Saat duduk bersimpuh di Masjidil Haram, Mekkah, selain takjub dengan kebesaran Allah dan kemuliaan Rasulullah, saya selalu membayangkan orang-orang besar negeri kita yang mengharumkan nama Indonesia ( Nusantara). Hubungan Muslim Nusantara dan Timur Tengah terkoneksi sejak Islam berkembang di Nusantara.
Berdasarkan studi Azyumardi Azra (Jaringan Ulama,1998), hubungan itu bersifat politis dan keilmuan. Hubungan politis terjalin antara sejumlah kerajaan di Nusantara dengan Dinasti Utsmani. Aceh, Banten, Mataram, telah mengirimkan utusan ke Haramain (Mekkah-Madinah) sejak abad ke-17.
Selain berhaji, mereka juga membawa gelar sultan dari Syarif Mekkah (penguasa Mekkah). Bisa jadi sebagai penguat wibawa atas kekuasaan mereka. Tetapi ada juga hubungan keilmuan.
Sejak Dinasti Utsmani mengamankan jalur perjalanan haji, kian banyak pula yang menuntut ilmu pada abad ke-14 hingga ke-15. Hal itulah yang mendorong munculnya komunitas Jawi. Orang Arab menyebutnya ashab Al Jawiyin (saudara kita orang Jawi).
Jawi beradal dari Jawa. Komunitas Jawi untuk menyebut orang-orang yang berasal dari Nusantara (bahkan Asia Tenggara).
Nama-nama ulama seperti Syekh Yusuf Al- Makassary (Makassar) dan Syekh Abdul Rauf Al-Sinkili (Singkel, Aceh), merupakan ulama yang malang melintang menuntut ilmu di Haramain pada abad ke-17.
Syekh Abdul Shomad Al-Palimbani (Palembang), Syekh Nafis Al-Banjari (Banjar, Kalsel), Syekh Arsyad Al-Banjari (Banjar, Kalsel) merupakan ulama tasawuf Tarekat Samaniyah yang berpengaruh pada abad ke-18.
Biografi Abdul Shomad bahkan masuk dalam kamus ulama-ulama Arab.
Kita juga mengenal nama-nama seperti Syekh Nurudin Al-Raniri (Aceh), Syekh Abdul Rahman Al Masry Al Batawi (Jakarta), Syekh Khatib Sambas (Kalimantan), dan lain-lainnya.
Pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, ulama kita malah makin hebat-hebat di Mekkah. Karena tak sekadar menuntut ilmu, tapi justru menembus pusat ilmu di Mekkah, yaitu sebagai pengajar dan imam di Masjidil Haram.
Peneliti sufisme dari Universitas Utrecht, Belanda, Martin van Bruinessen (Kitab Kuning, 1995) menyebutkan ada tiga ulama yang menjadi guru di Masjidil Haram. Pengaruhnya pun sangat besar terhadap jemaah haji di Nusantara.
Ketiga ulama itu adalah Syekh Nawawi Al Bantani, Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Syekh Mahfudh At-Tarmisi.
Syekh Nawawi berasal dari Tanara, Banten, adalah ulama yang rendah hati, sangat alim, dan penulis kitab produktif. Syekh Ahmad Khatib berasal dari Minangkabau, adalah mujaddid, yang mendorong pembaruan di Minangkabau. Ahmad Khatib bahkan menjadi imam di Masjidil Haram.
Syekh Mahfudh berasal dari Tremas, Pacitan, adalah ulama yang sangat dihormati para kiai Jawa. Murid kesayangannya, KH Hasyim Asyari, pendiri NU, membawa tradisi yang diajarkan Syekh Mahfudh ke Indonesia.
Pada pertengahan abad ke-20, terdapat Syekh Muhsin Al-Musawwa (keluarganya berasal dari Palembang) yang merupakan Rektor Darul Ulum. Juga ada Syekh Ali Banjar. Jejak ulama kita yang paling terdekat adalah Syekh Yasin Padani (nenek moyangnya asal Padang).
Banyak ulama Indonesia yang belajar pada Rektor Darul Ulum ini. Bahkan para pemimpin negeri ini juga sowan ke Syekh Yasin. Syekh Yasin (1916-1990) yang pernah berkunjung ke Indonesia dikenal sangat sederhana. Walaupun ulama besar tetapi tak malu ke pasar, bahkan memanggul sendiri barang-barang.
Membayangkan ulama-ulama besar itu, saya merasa ikut bahagia karena di masa lampau nama Indonesia telah harum, bahkan di Masjidil Haram yang merupakan pusat ilmu Islam. Kini, Indonesia yang mempunyai umat Islam terbesar, apakah hal itu terpelihara?
Perkembangan Islam di Nusantara tidak bisa dilepaskan dari peran Hijaz (Makkah dan Madinah). Hijaz, sejak zaman zaman Rasulullah SAW menjadi primadona bagi orang yang ingin mendalami wahyu dan Hadist an-Nabawi. Sempat, banyak ilmuwan Islam meninggalkan Hijaz disebabkan karena adanya pembantaian massal yang dilakukan oleh Hajaj bin Yusuf yang mensyahidkan Abdullah bin Zubair, ulama yang sangat disegani dari sisa-sisa sahabat Rasulullah SAW. Setelah simpuh darah membanjiri Masjidil Haram, banyak ilmuwan Muslim yang pindah menuju Baghdad, Syam dan Mesir serta Yaman. Hingga, ketika situasi Hijaz sudah stabil lagi, ia diserbu para thâlabah yang ingin mencari ilmu dan keberkahan beribadah di Masjidil Haram dan Masjid an-Nabawi yang pahalanya dilipatgandakan sebagaimana yang disabdakan baginda Nabi Muhammad SAW.
Dari Hijaz, terpancarlah sinar Islam hingga menjulang ke seantero dunia, termasuk Nusantara (Indonesia). Indonesia terkena sinar keislaman Hijaz pada abad 1 Hijriyah/ 7 Masehi, yaitu pada masa Khalifah Ustman bin Affan. Sinar itu semakin bercahaya pada abad 18, 19 dan 20. Banyak ulama asal Nusantara yang mendatangi Hijaz, baik untuk berdagang, menuntut ilmu atau untuk menjalankan ritual ibadah haji. Dari banyaknya animo umat Islam asal Nusantara ini, maka terbentuklah Kampung al-Jawi yang barada di Syami’ah, dekat Pasar Seng. Kampung al-Jawi ini, bukan hanya dihuni oleh bangsa Indonesia, melainkan umat Islam Asia Tenggara, banyak yang bertempat tinggal di sana.
Mulanya, umat Islam yang belajar di Hijaz, terutama di Masjidil Haram mendapatkan celaan dan hinaan. Namun, dengan penuh kesabaran mereka tetap semangat untuk selalu belajar dan beristifâdah kepada para syeikh yang mengajar di Masjidil Haram. Buahnya, Hijaz dibanjiri oleh pengajar dan thâlabah yang datangnya dari Nusantara dari generasi ke generasi. Ulama-ulama dari Nusantara banyak memainkan peranan penting dalam akademik keulamaan. Prestasi mereka banyak yang mengungguli ulama-ulama yang asli orang Arab, seperti Syaikh Nawawi al-Bantani, Syaikh Abdul Hamid al-Qudsi, Syaikh Mahfudz at-Turmusi, dan Syaikh Yasin al-Fadani.
Buku Amirul Ulum ini menerangkan tentang biografi 26 ulama Aswaja asal Nusantara yang mempunyai prestasi gemilang (seperti menjadi imam, khatib dan pengajar di Masjidil Haram) yang dapat membawa nama baik Nusantara (Indonesia) hingga go internasional. Ulama-ulama tersebut yaitu, Syaikh Nawawi al-Bantani al-Makki, Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi al-Makki, Syaikh Mahfudz at-Turmusi al-Makki, Syaikh Abdul Hamid al-Qudsi al-Makki, Syaikh Muhsin al-Musawa al-Palimbani al-Makki, Syaikh Abdullah Muhaimin bin Abdul Aziz al-Lasemi al-Makki, Syaikh Baqir bin Muhammad Nur al-Jukjawi al-Makki, Syaikh Yasin bin Isa al-Fadani al-Makki, Syaikh Ahmad bin Abdul Ghaffar al-Sambasi al-Makki, Syaikh Ismail al-Khalidiyah al-Minangkabawi al-Makki, Syaikh Muhammad Mukhtar bin ‘Atharid al-Bughuri al-Makki, Syaikh Junaid al-Batawi, Syaikh Abdul Karim al-Bantani al-Makki, Syaikh Ali bin Abdullah al-Banjari al-Makki, Syaikh Muhammad Ahyad bin Muhammad Idris al-Bughuri al-Makki, Syaikh Abdul Ghani al-Bimawi al-Makki, Syaikh Jinan Muhammad Thayyid al-Sariaki al-Makki, Syaikh Asy’ari bin Abdurrahman al-Baweani al-Makki, Syaikh Abu Bakar bin Syihabudin at-Tambusi al-Makki, Syaikh Ahmad Nahrawi al-Banyumasi al-Makki, Syaikh Muhammad Zainudin al-Baweani al-Makki, Syaikh Abdul Qadir al-Mindili al-Makki, Syaikh Abdullah bin Hasan al-Jawi al-Makki, Syaikh Muhammad bin Muhammad al-Jawi al-Makki, Syaikh Marzuki al-Jawi al-Makki dan Syaikh Muhammad bin Umar al-Sumbawi al-Makki.
Di dalam buku ini telah dikupas biografi langka dari sirah ulama Nusantara yang mempunyai pengaruh di Negeri Hijaz. Mungkin buku yang semacam ini baru pertama kali di Nusantara yang ditulis memakai huruf latin. Sebuah prestasi langka yang mengagumkan meskipun hanya ditulis oleh santri lulusan pesantren (lulusan Pesantren Al-Anwar asuhan KH Maimoen Zubair, sesepuh Nahdlatul Ulama). Sebenarnya Amirul Ulum dalam muqadimahnya, ingin menulis lebih dari 26 tokoh. Akan tetapi, karena minimnya data, terpaksa ia mencukupkan tokohnya menjadi 26. Menilik statemen Syaikh Yasin al-Fadani sebagaimana yang dikutip penulis bahwa ada sekitar 130 pakar hadist yang transmisi keilmuannya diriwayatkan oleh Syaikh Yasin al-Fadani yang kesemuanya tidak lepas dari Hijaz. Sehingga, dari statemen ini, bisa diambil sebuah kesimpulan, bahwa ulama-ulama asal Nusantara yang mempunyai peranan penting dalam kontak dan jaringan keilmuan di Hijaz itu lebih dari 130. Sebab, kutipan itu hanya dalam masalah Hadist, belum cabang keilmuan yang lainnya seperti Fiqih, Teologi, Gramatika Arab dan Tasawuf.
Dari beberapa kelebihan buku karya Amirul Ulum ini, ada juga beberapa kekurangannya, misalnya tokoh urutan 22 sampai 26 itu ditulis hanya beberapa lembar saja. Ada yang dua lembar dan ada yang tiga. Akan tetapi, kekurangan yang sedikit itu tidaklah mengurangi sumbangsih besar penulis yang dapat mengungkap sesuatu kekayaan sejarah ulama Nusantara di Hijaz sehingga membuat keislaman Nusantara terpancar hingga ke seantero dunia melalu mediator Makkah dan Madinah.
Saya berharap ke depan, dengan lahirnya buku ini, akan menginspirasi lahirnya buku-buku yang membahas tentang prestasi ulama Nusantara, bukan hanya di Hijaz, melainkan merambah ke Yaman, Mesir, Syam dan Negara Islam lainnya. Semua itu adalah khazanah yang luar biasa, yang membuat nama Nusantara kita harum semerbak di mata dunia. Semoga penulis buku ini mau melanjutkan studinya sehingga tokoh yang ditulis tidak hanya 26.
Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar