Pernah suatu hari, teman kami mempertanyakan tentang kehadiran wali dalam majelis akad yang diwakilkannya kepada orang lain. Pertanyaan ini muncul karena ada teks dari kitab ulama Syafi’iyah, yakni kitab Kifayatul Akhyar sebagai berikut :
فلو وكل الولي والزوج أو أحدهما أو حضر الولي ووكيله وعقد الوكيل لم يصح النكاح لأن الوكيل نائب الولي
“Seandainya wali dan dan suami atau salah satu dari keduanya mewakilkan kepada orang lain atau hadir wali dan wakilnya kemudian wakilnya melakukan akad nikah maka tidak sah karena wakil adalah penggati wali”[1]
Dhahir teks di atas seolah-olah wali tidak boleh hadir dalam akad nikah yang sudah diwakilkan kepada orang lain, meskipun dia di situ tidak bertindak sebagai apapun, tidak sebagai saksi atau lainnya alias hanya sebagai tamu saja.
Dalam teks kitab Syafi’iyah lain kita dapati teks yang berkenaan dengan masalah di atas sebagai berikut :
1. Ibrahim al-Bajuri mengatakan dalam kitabnya, Hasyiah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib sebagai berikut :
فلو وكل الأب أو الأخ المنفرد فى العقد وحضر مع أخر ليكونا شاهدين لم يصح لأنه متعين للعقد فلا يكون شاهدافانه لا يصح لان وكيله نائب عنه فكأنه هو العاقد فكيف يكون شاهدا
“Seandainya ayah atau saudara yang menyendiri mewakilkan akad nikah, hadir bersama orang lain dalam majelis akad supaya keduanya (ayah atau saudara bersama seorang yang lain) menjadi saksi, maka nikah itu tidak sah, karena ayah atau saudara tersebut sudah tertentu untuk wali akad. Karena itu, tidak boleh lagi menjadi saksi. Hal itu tidak sah karena wakilnya merupakan penggantinya, maka seolah-olah dia (ayah atau saudara) merupakan pelaku akad, maka bagaimana dapat menjadi saksi.”[2]
2. Zakariya al-Anshari dalam kitabnya, Fath al-Wahab mengatakan :
ولا بحضرة متعين للولاية فلو وكل الأب ، أو الأخ المنفرد في النكاح وحضر مع آخر لم يصح ، وإن اجتمع فيه شروط الشهادة ؛ لأنه ولي عاقد ، فلا يكون شاهدا
“Tidak sah nikah dengan kehadiran orang yang sudah ditentukan untuk wali. Karena itu, Seandainya ayah atau saudara yang menyendiri mewakilkan akad nikah, hadir bersama orang lain, maka tidak sah, meskipun berkumpul padanya syarat-syarat saksi. Hal itu karena ayah atau saudara adalah wali yang melakukan akad, maka tidak boleh menjadi saksi.”[3]
Memperhatikan teks-teks ulama Syafi’iyah di atas, maka dipahami bahwa maksud dari teks Kifayatul Akhyar di atas adalah wali apabila sudah mewakilkan akad nikah kepada orang lain, maka dia tidak boleh menjadi saksi, karena posisinya ketika itu adalah seorang wali akad nikah alias yang melakukan akad. Hal ini karena wakilnya berdiri pada posisinya sebagai penggantinya dalam melakukan akad. Jadi, alasan tidak boleh itu adalah karena posisinya sebagai wali, bukan semata-mata tidak boleh hadir dalam majelis akad.
Dengan demikian, kalau hanya sekedar hadir, maka dibolehkan bagi wali yang sudah mewakilkan akad nikah kepada orang lain, alias tidak membatalkan akad nikah yang dilakukan oleh wakilnya. Alhasil, maksud teks kitab Kifayatul Akhyar di atas adalah "tidak boleh hadir wali tersebut pada akad nikah yang sudah diwakilkannya apabila wali itu bertindak sebagai saksi".
(Dia hadir boleh, yang tidak boleh merangkap jabatan dalam majelis akad tersebut)
[1] Muhammad al-Husaini al-Dimasyqi, Kifayatul Akhyar, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Hal. 477
[2] Ibrahim al-Bajuri, Hasyiah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib, al-Haramain, Juz. II, Hal. 102
[3] Zakariya al-Anshari, Fath al-Wahab, (dicetak pada hamisy al-Bujairumi ‘ala Fath al-Wahab), Darul Fikri, Beirut, Juz. III, Hal. 335
Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar