Dalam pengamatan, setidaknya ada tiga kelompok atau kubu umat Islam yang kontra terhadap diskursus pemimpin non-Muslim.
Pertama, adalah "kelompok fiqih". Yang saya maksud dengan "kelompok fiqih" adalah para ulama, kiai atau "calon kiai" yang ahli Hukum Islam (fiqih) yang mendasarkan pemikiran-pemikirannya berdasarkan teks-teks keislaman, khususnya Al-Quran, Hadis, dan kitab-kitab tafsir dan fiqih, khususnya "fiqih siyasah" (fiqih politik).
Dalam banyak hal, mereka ini "murni" pertimbangan keagamaan-keislaman, meskipun tentu saja ada sejumlah pengecualian disana-sini. Dengan kata lain, karena mereka menemukan sejumlah teks utama dalam Islam serta pendapat para ulama/fuqaha klasik yang melarang non-Muslim sebagai "pemimpin politik-pemerintahan", maka mereka pun "ittiba'" atau taat/mengikuti apa yang tertuang dalam teks-teks keagamaan itu.
Hanya saja perlu dicatat, karena ayat-ayat Al-Qur'an, Hadis dan teks-teks klasik Islam itu "tidak tunggal" atau "seragam", maka banyak pula ulama dan fuqaha kontemporer yang berbeda pendapat mengenai status kepemimpinan non-Muslim ini. Para ulama Al-Azhar, Mesir, misalnya tidak mempermasalahkan umat Islam untuk memilih pemimpin pemerintah non-Muslim karena buat mereka kata "auliya" itu tidak mengacu pada "pemimpin politik-pemerintahan".
Para kiai NU dan pimpinan pondok pesantren juga berselisih pendapat mengenai status atau wacana kepemimpinan non-Muslim ini.
Kalau ditelusuri ada sejumlah pemimpin politik (presiden, gubernur, walikota, dlsb) non-Muslim di daerah yang mayoritas penduduknya adalah Muslim seperti Palestina, Lebanon, dlsb. Itu artinya, umat Islam (termasuk para ulamanya) berbeda pendapat dalam masalah ini.
Kelompok kedua adalah “kelompok politik”. Kelompok ini bisa berbentuk ormas atau tokoh-tokoh agama maupun orpol atau tokoh-tokoh politik, aktivis parpol, dlsb. Apapun “baju” yang mereka pakai atau “bendera” yang mereka kibarkan, tetapi yang jelas muaranya adalah kepentingan politik praktis kekuasaan.
Lalu apa bedanya antara “kelompok politik” ini dengan “kelompok fiqih” tadi? Bedanya adalah jika “kubu fiqih” itu biasanya stabil atau konsisten dalam berpendapat karena memang pendapat mereka dibangun atau didasarkan pada pemahaman atau tafsir atas sejumlah teks-teks yang sifatnya konstan, stabil, tidak berubah-ubah. Sementara itu, “kubu politik” ciri-ciri utamanya adalah bersifat labil atau tergantung pada situasi-kondisi yang menguntungkan dari aspek politik dan ekonomi. Kelompok ini mengikuti arah kemana angin bertiup.
Dengan kata lain, “kelompok politik” ini, kira-kira, lebih menggunakan pertimbangan “dalil rational choice theory” ketimbang teks-teks keagamaan. Bahwa sebagian dari mereka menggunakan dalil-dalil keislaman itu memang ya. Tetapi penggunaan dalil-dalil agama itu hanyalah sebagai “jalan”, sarana, atau untuk “sasaran antara” saja. Sementara tujuan atau sasaran utamanya ya untuk mendapatkan “sesuatu”, kata Syahrini. Jelasnya, agama dipakai sebagai “kendaraan politik”.
Bagaimana dengan “kelompok ketiga”? Kelompok ketiga ini, sebut saja “kelompok nasbung” yang paham agama tidak, pinter politik juga bukan. Tetapi kubu ini sebetulnya yang mayoritas, yang hobinya teriak-teriak “Allahu Akbar” tetapi tidak jelas jelunterungnya. Banyak dari mereka ini sebetulnya tidak mengerti apa-apa “apa yang sebenarnya” terjadi. Mereka hanya dimobilisir saja oleh kelompok elit-menengah (“kubu politik” tadi), sebagian dikasih “uang recehan”, sebagian lagi diiming-imingi surga.
Jika diibaratkan sebuah piramid, maka “kubu nasbung” ini menempati pada posisi paling bawah. Mereka gerudak-geruduk kesana-kemari, teriak-teriak kenceng-kenceng tapi sebetulnya otaknya kosong melompong tak berisi. Sebagai bekas “komandan demo”, Bagaimana dengan “psikologi massa” dan situasi beginian ?, seperti buih di lautan.
Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar