallallahu alaih wasallam kewajiban "melihat hilal" kedalam metode perhitungan (hisab) yang disebut kriteria visibilitas hilal artinya kritera berapa derajatkah hilal dapat dikatakan terlihat oleh manusia (imkanur rukyat).

Perhitungan astronomis menyatakan, tinggi hilal sekitar 2 derajat dengan beda azimut 6 derajat dan umur bulan sejak ijtimak 8 jam. Jarak sudut Bulan-Matahari 6,8 derajat, dekat dengan limit Danjon yang menyatakan jarak minimal 7 derajat untuk mata manusia rata-rata yang dapat dikatakan "hilal terlihat".
Kriteria tinggi 2 derajat dan umur bulan 8 jam ini yang kemudian diadopsi sebagai kriteria imkanur rukyat MABIMS (negara-negara Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) pada tahun 1996.
Bahkan berdasarkan kajian astronomis yang dilakukan LAPAN terhadap data rukyatul hilal di Indonesia (1962-1997) yang didokumentasikan oleh Departemen Agama RI diperoleh dua kriteria visibilitas hilal (hilal terlihat) yang rumusannya disederhanakan sesuai dengan praktik hisab-rukyat di Indonesia. Awal bulan ditandai dengan terpenuhi kedua-duanya, bila hanya salah satu maka dianggap belum masuk tanggal.
Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia adalah sebagai berikut.
Pertama, umur hilal minimum 8 jam.

Kedua, tinggi bulan minimum tergantung beda azimut Bulan-Matahari. Bila bulan berada lebih dari 6 derajat tinggi minimumnya 2,3 derajat. Tetapi bila tepat berada di atas matahari, tinggi minimumnya 8,3 derajat.
Banyak dalil yang menegaskan “jika terhalang oleh awan” yang menunjukkan terhalangnya penglihatan sehingga jika menggunakan metode perhitungan (hisab) harus memenuhi kriteria mata manusia rata-rata yang dikatakan "hilal terlihat" atau visibilitas hilal atau imkanur rukyat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika kamu melihatnya maka berpuasalah dan jika kamu melihatnya lagi maka berbukalah. Apabila kalian terhalang oleh awan maka perkirakanlah jumlahnya (jumlah hari disempurnakan)“ (HR Bukhari 1767)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihat hilal dan jangan pula kalian berbuka hingga kalian melihatnya. Apabila kalian terhalang oleh awan maka perkirakanlah jumlahnya (jumlah hari disempurnakan)“ (HR Bukhari 1773).
Bahkan ada hadits telah jelas-jelas menegaskan untuk menggenapkannya bukan menetapkan atau memperkirakan hilal terwujud berdasarkan perhitungan (hisab).
حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ زِيَادٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ قَالَ قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
Telah menceritakan kepada kami Adam telah menceritakan kepada kami Syu’bah telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ziyad berkata, aku mendengar Abu Hurairah radliallahu ‘anhu berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, atau katanya Abu Al Qasim shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: “Berpuasalah kalian dengan melihatnya (hilal) dan berbukalah dengan melihatnya pula. Apabila kalian terhalang oleh awan maka sempurnakanlah jumlah bilangan hari bulan Sya’ban menjadi tiga puluh“. (HR Bukhari 1776)

Begitupula telah jelas adanya larangan berpuasa pada yaum asy-syakk atau hari yang diragukan, yakni terdapat keraguan apakah hari tersebut masih termasuk bulan Sya’ban atau telah masuk bulan Ramadhan.
Diriwayatkan dari Ammar bin Yasir radliyallâhu anhu, bahwa beliau berkata :
مَنْ صَامَ يَوْمَ الشَّكِّ فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (رواه أبو داود والنسائي والترمذي)
“Barangsiapa berpuasa pada hari yang diragukan, maka dia telah durhaka pada Abul Qasim (Rasulullah) shallallâhu alaihi wa sallam” (HR. Abu Dawud, Nasa’i dan Turmudzi)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radliyallâhu anhu, bahwa Rasulullah shallallâhu alaihi wa sallam bersabda :
إذَا انْتَصَفَ شَعْبَانُ فَلَا صِيَامَ حَتَّى يَكُونَ رَمَضَانُ (رواه أبو داود وغيره)
“Jika Sya’ban telah berlalu separuh, maka tidak ada puasa hingga tiba Ramadhan“ (HR. Abu Dawud dan lainnya)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radliyallâhu anhu, bahwa Rasulullah shallallâhu alaihi wa sallam bersabda :
لَا تَقَدِّمُوا الشَّهْرَ بِيَوْمٍ وَلَا بِيَوْمَيْنِ إلَّا أَنْ يُوَافِقَ صَوْمًا كَانَ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ (رواه البخاري ومسلم)
“Jangan mendahului bulan (Ramadhan) dengan (berpuasa) sehari atau dua hari, kecuali hari tersebut bertepatan dengan puasa yang biasa dilakukan salah seorang dari kalian“ (HR. Bukhari dan Muslim)
Hal yang dimaksud dengan “puasa yang biasa dilakukan” adalah puasa sunnah bukan puasa yang diniatkan untuk puasa wajib di bulan Ramadhan

Secara definitif, yaum asy-syakk adalah hari ke-30 dari bulan Sya’ban, di mana telah tersiar kabar bahwa malamnya hilal berhasil di-rukyah atau dilihat, dan keadaan langit pada malam itu cerah, tidak mendung, tetapi tak satupun orang yang menyatakan kesaksian di hadapan hakim bahwa dia telah melihat hilal. Atau ada kesaksian penglihatan hilal, tetapi dilakukan oleh orang yang tidak memenuhi persyaratan sebagai saksi hilal, seperti anak kecil, wanita, budak atau orang fasiq (pelaku maksiat), yang kesaksiannya tidak diyakini kebenarannya.
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830

Tidak ada komentar:

Posting Komentar