Senin, 17 Oktober 2016

Memilih Pemimpin Non Muslim, Bolehkah?

Assalamu’alaikum wr wb
Hampir setiap kali menjelang pemilihan, kerap beredar isu-isu miring yang melekat pada para calon pemimpin terutama isu-isu sensitif seperti liberal dari segi ekonomi, antek partai terlarang, rasial, atau keyakinan agama. Sedangkan sementara ini ada benar-benar orang non muslim yang menjadi pemimpin. Yang saya tanyakan, apakah kita sebagai seorang muslim boleh memilih pemimpin non muslim? Terima kasih atas keterangannya.

Jawaban
Assalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh
Penanya yang budiman. Semoga Allah merahmati kita semua. Pemimpin menempati posisi penting dalam Islam. Karena pemimpin memegang kebijakan yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak mulai dari kesehatan, transportasi, tata kelola sumber daya alam, kesejahteraan, dan pelbagai kebijakan publik lainnya.

Penanya yang budiman, ulama berbeda pendapat perihal memilih pemimpin dari kalangan non muslim. Misalnya Badruddin Al-Hamawi As-Syafi’i yang wafat di abad 8 H. Ia menyatakan dengan jelas keharaman memilih pemimpin dan juga aparat dari kalangan kafir dzimmi.

وَلَا يجوز تَوْلِيَة الذِّمِّيّ فِي شَيْء من ولايات الْمُسلمين إِلَّا فِي جباية الْجِزْيَة من أهل الذِّمَّة أَو جباية مَا يُؤْخَذ من تِجَارَات الْمُشْركين. فَأَما مَا يجبى من الْمُسلمين من خراج أَو عشر أَو غير ذَلِك فَلَا يجوز تَوْلِيَة الذِّمِّيّ فِيهِ، وَلَا تَوْلِيَة شَيْء من أُمُور الْمُسلمين، قَالَ تَعَالَى: {وَلنْ يَجْعَل الله للْكَافِرِينَ على الْمُؤمنِينَ سَبِيلا} وَمن ولى ذِمِّيا على مُسلم فقد جعل لَهُ سَبِيلا عَلَيْهِ.


Tidak boleh mengangkat dzimmi untuk jabatan apapun yang mengatur umat Islam kecuali untuk memungut upeti penduduk kalangan dzimmi atau untuk memungut pajak transaksi jual-beli penduduk dari kalangan musyrikin. Sedangkan untuk memungut upeti, pajak seper sepuluh, atau retribusi lainnya dari penduduk muslim, tidak boleh mengangkat kalangan dzimmi sebagai aparat pemungut retribusi ini. Dan juga tidak boleh mengangkat mereka untuk jabatan apapun yang menangani kepentingan umum umat Islam.

Allah berfirman, “Allah takkan pernah menjadikan jalan bagi orang kafir untuk mengatasi orang-orang beriman.” Siapa yang mengangkat dzimmi sebagai pejabat yang menangani hajat muslim, maka sungguh ia telah memberikan jalan bagi dzimmi untuk menguasai muslim. (Lihat Badruddin Al-Hamawi As-Syafi’i, Tahrirul Ahkam fi Tadbiri Ahlil Islam, Daruts Tsaqafah, Qatar, 1988).

Sementara ulama lain yang membolehkan pengangkatan non muslim untuk jabatan publik tertentu antara lain Al-Mawardi yang juga bermadzhab Syafi’i. Ulama yang wafat pada pertengahan abad 5 H ini memberikan tafshil, rincian terhadap jabatan.

ويجوز أن يكون هذا الوزير من أهل الذمة وإن لم يجز أن يكون وزير التفويض منهم


Posisi pejabat ini (tanfidz/eksekutif) boleh diisi oleh dzimmi (non muslim yang siap hidup bersama muslim). Namun untuk posisi pejabat tafwidh (pejabat dengan otoritas regulasi, legislasi, yudikasi, dan otoritas lainnya), tidak boleh diisi oleh kalangan mereka. (Lihat Al-Mawardi, Al-Ahkamus Sulthoniyah wal Wilayatud Diniyah, Darul Fikr, Beirut, Cetakan 1, 1960, halaman 27).

Al-Mawardi dalam Al-Ahkamus Sulthoniyah menguraikan lebih rinci. Menurutnya, kekuasaan dibagi setidaknya menjadi dua, tafwidh dan tanfidz. Kuasa tafwidh memiliki cakupan kerja penanganan hukum dan analisa pelbagai kezaliman, menggerakkan tentara dan mengatur strategi perang, mengatur anggaran, regulasi, dan legislasi. Untuk pejabat tafwidh, Al-Mawardi mensyaratkan Islam, pemahaman akan hukum agama, merdeka.

Sementara kuasa tanfidz (eksekutif) mencakup pelaksanaan dari peraturan yang telah dibuat dan dikonsep oleh pejabat tafwidh. Tidak ada syarat Islam, alim dalam urusan agama, dan merdeka.

Ibn Taimiyah mengingatkan kita :

فَإِنَّ النَّاسَ لَمْ يَتَنَازَعُوا فِي أَنَّ عَاقِبَةَ الظُّلْمِ وَخِيمَةٌ وَعَاقِبَةُ الْعَدْلِ كَرِيمَةٌ وَلِهَذَا يُرْوَى : ” اللَّهُ يَنْصُرُ الدَّوْلَةَ الْعَادِلَةَ وَإِنْ كَانَتْ كَافِرَةً وَلَا يَنْصُرُ الدَّوْلَةَ الظَّالِمَةَ وَإِنْ كَانَتْ مُؤْمِنَةً ”

"Sesungguhnya manusia telah sepakat bahwa akibat (atau efek) sikap zhalim adalah kebinasaan dan akibat sikap adil adalah kemuliaan. Oleh karena itu diriwayatkan bahwa Allah akan menolong negara yang adil meski ia kafir dan tidak akan menolong negara yang zalim, meski ia mukmin."
Menurut hemat kami, memilih pajabat eksekutif seperti gubernur, walikota, bupati, camat, lurah, atau ketua RW dan RT dari kalangan non muslim dalam konteks Indonesia dimungkinkan. Pasalnya, pejabat tanfidz itu hanya bersifat pelaksana dari UUD 1945 dan UU turunannya. Dalam konteks Indonesia pemimpin non muslim tidak bisa membuat kebijakan semaunya, dalam arti mendukung kekufurannya. Karena ia harus tunduk pada UUD dan UU turunan lainnya. Pemimpin non muslim, juga tidak memiliki kuasa penuh. Kekuasaan di Indonesia sudah dibagi pada legislatif dan yudikatif di luar eksekutif. Sehingga kinerja pemimpin tetap terpantau dan tetap berada di jalur konstitusi yang sudah disepakati wakil rakyat. Mereka seolah hanya sebagai jembatan antara rakyat dan konstitusi.

Kecuali itu, sebelum menjadi pemimpin, mereka telah melewati mekanisme pemilihan calon, penyaringan ketat dan verifikasi KPU. Mereka juga sebelum dilantik diambil sumpah jabatan. Jadi dalam hal ini kami lebih cenderung sepakat dengan pendapat Al-Mawardi yang membolehkan non muslim menduduki posisi eksekutif. Di sinilah letak kearifan hukum Islam.

Sedangkan ayat pengharaman memilih pemimpin non muslim sering beredar menjelang pemilihan. Sebut saja ayat berikut ini.

يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ


“Hai orang-orang beriman, janganlah jadikan orang-orang yang membuat agamamu sebagai olok-olok dan mainan baik dari kalangan ahli kitab sebelum kamu maupun orang kafir sebagai wali. Bertaqwalah kepada Allah jika kamu orang yang beriman.”

Apakah kata “wali” yang dimaksud itu pemimpin? Penerjemahan “wali” inilah, menentukan jawaban dari yang saudara Abdurrahman pertanyakan. Imam Ala’uddin Al-Khazin menyebutkan dalam tafsirnya sebagai berikut.

والمعنى لا تتخذوا أولياء ولا أصفياء من غير أهل ملتكم ثم بين سبحانه وتعالى علة النهي عن مباطنتهم فقال تعالى: لا يَأْلُونَكُمْ خَبالًا


Maknanya, “Janganlah kamu jadikan orang-orang yang tidak seagama denganmu sebagai wali dan kawan karib.” Allah sendiri menjelaskan alasan larangan untuk bergaul lebih dengan sehingga saling terbuka rahasia dengan mereka dengan ayat “Mereka tidak berhenti menjerumuskanmu dalam mafsadat”. (Lihat Al-Khazin, Lubabut Ta’wil fi Ma’anit Tanzil, Darul Kutub Al-Ilmiyah, Beirut).

Pengertian “wali” di atas ialah teman dekat. Sehingga saking dekatnya, tidak ada lagi rahasia antara keduanya. Ayat ini turun dalam konteks perang. Sehingga sangat berisiko bergaul terlalu dekat dengan ahli kitab dan orang-orang musyrik dalam suasana perang karena ia dapat mengetahui segala taktik perang, pos penjagaan, dapur umum, dan segala strategi dan rencana perang yang dapat membahayakan pertahanan umat Islam. Sementara komunitas-komunitas sosial saat itu berbasis agama.

Karenanya, mencermati ketarangan ulama di atas kita akan menemukan tidak sambung dan tidak tepat kalau ayat ini dijadikan dalil sebagai pengharaman atas pengangkatan calon pemimpin dari kalangan non muslim. Menurut hemat kami, kitab-kitab terjemah Al-Quran yang mengartikan “wali” sebagai pemimpin ada baiknya menelaah kembali tafsir-tafsir Al-Quran.

Saran kami berhati-hatilah memilih pemimpin baik muslim maupun non muslim. Karena mereka ke depan akan mengatur hajat hidup orang banyak. Kita perlu melihat integritas calon dan track record mereka. Kami juga berharap kepada warga untuk tidak mudah terporovokasi oleh isu-isu SARA menjelang pemilihan.

Demikian jawaban yang dapat kami sampaikan. Semoga bisa penjelasan kami ditangkap dengan baik. Dan kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq, Wassalamu’alaikum wr. wb

PESAN NABI UNTUK YANG MEMILIH PEMIMPIN

 عوفِ بن مالكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْه قَالَ : سمِعْتُ رسولِ الله صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم يقولُ : خِيَارُ أَئمَتكُمْ الَّذينَ تُحِبُّونهُم ويُحبُّونكُم، وتُصَلُّونَ علَيْهِم ويُصَلُّونَ علَيْكُمْ، وشِرَارُ أَئمَّتِكُم الَّذينَ تُبْغِضُونهُم ويُبْغِضُونَكُمْ ،وتَلْعُنونَهُمْ ويلعَنْونكم قَالَ : قُلْنا يا رسُول اللَّهِ، أَفَلا نُنابِذُهُمْ ؟ قالَ : لا، ما أَقَامُوا فِيكُمُ الصَّلاةَ، لا، ما أَقَامُوا فيكُمُ الصَلاة . رَوَاهُ مُسْلِمٌ
قوله : تُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ : تَدْعونَ لهُمْ

Dari 'Auf Ibn Malik, berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda:
Sebaik-baiknya pemimpin kalian ialah orang-orang yang kalian mencintai mereka dan mereka pun mencintai kalian, juga yang kalian mendoakan kebaikan untuk mereka dan mereka pun mendoakan kebaikan untuk kalian. Sedangkan seburuk-buruk pemimpin kalian ialah orang-orang yang kalian membenci mereka dan mereka pun membenci kalian, juga yang kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian carilah pemimpin yg kuwat dimedan perang krn akan kuwat memimpin rakyat dan umat.
'Auf berkata: Kami berkata: Ya Rasulullah, bolehkah kita memberontak kepada mereka?
Beliau saw. bersabda:
Jangan, selama mereka masih mendirikan shalat di tengah kalian.
(HR Muslim)
Ulama besar Syafi’iyah yang lain, Al-Imam Al-‘Allamah An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,

قال القاضي عياض أجمع العلماء على أن الإمامة لا تنعقد لكافر وعلى أنه لو طرأ عليه الكفر انعزل

“Berkata Al-Qodhi ‘Iyadh; Ulama telah sepakat (ijma’) bahwa kepemimpinan tidak sah bagi seorang kafir, dan jika seorang pemimpin muslim menjadi kafir maka harus dilengserkan.”
[Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim bin Al-Hajjaj, 12/229]
Catatan :

Penjelasan Kata "Auliya" Pada Almaidah 51 Menurut Warga Saudi Tampar Muka MUI, FPI & WAHABI

NKRI NEWS - Karena didorong oleh rasa penasaran dengan heboh Surat Al-Maidah 51, khususnya tentang makna dari kata "auliya", maka saya pun bertanya kepada para murid dan teman-teman Saudi-ku.

Kalau mau sebetulnya gampang mencari makna atau arti kata ini, tinggal buka kamus Bahasa Arab yang kredibel, kita akan tahu sederet arti kata "auliya" ini.

Tapi sebagai antropolog, saya harus menggali data dan informasi dengan bertanya kepada orang bukan pada buku/kamus.

Para teman dan muridku itu agak kaget saya bertanya arti kata atau penggunaan kata "auliya" oleh masyarakat Arab/Saudi kontemporer.

Menurut mereka, kata ini adalah Bahasa Arab klasik (fushah) yang sudah jarang digunakan dalam komunikasi sehari-hari.

Kalaupun kata ini digunakan, penggunaanya dalam konteks yang sangat spesifik dan mengandung arti/makna spesifik seperti:

Pertama, ayah, ibu, paman atau siapa saja yang menjaga, mengasuh, melindungi, dan mengurus anak. Atau jika anak itu tidak punya ayah-ibu (yatim-piatu) sehingga diurus oleh negara atau pemerintah, maka pemerintah itulah sebagai "auliya" (legal guardian) karena telah mengurus anak tadi. Orang Saudi kalau melihat ada anak kecil sendirian di jalan tanpa orang dewasa, maka mereka akan tanya: "Aina wali amrik" ("Mana walimu"?).

Kedua, kata "auliya" juga berarti "wali murid". Dalam surat-surat formal dari sekolahan misalnya tertulis: "Ila auliya al-umur" ("Kepada para wali murid").

Ketiga, orang-orang saleh dan alim yang dekat dengan Allah. Di Indonesia misalnya ya Walisongo atau siapa saja yang dianggap saleh dan alim oleh kaum Muslim.

Keempat, teman atau sekutu.
Saya pun bertanya lagi: "Kalau untuk pemimpin pemerintahan seperti presiden, gubernur, walikota, dlsb, kata apa yang digunakan?" Mereka serentak menjawab: "wulah" (jamak dari "waa-lii" kalau "auliya" jamak dari "wa-lii").

Contoh dari kata "wulah" ini adalah sultan (seperti di Oman), raja atau malik (seperti di Saudi), amir (seperti di Qatar), hakim, gubernur, walikota atau umdah, dlsb.

Jadi tahu kan sekarang penggunaan kata "auliya" bagi warga Saudi. Nah sekarang apa arti kata "Auliya Pohan" hayo?

Demikian sekilas info. Semoga ada manfaatnya.

Jabal Dhahran, Arab Saudi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar