Jumat, 21 Oktober 2016

Shalawat Nariyah dan kajianya untuk Indonesia di hari santri nasional


Shalawat Nariyah dan Pengarang
Sebagian kalangan mempertanyakan dan bahkan menuding tak berdasarnya Shalawat Nariyah yang akan dibacakan warga NU pada malam peringatan Hari Santri Nasional 22 Oktober mendatang. Pokok persolannya, menurut mereka adalah tidak diketahui pengarangnya.

Menjawab Penggugat Shalawat Nariyah, baik yang menuding ada unsur syirik, bukan berasal dari Nabi, dan sebagainya.

Berikut akan kami jelaskan masing-masing poin yang dihujat dalam Shalawat Nariyah serta kami jelaskan bantahannya;

Sayidina Muhammad
Kalau yang dipermasalahkan karena dalam Shalawat Nariyah ada lafal sayidina, maka menyebut Rasulullah dengan sayid pun sudah disampaikan sahabat Nabi dengan sanad yang sahih:

حَدِيْثُ ابْنِ عُمَرَ : " أَنَّهُ كَانَ إِذَا دُعِيَ لِيُزَوِّجَ قَالَ : الْحَمْدُ للهِ وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ إِنَّ فُلَانًا يَخْطُبُ إِلَيْكُمْ فَإِنْ اَنْكَحْتُمُوْهُ فَالْحَمْدُ للهِ وَإِنْ رَدَدْتُمُوْهُ فَسُبْحَانَ اللهِ " صحيح . أخرجه البيهقي 7 / 181 (إرواء الغليل - ج 6 / ص 221)


Jika Ibnu Umar diundang untuk menikahkan, ia berkata: “Alhamdulillah, semoga Allah bershalawat kepada Sayidina Muhammad. Sungguh fulan melamar kepada kalian. Jika kalian menikahkannya maka alhamdulillah. Jika kalian menolaknya maka Maha Suci Allah” Riwayat al-Baihaqi 7/181. Syekh Albani berkata: “Sahih” (Irwa’ al-Ghalil, 6/221). Dalam hal ini, Albani saja menyebut sahih. Apalagi ulama-ulama Aswaja.

Shalawat Bukan dari Rasulullah
Jika yang menjadi keberatan karena Shalawat Nariyah bukan dari Rasulullah, maka Syekh Ibn Qayyim al-Jauziyah, murid Syekh Ibn Taimiyah telah meriwayatkan beberapa redaksi shalawat Nabi yang disusun para sahabat dan ulama salaf, dalam kitabnya Jala’l Afham fis Shalat was-Salam ‘ala Khairil Anam. Antara lain shalawat yang disusun oleh:

- Abdullah bin Mas’ud:

اللَّهُمَّ اجْعَلْ صَلَوَاتِكَ وَرَحْمَتَكَ وَبَرَكَاتِكَ عَلَى سَيِّدِ الْمُرْسَلِيْنَ وَإِمَامِ الْمُتَّقِيْنَ وَخَاتَمِ النَّبِيِّيْنَ مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ إِمَامِ الْخَيْرِ وَقَائِدِ الْخَيْرِ وَرَسُوْلِ الرَّحْمَةِ، اللَّهُمَّ ابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا يَغْبِطُهُ بِهِ اْلأَوَّلُوْنَ وَاْلآخِرُوْنَ.


“Ya Allah, jadikanlah shalawat-Mu, rahmat-Mu dan berkah-Mu kepada junjungan para Rasul, imam orang-orang bertakwa, penutup seluruh Nabi, Muhammad, hamba-Mu, utusan-Mu, Imam kebaikan, penuntuk kebaikan, Rasul yang membawa rahmat. Ya Allah, tempatkan ia di tempat terpuji yang dikelilingi oleh orang-orang awal dan akhir” (Jala’ al-Afham 36)

- ‘Alqamah An-Nakha’i, seorang tabi’in:

صَلىَّ اللهُ وَمَلاَئكِتُهُ عَلىَ مُحَمَّدٍ السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ.


“Semoga Allah dan malaikat-Nya bershalawat kepada Muhammad. Salam kepadamu wahai Nabi, juga rahmat Allah dan berkah Allah” (Jala’ al-Afham 75)

- Imam al-Syafi’i sebagai berikut:

صَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّدٍ عَدَدَ مَا ذَكَرَهُ الذَّاكِرُوْنَ وَعَدَدَ مَا غَفَلَ عَنْ ذِكْرِهِ الْغَافِلُوْنَ.


“Semoga Allah memberi shalawat kepada Muhammad sebanyak hitungan orang-orang yang dzikir dan sebanyak hitungan orang-orang yang lalai mengingatnya.” (Jala’ al-Afham 230).

Demikian beberapa redaksi shalawat Nabi yang disusun oleh para sahabat dan ulama salaf yang diriwayatkan oleh Syekh Ibn al-Qayyim dalam kitabnya Jala’l Afham fis Shalat was-Salam ‘ala Khairil Anam. Hal tersebut kemudian dilanjutkan para ulama untuk menyusun beragam redaksi shalawat sehingga lahirlah Shalawat Nariyah, Thibbul Qulub, Al-Fatih, Al-Munjiyat dan lain-lain.

Tawassul dengan Rasulullah
Jika penolakannya karena shalawat ini mengandung tawassul, maka berdasar hadis sahih bahwa Utsman bin Hunaif melihat Nabi mengajarkan doa tawassul kepada orang buta dan ia membacanya (HR at-Tirmidzi), lalu oleh Utsman bin Hunaif doa tawassul tersebut diajarkan kepada seorang yang menemukan kesulitan untuk masalah yang ia hadapi di masa Sayidina Utsman (HR Tabrani).

Dari sini banyak para ulama berpendapat bahwa bertawassul dengan Nabi adalah diperbolehkan. Demikian halnya doa tawassul dalam Shalawat Nariyah ini. Berikut pendapat para ulama yang memperbolehkan:

أَوَّلُهَا : أَنْ يَسْأَلَ اللّهَ بِالْمُتَوَسَّلِ بِهِ تَفْرِيْجَ الْكُرْبَةِ ، وَلَا يَسْأَلَ الْمُتَوَسَّلَ بِهِ شَيْئاً ، كَقَوْلِ الْقَائِلِ : اللَّهُمَّ بِجَاهِ رَسُوْلِكَ فَرِّجْ كُرْبَتِي . وَهُوَ عَلَى هَذَا سَائِلٌ للّهِ وَحْدَهُ ، وَمُسْتَغِيْثٌ بِهِ ، وَلَيْسَ مُسْتَغِيْثاً بِالْمُتَوَسَّلِ بِهِ . وَقَدِ اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّ هَذِهِ الصُّوْرَةَ لَيْسَتْ شِرْكاً ، لِأَنَّهَا اسْتِغَاثَةٌ بِاللّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى ، وَلَيْسَتْ اسْتِغَاثَةً بِالْمُتَوَسَّلِ بِهِ ؛ وَلَكِنَّهُمْ اخْتَلَفُوْا فِي الْمَسْأَلَةِ مِنْ حَيْثُ الْحِلُّ وَالْحُرْمَةُ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْوَالٍ : الْقَوْلُ الْأَوَّلُ : جَوَازُ التَّوَسُّلِ بِالْأَنْبِيَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ حَالَ حَيَاتِهِمْ وَبَعْدَ مَمَاتِهِمْ . قَالَ بِهِ مَالِكٌ ، وَالسُّبْكِيّ ، وَالْكَرْمَانِيّ ، وَالنَّوَوِيّ ، وَالْقَسْطَلاَّنيّ ، وَالسُّمْهُوْدِيّ ، وَابْنُ الْحَاجِّ ، وَابْنُ الْجَزَرِيّ . (الموسوعة الفقهية الكويتية - ج 5 / ص 22)


Bentuk istighatsah (tawassul) yang pertama adalah meminta kepada Allah dengan perantara (Nabi atau kekasih Allah) untuk melapangkan kesulitan. Ia tidak meminta kepada perantara suatu apapun. Misalnya: “Ya Allah, dengan derajat Nabi-Mu maka lapangkanlah kesulitanku”.
Dalam masalah ini ia hanya meminta kepada Allah, meminta tolong kepada Allah, tidak meminta tolong kepada perantara. Ulama fikih sepakat bahwa bentuk semacam ini bukanlah perbuatan syirik sebab hanya meminta kepada Allah, bukan meminta kepada perantara.
Hanya saja para ulama berbeda pendapat tentang boleh atau tidaknya, menjadi tiga pendapat. Pendapat pertama adalah boleh bertawassul dengan para Nabi dan orang saleh, baik ketika mereka hidup atau sesudah wafat. Hal ini disampaikan oleh Malik, As-Subki, Al-Karmani, An-Nawawi, Al-Qasthalani, As-Sumhudi, Ibnu al-Haj dan Ibnu al-Jazari (Mausu’ah al-Kuwaitiyah 5/22).

Sementara yang melarang tawassul adalah Ibnu Taimiyah dan pengikutnya saja.

Pengarang Shalawat Nariyah
Jika beralasan karena ketidakjelasan siapa pengarangnya, maka Mufti Mesir, Syekh Ali Jumah yang digelari Allamah Ad-Dunya, mendapat sanad yang sempurna dari gurunya Syekh Abdullah al-Ghummar, seorang ahli hadis dari Maroko, yang sampai kepada Muallif Shalawat Nariyah, Syekh Ahmad At-Tazi Al-Maghribi (Maroko). Semuanya menerima sanad secara musyafahah, menyampaikan bacaan shalawat tersebut dari guru kepada muridnya secara langsung. (Ijazah dari Dr. Abd Qadir Muhammad al-Husain, dosen di Universitas Damasqus, Syria).

Nama Shalawat Nariyah
Jika keengganannya karena faktor nama ‘nar’, maka nama ini memang populer dengan sebutan Nariyah, meski kata ‘nar’ tidak terdapat dalam teks shalawat tersebut, yang biasanya diambil dari bagian kalimat di dalamnya. Ketika ada sebagian orang menganggap bahwa makna ‘nar’ adalah neraka, ‘iyah’ adalah pengikut, yang disimpulkan ‘pengamal Nariyah’ adalah pengikut ahli neraka, maka sangat tidak tepat. Sebab nar juga memiliki makna api, sebagaimana dalam ayat:

إِذْ رَأَى نَارًا فَقَالَ لِأَهْلِهِ امْكُثُوا إِنِّي آَنَسْتُ نَارًا لَعَلِّي آَتِيكُمْ مِنْهَا بِقَبَسٍ أَوْ أَجِدُ عَلَى النَّارِ هُدًى [طه/10]


“Ketika ia (Musa) melihat api, lalu berkatalah ia kepada keluarganya: "Tinggallah kamu (di sini), sesungguhnya aku melihat api, mudah-mudahan aku dapat membawa sedikit daripadanya kepadamu atau aku akan mendapat petunjuk di tempat api itu". (Thaha: 10)

Menurut Syekh Abdullah al-Ghummari, penamaan dengan Nariyah karena terjadi tashif atau perubahan dari kata yang sebenarnya Taziyah. Sebab keduanya memiliki kemiripan dalam tulisan Arab, yaitu النارية dan التازية yang berbeda pada titik huruf. Di Maroko sendiri shalawat ini dikenal dengan shalawat Taziyah, sesuai nama kota pengarangnya.

Sementara dalam kitab Khazinatul Asrar, sebuah kitab yang banyak memuat ilmu tasawwuf dan tarekat karya Syekh Muhammad Haqqi Afandi an-Nazili, disebutkan bahwa Syekh Al-Qurthubi menamai shalawat ini dengan nama Shalawat Tafrijiyah, yang diambil dari teks yang terdapat di dalamnya yaitu (تنفرج). Demikian halnya Syekh Yusuf bin Ismail An-Nabhani menyebut dengan nama shalawat At-Tafrijiyah dalam kitabnya Afdlal Ash-Shalawat ala Sayidi As-Sadat pada urutan ke 63.

Semua syubhat (propaganda) dalam Shalawat Nariyah telah kita ketahui dalilnya, sehingga boleh kita amalkan. Akan tetapi, jika penolakannya, keengganannya dan keberatannya karena kebencian kepada kami para santri, maka tak cukup 1000 dalil untuk memuaskan dahaga kebencian mereka.

Siapa pengarangnya, maka Mufti Mesir, Syaikh Ali Jumah yang digelari Allamah Ad-Dunya, mendapat sanad yang sempurna dari gurunya Syaikh Abdullah al-Ghummar.
Syaikh Abdullah al-Ghummar, adalah seorang ahli hadits dari Maroko, yang sampai kepada muallif (pengarang) Shalawat Nariyah Syaikh Ahmad At-Tazi al-Maghribi (Maroko).
“Kesemuanya secara musyafahah, menyampaikan bacaan shalawat tersebut dari guru kepada muridnya secara langsung,”

Sementara nama Shalawat Nariyah, ada kalangan alergi dengan ‘nar’ yang memang populer dengan sebutan Nariyah. Sebagian orang menganggap bahwa makna ‘nar’ adalah neraka, ‘iyah’ adalah pengikut, yang disimpulkan‘pengamal nariyah’ adalah pengikut ahli neraka.
Maka, hal itu sangat tidak tepat. Perhatikan dalam Al-Qur’an berikut ini:

إِذْ رَأَىٰ نَارًا فَقَالَ لِأَهْلِهِ امْكُثُوا إِنِّي آنَسْتُ نَارًا لَعَلِّي آتِيكُمْ مِنْهَا بِقَبَسٍ أَوْ أَجِدُ عَلَى النَّارِ هُدًى

“Ketika ia (Musa) melihat api, lalu berkatalah ia kepada keluarganya: "Tinggallah kamu (di sini), sesungguhnya aku melihat api, mudah-mudahan aku dapat membawa sedikit daripadanya kepadamu atau aku akan mendapat petunjuk di tempat api itu". (Thaha: 10)

Menurut Syaikh Abdullah al-Ghummari, penamaan dengan Nariyah karena terjadi tashif atau perubahan dari kata yang sebenarnya taziyah. Sebab keduanya memiliki kemiripan dalam tulisan Arab, yaitu

النارية

dan

التازية

yang berbeda pada titik huruf. Di Maroko sendiri shalawat ini dikenal dengan shalawat Taziyah, sesuai nama kota pengarangnya.

Sementara dalam kitab Khazinatul Asrar, sebuah kitab yang banyak memuat ilmu tasawuf dan tarekat karya Syaikh Muhammad Haqqi Afandi An-Nazili, disebutkan bahwa Syaikh Al-Qurthubi menamai shalawat ini dengan nama Shalawat Tafrijiyah, yang diambil dari teks yang terdapat di dalamnya yaitu

(تنفرج).


Demikian halnya Syaikh Yusuf bin Ismail An-Nabhani menyebut dengan nama shalawat At-Tafrijiyah dalam kitabnya Afdlal ash-Shalawat ala Sayidi as-Sadat pada urutan ke 63.
“Semua syubhat (propaganda) dalam shalawat Nariyah telah kita ketahui dalilnya sehingga boleh kita amalkan.

Akan tetapi, jika penolakannya, keengganannya dan keberatannya karena kebencian kepada kami para santri, maka tak cukup 1000 dalil untuk memuaskan dahaga kebenciannya,”

Jutaan Muslim Jadi Musyrik Gara-gara Baca Shalawat Nariyah

Shalawat Nariyah bukan Syirik

KAJIAN SEDERHANA TENTANG SHALAWAT NARIYAH

Jawaban atas Tuduhan ‘Syirik’ Terhadap Shalawat Nariyah yang Dibaca oleh Jutaan Muslim di Seluruh Dunia

بسم الله الرحمن الرحيم الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على من اسرى الله به ليلا من المسجد الحرام الى المسجد الاقصى, سيدنا محمد المصطفى والمجتبى, وعلى اله وصحبه اهل التقى والوفى….

Di antara amaliyah Ummat Islam khususnya kalangan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah membaca sholawat atas Nabi –shollallohu ‘alaihi wasallam- dengan bermacam redaksi. Dan diantara redaksi sholawat yang paling masyhur di kalangan ASWAJA khusunya Nahdliyyin di Indonesia adalah Shalawat Nariyah.
Shalawat Nariyah bukan Syirik

Namun belakangan ini para pengamal shalawat tersebut (juga shalawat yang lain) mendapat tuduhan dan stigma negative oleh sebagian kelompok yang kami anggap kurang atau bahkan sama sekali tidak memahami persoalan. Dan yang terbaru adalah apa yang menjadi konten tayangan Trans 7 yang bertajuk Khazanah.
Bid’ah dan Syirik adalah label yang mereka sematkan kepada beberapa redaksi sholawat. Sungguh berbagai upaya Tabayyun telah diusahakan oleh para ahlinya, namun telinga dan mata hati mereka seakan telah tertutup tebalnya tembok doktrin yang tidak berdasar.
Namun demikian, kami berharap tulisan sederhana dari al faqir yang mencintai kedamian ini menjadi sumbangsih kami demi terciptanya ukhuwah dan perdamian… Semoga Alloh berkenan memberikan taufiq dan hidayah-Nya kepada kita semua…

ألّلهُمَّ صَلِّ صَلَاةً كَامِلَةً وَسَلِّمْ سَلَامًا تَامًّا عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِنِالَّذِى تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ وَحُسْنُ الْخَوَاتِمِ وَيُسْتَسْقَى الْغَمَامُ بِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ فِي كُلِّ لَمْحَةٍ وَنَفَسٍ بِعَدَدِ كُلِّ مَعْلُوْمٍ لَكَ

“ Ya Allah… Curahkanlah limpahan shalawat (rahmat) dan salam yang sempurna atas junjungan kami Muhammad, yang dengannya terlepas banyak ikatan, terbuka banyak kesulitan, terpenuhi banyak hajat, tercapai banyak keinginan, tergapai Husnul Khotimah, dan berkat wajahnya nan mulia hujan diturunkan, juga atas keluarga dan para sahabatnya, disetiap kedipan mata dan hembusan nafas, sebanyak segala yang diketahui oleh-Mu “

Demikian kurang lebih redaksi Shalawat Nariyah yang sering dituduh sebagai Shalawat “Syirik”. Tulisan kami kali ini tidak menjelaskan sholawat Nariyah dari sudut pandang Bid’ah, mengingat sudah banyak yang menjelaskan tentang redaksi Shalawat Ghoiru Ma’tsur semisal redaksi sholawatnya Sayyidina Ali, Ibn Mas’ud, Imam Hasan Al Bishri, Al Ghozali dan yang lain.

Disini kami ingin membuktikan bahwa shalawat Nariyah sama sekali tidak mengandung unsur “Syirik”.

Pertama: Sholawat, apapun redaksinya selama substansi dan nilai dasar dari sholawat tersebut adalah Memohon Rohmat dan Salam kepada Allah untuk Nabi Muhammad – shollallohu ‘alaihi wasallam- , tidak akan mengandung syirik.

Coba anda perhatikan redaksi shalawat berikut :

ألّلهُمَّ صَلِّ صَلَاةً كَامِلَةً وَسَلِّمْ سَلَامًا تَامًّا عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِ

“ Ya Alloh.. Curahkanlah limpahan sholawat (rahmat) dan salam yang sempurna atas junjungan kami Muhammad”.

Dalam redaksi shalawat tersebut (juga sholawat-sholawat yang lain) kita dapati setidaknya empat rukun:
1. Alloh Al Quddus : Dzat Yang
dimohon untuk memberikan rahmat dan salam
2. Sholawat (Rahmat) dan Salam : Obyek perkara yang dimohon
3. Nabi Muhammad : Yang dimohonkan untuknya
4. Musholli ‘alan Nabi : Orang yang memohon rahmat dan salam

Dengan demikian, apapun redaksi sholawat akan dengan proporsional menempatkan Allah sebagai Dzat yang dimohon dan menempatkan Rosululloh sebagai makhluk yang dimohonkan rohmat dan salam untuknya. Sehingga orang yang bersholawat tidak akan pernah menyamakan Rosululloh dengan Robbnya yakni Alloh –subhanahu wa ta’ala-, inilah salah satu dari hikmah perintah membaca sholawat dan salam atas Rosululloh, yakni menghindarkan ummat Islam terjatuh dalam kesalahan ummat Nabi Isa –‘alaihis salam-.

Kedua : Tentang pujian-pujian kepada Rasulullah –shollallohu ‘alaihi wasallam- yang mengiringi sholawat Nariyah, adakah pujian-pujian tersebut yang mengandung unsur “syirik” ?

Mari kita buktikan bersama :

a. Redaksi yang berbunyi :

الَّذِى تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ

“yang dengannya terlepas banyak ikatan, terbuka banyak kesulitan”. Adalah Imam Al Hakim dalam Al Mustadroknya dan Imam At Tirmidzi dalam As Sunan-nya meriwayatkan sebuah hadits tentang lelaki buta yang mengadu kepada Rosululloh :

يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّهُ لَيْسَ لِي قَائِدٌ وَقَدْ شَقَّ عليَّ ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ : اِئْتِ الْمِيْضأةَ فَتَوَضَّأْ ثُمَّ صَلِّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ يَامُحَمَّدُ إِنِّي أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّكَ فَيُجْلِي لِي عَنْ بَصَرِي ، اللَّهُمَّ شَفِّعْهُ فِيَّ وَشَفِّعْنِي فِي نَفْسِي ، قَالَ عُثْمَانُ : فَوَاللهِ مَا تَفَرَّقْنَا وَلَا طَالَ بِنَا الْحَدِيْثُ حَتَّى دَخَلَ الرَّجُلُ وَكَأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ بِهِ ضَرَرٌ

“Ya Rosulalloh, sungguh saya tidak memiliki penuntun dan saya merasa berat,” kata laki-laki buta tersebut. Kemudian Rosululloh memerintahkan : “Pergilah ke tempat wudhu dan berwu-dhulah, kemudian sholatlah dua roakaat.”
Selanjutnya laki-laki tersebut berdo’a : “Ya Alloh, sungguh saya memohon kepada-Mu dan bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu Muhammad, Nabi rohmat. Wahai Muhammad saya bertawassul denganmu kepada Tuhanmu agar Dia menyembuhkan pandanganku. Ya Alloh, terimalah syafa’atnya untukku dan terimalah syafaatku untuk diriku.”

Utsman (yang meriwayatkan hadits) berkata : “Maka demi Alloh, kami belum bubar dan belum lama obrolan selesai, sampai lelaki buta itu masuk seolah ia belum pernah mengalami kebutaan.” Imam Al Hakim meriwayatkan hadits diatas dalam Al Mustadrok, dan beliau berkata bahwa hadits tersebut shohih, sedang Imam At Tirmidzi menilai hadits diatas sebagai hadits hasan shohih yang ghorib.

Abu Ya’la dalam Al Musnad-nya meriwayatkan sebuah hadits tentang Qotadah :

أَنَّ قَتَادَةَ بْنَ النُّعْمَانِ أُصِيْبَتْ عَيْنُهُ يَوْمَ بَدْرٍ فَسَالَتْ حَدْقَتُهُ عَلَى وَجْنَتِهِ فَأَرَادُوْا أَنْ يَقْطَعُوْهَافَسَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : لَا : فَدَعَا بِهِ فَغَمَزَ حَدْقَتَهُ بِرَاحَتِهِ فَكَانَ لَا يُدْرَى أَيُّ عَيْنِهِ أُصِيْبَتْ

Bahwa Qotadah ibnu an Nu’man mengalami kecelakakaan pada matanya sewaktu perang badar hingga kornea matannya keluar ke pipinya. Para sahabat hendak memutus kornea mata tersebut. Lalu Qotadah bertanya kepada Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam. “Jangan !“ kata Rosululloh. Kemudian Rosululloh meletakkan telapak tangan beliau pada kornea mata Qotadah, lalu menekan masuk. Selanjutnya tidak diketahui mata yang mana yang pernah mengalami kecelakaan. (HR, Abu Ya’la)

Adakah redaksi sholawat tersebut mengandung unsur syirik, sedang faktanya sebagaimana yang anda saksikan dalam hadits-hadits di atas yang tentunya masih banyak fakta-fakta lain ?

Terlebih Rasulullah Saw sendiri mencanangkan dalam sabdanya yang mulia :

وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ

“Dan barangsiapa membebaskan saudaranya muslim dari kesulitan, maka Allah akan membebaskan kesulitannya dari kesulitan-kesulitan hari kiamat”. (Muttafaq ‘Alaih)

Maka pertanyaannya adalah : Musyrik-kah kami dan orang-orang yang memuji Nabi Muhammad Saw sebagai makhluk “yang dengannya dilepaskan segala ikatan dan dibebaskan segala kesulitan…? ”

b. Redaksi selanjutnya berbunyi :

وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ

terpenuhi banyak hajat, tercapai banyak keinginan, Imam Al Bukhori meriwayatkan sebuah hadits tentang Rosululloh yang mengabulkan keinginan Abu Huroiroh :

يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي أَسْمَعُ مِنْكَ حَدِيثًا كَثِيرًا أَنْسَاهُ قَالَ ابْسُطْ رِدَاءَكَ فَبَسَطْتُهُ قَالَ فَغَرَفَ بِيَدَيْهِ ثُمَّ قَالَ ضُمَّهُ فَضَمَمْتُهُ فَمَا نَسِيتُ شَيْئًا بَعْدَهُ

“Wahai Rosululloh, saya mendengar banyak hadits darimu namun saya lupa. Saya ingin lupa ini hilang,” Abu Huroiroh mengadu. “Bentangkan selendangmu,” perintah beliau.
Lalu Abu Huroiroh membentangkan selendangnya dan Nabi mengambil udara dengan tangannya dan meletakkannya pada selendang tersebut kemudian bersabda, “Lipatlah selendangmu!”
Lalu Abu Huroiroh melipat selendangnya. “Sesudah peristiwa itu saya tidak pernah mengalami lupa,” ucap Abu Huroiroh. (HR. Al Bukhori)

Perhatikan fakta bahwa Rasulullah Saw mengabulkan keinginan Abu Huroiroh, dan tentunya masih banyak fakta-fakta lain yang menunjukkan bahwa Rasulullah Saw sering mengabulkan keinginan para sahabatnya, terlebih jika kita memperhatikan hadits-hadits berikut :

وَمَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ

“Barangsiapa memenuhi kebutuhan saudaranya maka Allah akan memenuhi kebutuhannya.”(HR. Al Bukhori / Muslim.)

وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ

“Allah senantiasa membantu seorang hamba sepanjang ia selalu membantu saudaranya.” (HR. Muslim, Abu Dawud dan yang lain.)

Maka di manakah redaksi shalawat yang memuji Nabi sebagai makhluk “yang dengannya terpenuhi banyak hajat, tercapai banyak keinginan,” dianggap syirik …?

c. Redaksi selanjutnya berbunyi :

وَحُسْنُ الْخَوَاتِمِ

“tergapai Husnul Khotimah”, adakah yang salah dari redaksi sholawat tersebut ? Sedang faktanya adalah Bahwa Umar Ibn Khotthob –rodhiyallohu ‘anhu- yang sebelumnya sangat membenci Islam kemudian masuk islam berkat do’a Nabi ? juga Tsumamah serta para sahabat yang lain yang masuk Islam berkat akhlak mulia Rasulullah Saw?

d. Redaksi selanjutnya berbunyi :

وَيُسْتَسْقَى الْغَمَامُ بِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ فِي كُلِّ لَمْحَةٍ وَنَفَسٍ بِعَدَدِ كُلِّ مَعْلُوْمٍ لَكَ

“dan berkat wajahnya nan mulia hujan diturunkan, juga atas keluarga dan para sahabatnya, disetiap kedipan mata dan hembusan nafas, sebanyak segala yang diketahui oleh-Mu,” kepada semua yang menganggap syirik redaksi sholawat tersebut, perhatikanlah fakta berikut :

فَهَذَا أَعْرَاِبّي يُنَادِيْهِ وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَائِمٌ يَخْطُبُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَيَقُوْلُ : يَا رَسُولَ اللهِ هَلَكَتْ الْأَمْوَالُ وَانْقَطَعْتِ السُّبُلُ فَادْعُ اللهَ أَنْ يُغِيثَنَا فَدَعَا اللهَ وَجَاءَ الْمَطَرُ إِلَى الْجُمْعَةِ الثَّانِيَةِ ، فَجَاءَ وَقَالَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ تَهَدَّمَتِ الْبُيُوْتُ وَتَقَطَّعَتِ السُّبُلُ وَهَلَكَتِ الْمَوَاشِي .. يَعْنِي مِنْ كَثْرَةِ الْمَطَرِ فَدَعَا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَانْجَابَ السَّحَابُ وَصَارَ الْمَطَرُ حَوْلَ الْمَدِيْنَةِ

Seorang A’rabi memanggil Rosululloh saat Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam berkhutbah pada hari Jum’at ; “Wahai Rosululloh, harta benda rusak parah dan jalan-jalan terputus. Berdo’alah engkau kepada Allah agar Dia menurunkan hujan.”Beliau kemudian berdo’a dan turunlah hujan hingga jum’ah kedua. Berikutnya A’robi tadi datang lagi kepada beliau. “Wahai Rosululloh, rumah-rumah roboh, jalan-jalan terputus, dan binatang-binatang ternak mati…” yakni karena derasnya hujan. Akhirnya beliau shollallohu ‘alaihi wasallam berdo’a dan mendung pun hilang. Hujan terjadi di sekitar Madinah.” (HR. Bukhori, Muslim, dan yang lain).

Selanjutnya Imam Al Bukhori juga meriwayatkan hadits dalam shohihnya dengan sanad bersambung hingga Abdulloh Ibn Umar :

وَقَالَ عُمَرُ بْنُ حَمْزَةَ حَدَّثَنَا سَالِمٌ عَنْ أَبِيهِ رُبَّمَا ذَكَرْتُ قَوْلَ الشَّاعِرِ وَأَنَا أَنْظُرُ إِلَى وَجْهِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَسْقِي فَمَا يَنْزِلُ حَتَّى يَجِيشَ كُلُّ مِيزَابٍ* وَأَبْيَضَ يُسْتَسْقَى الْغَمَامُ بِوَجْهِهِ * ثِمَالُ الْيَتَامَى عِصْمَةٌ لِلْأَرَامِلِ

Umar bin Hamzah berkata, Salim telah menceritakan padaku dari ayahnya: “Kadang aku mengingat seorang penyair seraya kupandang wajah Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam yang sedang memohon hujan. Maka beliau tidak turun sampai talang mengalir airnya.” Rambut yang memutih (menyaksikan); mendung diminta menurunkan hujan dengan wajahnya…. dialah penyantun anak-anak yatim juga pelindung para janda…. (HR. Bukhori)

Jika pujian yang berbunyi “Wa Yustasqol Ghomaamu Biwajhihil Kariim” (dan berkat wajahnya nan mulia hujan diturunkan) dianggap syirik, maka adakah Abdulloh Ibnu Umar yang menyitir syiir tersebut telah musyrik …?

أَفَنَجْعَلُ الْمُسْلِمِينَ كَالْمُجْرِمِينَ مَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُونَ

“Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)? Atau adakah kalian (berbuat demikian): bagaimana kalian mengambil keputusan (menghukumi)…?”

Ketika para sahabat radhiyallahu ‘anhuma bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

“(Ya Rasulullah), sungguh kami telah mengetahui cara mengucapkan salam kepadamu, maka bagaimana cara kami mengucapkan shalawat kepadamu...?”



Shalawat Nariyah, Tuduhan Syirik, dan Ilmu Sharaf Dasar

Popularitas shalawat Nariyah di kalangan umat Islam di Nusantara memang tak terbantahkan. Namun, apakah ia lantas bersih dari para penolaknya? Ternyata tidak. Sebuah fenomena yang sesungguhnya sangat lumrah dalam kehidupan beragama.

Lewat beragam sudut, beberapa orang melancarkan vonis bahwa pengamalan shalawat Nariyah termasuk melenceng dari ajaran Rasulullah alias bid’ah. Sebagian yang lain mengahakimi secara lebih ekstrem: syirik atau menyekutukan Allah.

Vonis bid’ah umumnya berangkat dari alasan tak ditemukannya hadits atau ayat spesifik tentang shalawat Nariyah. Sementara tuduhan syirik berasal dari analisa terjemahan atas redaksi shalawat yang dinilai mengandung unsur kemusyrikan. Yang terakhir ini menarik, karena tuduhan “sekejam” itu ternyata justru muncul hanya dari analisa kebahasaan. Benarkah demikian?

Kita simak dulu redaksi shalawat Nariyah secara lengkap sebagai berikut:

اَللّهُمَّ صَلِّ صَلاَةً كَامِلَةً وَسَلِّمْ سَلاَمًا تَامًّا عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الَّذِيْ تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ وَحُسْنُ الْخَوَاتِمِ وَيُسْتَسْقَى الْغَمَامُ بِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ فِى كُلِّ لَمْحَةٍ وَنَفَسٍ بِعَدَدِ كُلِّ مَعْلُوْمٍ لَكَ

Perhatian para penuduh shalat Nariyah mengandung kesyirikan umumnya tertuju pada empat kalimat berurutan di bawah ini:

تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ

Kalimat-kalimat itu pun dirinci lalu diterjemahkan begini:

تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ

Artinya: "Segala ikatan dan kesulitan bisa lepas karena Nabi Muhammad."

وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ

Artinya: "Segala bencana bisa tersingkap dengan adanya Nabi Muhammad."

وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ

Artinya: "Segala kebutuhan bisa terkabulkan karena Nabi Muhammad."

وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ

Artinya: "Segala keinginan bisa didapatkan dengan adanya Nabi Muhammad."

Menurut para penuduh itu, empat kalimat tersebut sarat kesyirikan karena secara terjemahan mengandung pengakuan bahwa Nabi Muhammad memiliki kemampuan yang hanya dimiliki Allah, seperti bisa menghilangkan kesulitan, menghilangkan bencana, memenuhi kebutuhan, dan mengabulkan keinginan serta doa hanyalah Allah.

Bantahan dari Ilmu Sharaf Dasar

Shalawat Nariyah atau disebut juga shalawat Tâziyah atau shalawat Tafrîjiyah berasal bukan dari Indonesia. Ia dikarang oleh ulama besar asal Maroko, Syekh Ahmad At-Tazi al-Maghribi (Maroko), dan diamalkan melalui sanad muttashil oleh ulama-ulama di berbagai belahan dunia. Tak terkecuali Mufti Mesir Syekh Ali Jumah yang memperoleh sanad sempurna dari gurunya Syaikh Abdullah al-Ghummar, seorang ahli hadits dari Maroko.

Jika shalawat Nariyah dianggap syirik, ada beberapa kemungkinan. Pertama, para ulama pengamal shalawat itu tak mengerti tentang prinsip-prinsip tauhid. Ini tentu mustahil karena mereka besar justru karena keteguhan dan keluasan ilmu mereka terhadap dasar-dasar ajaran Islam. Kedua, pengarang shalawat Nariyah, termasuk para pengikutnya, ceroboh dalam mencermati redaksi tersebut sehingga terjerumus kepada kesyirikan. Kemungkinan ini juga sangat kecil karena persoalan bahasa adalah perkara teknis yang tentu sudah dikuasai oleh mereka yang sudah menyandang reputasi kelilmuan dan karya yang tak biasa. Ketiga, para penuduhlah yang justru ceroboh dalam menghakimi, tanpa mencermati secara seksama dalil shalawat secara umum, termasuk juga aspek redaksional dari shalawat Nariyah.

Dilihat dari segi ilmu nahwu, empat kalimat di atas merupakan shilah dari kata sambung (isim maushul) الذي yang berposisi sebagai na‘at atau menyifati kata محمّد.

Untuk menjernihkan persoalan, mari kita cermati satu per satu kalimat tersebut.

تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ

Pertama, تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ .

Dalam kacamata ilmu sharaf, kata تَنْحَلُّ merupakan fi’il mudlari‘ dari kata انْحَلَّ. Bentuk ini mengikuti wazan انْفَعَلَ yang memiliki fungsi/faedah لمُطَاوَعَةِ فَعَلَ (dampak dari فَعَلَ). Demikian penjelasan yang kita dapatkan bila kita membuka kitab sharaf dasar, al-Amtsilah at-Tashrîfiyyah, karya Syekh Muhammad Ma’shum bin ‘Ali.

Contoh:

كَسَرْتُ الزُّجَاجَ فَانْكَسَرَ

“Saya memecahkan kaca maka pecahlah kaca itu.” Dengan bahasa lain, kaca itu pecah (انْكَسَر) karena dampak dari tindakan subjek “saya” yang memecahkan.

Contoh lain:

حَلّ اللهُ العُقَدَ فَانْحَلَّ

“Allah telah melepas beberapa ikatan (kesulitan) maka lepaslah ikatan itu.” Dengan bahasan lain, ikatan-ikatan itu lepas karena Allahlah yang melepaskannya.

Di sini kita mencermati bahwa wazan انْفَعَلَ mengandaikan adanya “pelaku tersembunyi” karena ia sekadar ekspresi dampak atau kibat dari pekerjaan sebelumnya.

Kalau تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ dimaknai bahwa secara mutlak Nabi Muhammad melepas ikatan-ikatan itu tentu adalah kesimpulan yang keliru, karena tambahan bihi di sini menunjukkan pengertian perantara (wasilah). Pelaku tersembunyinya tetaplah Allah—sebagaimana faedah لمُطَاوَعَةِ فَعَلَ.

Hal ini mengingatkan kita pada kalimat doa:

رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِي يَفْقَهُوا قَوْلِي

“Ya Rabbku, lapangkanlah untukku dadaku, mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah ikatan/kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku.”

Kedua, تَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ

Senada dengan penjelasan di atas, تَنْفَرِجُ merupakan fi’il mudlari‘ dari kata انْفَرَجَ, yang juga mengikuti wazan انْفَعَلَ. Faedahnya pun sama لمُطَاوَعَةِ فَعَلَ (dampak dari فَعَلَ).

Ketika dikatakan تَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ maka dapat diandaikan bahwa فَرَجَ اللهُ الكُرَبَ فَانْفَرَجَ. Dengan demikian, Allah-lah yang membuka atau menyingkap bencana/kesusahan, bukan Nabi Muhammad.

Ketiga, تُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ

Kata تُقْضَى adalah fi’il mudlari‘ dalam bentuk pasif (mabni majhûl). Fi’il mabni majhul tak menyebutkan fa’il karena dianggap sudah diketahui atau sengaja disembunyikan. Kata الْحَوَائِجُ menjadi naibul fa’il (pengganti fa’il). Ini mirip ketika kita mengatakan “anjing dipukul” maka kita bisa mengandaikan adanya pelaku pemukulan yang sedang disamarkan.

Dengan demikian kita bisa mengandaikan kalimat lebih lengkap dari susunan tersebut.

تَقْضِي اللهُ الْحَوَائِجَ

“Allah akan mengabulkan kebutuhan-kebutuhan.”

Keempat, تُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ

Penjelasan ini juga nyaris sama dengan kasus تُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ. Singkatnya, Nabi Muhammad bukan secara mutlak memiliki kemampuan memberikan keinginan-keinginan karena Allah-lah yang melakukan hal itu yang dalam kalimat tersebut disembunyikan. Fa’il tidak disebutkan karena dianggap sudah diketahui.

Alhasil, dapat dipahami bahwa tuduhan syirik atas kalimat-kalimat itu sesungguhnya keliru. Sebab, kemampuan melepas kesulitan, menghilangkan bencana/kesusahan, memenuhi kebutuhan, dan mengabulkan keinginan-keinginan secara mutlak hanya dimiliki Allah. Dan ini pula yang dimaksudkan pengarang shalawat Nariyah, dengan susunan redaksi shalawat yang tidak sembrono. Hanya saja, dalam redaksi shalawat Nariyah tersebut diimbuhkan kata bihi yang berarti melalui perantara Rasulullah, sebagai bentuk tawassul.

Bahasa Arab dan bahasa Indonesia memang memiliki logika khas masing-masing. Karena itu analisa redaksi Arab tanpa meneliti struktur bakunya bisa menjerumuskan kepada pemahaman yang keliru. Lebih terjerumus lagi, bila seseorang membuat telaah, apalagi penilaian, hanya dengan modal teks terjemahan. Wallahu a’lam.



Hukum Membuat Redaksi Sholawat Sendiri

Ketika ditanya mengenai cara bershalawat, Rasulullah shalallahu `alaihi wa salam bersabda :
sholawat
قُولُوا اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
Katakanlah : “Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad sebagaimana engkau melimpahkan shalawat kepada Ibrahim dan kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Ya Allah, berkahilah Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau memberkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya engkau Maha terpuji lagi Maha Mulia. (HR Bukhari)(1)

Mereka berkata
Shalawat termasuk salah satu bentuk ibadah sehingga hanya shalawat yang berasal dari hadits shohih saja yang dapat diamalkan sedangkan shalawat yang bersumber pada hadits dhaif atau tanpa dasar adalah bid`ah sesat yang tidak boleh diamalkan. Shalawat di atas adalah contoh shalawat yang benar dan boleh diamalkan sedangkan bentuk-bentuk shalawat lain perlu diteliti terlebih dahulu sumbernya.

Kami Menjawab
Membatasi bentuk shalawat hanya kepada shalawat-shalawat yang datang dari Rasulullah tidak pernah diajarkan oleh para salaf. Mereka justru banyak melakukan inovasi dalam bershalawat selain mengamalkan  bentuk shalawat yang diajarkan Rasulullah shalallahu alaihi wa salam. Salah satu contoh inovasi dalam bershalawat adalah penambahan kata sahabat. Rasulullah shalallahu alaihi wa salam tidak pernah mengajarkan untuk menambahkan sahabat di dalam bershalawat namun para ulama tidak merasa segan untuk menambahkannya. Ini menunjukkan kebolehan untuk berinovasi yang baik ketika bershalawat. Inovasi-inovasi lain dalam bershalawat juga dapat kita lihat di dalam pembukaan dan penutup kitab-kitab para ulama.
Contoh lain dari inovasi shalawat yang dapat kita lihat hampir di semua kitab para ulama ketika menyebutkan nama Rasulullah, adalah  :
صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ
Semoga Allah melimpahkan shalawat dan keselamatan kepadanya (Rasulullah shalallahu alaihi wa salam)           
Atau :
عَلَيْهِ الصّلاَةُ وَالسَّلاَمُ
Baginya (Rasulullah shalallahu alaihi wa salam) shalawat dan keselamatan.
Rasulullah shalallahu alaihi wa salam tidak pernah mengajarkan dua shalawat ini namun keduanya memenuhi hampir semua kitab para ulama. Jika dua inovasi shalawat ini diperbolehkan maka atas dasar apa kita menolak inovasi shalawat lainnya selama sesuai dengan syariat ? Atas dasar apa perlakuan yang berbeda dalam menyikapi shalawat tersebut ?

Riwayat Shalawat
Riwayat-riwayat yang shahih mengenai shalawat sangat beragam tidak hanya delapan sebagaimana disebutkan sebagian orang. Keragaman ini menunjukkan tidak tertentunya pemakaian shalawat di dalam shalat. Sebab jika pemakaian bentuk tertentu di dalam shalawat adalah wajib maka tentunya Rasulullah hanya meyebutkan satu bentuk shalawat saja, dan para perawi pun akan memperhatikan hal itu dengan sungguh-sungguh sehingga perbedaan riwayat tidak akan terlalu jauh. Namun pada kenyataannya riwayat shahih yang datang dari Rasulullah mengenai shalawat sungguh banyak di antaranya adalah :
  1. اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ،إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ، اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ) النسائي/ 1289، صحيح.(
  2. اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّد )النسائي/ 1292، صحيح(
  3. اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّد، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، فِي الْعَالَمِينَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ )الموطأ/ 459، صحيح, وابن حبان/ 1958، صحيح(
  4. اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ)النسائي/ 1291، صحيح.(
  5. اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ، اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ) البخاري/ 4519, وابن ماجه/ 904، صحيح.(
  6. اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، فِي الْعَالَمِينَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ) مسلم/ 405, والموطأ/ 459، صحيح, والنسائي/ 1285، صحيح, وابن حبان/ 1965، صحيح.(
  7. اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّك حَمِيدٌ مَجِيدٌ، وَبِارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ) مسلم/ 406.(
  8. اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّك حَمِيدٌ مَجِيدٌ، اللَّهُمَّ بِارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ) ابن حبان/ 1964، صحيح, والبخاري/ 5996, ومسلم/ 406, والنسائي/ 1287، صحيح.(
  9. اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَآلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَآلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ )النسائي/ 1288، صحيح, والنسائي/ 1290، صحيح, ابن حبان/ 1957، صحيح.(
  10. اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ، اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ) البخاري/ 3190.(
  11. اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ الأُمِّيِّ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ الأُمِّيِّ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ) ابن حبان/ 1959، إسناده صحيح.(
  12. اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُولِكَ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ) ابن ماجه/ 903، صحيح.(
  13. اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُولِكَ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَآلِ إِبْرَاهِيمَ) البخاري/ 5997.(
  14. اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُولِكَ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ) النسائي/ 1293، صحيح.(
  15. اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُولِكَ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَآلِ إِبْرَاهِيمَ) البخاري/ 4520.(
  16. اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَأَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَأَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ) البخاري/ 3189.(
  17. اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَأَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَأَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، فِي الْعَالَمِينَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ)ابن ماجه/ 905، صحيح.(
  18. اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَأَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَأَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ) النسائي/ 1294، صحيح], [البخاري/ 5999], [الموطأ/ 458، صحيح.(
  19. اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ) مسلم/ 407.(
  20. اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ) النسائي/ 1286، إسناده صحيح.(
Perlu diperhatikan bahwa lafadz-lafadz yang datang dalam hadits tersebut adalah mengenai shalawat di dalam shalat tepatnya di dalam tasyahud akhir(2). Al Hafidz Ibnu Hajar menyatakan ketika menjelaskan mengenai riwayat hadits tentang shalawat  :
وذهب الجمهور إلى الاجتزاء بكل لفظ أدى المراد بالصلاة عليه صلى الله عليه وسلم
Jumhur ulama menyatakan cukup shalawat dengan setiap lafadz yang dapat menunaikan maksud shalawat kepada beliau (Rasulullah) shaallahu alaihi wa salam. (3)
Adapun mengenai shalawat di luar shalat. Syaikh Sulaiman Al Jamal menyatakan ketika menjelaskan mengenai anjuran memperbanyak shalawat di Hari Jumat :
 وَيَنْبَغِي أَنْ تَحْصُلَ بِأَيِّ صِيغَةٍ كَانَتْ ، وَمَعْلُومٌ أَنَّ أَفْضَلَ الصِّيَغِ الصِّيغَةُ الْإِبْرَاهِيمِيَّة
Selayaknya (terhasilkan pahala shalawat) dengan bentuk apa saja namun telah dimaklumi bahwa bentuk shalwat yang paling utama adalah shalawat ibrahimiyah.(4)

Memang kita tidak menutup mata adanya ulama yang mengharuskan shalawat dengan lafadz yang warid saja namun pendapat ini bertentangan dengan pendapat jumhur ulama dan perbuatan para salaf yang mulia. Untuk lebih jelas kami akan membawakan sebagian kecil inovasi shalawat yang dibuat oleh para sahabat, salaf dan ulama.

Shalawat para ulama
Sahabat Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu memiliki shalawat panjang yang biasa diamalkannya, potongan shalawat tersebut adalah :
اَللَّهُمَّ دَاحِىَ اْلمَدْحُوَّاتِ وَبَارِئَ اْلمَسْمُوْكَاتِ اِجْعَلْ شَرَائِفَ صَلَوَاتِكَ وَنَوَامِى بَرَكَاتِكَ وَرَأْفَةَ تَحَنُّنِكَ عَلَى مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ اْلفَاتِحِ لِمَا أُغْلِقَ وَاْلخَاتِمِ لِمَا سَبَقَ وَاْلمُعْلِنِ اْلحَقَّ بِاْلحَقِّ …
Wahai Allah yang Membentangkan bumi dan menciptakan angkasa raya. Jadikanlah shalawat-shalawat-Mu yang mulia dan berkah-berkahmu yang selalu bertambah dan kasih saying-Mu atas Muhammad, hamba-Mu dan Rasul-Mu. Pembuka sesuatu yang tertutup, dan penutup sesuatu yang telah berlalu. Yang menampakkan kebenaran dengan jalan yang benar ….(HR Thabrani)(5)
Begitu pula sahabat Ibnu Mas`ud memiliki shalawat yang berbunyi :
اللهم اجعل صلواتك ورحمتك علي سيد المرسلين وإمام المتقين وخاتم النبيين محمد عبدك ورسولك إمام الخير وقائد الخير ورسول الرحمة اللهم
Ya Allah jadikanlah shalawat-Mu dan rahmat-Mu terlimpahkan kepada pemimpin para rasul dan Imam orang-orang yang bertakwa, penutup para nabi yaitu Muhammad , hamba-Mu dan Rasul-Mu. Pemimpin kebaikan, yang menuntun pada kebaikan dan Rasul tang rahmat ..(HR Thabrani)(6)
Shalawat yang hampir sama diriwayatkan pula dari sahabat Ibnu Umar(7).

Imam Hasan Albashri, salah satu pemimpin tabiin, memiliki shalawat  :
اللهم اجعل صلواتك وبركاتك على أحمد كما جعلتها على إبراهيم إنك حميد مجيد
Wahai Allah, jadikanlah shalawat dan keberkahan-Mu senantiasa terlimpahkan kepada Ahmad sebagaimana engkau menjadikan keduanya terlimpah ke[ada Ibrahim sesungguhnya engkau Maha Terpuji lagi Maha Penyayang.(8)
Imam Syafi`i menuliskan shalawat dalam salah satu kitabnya, Risalah :
فصلى الله على نبينا كلما ذكره الذاكرون وغفل عن ذكره
Kemudian, semoga Allah bershalawat kepada Nabi kita selama orang-orang yang ingat berdzikir kepada-Nya dan orang-orang yang lalai lupa untuk berdzikir kepada-Nya. (9)

Sufyan Bin Said, salah seorang dari ulama salaf, memiliki shalawat :
صلى الله وملائكته على محمد وعلى انبياء الله وملائكته
Semoga Allah dan malaikat-Nya bershalawat kepada Muhammad dan kepada para nabi Allah dan malaikat-Nya (10)
Ada pula shalawat yang dibuat oleh Alqomah, salah satu ulama generasi salaf :
صلى الله وملائكته على محمد السلام عليك أيها النبي ورحمة الله وبركاته
Semoga Allah dan malaikat-Nya melimpahkan shalawat kepada Muhammad. Keselamatan semoga terlimpah kepada-Mu wahai Nabi serta rahmat Allah dan berkah-Nya.(11)

Begitu pula halnya dengan para ulama yang diakui keilmuannya setelah generasi salaf, mereka tidak segan untuk bershalawat kepada Rasulullah shalallahu alaihi wa salam dengan shalawat mereka sendiri.

Al Hafidz Ibnu Hajar, di dalam pembukaan kitabnya Fathul Bari menulis :
صلى الله عليه وسلم ما دامت السماء والأرض هذه في سموها وهذه في اتساعها وعلى آله وصحبه الذين كسروا جيوش المردة …
Semoga Allah melimpahkan shalawat serta salam kepadanya (Rasulullah) semlama adanya langit dan bumi ini. Langit di ketinggiannya dan bumi di dalam keluasannya. Dan kepada keluarganya serta para sahabatnya yang telah mencerai-beraikan tentara pengingkar …(12)

Ibnu Sholah, seorang ahli hadits,  di dalam muqodimah ilmu haditsnya menganjurkan bagi para muhadits untuk memulai periwayatan haditsnya dengan hamdalah dan shalawat yaitu :
والصلاة والسلام الأتمان الأكملان على نبينا والنبيين، وآل كل، ما رجا راجٍ مغفرته ورحماه.
Shalawat serta salam yang paling penuh dan sempurna semoga terlimpahkan kepada Nabi kita dan para nabi serta keluarga semuanya selama mengharap orang yang mengharap kepada ampunan-Nya dan kasih-sayang-Nya. (13)

Al Barizi menukilkan bahwa shalawat yang paling utama adalah :
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ أَفْضَلَ صَلَوَاتِك عَدَدَ مَعْلُومَاتِك
Wahai Allah, limpahkanlah shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad dengan shalawat-Mu yang paling utama sejumlah apa yang Engkau ketahui.(14)

Athobari dalam permulaan tafsirnya bershalawat :
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ أَزْكَى صَلَوَاتِهِ ، وَأَفْضَلَ سَلاَمِهِ ، وَأَتَمَّ تَحِيَّاتِهِ
Semoga Allah bershalawat kepadanya dan kepada keluarganya serta melimpahkan keselamatan dengan shalawat yang paling suci, salam yang paling utama dan penghormatan yang paling sempurna.(15)

Ibnu Taimiyah dalam muqodimah kitab Qowaid Nuraniyah berkata :
وصلى الله وسلم وبارك على عبده ورسوله محمد خاتم المرسلين وإمام المهتدين وعلى آله أجمعين
Dan semoga Allah bersalawat dan melimpahkan keselamatan serta memberkahi hambanya dan rasulnya yaitu Muhammad, penutup para rasul dan pemimpin orang-orang yang diberi petunjuk, juga kepada keluarganya semua.(16)

Ibnu Qoyim, dalam kitabnya Al Furusiyah bershalawat :
فصلى الله وملائكته وأنبياؤه ورسله والصالحون من خلقه عليه كما عرفنا بالله وأسمائه وصفاته ووحده ودعا إليه وآتاه الوسيلة والفضيلة وبعثه المقام المحمود الذي وعده في دار السلام والسلام عليه ورحمة الله وبركاته
Semoga Shalawat Allah dan malaikat-Nya, para nabi-Nya, para rasul-Nya dan orang-orang shaleh dari mahluknya terlimpahkan kepadanya (Nabi Muhammad saw) …(17)
Dan masih banyak lagi contoh shalawat yang diamalkan oleh para ulama. Seperti Shalawat Tafrijiyah (Nariyah), Shalawat Fatih, Shalawat Badar dan lainnya.
Pembuatan shalawat itu adalah dibenarkan selama tidak bertentangan dengan syariat.Adapun tindakan sebagian orang yang terlalu melebih-lebihkan keutamaan shalawat tertentu sampai melampaui batas maka itu memang perbuatasn yang keliru tapi itu bukan berarti bahwa shalawat yang diagungkan tersebut adalah keliru. Sebagaimana kaum nasrani yang terlalu mengagungkan Nabi Isa sehingga melampaui batas, perbuatan mereka keliru namun itu bukan berarti bahwa Nabi Isa as adalah salah.

Shalawat-shalawat yang dibuat oleh para ulama tersebut membuktikan tidak adanya keharusan untuk bershalawat dengan bentuk tertentu. mereka yang menyatakan bahwa shalawat yang tidak diajarkan Rasulullah adalah bid`ah sama dengan menganggap bid`ah para sahabat, salaf dan ulama-ulama tersebut.

Referensi
 (1)صحيح البخاري ت (8/  442) 
3370 – حَدَّثَنَا قَيْسُ بْنُ حَفْصٍ وَمُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ قَالَا حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ زِيَادٍ حَدَّثَنَا أَبُو فَرْوَةَ مُسْلِمُ بْنُ سَالِمٍ الْهَمْدَانِيُّ قَالَ حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عِيسَى سَمِعَ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ أَبِي لَيْلَى قَالَ لَقِيَنِي كَعْبُ بْنُ عُجْرَةَ فَقَالَ أَلَا أُهْدِي لَكَ هَدِيَّةً سَمِعْتُهَا مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ بَلَى فَأَهْدِهَا لِي فَقَالَ سَأَلْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ الصَّلَاةُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ عَلَّمَنَا كَيْفَ نُسَلِّمُ عَلَيْكُمْ قَالَ قُولُوا اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
 (2)فتح الباري لابن حجر (11/  155(
: فيه إشارة إلى السلام الذي في التشهد وهو قول “السلام عليك أيها النبي ورحمة الله وبركاته” فيكون المراد بقولهم “فكيف نصلي عليك” أي بعد التشهد. انتهى. وتفسير السلام بذلك هو الظاهر. وحكى ابن عبد البر فيه احتمالا، وهو أن المراد به السلام الذي يتحلل به من الصلاة وقال: إن الأول أظهر، وكذا ذكر عياض وغيره، ورد بعضهم الاحتمال المذكور بأن سلام التحلل لا يتقيد به اتفاقا، كذا قيل، وفي نقل الاتفاق نظر، فقد جزم جماعة من المالكية بأنه يستحب للمصلي أن يقول عند سلام التحلل، السلام عليك أيها النبي ورحمة الله وبركاته السلام عليكم، ذكره عياض وقبله ابن أبي زيد وغيره. قوله: “فكيف نصلي عليك” زاد أبو مسعود في حديثه،
 (3)فتح الباري لابن حجر (18/  138) 
 وَذَهَبَ الْجُمْهُور إِلَى الِاجْتِزَاء بِكُلِّ لَفْظ أَدَّى الْمُرَاد بِالصَّلَاةِ عَلَيْهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى قَالَ بَعْضهمْ : وَلَوْ قَالَ فِي أَثْنَاء التَّشَهُّد الصَّلَاة وَالسَّلَام عَلَيْك أَيّهَا النَّبِيّ أَجْزَأَ ، وَكَذَا لَوْ قَالَ أَشْهَد أَنَّ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَبْده وَرَسُوله ، بِخِلَافِ مَا إِذَا قَدَّمَ عَبْده وَرَسُوله ، وَهَذَا يَنْبَغِي أَنْ يَنْبَنِي عَلَى أَنَّ تَرْتِيب أَلْفَاظ التَّشَهُّد لَا يُشْتَرَط وَهُوَ الْأَصَحّ ، وَلَكِنْ دَلِيل مُقَابِله قَوِيّ لِقَوْلِهِمْ ” كَمَا يُعَلِّمنَا السُّورَة ” وَقَوْل اِبْن مَسْعُود ” عَدَّهُنَّ فِي يَدَيَّ ” وَرَأَيْت لِبَعْضِ الْمُتَأَخِّرِينَ فِيهِ تَصْنِيفًا ، وَعُمْدَة الْجُمْهُور فِي الِاكْتِفَاء بِمَا ذُكِرَ أَنَّ الْوُجُوب ثَبَتَ بِنَصِّ الْقُرْآن بِقَوْلِهِ تَعَالَى ( صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا ) فَلَمَّا سَأَلَ الصَّحَابَة عَنْ الْكَيْفِيَّة وَعَلَّمَهَا لَهُمْ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاخْتَلَفَ النَّقْل لِتِلْكَ الْأَلْفَاظ اِقْتَصَرَ عَلَى مَا اِتَّفَقَتْ عَلَيْهِ الرِّوَايَات وَتَرَكَ مَا زَادَ عَلَى ذَلِكَ كَمَا فِي التَّشَهُّد ، إِذْ لَوْ كَانَ الْمَتْرُوك وَاجِبًا لَمَا سَكَتَ عَنْهُ اِنْتَهَى
 (4)حاشية الجمل على المنهج لشيخ الإسلام زكريا الأنصاري (3/  369) 
 {صلى الله عليه وسلم} في ليلة الجمعة ويومها أفضل من الاشتغال بغيرها مما لم يرد فيه نص بخصوصه أما ما ورد فيه ذلك كقراءة الكهف والتسبيح عقب الصلوات فالاشتغال به أفضل انتهت ثم قال ولم يتعرض لصيغة الصلاة وينبغي أن تحصل بأي صيغة كانت و معلوم أن أفضل الصيغ الصيغة الإبراهيميةثم رأيت في فتاوى حج الحديثية ما نصه نقلا عن ابن الهمام أن أفضل الصيغ من الكيفيات الواردة في الصلاة عليه اللهم صل أبدا أفضل صلواتك على سيدنا محمد عبدك ونبيك ورسولك وآله وسلم عليه تسليما كثيرا وزده تشريفا وتكريما وأنزله المنزل المقرب عندك يوم القيامة
  (5)المعجم الأوسط (9/  43)
 9089 – حدثنا مسعدة بن سعد نا سعيد بن منصور نا نوح بن قيس نا سلامة بن الكندي قال كان علي رضي الله عنه يعلم الناس الصلاة على نبي الله يقول اللهم داحي المدحوات وباريء المسموكات وجبارالقلوب على فطراتها شقيها وسعيدها اجعل شرائف صلواتك ونوامي بركاتك ورافع تحيتك على محمد عبدك ورسولك الخاتم لما سبق والفاتح لما أغلق والمعلوم الحق بالحق والدامغ جيشات الأباطيل كما كمل فاضطلع بأمرك لطاعتك مستوفرا في مرضاتك بغير ملك في قدم ولا وهن في عزم داعيا لوحيك حافظا لعهدك ماضيا على نفاد أمرك حتى اورى تبسما لقابس به هديت القلوب بعد خرصات الفتن والإثم بموضحات الأعلام ومسرات الإسلام وماثرات الأحكام فهو أمينك المأمون وخازن علمك المخزون وشهيدك يوم الدين ومبعوثك نعمة ورسولك بالحق رحمة اللهم افسح له متفسحا في عدلك واجزه مضاعفات الخير من فضلك له مهنيات غير مكدرات من فوز ثوابك المعلوم وجزيل عطائك المجلول اللهم أعل على [ ص 44 ] بناء الباقين بناءه وأكرم مثواه لديك ونزله وأتمم له نوره وأجره من ابتعائك له مقبول الشهادة مرضي المقالة ذا منطق عدل وكلام فصل وحجة وبرهان عظيم
مجمع الزوائد (10/  164(
عن سلامة الكندى قال كان على رضى الله عنه يعلم الناس الصلاة على نبى الله صلى الله عليه وسلم يقول اللهم داحى المدحوات وبارئ المسوكات وجبار القلوب …. رواه الطبراني في الاوسط وسلامة الكندى روايته عن على مرسلة ، وبقية رجاله رجال الصحيح.
فتح الباري لابن حجر (11/  158( 
والأفضل أن يستعمل أكمله وأبلغه. واستدل على ذلك باختلاف النقل عن الصحابة فذكر ما نقل عن علي، وهو حديث موقوف طويل أخرجه سعيد بن منصور والطبري والطبراني وابن فارس وأوله “اللهم داحي المدحوات” إلى أن قال: “اجعل شرائف صلواتك وتوامي بركاتك ورأفة تحيتك على محمد عبدك ورسولك” الحديث.
 (6)المعجم الكبير (9/  115) 
 8595 – حدثنا إسحاق بن إبراهيم الدبري عن عبد الرزاق عن الثوري عن أبي سلمة عن عون بن عبد الله عن رجل عن الأسود بن يزيد عن ابن مسعود أنه كان يقول : اللهم اجعل صلواتك ورحمتك علي سيد المرسلين وإمام المتقين وخاتم النبيين محمد عبدك ورسولك إمام الخير وقائد الخير ورسول الرحمة اللهم ابعثه مقاما محمودا يغبطه به الأولون والآخرون اللهم صل على محمد وعلى آل محمد كما صليت على آل إبراهيم إنك حميد اللهم بارك على محمد وعلى آل محمد كما باركت على آل إبراهيم إنك حميد مجيد و أبو سلمة هذا الذي روى عنه الثوري هذا الحديث مسعر بن كدام
 جلاء الأفهام (ص: 296(
قال في السنن حدثنا الحسين بن بيان حدثنا زياد بن عبد الله حدثنا المسعودي عن عون بن عبد الله عن أبي فاختة عن الاسود بن يزيد عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه قال إذا صليتم على رسول الله فأحسنوا الصلاة عليه فإنكم لا تدرون لعل ذلك يعرض عليه قال فقالوا له فعلمنا قال قولوا اللهم اجعل صلواتك ورحمتك وبركاتك على سيد المسلمين وامام المتقين وخاتم النبيين محمد عبدك ورسولك امام الخير وقائد الخير ورسول الرحمة اللهم ابعثه مقاما محمودا يغبطه به الاولون والاخرون اللهم صل على محمد وعلى آل محمد كما صليت على إبراهيم وآل إبراهيم انك حميد مجيد اللهم بارك على محمد وعلى آل محمد كما باركت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم انك حميد مجيد وهذا موقوف
 (7)جلاء الأفهام (ص: 133(
 حدثنا يحيى الحماني حدثنا هشيم حدثنا أبو بلج حدثنا يونس مولى بني هاشم قال قلت لعبد الله بن عمرو أو ابن عمر كيف الصلاة على النبي فقال اللهم اجعل صلواتك وبركاتك ورحمتك على سيد المرسلين وإمام المتقين وخاتم النبيين محمد عبدك ورسولك إمام الخير وقائد الخير اللهم ابعثه يوم القيامة مقاما محمودا يغبطه الأولون والآخرون وصل على محمد وعلى آل محمد كما صليت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم
المطالب العالية للحافظ ابن حجر العسقلاني (9/  411، بترقيم الشاملة آليا( 
3407 – وثنا هشيم ، ثنا أبو بلج الفزاري ، ثنا ثوير ، مولى بني هاشم قال : قلت لابن عمر : كيف الصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم ؟ فقال ابن عمر : اللهم اجعل صلواتك وبركاتك ورحمتك على سيد المرسلين ، وإمام المتقين ، وخاتم النبيين محمد عبدك ورسولك إمام الخير وقائد الخير ، اللهم ابعثه يوم القيامة مقاما محمودا يغبطه الأولون والآخرون ، وصل على محمد وعلى آل محمد كما صليت على إبراهيم وآل إبراهيم إنك حميد مجيد
  (8)الغرائب الملتقطة من مسند الفردوس لابن حجر – مخطوط (ن) (ص: 1084( 
وعن الحسن هو البصري أنه كان إذا صلى على النبي صلى الله عليه وسلم يقول : اللهم اجعل صلواتك وبركاتك على أحمد كما جعلتها على إبراهيم إنك حميد مجيد
قال : من أراد أن يشرب بالكأس الأواني من حوض المصطفى فليقل اللهم صلى على محمد وعلى أله وأصحابه وأولاده وأزواجه وذريته وأهل بيته وأصهاره وأنصاره وأشياعه ومحبيه وأمته وعلينا معهم أجمعين يا أرحم الراحمين . ذكره القاضي عياض في الشفاء من قول البديع للسخاوي
الشفا (2/  72)
* وكان الحسن البصري يقول: من أراد أن يشرب بالكاس الأوفى من حوض المصطفى فليقل اللهم صل على محمد وعلى آله وأصحابه وأولاده وأزواجه وذريته وأهل بيته وأصهاره وانصاره وأشياعه ومحبيه وأمته عليا معهم أجمعين يا أرحم الراحمين *
  (9)الرسالة (ص: 16) 
قال الشافعي أخبرنا بن عيينة عن بن أبي نجيح عن مجاهد في قوله ! < ورفعنا لك ذكرك > ! قال لا أذكر إلا ذكرت معي أشهد ان لا إله إلا الله وأشهد أن محمدا رسول الله # 3 يعني والله أعلم ذكره عند الإيمان بالله والآذان ويحتمل ذكره عند تلاوة الكتاب وعند العمل بالطاعة والوقوف عن المعصية # 3 فصلى الله على نبينا كلما ذكره الذاكرون وغفل عن ذكره الغافلون وصلى عليه في الأولين والآخرين أفضل وأكثر وأزكى ما صلى على أحد من خلقه وزكانا وإياكم بالصلاة عليه أفضل ما زكى أحد من أمته بصلاته عليه والسلام عليه ورحمة الله وبركاته
 (10)جلاء الأفهام (ص: 406(
 قال عبد الرحمن بن أبي حاتم حدثنا أبو سعيد بن يحيى بن سعيد القطان حدثنا عثمان بن عمر قال سمعت سفيان بن سعيد ما لا احصي إذا اراد القيام يقول صلى الله وملائكته على محمد وعلى انبياء الله وملائكته هذا الدي رأيته من الاثر في هذا الموطن والله اعلم
 (11)جلاء الأفهام (ص: 137(
 حدثنا سليمان بن حرب حدثنا شعبة عن أبي إسحاق قال سمعت سعيد بن ذي حدان قال قلت لعلقمة ما أقول إذا دخلت المسجد قال تقول صلى الله وملائكته على محمد السلام عليك أيها النبي ورحمة الله وبركاته
  (12)فتح الباري شرح صحيح البخاري (1/  1) 
قال الشيخ الإمام العالم العلامة الرباني حجة الإسلام رحلة الطالبين عمدة المحدثين زين المجالس فريد عصره ووحيد دهره محي السنة الغراء قامع أهل البدع والاهواء الشهاب الثاقب أبو الفضل أحمد بن علي بن محمد بن محمد بن علي العسقلاني الشهير بابن حجر اثابه الله الجنة بمنه وكرمه أمين الحمد لله الذي شرح صدور أهل الإسلام للسنة فانقادت لاتباعها وارتاحت لسماعها وامات نفوس أهل الطغيان بالبدعة بعد أن تمادت في نزاعها وتغالت في ابتداعها وأشهد أن لا آله الا الله وحده لا شريك له العالم بانقياد الافئدة وامتناعها المطلع على ضمائر القلوب في حالتي افتراقها واجتماعها وأشهد أن محمد عبده ورسوله الذي انخفضت بحقه كلمة الباطل بعد ارتفاعها واتصلت بإرساله أنوار الهدى وظهرت حجتها بعد انقطاعها صلى الله عليه وسلم ما دامت السماء والأرض هذه في سموها وهذه في اتساعها وعلى آله وصحبه الذين كسروا ج يوش المردة وفتحوا حصون قلاعها وهجروا في محبة داعيهم إلى الله الاوطار والاوطان ولم يعاودها بعد وداعها وحفظوا على أتباعهم اقواله وافعاله واحواله حتى أمنت بهم السنن الشريفة من ضياعها
 (13)مقدمة ابن الصلاح = معرفة أنواع علوم الحديث – ت عتر (ص: 241( 
وَلَا يَسْرُدُ الْحَدِيثَ سَرْدًا يَمْنَعُ السَّامِعَ مِنْ إِدْرَاكِ بَعْضِهِ، وَلْيَفْتَتِحْ مَجْلِسَهُ، وَلْيَخْتَتِمْهُ بِذِكْرٍ، وَدُعَاءٍ يَلِيقُ بِالْحَالِ، وَمِنْ أَبْلَغِ مَا يَفْتَتِحُهُ بِهِ أَنْ يَقُولَ: ” الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، أَكْمَلَ الْحَمْدِ عَلَى كُلِّ حَالٍ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ الْأَتَمَّانِ، عَلَى سَيِّدِ الْمُرْسَلِينَ، كُلَّمَا ذَكَرَهُ الذَّاكِرُونَ، وَكُلَّمَا غَفَلَ عَنْ ذِكْرِهِ الْغَافِلُونَ، اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ، وَعَلَى آلِهِ وَسَائِرِ النَّبِيِّينَ، وَآلِ كُلٍّ، وَسَائِرِ الصَّالِحِينَ، نِهَايَةَ مَا يَنْبَغِي أَنْ يَسْأَلَهُ السَّائِلُونَ “.
 (14)أسنى المطالب في شرح روض الطالب (4/  268) 
وقال الْبَارِزِيُّ بَعْدَ ذِكْرِهِ كَلَامَ الْمَرُّوذِيِّ وَعِنْدِي أَنَّ الْبِرَّ أَنْ يَقُولَ اللَّهُمَّ صَلِّ على مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ أَفْضَلَ صَلَوَاتِك عَدَدَ مَعْلُومَاتِك فإنه أَبْلَغُ فَيَكُونُ أَفْضَلَ 
 (15)تفسير الطبري 310 (دار هجر) (1/  5) 
فَالْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي كَرَّمْنَا بِتَصْدِيقِهِ ، وَشَرَّفَنَا بِاتِّبَاعِهِ ، وَجَعَلَنَا مِنْ أَهْلِ الإِقْرَارِ وَالإِيمَانِ بِهِ ، وَبِمَا دَعَا إِلَيْهِ وَجَاءَ بِهِ ، صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ أَزْكَى صَلَوَاتِهِ ، وَأَفْضَلَ سَلاَمِهِ ، وَأَتَمَّ تَحِيَّاتِهِ.
 (16)القواعد النورانية الفقهية (ص: 1) 
سم الله الرحمن الرحيم وبه ثقتي وهو حسبي ونعم الوكيل قال الشيخ الإمام العالم العامل القدوة رباني الأمة ومحيي السنة العلامة شيخ الإسلام تقي الدين أبو لعباس أحمد عبد الحليم بن عبد السلام ابن تيمية الحراني قدس الله روحه ونور ضريحه الحمد لله رب العالمين وصلى الله وسلم وبارك على عبده ورسوله محمد خاتم المرسلين وإمام المهتدين وعلى آله أجمعين 
 (17)الفروسية (ص: 83) 
 فصلى الله وملائكته وأنبياؤه ورسله والصالحون من خلقه عليه كما عرفنا بالله وأسمائه وصفاته ووحده ودعا إليه وآتاه الوسيلة والفضيلة وبعثه المقام المحمود الذي وعده في دار السلام والسلام عليه ورحمة الله وبركاته
Wallohu a’lam….

Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar