Sabtu, 29 Oktober 2016

Wisanggeni


WISANGGENI berhak ugal-ugalan. Dia diperlakukan tidak adil sejak di kandungan. Toh dia cuma bangsat di luar, dia asli nasionalis sejati.

Kenapa Wisanggeni ugal-ugalan, supaya sopan santun tidak digunakan untuk menipu. Menipu dengan sopan. Dia anti yg begitu-begitu.

Yang bisa dekat dengan Wisanggeni cuma mereka yang gak takut api. Yang cari aman dan ikut senang, gak usah ngaku-aku. Malu.

Yang ingin ketemu Wisanggeni, harus berani disakiti. Yang lalu berani sembuh dan tumbuh dan tetap bisa jatuh cinta.
Ibaratnya, kalau Wisanggeni adalah wedang uwuh, wedang uwuh tanpa gula. Lampu tanpa filter, hook kanan tanpa sarung tangan.

Wisanggeni senang menyendiri, tapi tidak masalah dengan keramaian. Di Megamalang, mendung yang melintang, di sana dia biasa ngaso.
Dari sana semua tempat terpencil bisa kentara, yang tertutup menjadi terbuka, maka tidak heran pemuda itu demikian lugasnya.

Wisanggeni adalah inti api yang luwes, membakar yang perlu, mematangkan.
Wisanggeni pernah Debat hebat dengan Kresna di usia yang amat muda.

Kresna pernah bertanya. Wisanggeni, adakah yang kautakuti? Anak muda itu menjawab, banyak. Tapi selalu kutantang mereka.

Wisanggeni pernah takut pertanyaannya tak terjawab. Siapa ayahnya. Dan semua pemilik jawaban ditantangnya terang-terangan.
Wisanggeni pernah takut tak memiliki ketakutan lagi. Kresna menantangnya di hari menjelang Baratayuda.

Merelakan kemenangan.
Tidak cukup menakutkan buat Wisanggeni. Ternyata ketakutannya bukan itu. Cuma satu. Takut tidak berguna.
Hidup sekedar mampir minum? Buat Wisanggeni, plus mampir main-main. Terlalu tahu justru bikin bosan. Mari bermain.

Kepolosan layaknya masa kanakmu, pertahankan itu, teriak Wisanggeni kepada Anoman suatu kali. Kera yang sudah amat tua.
Pada pemuda ini kita belajar soal jangka, jari-jari lingkaran. Jangan mengumpat kalau kupingmu masih panas saat diumpat balik.

Tua muda itu soal waktu saja. Tapi mempertahankan polos kanak adalah pilihan, apa gunanya pernah kanak kalau kemudian ingkar.

Benar memang, waktu kadang menunda kebenaran. Demikianlah, mau cepat harus siap lambat. Bergerak itu pangkalnya diam.
Kalau kau suka bermain, bermain dengan sungguh-sungguh, maka ada Wisanggeni dalam dirimu.

*salam Wisanggeni.

Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar