Sabtu, 15 Oktober 2016

Meluruskan Sejumlah Tafsir Surat Al-Maidah 51

Pada zaman Rasulullah blm ada sistem demokrasi, yg ada system kerajaan, artinya masa itu tdk ada hak memilih pemimpin bagi rakyat, untuk mendapatkan kekuasaan hanya dgn satu cara yaitu berperang. Bila kata aulia diartikan pemimpin, tdk tepat karena kondisi masa saat itu rakyat tdk punya hak memilih. Yg masyhur kata aulia
diartikan dgn kekasih atau teman dekat, artinya bila kita terlalu dekat dgn orang Yahudi dan Nashrani dikhawatirkan terpengaruh ajaran mereka.

Catatan :
1. Surat Al Ma'idah turun pada saat konflik sebelum setelah perang badar dan menjelang perang Uhud.
2. Tidak boleh memilih teman orang kafir, maksudnya jikalau pertemanan tersebut sampai mempengaruhi iman dan aqidah kaum muslimin. (Ketika tidak mempengaruhi iman dan aqidah kaum mulimin maka pertemanan tersebut diperbolehkan tapi kalau pertemanan tersebut mempengaruhi iman dan aqidah, sebaiknya dihentikan). 
3. Sempatkan baca ini juga:

يآايها الذين آمنوا كونوا قوامين لله شهدآء بالقسط ، ولا يجرمنكم شنآن قوم على الا تعدلوا ؛ اعدلوا هوأقرب للتقوى؛ واتقوا الله ، إن الله خبير بما تعملون

"Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian penegak-penegak kebenaran karena ALLAH dan menjadi saksi dengan ADIL. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, menyeretmu untuk berbuat tidak adil. Bersikap adillah. Adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh Allah Mahamengetahui apa yang kalian lakukan." (5. al-Maidah: 8)

Bersikap adil lebih dekat ke taqwa, sementara masih banyak orang yang ingin bisa taqwa tapi bagaimana caranya.. terkadang memang, jalan keluar menuju taqwa berada sangat dekat dengan kita, namun rasa egois mengaburkannya.


Saudaraku mari kita mulai pembahasan :

Kata awliyadi dalam Al-Quran disebutkan sebanyak 42 kali dan diterjemahkan beragam sesuai konteksnya.

Merujuk pada Terjemahan Al-Quran Kementerian Agama edisi revisi 1998 – 2002, pada QS. Ali Imran/3: 28, QS. Al-Nisa/4: 139 dan 144 serta QS. Al-Maidah/5: 57, misalnya, kata awliya diterjemahkan dengan pemimpin. Sedangkan pada QS. Al-Maidah/5: 51 dan QS. Al-Mumtahanah/60: 1 diartikan dengan teman setia.

Pada QS. Al-Taubah/9: 23 dimaknai dengan pelindung, dan pada QS. Al-Nisa/4: 89 diterjemahkan dengan teman-teman,

Allah SWT berfirman :

ياأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali (Pemimpin kalian ); sebagian mereka adalah wali (Pemimpin yahudi &Nasrani) bagi sebagian yang lain. Barang siapa di anta­ra kalian mengambil mereka menjadi wali, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan merek a (Menjadi Kafir ) , Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim." (Al Maida :51 ).

Penjelasan Kata "Auliya" Pada Almaidah 51 Menurut Warga Saudi Tampar Muka MUI, FPI & WAHABI

Karena didorong oleh rasa penasaran dengan heboh Surat Al-Maidah 51, khususnya tentang makna dari kata "auliya", maka saya pun bertanya kepada para murid dan teman-teman Saudi-ku.

Kalau mau sebetulnya gampang mencari makna atau arti kata ini, tinggal buka kamus Bahasa Arab yang kredibel, kita akan tahu sederet arti kata "auliya" ini.

Tapi sebagai antropolog, saya harus menggali data dan informasi dengan bertanya kepada orang bukan pada buku/kamus.

Para teman dan muridku itu agak kaget saya bertanya arti kata atau penggunaan kata "auliya" oleh masyarakat Arab/Saudi kontemporer.

Menurut mereka, kata ini adalah Bahasa Arab klasik (fushah) yang sudah jarang digunakan dalam komunikasi sehari-hari.

Kalaupun kata ini digunakan, penggunaanya dalam konteks yang sangat spesifik dan mengandung arti/makna spesifik seperti:

Pertama, ayah, ibu, paman atau siapa saja yang menjaga, mengasuh, melindungi, dan mengurus anak. Atau jika anak itu tidak punya ayah-ibu (yatim-piatu) sehingga diurus oleh negara atau pemerintah, maka pemerintah itulah sebagai "auliya" (legal guardian) karena telah mengurus anak tadi. Orang Saudi kalau melihat ada anak kecil sendirian di jalan tanpa orang dewasa, maka mereka akan tanya: "Aina wali amrik" ("Mana walimu"?).

Kedua, kata "auliya" juga berarti "wali murid". Dalam surat-surat formal dari sekolahan misalnya tertulis: "Ila auliya al-umur" ("Kepada para wali murid").

Ketiga, orang-orang saleh dan alim yang dekat dengan Allah. Di Indonesia misalnya ya Walisongo atau siapa saja yang dianggap saleh dan alim oleh kaum Muslim.

Keempat, teman atau sekutu.

Saya pun bertanya lagi: "Kalau untuk pemimpin pemerintahan seperti presiden, gubernur, walikota, dlsb, kata apa yang digunakan?" Mereka serentak menjawab: "wulah" (jamak dari "waa-lii" kalau "auliya" jamak dari "wa-lii").

Contoh dari kata "wulah" ini adalah sultan (seperti di Oman), raja atau malik (seperti di Saudi), amir (seperti di Qatar), hakim, gubernur, walikota atau umdah, dlsb.

Jadi tahu kan sekarang penggunaan kata "auliya" bagi warga Saudi. Nah sekarang apa arti kata "Auliya Pohan" hayo?

Demikian sekilas info. Semoga ada manfaatnya.

Sumber: Dikutip Islamnkri.com dari tulisan Sumanto Al Qurtuby

Apa perbedaan "Auliya", "Ulul-Amri', dan "Imam".
Apakah gubernur masuk itu masuknya Ulul-Amri atau Imam, atau Auliya?.

وأولي الأمر هم : الأئمة، والسلاطين، والقضاة، وكل من كانت له ولاية شرعية لا ولاية طاغوتية

Maksudnya apa itu Tadz?

وأولي الأمر هم: الأئمة، والسلاطين، والقضاة، وكل من كانت له ولاية شرعية لا ولاية طاغوتية “

Ulil amri adalah para imam, sultan, qadhi, dan setiap orang yang memiliki kekuasaan syar’iyyah, bukan kekuasaan thaghutiyyah.” (Imam asy-Syaukani, Fathul Qadir, 2/166) “Para ulama mengatakan bahawa yang dimaksudkan dengan ulil amri di sini adalah orang yang Allah wajibkan kepada kita untuk taat kepadanya, iaitu mereka yang memegang kekuasaan dan memimpin. Ini adalah perkataan jumhur ulama salaf dan khalaf daripada kalangan ahli tafsir, fuqaha’ (ulama fiqh),

Kalau Aluliya itu sama atau tidak?
klo waliyulloh.. brarti Auliyaullah.. Klo Auliya amr.. brarti pmipin wilyah.. .. ketua negara atau pemimpin umat Islam disebut dengan beberapa nama. Ia adalah seperti Khalifah, Imamatul Kubra (pemimpin utama atau tertinggi), al-Imam, Waliyyul Amr, Imaratul Mukminin atau Amirul Mukminin, imam al-Muslimin, Sultan, dan al-Malik (raja). Kemudian, di bawah pemimpin tertinggi akan ada pula wakil-wakil pemimpin, para pembantunya, menteri-menteri, wali kota, garbenor, panglima, dan selainnya yang dilantik oleh pemimpin pertama (tertinggi)

Gubernur = hakimud daulah, raisud daulah, malikud daulah..
Maksudnya ?

1. Auliya : bukan jabatan pemerintahan
2. Ulul Amri = istilah masih umum berkenaan dengan tanggung jawab sebagai imam. Bisa di organisasi non formal, bisa i organisasi formal, bisa di jabatan pemerintahan, perlu pengkhususan lafadznya.
3. Imam = bukan jabatan pemerintahan
4. Gubernur = Jabatan pemerintahan yang menguasai salah satu wilayah, bagian dari suatu negara. Istilah arab modern hakimud daulah/raisud daulah/malikud daulah..
1. Walyul amri adalah mufrod, jamaknya Auliya'ul amri
2. Ulil Amri adalah jamak, dan tidak mempunyai mufrod.

Lebih lengkap dan mendalam tentang Ulul amri bandingkan di kitab2 tafsir kata ulul amri dengan lafadz2 berikut :

1.أُولُوا الْأَلْبابِ

2. أُولُوا الْعِلْمِ

3. أُولُوا الْقُرْبى

4. أُولُوا الطَّوْلِ

5. أُولُوا بَقِيَّةٍ

6. أُولُوا بَأْسٍ

7. أُولُوا الْفَضْلِ

8. أُولُوا الْعَزْمِ

9. أُولُوا قُوَّةٍ

10. أُولِي الضَّرَرِ

11. لِأُولِي النُّهى

12. أُولِي الْإِرْبَةِ


Semoga bermanfaat.


Link Tafsir Ibnu katsir :

 http://www.ibnukatsironline.com/…/tafsir-surat-al-maidah-ay…

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لا يَأْلُونَكُمْ خَبَالا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.”(QS. Ali Imran[3]: 118)

Perhatikan ayat ini baik-baik, ayat ini scr jelas ditujukan kpd orang islam yg berhati Munafiq :

بَشِّرِ الْمُنَافِقِينَ بِأَنَّ لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا, الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِنْدَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ الْعِزَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا...

" Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih. Yaitu orang-orang yang menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah ".
(QS. An-Nisa' ayat 138-139)

Ummat islam yg berhati dan bersikap MUNAFIQ Allah Swt menempatkan di dlm JAHANAM:

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka.” (QS An Nisaa’, 4: 145)

Yaa Robb lindungi Kami dari sifat MUNAFIQ,terimalah Taubat saudara kami yg berhati Munafiq yg membela Orang orang KAFIR musuhmu yg NYATA...Kembalikan mereka kejalan Keridho'an Mu Aamiin Allahumma Aamiin

Meluruskan Sejumlah Tafsir Surat Al-Maidah 51

Belakangan ini beredar kutipan kisah Sayyidina Umar bin Khattab, Khalifah kedua, dengan sahabat Nabi Abu Musa al-Asy’ari. Dialog yang dinukil dari Tafsir Ibn Katsir ketika menjelaskan QS al-Maidah ayat 51 dipakai sebagian pihak untuk menyerang kandidat tertentu dalam Pilkada DKI. Bagaimana sebenarnya kisah tersebut? Mari kita pelajari bersama, dan untuk sementara kita niatkan untuk mengaji saja, bukan membahas Pilkada. Ini biar kajian kita menjadi obyektif.
Kisahnya sendiri dikutip oleh sejumlah kitab Tafsir, dengan perbedaan redaksi, perbedaan riwayat dan perbedaan konteks ayat ketika kisah ini diceritakan ulang. Begitu juga kita harus memahami pernyataan Khalifah Umar baik dalam konteks Usul al-Fiqh maupun dalam konteks Fiqh Siyasah. Mari kita bahas satu per satu.

Memahami background kisah

Pemahaman akan konteks akan membantu kita memahami teks. Pada masa Khalifah Umar kekuasaan Islam mulai meluas merambah area di luar Hijaz. Abu Musa al-Asy’ari diangkat menjadi Gubernur di Bashrah, Iraq. Khalifah Umar meminta laporan berkala kepada para Gubernurnya. Maka diriwayatkan Abu Musa mengangkat seorang Kristen sebagai Katib (sekretaris).

Sekretaris yang tidak disebutkan namanya ini bertugas mencatat pengeluaran Abu Musa selaku Gubernur. Abu Musa membawa Sekretarisnya ini memasuki Madinah, dan mereka menghadap Khalifah Umar. Umar takjub dengan kerapian catatan yang dibuat oleh sekretaris Abu Musa.

Datang pula laporan keuangan dari Syam. Mengingat ketrampilan sang sekretaris, Khalifah memintanya untuk membacakan laporan dari Syam itu di Masjid Nabawi. Abu Musa mengatakan, “Tidak bisa orang ini masuk ke Masjid Nabawi.” Umar bertanya, “Mengapa? Apakah dia sedang junub?” “Bukan, dia Nasrani,” jawab Abu Musa. Umar langsung membentak Abu Musa dan memukul pahanya, dan mengatakan, “Usir dia! (akhrijuhu)”

Kemudian Khalifah Umar membaca QS al-Maidah 51. Kisah di atas dinukil dari Tafsir Ibn Katsir yang meriwayatkan dari Ibn Abi Hatim. Saya cek kitab Tafsir Ibn Abi Hatim dan menemukan kisah yang sama. Kisah tersebut juga dicantumkan dalam sejumlah kitab tafsir lainnya seperti Tafsir al-Darr al-Mansur.

Perbedaan redaksi

Riwayat berbeda dicantumkan dalam Tafsir al-Qurtubi, dimana di bagian akhir dialog ada perbedaan ucapan Umar. Imam al-Qurtubi juga mencantumkan kisah di atas bukan dalam QS al-Maidah:51 tapi dalam QS Ali Imran:118. Ini yang disampaikan Umar versi Tafsir al-Qurtubi: “Jangan bawa mereka mendekati sesuatu yang Allah telah jauhkan, jangan memberi mereka kehormatan ketika Allah telah menghinakan mereka, dan jangan mempercayai mereka ketika Allah telah mengatakan mereka tidak bisa dipercaya”.

Dalam riwayat lain yang dicantumkan oleh Kitab Tafsir al-Razi, sebagaimana juga disebutkan dalam Kitab Tafsir Bahrul Muhit, al-Lubab fi Ulumil Kitab, Tafsir al-Naisaburi ada lanjutan dialognya: Abu Musa berkata: “Tidak akan sempurna urusan di Bashrah kecuali dibantu orang ini”. Khalifah Umar yang sedang murka, menjawab singkat: “Mati saja lah orang Kristen itu. Wassalam”.

Para ulama menafsirkan maksud perkataan Umar terakhir itu dengan makna: “Pecat dia sekarang karena kalau besok-besok dia meninggal dan kamu sudah bergantung pada dia, kamu akan repot, maka anggap saja sekarang dia sudah meninggal, dan cari bantuan orang lain untuk mengurusi urusan itu.”
Dalam Kitab Tafsir al-Razi, Tafsir al-Wasith Sayyid Tantawi, dan juga kitab Syurut al-Nasara li Ibn Zabr ada redaksi lain dalam dialog di atas. Abu Musa berkilah di depan Khalifah: “lahu dinuhu wa liya kitabatuhu” (baginya urusan agamanya, dan bagiku adalah urusan ketrampilan dia). Abu Musa seolah mengingatkan Khalifah dengan ungkapan yang mirip dalam al-Qur’an: lakum dinukum waliya din. Tetapi Khalifah tetap menolaknya.

Kenapa Khalifah Umar Marah?

Dialog di atas terjadi di Madinah. Di sini kunci kita memahami kemarahan Khalifah Umar. Abu Musa membawa sekretarisnya yang Kristen ke wilayah Madinah yang khusus untuk umat Islam saja. Bahkan Umar baru tahu dia seorang Nasrani itu setelah mau diajak bicara di Masjid. Barulah Abu Musa mengaku kepada Khalifah latar belakang sekretarisnya ini. Ini sebabnya kalimat yang diucapkan oleh Khalifah Umar saat memarahi Abu Musa: “usir dia atau keluarkan dia” Ini maksudnya usir dia dari Madinah. Disusul dengan ungkapan Khalifah Umar, “Jangan bawa mereka mendekati sesuatu yang telah Allah jauhkan dari mereka”.

Maksudnya adalah keharaman wilayah Madinah yang steril dari non Muslim karena Allah sudah jauhkan mereka, eh kok malah dibawa masuk oleh Abu Musa. Jadi ini bukan semata-mata persoalan Abu Musa mengangkat orang Kristen, tapi ini pada kesucian wilayah Madinah. Pemahaman ini dikonfirmasi oleh Ibn Katsir dalam kitabnya yang lain yang berjudul Musnad al-Faruq.

Sebab kemarahan kedua yang bisa kita ambil dari kisah di atas adalah ketergantungan Abu Musa terhadap orang Kristen pada posisi yang sangat strategis yang keuangan pemerintahan dimana di dalamnya termasuk catatan zakat, jizyah dalam baitul mal. Indikasi ketergantunga itu tampak dengan Abu Musa tidak bisa menjelaskan sendiri catatan pengeluaran yang telah dibuat sekretarisnya, malah sampai membawa sekretaris yang Kristen itu mendampingi dia memberi laporan kepada Khalifah.

Bagi sang Khalifah, rahasia negara menjadi beresiko ketika posisi strategis semacam itu dipercayakan kepada non-Muslim di masa saat Khalifah Umar sedang melakukan ekspansi dakwah ke wilayah non-Muslim, seperti pembebasan Iraq dan Mesir. Inilah pula konteksnya ketika Khalifah Umar mengutip QS al-Maidah:51 dimana Allah melarang mengambil Yahudi dan Nasrani sebagai awliya (sekutu/kawan akrab), yang menurut Ibn Katsir ketika menjelaskan QS al-Nisa:144:
“Allah melarang hamba-hamba-Nya yang beriman mengambil orang-orang kafir sebagai ‘awliya’ mereka, dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Yang dimaksud dengan istilah "awliya" dalam ayat ini ialah berteman akrab dengan mereka, setia, tulus dan merahasiakan kecintaan serta membuka rahasia orang-orang mukmin kepada mereka."

Maka jelas ‘illat larangan yang dipahami Umar bin Khattab ada dalam kasus Abu Musa ini, yaitu ketergantungan Abu Musa kepada anak buahnya, posisi strategis dalam hal catatan keluar-masuk zakat-jizyah, serta potensi bocornya rahasia negara yang tengah melakukan ekspansi dakwah.
Yang menarik adalah Sa’id Hawa dalam al-Asas fi al-Tafsir mengatakan: “apakah anda bisa pahami tentang larangan memberikan kafir dzimmi posisi untuk mengerjakan urusan umat Islam?” Beliau menjawab sendiri: “Masalah ini tergantung konteksnya, karena perbedaan posisi jabatan, kondisi, dan lokasi serta zaman.”
Sahihkah riwayatnya?

Tidak satupun 9 kitab Hadis Utama yang meriwayatkan kisah di atas. Berarti kisah di atas itu bukan masuk kategori Hadits, tapi Atsar Sahabat. Kisahnya berhenti di Umar, bukan di Rasulullah SAW. Kisah ini justru dimuat di Kitab Tafsir. Pelacakan saya hanya satu kitab Hadits (di luar kutubut tis’ah) yang memuatnya yaitu Sunan al-Kubra lil Baihaqi.

Imam Baihaqi memasukkan dua riwayat yang berbeda mengenai kisah di atas (9/343 dan 10/216). Atsar ini dinyatakan sanadnya hasan melalui jalur Simak bin Harb oleh kitab Silsilah al-Atsar al-Shahihah. Sementara Al-albani mensahihkan Atsar ini dalam jalur yang lain, sebagaimana disebutkan dalam kitab beliau Irwa al-Ghalil.

Dalam Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah kisah mengenai jawaban Umar, “Mati sajalah si Kristen itu” disampaikan kepada Khalid bin Walid. Bukan berkenaan dengan Abu Musa. Namun ulama lain mengatakan itu Abu Musa. Dalam kitab Zahratut Tafsir, Abu Zahrah mengatakan kata-kata Umar “mati sajalah si Krsten itu” dilakukan dalam surat menyurat dengan Abu Musa, bukan dialog langsung. Demikianlah kesimpangsiuran kisah di atas, dengan berbagai redaksi dan riwayat yang berbeda. Tapi sekali lagi ini bukan Hadits Nabi. Ini merupakan Atsar sahabat.
Qaulus Shahabi atau keputusan Khalifah?

Umar bin Khattab adalah sahabat Nabi. Abu Musa al-Asy’ari juga sahabat Nabi. Keduanya berbeda pandangan dalam hal ini. Pendapat keduanya dalam usul al-fiqh disebut sebagai qaulus shahabi. Singkatnya ini adalah ijtihad para sahabat Nabi yang tidak disandarkan kepada Nabi. Artinya murni pemahaman mereka sepeninggal Nabi SAW.

Para ulama usul al-fiqh ada yang menerima kehujjahan qaulus shahabi sebagai salah satu sumber hukum Islam, seperti pendapatnya Imam Malik, namun Imam Syafi’i (qaul jadid) dan para pengikut beliau seperti Imam al-Ghazali serta Imam al-Amidi menolak kehujjahan qaulus shahabi. Itu artinya, pendapat Khalifah Umar dan Abu Musa sama-sama sah dan bisa dipertimbangkan bagi mazhab Maliki, namun tidka mengapa pendapat keduanya ditolak menurut mazhab Syafi’i.

Itu kalau kita memahami dari sudut usul al-fiqh. Kalau kita melihatnya dari sudut Fiqh Siyasah, maka keputusan Umar lebih kuat karena ia memutuskan dalam posisi sebagai khalifah, dan suka atau tidak suka, sebagai Gubernur bawahan Khalifah, Abu Musa harus ikut keputusan Umar. Namun keputusan Khalifah itu tidak otomatis dianggap ijma’ (kesepakatan) karena jelas ada perbedaan pendapat dikalangan sahabat.
Dengan kata lain, sikap Umar itu adalah kebijaksanaan beliau saat itu, yang seperti dicatat oleh sejarah, berbeda dengan kebijakan para Khalifah lainnya yang mengangkat non-Muslim sebagai pejabat seperti yang dilakukan oleh Khalifah Mu’awiyah, Khalifah al-Mu’tadhid, Khalifah al-Mu’tamid, dan Khalifah al-Muqtadir.

Seperti yang disinggung pengarang al-Asas fi tafsir al-Qur’an di atas, kondisi dan konteksnya berbeda dengan apa yang dihadapi oleh Khalifah Umar. Boleh jadi begitu juga apa yang dihadapi oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia saat ini. Wa Allahu a’lam bi al-Shawab.

HABIB ALI AL-JUFRI; SAYA MENCINTAI ORANG NASRANI BAHKAN YAHUDI!

Saya mencintai seorang Muslim, meskipun ia berselisih pendapat dengan saya dalam masalah agama, walaupun ia mengkafirkan saya, walaupun ia menghalalkan darahku, walaupun ia tampakkan kebencian di hadapan saya, saya tetap mencintainya. Saya benci akhlaknya, tapi saya mencintainya. Di dalam dirinya ada cahaya La Ilaha illallah. Dia dinisbatkan kepada Sayyidina Muhammad Saw. karena dia bagian dari ummatnya.

Begitupula, saya mencintai non-Muslim. Nasrani? Ya, saya mencintai orang Nasrani (Kristen). Bahkan lebih dari itu, saya mencintai (orang) Yahudi. Saya benci penjajah dengan jajahannya di sana, yakni Zionis. Yang menghalalkan tanah dan harga diri saya, dan saya siap memeranginya tapi hati saya menginginkan hidayah untuknya dan ingin ia kembali kepada kebenaran. Tapi tidak, saya tidak membenci Yahudi karena dia Yahudi (ke-Yahudiaannya). Dia membenciku, Allah mengajarkan saya (dalam al-Quran) bahwa ia (Yahudi) akan menjadi orang yang paling memusuhiku dan kenyataan menjadi saksinya. Tapi saya cinta kepada orang Nasrani, Yahudi, Budha, dan (bahkan) Atheis.

Saya benci kekafiran seorang kafir, tapi tidak benci kepada orangnya. Saya benci kemaksiatan pendosa, tapi saya tidak benci sosoknya. Saya siap mengekspos hal ini dan bertukar pikiran dengan para ulama dari golongan yang memandang ucapan saya tidak benar. Saya akan cium tangan mereka tapi saya berbeda pendapat dengan mereka dalam hal ini. Ini yang saya pelajari. Ini yang saya pelajari dari akhlak Rasulullah Saw. Ta’dzim terhadap karunia Allah Swt. atas seseorang (manusia, sebagaimana firmanNya):

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ

“Kami telah memuliakan anak-anak Adam.” (QS. al-Isra’ ayat 70).

(Pernah terjadi) jenazah seorang Yahudi sedang lewat di hadapan Rasulullah Saw. Lalu beliau Saw. berdiri. (Salah seorang sahbat berkata): “Ya Rasullah, itu adalah jenazah seorang yahudi.”

أَلَيْسَتْ نَفْسًا؟

Jawab Rasulullah Saw.: “Bukankah ia (juga) seorang manusia?”

Sebagaimana dalam hadits shahih, beliau Saw. mengajarkan kepada kita adab yang tinggi ini.

Baik, apa makna dakwah jika kosong dari makna cinta? Dakwah adalah keinginan menyampaikan hidayah. Bukankah demikian? Hidayah untuk pendosa, hidayah untuk orang kafir agar masuk Islam. Lalu Anda ingin mengajarkan saya bahwa dakwah adalah secara rasio (dengan pemikiran) yang benar dan lurus secara ruh dan akal agar saya berkata, “Saya benci dan tidak suka kepadamu karena Allah dan saya mengajakmu untuk masuk Islam! Saya benci kepadamu dan marilah masuk Islam! Agama saya menyuruh saya membencimu dan saya nasihati Anda agar masuk ke agama ini yang telah menyuruh saya membencimu”. Bagaimana mungkin ini benar!?

Agama saya mengajarkan saya agar saya membenci kebatilan yang ada padamu, bukan membenci sosokmu. Pemahaman-pemahaman ini dulu di diri para (ulama) salaf kita adalah demikian. Itu hasil dari didikan, bahkan mereka tidak perlu menjadikannya kurikulum di kitab-kitab. Karena dulu mereka menjalaninya di dalam kehidupan mereka. Bahkan ketika mereka mengangkat senjata untuk menjalankan kewajiban jihad yang suci dalam peperangan menghadapi musuh yang menjajah. Dulu pandangan mereka dalam memerangi musuh adalah karena terdesak sebab didzalimi atau sebab tidak diberikannya hak orang-orang dalam Islam, karena mereka masuk Islam dengan kehendak mereka sendiri. Bersamaan dengan itu mereka mengharapkan hidayah untuk musuh, bukan perang.

Nabi Saw. pernah berdiri di hadapan seorang wanita yang memegang senjata bersama orang-orang kafir yang dzalim yang memerangi Muslimin. Lalu wanita itu ikut berperang dan terbunuh. Lalu Nabi Saw. berdiri di depan mayatnya setelah usai perang, dan beliau tersentuh serta kecewa. Nampak kekecewaan beliau Saw., lalu berkata:

ماَ كَانَ لِهَذِهِ أَنْ تُقَاتِلَ فَتُقْتَلُ

“Tidak seharusnya wanita ini ikut berperang lalu terbunuh.”

Rasulullah Saw. ajarkan makna ini. Beliau Saw. mengajari kita bahwa pada asalnya adalah keinginan kesejahteraan dan keselamatan untuk umat manusia, bukan peperangan. Dan bahwa perang adalah keadaan darurat untuk menjaga kehidupan dengan maknanya yang lebih besar. (*IBJ, ditranskrip dari video ceramah Habib Ali al-Jufri

Tafsir Surat Al-Maidah 51 Menurut Ibnu Abbas

Ibnu Abbas termasuk sahabat yang dikenal dalam kepiawaiannya menafsir Al-Qur’an. Pujian dan sanjungan terhadapnya sudah sangat banyak dan melimpah. Ia adalah sahabat yang pernah didoakan Nabi SAW agar diberi kemampuan dalam memahami Al-Qur’an, hikmah, dan agama. Tak ayal bila Ibnu Umar mengatakan, “Ibnu Abbas adalah umat Nabi Muhammad SAW yang paling tahu tentang apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW (Al-Qur’an).”

Atas dasar itu pula, Husain Ad-Dzahabi dalam bukunya Tafsir wal Mufassirun memosisikan Ibnu Abbas RA sebagai mufassir senior dari kalangan sahabat.

Kendati dikenal sebagai ahli tafsir, Ibnu Abbas tidak seperti ahli tafsir belakangan yang menuliskan hasil pemahamannya terhadap Al-Qur’an. Ibnu Abbas hidup pada masa penulisan kitab belum menjadi tren utama. Mereka lebih banyak menyebarkan pengetahuannya lisan atau tradisi oral. Sebab itu, untuk menemukan penafsiran Ibnu Abbas kita harus merujuk kepada orang-orang yang pernah mendengar langsung dari beliau.

Di antara tokoh yang mencatat penafsiran Ibnu Abbas adalah Ali bin Abi Thalhah. Riwayat dari Ali bin Abu Thalhah ini disebut oleh Husain Adz-Dzahabi sebagai riwayat yang paling bagus (ajwadul thuruq ‘anhu). Terkait keberadaan catatan ini, Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan, “Di Mesir ada kumpulan riwayat tafsir dari Ali bin Abi Thalhah, banyak orang ke sana untuk mencari kitab tersebut.” Saat ini, catatan Ali bin Abu Thalhah tersebut sudah dibukukan dan diberi nama Tafsir Ibnu ‘Abbas.

Mayoritas penafsiran Ibnu Abbas sudah disebutkan dalam kitab ini meskipun ia tidak menafsirkan Al-Qur’an secara utuh, rinci, lengkap, seperti kitab tafsir belakangan. Terkait surah Al-Maidah ayat 51, Ibnu Abbas tidak membicarakan ayat ini dalam konteks kepemimpinan atau pelarangan pemimpin non-Muslim, tetapi mendudukkan ayat ini dalam konteks penyembelihan dan ketidakbolehan mengikuti agama orang lain.

Berikut kutipan tafsirnya:

يا أيها الذين أمنوا لاتتخذوا اليهود والنصرى أولياء بعضهم أولياء بعض ومن يتولهم منكم فإنه منهم

قال: إنها في الذبائح، من دخل في دين قوم فهو منهم

Artinya: “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu mengambil orang Yahudi dan Nasrani sebagai auliya’: Sebagian mereka adalah auliya’ bagi sebagian lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi auliya’, maka sungguh orang itu termasuk golongan mereka...” Ibnu Abbas berkata, “(Ayat) Ini dalam masalah penyembelihan. Barangsiapa masuk ke dalam agama suatu kelompok, maka dia bagian dari mereka”

Ibnu Abbas tidak menafsirkan ayat ini secara panjang lebar. Ia hanya menyebut ayat ini terkait penyembelihan dan bagi siapa yang mengikuti agama lain, maka dia termasuk bagian dari mereka.

Surat Al-Maidah Ayat 51 Menurut berbagai macam kitab Tafsir

1. Surat Al-Maidah Ayat 51 Menurut Tafsir Jamal
Surat Al-Maidah ayat 51 belakangan ini menjadi perbincangan ramai di tengah masyarakat. Hampir semua lapisan masyarakat merujuk ayat ini ketika membahas masalah kepemimpinan dalam Islam.
Banyak tafsir yang bisa ditelaah kembali untuk melihat komentar para ulama terkait Surat Al-Maidah ayat 51 ini.
Salah satunya adalah Tafsir Jalalain. Pada kesempatan ini kutipan berikut tidak diambil dari Tafsir Jalalain, tetapi dari Tafsir Al-Futuhatul Ilahiyah bi Taudhihi Tafsiril Jalalain lid Daqa’iqil Khafiyyah, atau lebih dikenal dengan sebutan Tafsir Jamal.
Al-Futuhatul Ilahiyah adalah salah satu tafsir yang menguraikan mensyarahkan Tafsir Jalalain yang singkat itu. Selain mengutip Tafsir Khazin, penulis Tafsir Jamal mengutip tafsir yang ditulis Abu Sa‘ud sebagai berikut.

قوله يأيها الذين آمنوا، خطاب يعُمّ حكمُه كافةَ المؤمنين من المخلصين وغيرهم. وقوله آمنوا أي ولو ظاهرا. وإن كان سبب نزولها في غير المخلصين فقط وهم المنافقون، كعبد الله بن أبى واضرابه الذين كانوا يسارعون فى موالاة اليهود ونصارى نجران، وكانوا يعتذرون الى المؤمنين بأنهم لا يؤمنون أن تصيبهم صروف الزمان كما قال تعالى يقولون نخشى

Artinya, “’Hai orang-orang beriman’ hukum yang dituju ayat ini menyasar kepada semua orang beriman yang ikhlas maupun yang tidak ikhlas. ‘Berimanlah kamu’ meskipun hanya secara lahir, tidak sampai ke batin. Ayat ini menyasar semua orang beriman meskipun sebab turunnya ayat ini ditujukan kepada orang-orang yang tidak ikhlas. Mereka adalah orang munafiq seperti Abdullah bin Ubai dan pengikutnya. Mereka inilah yang segera menjadikan orang Yahudi dan Nasrani Najran sebagai pelindung. Mereka sebelumnya menyatakan ‘maaf’ kepada orang-orang beriman bahwa mereka akan melepaskan keimanannya bila peralihan zaman menempatkan orang beriman dalam posisi kalah perang seperti perkataan mereka yang diabadikan dalam Al-Quran, ‘Kami khawatir...’”
Demikian dikutip dari Tafsir Jamal karya Syekh Sulaiman bin Umar Al-Jamal, Darul Fikr, 2003 M/1423 H, Juz 2, halaman 251.
Dari keterangan di atas, Al-Quran mengingatkan bahwa loyalitas ganda sangat berbahaya terutama dalam kondisi konflik. Al-Quran jelas mengecam kelompok munafik di Madinah mencari perlindungan kepada Yahudi dan Nasrani. Mereka yang secara lisan mengaku beriman membangun relasi dengan Yahudi dan Nasrani sebagai alternatif tempat perlindungan ketika zaman tidak berpihak kepada umat Islam. Wallahu a'lam.

2.Surat Al-Maidah Ayat 51 Menurut Tafsir Al-Baghawi
Asbabul Nuzul Al-Maidah 51 Menurut Al-Baghawi
Memahami konteks turun ayat, atau lazim disebut asbabul nuzul, penting untuk memahami keutuhan makna ayat. Apalagi sebagian ayat diturunkan pada konteks tertentu dan spesifik, sekalipun kandungannya bersifat global, universal, dan tidak hanya diperuntukkan pada masa itu saja.

Terkait Surah Al-Maidah 51, penulis kitab Ma’alimul Tanzil fi Tafsiril Qur’an, Al-Baghawi (wafat 510 H), menyebutkan beberapa riwayat yang berkaitan dengan penyebab turun ayat ini. Riwayat pertama mengisahkan bahwa ayat ini diturunkan pada saat ‘Ubadah bin Shamit dan Abdullah bin Ubay bin Salul tengah bertengkar. Mereka berdebat terkait siapa yang pantas dijadikan tempat berlindung. Pertengkaran mereka itu akhirnya terdengar oleh Nabi SAW. Berikut petikan kisahnya:

نزلت في عبادة بن الصامت وعبد الله بن أبي ابن سلول، وذلك أنهما أختصما، فقال عبادة: إن لي أولياء من اليهود كثير عددهم شديدة شوكتهم، وإني أبرأ إلى الله وإلى رسوله من ولايتهم وولاية اليهود، ولا مولى لي إلا الله ورسوله، فقال عبد الله: لكني لا أبرأ من ولاية اليهود لأني أخاف الدوائر ولا بد لي منهم، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: يا أبا الحباب ما نفست به من ولاية اليهود على عبادة بن الصامت فهو لك دونه. قال: إذا أقبل، فأنزل الله تعالى بهذ الآية

Artinya, "Ayat ini diturunkan pada saat ‘Ubadah bin Shamit dan Abdullah bin Ubay bin Salul bertengkar: ‘Ubadah berkata, ‘Saya memiliki banyak ‘awliya’ (teman/sekutu/pelindung) Yahudi, jumlah mereka banyak, dan pengaruhnya besar. Tapi saya melepaskan diri dari mereka dan mengikuti Allah SWT dan Rasul-Nya. Tiada pelindung bagi saya, kecuali Allah dan Rasul-Nya’.
Abdullah bin Ubay berkata, ‘Saya lebih memilih berlindung kepada Yahudi karena saya takut ditimpa musibah. Untuk mengindarinya saya harus bergabung dengan mereka’. Nabi SAW berkata, ‘Wahai Abul Hubab, keinginanmu tetap dalam perlindungan (kekuasaan) Yahudi adalah pilihanmu, tidak baginya’. Ia menjawab, ‘Baik, saya menerimanya’. Karenanya, turunlah ayat ini.”

Riwayat kedua, As-Suddi mengatakan, ayat ini diturunkan ketika terjadi serangan yang sangat kuat terhadap suatu kelompok pada perang Uhud. Mereka takut bila orang kafir menyiksa mereka. Berkata salah seorang Muslim, “Saya bergabung dengan orang Yahudi dan menjadikan mereka sebagai tempat berlindung, karena saya khawatir orang-orang Yahudi menyiksa saya”. Sementara seorang lagi berkata, “Saya bergabung dengan orang Nasrani dari Syam dan menjadikannya pelindung.” Maka turunlah ayat ini sebagai larangan terhadap mereka berdua. Ini kutipan redaksi Arabnya:

قال السدي: لما كانت وقعة أحد اشتدت على طائفة من الناس وتخوفوا أن يدل عليهم الكفار. فقال رجل من المسلمين: أنا ألحق بفلان اليهودي وآخذ منه أمانا إني أخاف أن يدال علينا اليهود، وقال رجل آخر: أما أنا فألحق النصراني من أهل الشام وآخذ منه أمانا، فأنزل الله تعالى هذه الآية ينهماهما

Selain dua riwayat di atas, terdapat beberapa riwayat lain yang berkaitan dengan konteks turunnya surah Al-Maidah 51. Tentu semua riwayat itu tidak mungkin disebutkan di sini semuanya. Dari dua riwayat tersebut dapat diperhatikan bahwa ayat ini turun pada saat konflik umat Islam dengan non-Muslim sedang memanas.
Dalam situasi konflik, berpihak pada kelompok musuh, pada waktu itu orang kafir, dianggap sebagai sebuah pengkhianatan dan merusak persatuan umat Islam. Bahkan orang yang bersekutu dengan musuh dinilai sudah menjadi bagian dari mereka. Karenanya, ketika ada orang yang meminta perlindungan atau berkoalisi dengan orang Yahudi dan Nasrani, ayat ini diturunkan sebagai larangan. Wallahu a’lam.

3. Tafsir Surat Al-Maidah 51 Menurut Ibnu Abbas
Ibnu Abbas termasuk sahabat yang dikenal dalam kepiawaiannya menafsir Al-Qur’an. Pujian dan sanjungan terhadapnya sudah sangat banyak dan melimpah. Ia adalah sahabat yang pernah didoakan Nabi SAW agar diberi kemampuan dalam memahami Al-Qur’an, hikmah, dan agama. Tak ayal bila Ibnu Umar mengatakan, “Ibnu Abbas adalah umat Nabi Muhammad SAW yang paling tahu tentang apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW (Al-Qur’an).”
Atas dasar itu pula, Husain Ad-Dzahabi dalam bukunya Tafsir wal Mufassirun memosisikan Ibnu Abbas RA sebagai mufassir senior dari kalangan sahabat.
Kendati dikenal sebagai ahli tafsir, Ibnu Abbas tidak seperti ahli tafsir belakangan yang menuliskan hasil pemahamannya terhadap Al-Qur’an. Ibnu Abbas hidup pada masa penulisan kitab belum menjadi tren utama. Mereka lebih banyak menyebarkan pengetahuannya lisan atau tradisi oral. Sebab itu, untuk menemukan penafsiran Ibnu Abbas kita harus merujuk kepada orang-orang yang pernah mendengar langsung dari beliau.

Di antara tokoh yang mencatat penafsiran Ibnu Abbas adalah Ali bin Abi Thalhah. Riwayat dari Ali bin Abu Thalhah ini disebut oleh Husain Adz-Dzahabi sebagai riwayat yang paling bagus (ajwadul thuruq ‘anhu). Terkait keberadaan catatan ini, Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan, “Di Mesir ada kumpulan riwayat tafsir dari Ali bin Abi Thalhah, banyak orang ke sana untuk mencari kitab tersebut.” Saat ini, catatan Ali bin Abu Thalhah tersebut sudah dibukukan dan diberi nama Tafsir Ibnu ‘Abbas.
Mayoritas penafsiran Ibnu Abbas sudah disebutkan dalam kitab ini meskipun ia tidak menafsirkan Al-Qur’an secara utuh, rinci, lengkap, seperti kitab tafsir belakangan. Terkait surah Al-Maidah ayat 51, Ibnu Abbas tidak membicarakan ayat ini dalam konteks kepemimpinan atau pelarangan pemimpin non-Muslim, tetapi mendudukkan ayat ini dalam konteks penyembelihan dan ketidakbolehan mengikuti agama orang lain. Berikut kutipan tafsirnya:

يا أيها الذين أمنوا لاتتخذوا اليهود والنصرى أولياء بعضهم أولياء بعض ومن يتولهم منكم فإنه منهم..

قال: إنها في الذبائح، من دخل في دين قوم فهو منهم

Artinya: “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu mengambil orang Yahudi dan Nasrani sebagai auliya’: Sebagian mereka adalah auliya’ bagi sebagian lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi auliya’, maka sungguh orang itu termasuk golongan mereka...” Ibnu Abbas berkata, “(Ayat) Ini dalam masalah penyembelihan. Barangsiapa masuk ke dalam agama suatu kelompok, maka dia bagian dari mereka”
Ibnu Abbas tidak menafsirkan ayat ini secara panjang lebar. Ia hanya menyebut ayat ini terkait penyembelihan dan bagi siapa yang mengikuti agama lain, maka dia termasuk bagian dari mereka.
Wallahu a’lam.

Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar