Rabu, 05 Oktober 2016

Kisah Syeikh Nawawi dan karomahnya

Kisah Syeikh Nawawi Diarak Keliling Ka`Bah

Kemasyhuran dan nama besar Syeikh Nawawi al-Bantani kiranya sudah tidak perlu diragukan lagi. Melalui karya-karyanya, ulama kelahiran Kampung Tanara, Serang, Banten pada tahun 1815 M ini telah membuktikan kepada dunia Islam akan ketangguhan ilmu ulama-ulama Indonesia.
Tidak kurang dari 100 judul kitab berhasil digubah oleh Ulama Nusantara yang satu ini kesemuanya ditulisnya dalam bahasa Arab. Selain itu, Kiai Nawawi juga dikenal sebagai seorang yang sangat dicintai baik oleh para murid maupun sesama ulama di kota Mekkah. Kiai Hasyim Asy`ari yang juga merupakan salah seorang ulama yang sempat berguru kepada Syeikh Nawawi, seringkali meneteskan air mata jika mengenang keluhuran pribadi dan kedalaman ilmu gurunya itu.

Sementara para ulama di lingkungan Masjidil Haram sangat hormat kepada kealimannya. Bahkan ketika Syeikh Nawawi berhasil menyelesaikan karyanya Tafsir Marah Labid, para ulama Mekkah serta merta memberikan penghormatan tertinggi kepadanya.

Ketika kitab tafsir "al-Tafsir al-Munîr li al-Mu’âlim al-Tanzîl al-Mufassir ‘an wujûĥ mahâsin al-Ta΄wil musammâ Murâh Labîd li Kasyafi Ma’nâ Qur΄an Majîd" atau "Kitab Tafsir Muroh Lubab"  karya Kiai Nawawi diterbitkan, para ulama yang mengajar di Masjidil Haram berkumpul. Mereka sepakat bahwa menafsirkan 30 Juz Al-Qur'an bukan sekedar buah dari kemampuan seseorang, akan tetapi juga karunia yang diberikan oleh Allah. Oleh sebab itu pada hari yang telah ditentukan para ulama Mekah dari berbagai penjuru dunia mengarak Syeikh Nawawi mengelilingi Ka`bah sebanyak tujuh kali sebagai bukti penghormatan mereka atas karya monumentalnya itu.

Keberhasilan Sang Kiai menyelesaikan Tafsir Marah Labid ternyata bukan saja memberikan nuansa baru di kota Mekkah namun juga diyakini turut memantik perubahan kurikulum pesantren-pesantren Indonesia pada tahun 1888. Perubahan yang dimaksud adalah maraknya pengajian yang membacakan kitab-kitab tafsir, sebuah fenomena yang disinyalir tidak pernah dilakukan sebelumnya.

Selain di Indonesia, pengaruh Syeikh Nawawi juga mewarnai beberapa negara di sejumlah kawasan. Kitab-kitab beliau diajarkan di pondok-pondok pesantren terkemuka yang ada di Malaysia, Filipina dan Thailand. Bahkan di sejumlah negara Timur Tengah, kitab-kitabnya selalu dijadikan sebagai rujukan.

Kisah Syekh Nawawi: Kaki Bisa Menyala, Jasadnya Tetap Utuh

Nama Syekh Nawawi Banten sudah tidak asing lagi bagi umat Islam Indonesia. Bahkan sering terdengar disamakan kebesarannya dengan tokoh ulama klasik madzhab Syafi’i Imam Nawawi (676 Hijriah atau l277 Masehi). Melalui karya-karyanya yang tersebar di pesantren-pesantren tradisional yang sampai sekarang masih banyak dikaji.

Nama kiai asal Banten ini seakan masih hidup dan terus menyertai umat memberikan wejangan ajaran Islam yang menyejukkan.
Di setiap majlis ta’lim, karyanya selalu dijadikan rujukan utama dalam berbagai ilmu, mulai dari ilmu tauhid, fiqh, tasawuf sampai tafsir.

Karya-karyanya sangat berjasa dalam mengarahkan mainstream keilmuan yang dikembangkan di lembaga-Iembaga pesantren yang berada di bawah naungan Nahdlatul Ulama (NU).
Sayid ’Ulamail Hijaz adalah gelar yang disandangnya. Sayid adalah penghulu, sedangkan Hijaz wilayah Saudi sekarang, yang di dalamnya termasuk Mekkah dan Madinah.

Dialah Syekh Muhammad Nawawi, yang lebih dikenal orang Mekkah sebagai Nawawi al-Bantani, atau Nawawi al-Jawi.
"Al-Bantani menunjukkan bahwa ia berasal dari Banten, sedangkan sebutan Al-Jawi mengindikasikan muasalnya yang Jawa, sebutan untuk para pendatang Nusantara karena nama Indonesia kala itu belum dikenal. Kalangan pesantren sekarang menyebut ulama yang juga digelari asy-Syaikh al-Fakih itu sebagai Nawawi Banten," kata Ismetullah Al Abbas, pewaris Kesultanan Banten, ketika ditemui di rumahnya di kompleks Masjid Banten, Banten, beberapa waktu lalu.
Menurut sejarah, Syekh Nawawi Banten memiliki nama lengkap Abu Abd al-Mu’ti Muhammad bin Umar al- Tanara al-Jawi al-Bantani.

Ia lebih dikenal dengan sebutan Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani. Dilahirkan di Kampung Tanara, Serang, Banten pada tahun 1815 Masehi atau 1230 Hijriah. Pada tanggal 25 Syawal 1314 Hijriah atau 1897 Masehi. Nawawi menghembuskan nafasnya yang terakhir di usia 84 tahun.

Selanjutnya... Memiliki Karomah Kakinya Bersinar Saat Gelap...


Karomah Syaikh Nawawi al-Bantani Saat Masih Muda

Dulu saat Syaikh Nawawi al-Bantani masih muda, sekitar usia belasan tahun, pernah shalat di Masjid Pekojan Jakarta Kota dekat kediaman Habib Utsman bin Yahya. Usai shalat Syaikh Nawawi menghampiri dan berkata kepada Habib Utsman, yang waktu itu juga berada di masjid, dengan nada lemah lembut dan penuh hormat: “Wahai Habib yang saya hormati. Sebelumnya saya mohon maaf yang sebesar-besarnya.”

“Ya, ada apa anak muda?” Jawab Habib Utsman.

“Begini Habib, masjid ini kurang ngiblat dan kurang nyerong ke sebalah kanan (ke arah utara).”

Karena Habib Utsman adalah seorang pakar ilmu falak, beliu pun heran dan menyanggah: “Masid ini sudah saya ukur dengan alat kompas dan berdasarkan ilmu falak.”

Kemudian Syaikh Nawawi al-Bantani dengan sopannya menunjuk ke arah kiblat. Dan seketika itu juga Ka’bah terlihat sangat jelas di hadapan mereka berdua. Menyaksikan itu, Habib Utsman bin Yahya terperanjat dan kemudian langsung menubruk ingin mencium tangan Syaikh Nawawi al-Bantani. Namun Syaikh Nawawi menarik dan menolak tangannya untuk dicium oleh Habib Utsman bin Yahya. Dan beliau berkata: “Wahai Habib yang mulia. Saya tidak pantas untuk dicium tangani oleh Habib. Karena, Habib adalah orang mulia dan keturunan Rasulullah, sedangkan saya adalah orang kampung biasa.”

Mendengar kata-kata itu, Habib Utsman bin Yahya langsung merangkul badan Syaikh Nawawi dan mereka saling berpelukan sambil menangis dengan bercucuran air mata.

Syaikh Nawawi al-Bantani juga termasuk salah seorang ulama pakar ilmu falak. Banyak kitab-kitab karyanya yang menerangkan tentang ilmu falak. Hanya saja kitab yang masuk ke Indonesia (yang saya tahu) adalah kitab Sullam al-Munajat.

Di dalam kitab Sullam al-Munajat halaman 23-24, cetakan Darul Kutub al-Islamiyyah Kalibata-Jakarta Selatan, Syaikh Nawawi menerangkan tentang ilmu arah kiblat beserta hukumnya. Hanya saja untuk menghitung arah kiblat wilayah Banten, beliau menggunakan sebagai bujur nol derajatnya adalah “Az-Zajairatul Khalidat”, bukan Greewich. Tapi setelah saya hitung dan saya bandingkan dengan perhitungan ilmu falak arah kiblat “Sistem Kontemporer” hasilnya tidak beda jauh alias hampir sama. (Diedit dari tulisan KH. Thobary Syadzily al-Bantani, cucu Syaikh Nawawi al-Bantani dan Pengasuh PP Al-Husna Tangerang).

SYEKH NAWAWI AL BANTANI JENAZAHNYA TETAP UTUH

Telah menjadi kebijakan Pemerintah Arab Saudi bahwa orang yang telah dikubur selama setahun kuburannya harus digali. Tulang belulang si mayat kemudian diambil dan disatukan dengan tulang belulang mayat lainnya. Selanjutnya semua tulang itu dikuburkan di tempat lain di luar kota. Lubang kubur yang dibongkar dibiarkan tetap terbuka hingga datang jenazah

berikutnya terus silih berganti. Kebijakan ini dijalankan tanpa pandang bulu. Siapapun dia, pejabat atau orang biasa, saudagar kaya atau orang miskin, sama terkena kebijakan tersebut. Inilah yang juga menimpa makam Syaikh Nawawi. Setelah kuburnya genap berusia satu tahun, datanglah petugas dari pemerintah kota untuk menggali kuburnya. Tetapi yang terjadi adalah hal yang tak lazim. Para petugas kuburan itu tak menemukan tulang belulang seperti biasanya. Yang mereka temukan adalah satu jasad yang masih utuh. Tidak kurang satu apapun, tidak lecet atau tanda-tanda pembusukan seperti lazimnya jenazah yang telah lama dikubur. Bahkan kain putih kafan penutup jasad beliau tidak sobek dan tidak lapuk sedikitpun.Terang saja kejadian ini mengejutkan para petugas. Mereka lari berhamburan mendatangi atasannya dan menceritakan apa yang telah terjadi. Setelah diteliti, sang atasan kemudian menyadari bahwa makam yang digali itu bukan makam orang sembarangan. Langkah strategis lalu diambil. Pemerintah melarang membongkar makam tersebut. Jasad beliau lalu dikuburkan kembali seperti sediakala. Hingga sekarang makam beliau tetap berada di Ma΄la, Mekah.Siapakah Syekh Nawawi Al Bantani ??

Syaikh Nawawi Al-Jawi Al-Bantani (1813-1898)

Sejarah Hidup

Nama lengkapnya ialah Abu Abdul Mu’thi Muhammad Nawawi bin ‘Umar bin Arabi al-Jawi al-Bantani. Ia dilahirkan di Tanara, serang, Banten, pada tahun 1230 H/ 1813 M. Ayahnya seorang tokoh agama yang sangat disegani. Ia masih punya hubungan nasab dengan Maulana Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati (Cirebon).

Pada usia 15 tahun, Nawawi muda pergi belajar ke Tanah Suci Makkah, karena saat itu Indonesia –yang namanya masih Hindia Belanda- dijajah oleh Belanda, yang membatasi kegiatan pendidikan di Nusantara. Beberapa tahun kemudian, ia kembali ke Indonesia untuk menyalurkan ilmunya kepada masyarakat.

Tak lama ia mengajar, hanya tiga tahun, karena kondisi Nusantara masih sama, di bawah penjajahan oleh Belanda, yang membuat ia tidak bebas bergiat. Ia pun kembali ke Makkah dan mengamalkan ilmunya di sana, terutama kepada orang Indonesia yang belajar di sana. Banyak sumber menyatakan Syekh Nawawi wafat di Makkah dan dimakamkan di Ma’la pada 1314 H/ 1897 M, namun menurut Al-A’lam dan Mu’jam Mu’allim, dua kitab yang membahas tokoh dan guru yang berpengaruh di dunia Islam, ia wafat pada 1316 H/ 1898 M.

Posisi Strategis al-Bantani bagi Dunia dan Indonesia

1. Syekh Nawawi Al-Bantani adalah satu dari tiga ulama Indonesia yang mengajar di Masjid Al-Haram di Makkah Al-Mukarramah pada abad ke-19 dan awal abad ke-20. Dua yang lain ialah muridnya, Ahmad Khatib Minangkabau dan Kiai Mahfudz Termas. Ini menunjukkan bahwa keilmuannya sangat diakui tidak hanya di Indonesia, melainkan juga di semenanjung Arab. Syekh Nawawi sendiri menjadi pengajar di Masjid al-Haram sampai akhir hayatnya yaitu sampai 1898, lalu dilanjutkan oleh kedua muridnya itu. Wajar, jika ia dimakamkan berdekatan dengan makam istri Nabi Khadijah di Ma’la.

2. Syekh Nawawi Al-Bantani mendapatkan gelar “Sayyidu Ulama’ al-Hijaz” yang berarti “Sesepuh Ulama Hijaz” atau “Guru dari Ulama Hijaz” atau “Akar dari Ulama Hijaz”. Yang menarik dari gelar di atas adalah \beliau tidak hanya mendapatkan gelar “Sayyidu ‘Ulama al-Indonesi” sehingga bermakna, bahwa kealiman beliau diakui di semenanjung Arabia, apalagi di tanah airnya sendiri. Selain itu, beliau juga mendapat gelar “al-imam wa al-fahm al-mudaqqig” yang berarti “Tokoh dan pakar dengan pemahaman yang sangat mendalam”. Snouck Hourgronje member gelar “Doktor Teologi”.

3. Pada tahun 1870, Syekh Nawawi diundang para ulama Universitas Al-Azhar dalam sebuah seminar dan diskusi, sebagai apresiasi terhadap penyebaran buku-buku Syekh Nawawi di Mesir. Ini membuktikan bahwa ulama al-Azhar mengakui kepakaran Syekh Nawawi al-Bantani.

4. Paling tidak terdapat 34 karya Syekh Nawawi yang tercatat dalam Dictionary of Arabic Printed Books. Namun beberapa kalangan lainnya malah menyebut karya-karyanya mencapai lebih dari 100 judul, meliputi berbagai disiplin ilmu, seperti tauhid, ilmu kalam, sejarah, syari’ah, tafsir, dan lainnya. Sebagian karyanya tersebut juga diterbitkan di Timur Tengah. Dengan kiprah dan karya-karyanya ini, menempatkan dirinya sebagai alim terpandang di Timur Tengah, lebih-lebih di Indonesia.

5. Kelebihan dari Syekh Nawawi al-Bantani adalah menjelaskan makna terdalam dari bahasa Arab, termasuk sastera Arab yang susah dipahami, melalui syarah-syarahnya. Bahasa yang digunakan Syekh Nawawi memudahkan pembaca untuk memahami isi sebuah kitab. Wajar jika syarah Syekh Nawawi menjadi rujukan, karena dianggap paling otentik dan paling sesuai maksud penulis awal. Bahkan, di Indonesia dan beberapa segara lain, syarah Syekh Nawawi paling banyak dicetak yang berarti paling banyak digunakan dibandingkan dengan buku yang terbit tanpa syarahnya.

6. Syekh Nawawi hidup di zaman di mana pemikiran Islam penuh perdebatan ekstrim antara pemikiran yang berorientasi pada syari’at dan mengabaikan hal yang bersifat sufistik di satu sisi (seperti Wahabi) serta sebaliknya pemikiran yang menekankan sufisme lalu mengabaikan syari’at di sisi lain (Seperti tarekat aliran Ibn Arabi). Kelebihan dari Syekh Nawawi adalah mengambil jalan tengah di antara keduanya. Menurutnya, syari’at memberikan panduan dasar bagi manusia untuk mencapai kesucian rohani. Karena itu, seseorang dianggap gagal jika setelah melaksanakan panduan syari’at dengan baik, namun rohaninya masih kotor. Hal sama juga berlaku bagi seorang sufi. Mustahil ia akan mencapai kesucian rohani yang hakiki, bukan kesucian rohani yang semu, jika ia melanggar atau malah menabrak aturan syari’at. Selain itu, di masa itu juga muncul pemikiran yang secara ekstrem mengutamakan aqli dan mengabaikan naqli atau sebaliknya mengutamakan naqli dan mengabaikan aqli. Namun Syekh Nawawi berhasil mempertemukan di antara keduanya, bahwa dalil naqli dan aqli harus digunakan secara bersamaan. Namun jika ada pertentangan di antara kedunya, maka dalil naqli harus diutamakan.

7. Dalam konteks Indonesia, Syekh Nawawi merupakan tokoh penting yang memperkenalkan dan menancapkan pengaruh Teologi ‘Asy’ariyah. Teologi ini merupakan teologi jalan tengah antara Teologi Qadariyah bahwa manusia mempunyai kebebasan mutlak dengan teologi Jabariyah yang menganggap manusia tidak mempunyai kebebasan untuk berbuat baik atau berbuat jahat.

8. Cara berpikir jalan tengah ini kemudian diadopsi dengan baik oleh Nahdlatul Ulama (NU). Karena itu, banyak kalangan yang berpandangan bahwa NU merupakan institusionalisasi dari cara berpikir yang dianut oleh Syekh Nawawi al-Bantani. Apalagi pendiri NU, KH. Hasyim ‘Asy’ari merupakan salah satu murid dari Syekh Nawawi al-Bantani.

9. Dalam konteks penjajahan, Syekh Nawawi al-Bantani berpendapat bahwa bekerja sama dengan penjajah Belanda adalah haram hukumnya. Karena itu, murid-murid Syekh Nawawi al-Bantani merupakan bagian terpenting dari sejarah perjuangan memperebutkan kemerdekaan Indonesia. Pemberontakan Petani Banten di abad 18 yang sangat merugikan Belanda, misalnya, merupakan salah satu contoh dari karya murid Syek Nawawi. Karena itu, wajar jika Syekh Nawawi menjadi salah satu objek “mata-mata” Snouck Hourgronje.

10. Berdasarkan penelitian Martin Van Bruinesen (Indonesianis dari Belanda) setelah mengadakan penelitian di 46 pesantren terkemuka di Indonesia ia berkesimpulan bahwa 42 dari 46 pesantren itu menggunakan kitab-kitab yang ditulis Syekh Nawawi al-Bantani. Menurut Martin, sekurang-kurangnya 22 karangan Nawawi yang menjadi rujukan di pesantren-pesantren itu.

Karya-karya Monumental

Syekh Nawawi al-Bantani dikenal sebagai penulis produktif, khususnya komentar terhadap karya-karya klasik sebelumnya, dalam banyak bidang. Karya-karyanya mencapai seratusan judul.

Bidang-bidang ditulis Syekh Nawawi cukup beragam, mulai di bidang Tafsir Hadist, Akidah, Fiqih, dan Tasauf. Dalam Bidang Tafsir, beliau menulis Al-Tafsir al-Munir li al-Muallim al-Tanzil al-Mufassir ‘an wujuh mahasin al-Ta’wil musamma Murah Labid li Kasyfi Ma’na Quran Majid (yang dikenal dengan nama Tafsir Munir). Tafsir al-Munir sering disejajarkan dengan Tafsir Jalalain, bahkan banyak kalangan yang menganggap lebih baik.

Dalam Bidang Ilmu Akidah beliau menulis antara lian Tîjan al-Darary, Nur al-Dhalam, Aqidah Fath al-Majîd. Pokok pikiran Syekh Nawawi dalam akidah adalah bahwa manusia dalam keadaan tertentu mempunyai pilihan untuk berbuat baik atau jahat. Namun dalam kesempatan lain, seperti dalam soal kelahiran dan kematian manusia tidak mempunyai pilihan apapun, karena semuanya sudah ditakdirkan. Pemikiran ini merupakan pemikiran ‘Asy’ariyah.

Dalam Bidang Ilmu Hadits beliau menulis Tanqih al-Qaul yang merupakan syarah atas Lubab Hadist, namun di pesantren di Indonesia justru Tanqi al-Qaul lebih terkenal dari Lubab Hadist.

Bidang Ilmu Fiqih beliau menulis Sullam al-Munâjah, Nihayah al-Zain, Kâsyifah al-Saja. Kasyifah al-Saja syarah atau komentar terhadap kitab fiqih Safînah al-Najâ, karya Syaikh Sâlim bin Sumeir al-Hadhramy. Kitab fiqih lainnya yang sangat terkenal di kalangan para santri pesantren di Jawa ’Uqûd al-Lujain fi Bayân Huqûq al-Zaujain. Dalam bidang fikih, Syekh Nawawi berhasil memperkenalkan dan menancapkan pengaruh Madzhad Syafi’i di Indonesia seperti yang kita saksikan sekarang ini.

Bidang Ilmu Tasawuf beliau menulis Qami’u al-Thugyan, Nashâih al-‘Ibâd, dan Minhâj al-Raghibi. Kitab Nashâih al-‘Ibâd merupakan syarah atas kitab syarah atas al-Manbaĥâtu ‘ala al-Isti’dâd li yaum al-Mi’âd. Namun di Indonesia Nashâih al-‘Ibâd lebih terkenal dari kitab yang disyarahinya. Dalam bidang tasauf, Syekh Nawawi selalu menekankan bahwa kesucian rohani bisa dicapai dengan cara menjalankan syari’at Islam secara penuh dan konsekwen. Syekh Nawawi mengibaratkan syari’at sebagai sebuah kapal, tarekat adalah lautan, dan hakikat adalah intan dalam lautan. Intan dalam lautan dapat diperoleh dengan kapal yang harus berlayar di lautan. Karena itu, kapal, laut, dan intan sangat terkait sebagaimana syariat, tarekat, dan hakikat tidak bisa berjalan sendiri-sendiri.

Karya-karya Syekh Nawawi al-Bantani secara lebih lengkap antara lain adalah sebagai berikut:

1. al-Tsamâr al-Yâni’ah syarah al-Riyâdl al-Badî’ah
2. al-‘Aqd al-Tsamîn syarah Fath al-Mubîn
3. Sullam al-Munâjah syarah Safînah al-Shalâh
4. Baĥjah al-Wasâil syarah al-Risâlah al-Jâmi’ah bayn al-Usûl wa al-Fiqh wa al-Tasawwuf
5. al-Tausyîh/ Quwt al-Habîb al-Gharîb syarah Fath al-Qarîb al-Mujîb
6. Niĥâyah al-Zayyin syarah Qurrah al-‘Ain bi Muĥimmâh al-Dîn
7. Marâqi al-‘Ubûdiyyah syarah Matan Bidâyah al-Ĥidâyah
8. Nashâih al-‘Ibâd syarah al-Manbaĥâtu ‘ala al-Isti’dâd li yaum al-Mi’âd
9. Salâlim al-Fadhlâ΄ syarah Mandhûmah Ĥidâyah al-Azkiyâ΄
10. Qâmi’u al-Thugyân syarah Mandhûmah Syu’bu al-Imân
11. al-Tafsir al-Munîr li al-Mu’âlim al-Tanzîl al-Mufassir ‘an wujûĥ mahâsin al-Ta΄wil musammâ Murâh Labîd li Kasyafi Ma’nâ Qur΄an Majîd
12. Kasyf al-Marûthiyyah syarah Matan al-Jurumiyyah
13. Fath al-Ghâfir al-Khathiyyah syarah Nadham al-Jurumiyyah musammâ al-Kawâkib al-Jaliyyah
14. Nur al-Dhalâm ‘ala Mandhûmah al-Musammâh bi ‘Aqîdah al-‘Awwâm
15. Tanqîh al-Qaul al-Hatsîts syarah Lubâb al-Hadîts
16. Madârij al-Shu’ûd syarah Maulid al-Barzanji
17. Targhîb al-Mustâqîn syarah Mandhûmah Maulid al-Barzanjî
18. Fath al-Shamad al ‘Âlam syarah Maulid Syarif al-‘Anâm
19. Fath al-Majîd syarah al-Durr al-Farîd
20. Tîjân al-Darâry syarah Matan al-Baijûry
21. Fath al-Mujîb syarah Mukhtashar al-Khathîb
22. Murâqah Shu’ûd al-Tashdîq syarah Sulam al-Taufîq
23. Kâsyifah al-Sajâ syarah Safînah al-Najâ
24. al-Futûhâh al-Madaniyyah syarah al-Syu’b al-Îmâniyyah
25. ‘Uqûd al-Lujain fi Bayân Huqûq al-Zaujain
26. Qathr al-Ghais syarah Masâil Abî al-Laits
27. Naqâwah al-‘Aqîdah Mandhûmah fi Tauhîd
28. al-Naĥjah al-Jayyidah syarah Naqâwah al-‘Aqîdah
29. Sulûk al-Jâdah syarah Lam’ah al-Mafâdah fi bayân al-Jumu’ah wa almu’âdah
30. Hilyah al-Shibyân syarah Fath al-Rahman
31. al-Fushûsh al-Yâqutiyyah ‘ala al-Raudlah al-Baĥîyyah fi Abwâb al-Tashrîfiyyah
32. al-Riyâdl al-Fauliyyah
33. Mishbâh al-Dhalâm’ala Minĥaj al-Atamma fi Tabwîb al-Hukm
34. Dzariyy’ah al-Yaqîn ‘ala Umm al-Barâĥîn fi al-Tauhîd
35. al-Ibrîz al-Dâniy fi Maulid Sayyidina Muhammad al-Sayyid al-Adnâny
36. Baghyah al-‘Awwâm fi Syarah Maulid Sayyid al-Anâm
37. al-Durrur al-Baĥiyyah fi syarah al-Khashâish al-Nabawiyyah
38. Lubâb al-bayyân fi ‘Ilmi Bayyân.

Karomah Syekh Nawawi Banten dan Belut

Kiai Tamad (90) meriwayatkan salah satu kebesaran Syekh Nawawi Al-Bantani. Ia mendapat riwayat itu dari gurunya, Mama Ajengan Tubagus Ahmad Bakri (Mama Sempur) Purwakarta. Mama Sempur adalah salah seorang murid langsung Syekh Nawawi di Makkah.

Syekh Nawawi adalah seorang alim yang seumur-umur tidak pernah memakan ikan jenis apapun. Suatu ketika, seorang Arab (tidak disebutkan namanya) mengejek kebiasaan orang Nusantara. Ia mengatakan, orang Nusantara itu memakan barang haram, yaitu belut.

Menurut orang Arab itu, belut adalah ular, maka hukumnya haram.

Meski Syekh Nawawi tak pernah memakan belut, ia yakin hewan yang umum dimakan di tanah kelahirannya itu halal. Maka ia mengatakan kepada orang Arab, bahwa belut halal!

Orang Arab menolak pendapat itu.

Karena kehabisan cara untuk menjelaskan, Syekh Nawawi memukulkan tangannya ke dalam pasir di hadapan orang itu. Tangannya langsung menelusup seperti ke dalam lumpur. Ia mengambil sesuatu.

Ketika tangannya diangkat kembali, seekor belut berada dalam genggamannya. Lalu ia menunjukkan kepada orang itu. Inilah belut yang dimakan orang Nusantara. Beda dengan ular.

Syekh Nawawi menjelaskan perbedaan ular dan belut terletak pada insangnya. Karena belut memilki insang, maka hukumnya seperti ikan.

Kiai Tamad menjelaskan kisah itu di kediamannya, kampung Pungangan, Kecamatan Patokbeusi, Kabupaten Subang pada Rabu,(10/4).
 
 
Kisah Ulama Asal Banten yang Menjadi Imam Masjidil Haram

Indonesia pernah memiliki seorang ulama ternama di jazirah Arab. Ia menjadi imam di Masjidil Haram, mengajar di Haramain, menulis buku yang tersebar di Timur Tengah.

Dialah Syekh Nawawi Al Bantani. Namanya sangat terkenal di Saudi hingga dijuluki “Sayyidul Hijaz”, yakni ulama di kawasan Hijaz. Kefakihannya dalam agama pun membuatnya dijuluki Nawawi kedua, maksudnya penerus ulama dunia terkenal, Imam Nawawi.

Nama dan gelar lengkap beliau, yakni Abu Abdullah Al-Mu'thi Muhammad Nawawi bin Umar Al-Tanari Al-Bantani Al-Jawi. Ia lahir di Kampung Pesisir Desa Tanara, Kecamatan Tirtayasa, Serang, Banten, 1230 Hijriyah atau 1815 Masehi. Ayahnya, Umar bin Arabi, merupakan seorang ulama di Banten. Bahkan, ada kabar Syekh Nawawi merupakan keturunan Sunan Gunung Jati dari Sultan Banten pertama, Maulana Hasanuddin. Syekh Nawawi juga dikabarakan masih memiliki jalur nasab dari Husein, cucu Rasulullah.

Sejak kecil, ia dibawah didikan sang ayah. Tak heran jika Nawawi kecil telah terbiasa dengan didikan agama. Tak hanya itu, ayahnya juga mengirimnya kepada temannya yang juga seorang ulama Banten, KH Sahal, dan seorang ulama di Purwakarta, KH Yusuf. Baru, pada usia 15 tahun, Syekh Nawawi pergi ke Arab Saudi. Di tanah kelahiran Islam, ia memantapkan ilmu agamanya. Ulama besar Saudi menjadi gurunya.

Setelah tiga tahun menempa ilmu di Tanah Suci, Syekh Nawawi kembali ke Tanah Air. Tapi, saat pulang, ia tak senang dengan kondisi penjajahan Belanda. Ia kemudian kembali lagi ke Makkah dan menjadi penuntut ilmu. Sejak keberangkatan itu, ia tak lagi pulang ke Indonesia hingga akhir hayat.

Di Makkah, Syekh giat menghadiri majelis ilmu di Masjidil Haram. Hingga, kemudian seorang imam masjid utama tersebut, Syekh Ahmad Khatib Sambas meminta Nawawi untuk menggantikan posisinya. Maka, mulailah Syekh Nawawi menjadi pengajar dan membuka majelisnya sendiri di Masjidil Haram. Murid syekh berdatangan dengan jumlah yang banyak. Bahkan, beberapa di antara muridnya merupakan pemuda asal Indonesia. Salah satu muridnya, yakni KH Hasyim Asy'ari pendiri Nadlatul Ulama (NU).

Syekh Nawawi mengabdikan hidupnya untuk mengajar. Ia pun terkenal giat menulis dan menghasilkan banyak karya. Sampai-sampai, banyak manuskripnya disebarkan bebas kemudian diterbitkan tanpa royalti. Sedikitnya, 34 tulisannya juga masuk dalam Dictionary of Arabic Printed Books. Karya lainnya mencapai seratus buku dari berbagai cabang ilmu Islam.
Di antara bukunya yang terkenal, yakni Tafsir Marah Labid, Atsimar Al-Yaniah fi Ar-Riyadah al-Badiah, Nurazh Sullam, Al-Futuhat Al-Madaniyah, Tafsir Al-Munir, Tanqih Al-Qoul, Fath Majid, Sullam Munajah, Nihayah Zein, Salalim Al-Fudhala, Bidayah Al-Hidayah, Al-Ibriz Al-Daani, Bugyah Al-Awwam, Futuhus Samad, dan al-Aqdhu Tsamin. Tak sedikit dari karya-karyanya yang diterbitkan di Timur Tengah. Universitas Al Azhar Kairo juga pernah mengundang syekh karena karya-karyanya yang digemari kalangan akademisi.

Buku-bukunya memang tersebar di Mesir. Di universitas Islam tertua itu, syekh menjadi pembicara dalam sebuah diskusi ilmiah.

Meski tak pernah mengajar di ranah nusantara, syekh menyebarkan ilmu melalui karya kepada masyarakat Indonesia. Karya-karyanya bahkan menjadi buku wajb di pesantren-pesantren. Bagi komunitas santri, Syekh Nawawi merupakan mahaguru yang banyak memberikan ilmu mengenai landasan beragama. Apalagi, ia juga merupakan guru dari sang pendiri NU. Sehingga, tak sedikit yang menyebut Syekh Nawawi sebagai akar tunjang tradisi intelektual ormas Islam terbesar di Indonesia tersebut.
Pemikiran
Syekh Nawawi sering kali menyatakan diri sebagai penganut paham Asy'ariyyah dan Maturidiyyah, sebuah paham yang dilahirkan Abu Hasan Al Asyari dan Abu Manshur Al Maturidi. Keduanya merupakan kelompok yang memfokuskan diri pada pembelajaran sifat-sifat Allah. Dari Syekh Nawawi, paham tersebut pun kemudian tersebar di nusantara.

Adapun dalam mazhab fikih, syekh Nawawi memilih mengikuti Imam Syafi'i. Hal ini terlihat dari karya-karyanya dalam ilmu fikih. Syekh Nawawi juga mempelajari ilmu tasawuf dan mengajarkannya. Ia bahkan menulis sebuah karya yang menjadi rujukan utama seorang sufi. Imam Al Ghazali juga banyak memengaruhi pemikiran Syekh Nawawi.

Ulama nusantara ternama internasional ini wafat di Syeib A'li, pinggiran Kota Makkah, pada 25 Syawal 1314 Hijriyah atau 1879 Masehi. Ia kemudian dimakamkan di pemakaman Ma'la. Hingga kini, masyarakat nusantara, terutama masyarakat Banten, selalu memperingati hari wafatnya setiap tahun.

Wallahu 'alam bi showab


Nama kitab : Murahu al-Labid/ Tafsir Munir
oleh: Syaikh Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi al-Bantani
الكتاب: مراح لبيد \تفسير المنير
المؤلف: الشيخ محمد النووي بن عمر الجاوي البنتني
File :PDF
Size : 59.9 MB (Full)

DOWNLOAD juz  1 - juz 2




Kitab Murâh Labîdz Tafsîr al-Nawawîy

Syaikh Muhammad al-Nawawi al-Jawi, Murâh Labîdz Tafsîr al-Nawawîy, 511 halaman (Jilid I) dan 476 halaman (Jilid II), diterbitkan dan dimaknai versi pesantren oleh al-Ma’had al-Islami as-Salafi Hidayatuth Thullab Pondok Pesantren Petuk, Kec. Semen, Kab. Kediri, tanpa tahun terbit; didapatkan dari Pondok Pesantren Petuk.

Kitab ini adalah kitab tafsir al-Qur`an lengkap tiga puluh juz yang ada di dalam al-Qur`an. Kitab ini lengkapnya dinamakan dengan Murah Labidz li-Kasyf Ma’na al-Qur`an al-Majid yang jika ditinjau dari sudut pandang ilmu huruf maka masing-masing kalimat judul itu mengandung angka-angka tertentu yang membentuk sebuah angka yang sesuai dengan tahun dimana kitab ini ditulis. Murah (249); Labidz (45); li-Kasyf (430); Ma’na (170); al-Qur`an (351); al-Majid (57). Maka jika secara keseluruhan angka itu ditotal maka menjadi 1302 sesuai dengan tahun dimana kitab ini ditulis yaitu pada tahun 1302 H.

Penulis sebelumnya bimbang dan ragu-ragu tentang keinginannya menulis sebuah kitab tafsir al-Qur`an. Karena ditakutkan termasuk orang-orang yang menafsiri al-Qur`an dengan akal pikirannya sendiri dan masuk neraka. Akan tetapi kebimbangan itu terjawabkan dengan sendirinya bahwa menulis tafsir harus dilakukan karena mengikuti teladan para ulama salaf dalam mengkodifikasi ilmu pengetahuan dan sebagai kontribusi terhadap peradaban agar dapat dimanfaatkan oleh generasi penerus. Dan penulis mengatakan dalam mukaddimahnya bahwa dalam menulis kitab tafsir ini banyak merujuk kitab tafsir al-Futuhat al-Ilahiyyah, Mafatih al-Ghayb, Siraj al-Munir, Tanwir al-Muqabas dan Tafsir Abiy Sa’ud. Jargon yang diangkatnya, “Wa laysa ‘ala fi’liy mazid, wa lakin li kulli zaman tajdid” (Dan apa yang saya lakukan tidak menambahkan atas apa yang dicapai ulama terdahulu. Akan tetapi di setiap zaman ada pembaharuan).

Meski secara jujur penulis mengatakan dengan rendah hati bahwa di dalam kitab Tafsir ini tidak ada pengetahuan dan informasi yang baru, hanya pengulangan atas pengetahuan para ulama terdahulu. Akan tetapi ada semangat pembaharuan untuk zamannya yang mendorong penulis untuk mengartikulasikan makna al-Qur`an yang kontekstual. Ada upaya reinterpretasi di segala bidang pemahaman. Penulis kitab tafsir ini adalah seorang ulama Nusantara yang kapasitas keilmuannya cukup mumpuni dalam berbagai disiplin ilmu keislaman dan produktif. Dengan karakteristik ulama yang ensiklopedis itu, penulis akhirnya menafsiri al-Qur`an yang berisi warna-warni pembahasan dan berbagai aspek secara proporsional; ayat-ayat yang berbicara hukum (muhkamat) ditafsiri dengan pendekatan fikih dan ushul fikih; ayat-ayat teologi didekati dengan tafsir teologis. [Mukti Ali el-Qum]
Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar