Dalam hadis nabi bersabda :
Wanita Sebagai Tiang Negara
Di masa Rasulullah Salallahu’alaihi wasallam, peran kemasyarakatan kaum muslimah sudah pernah ada dan berlanjut hingga kini. Jadi sangatlah tidak benar tuduhan kaum orentalis bahwa Islam diskriminasi terhadap kaum perempuan. Dalam Al-Qur’an surat Al-Ahdzab, 35 Allah Subhana Wata’ala menjelaskan bahwa kedudukan kaum laki-laki dan perempuan adalah sama dihadapan-Nya, jika sama-sama berada pada ketaatan, kesabaran, kebenaran, khusu’, senantiasa bersedekah, berpuasa, menjaga kehormatannya, dan selalu mengingat-Nya.
Dalam Islam dijelaskan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama mempunyai hak dan kewajiban, sesuai fungsi dan tugasnya. Adanya perbedaan fungsi dan tugas tersebut, sesungguhnya tidak merubah value di hadapan Sang Pencipta, kecuali tingkat ketaqwaannya. Sebagaimana yang di jelaskan oleh Allah Subhana Wata’ala dalam QS. Al-Hujurat, 13. Bukankah manusia dan jin di ciptakan semata-mata hanya untuk beribadah kepada Allah ? (QS. Adz-Dzariyat, 56).
Berbicara mengenai perempuan, maka perempuan juga di sebut wanita yang artinya “Wani diTata”. Istilah ini diambil dari bahasa Jawa yang artinya siap diatur. Jika seorang wanita mengerti dan memahami peran dan fungsinya, maka disanalah letak hakekat emansipasi yang sebenarnya, yang diperjuangkan R.A. Kartini.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa kesaksian sejarah mempunyai lembaran kelam tentang perlakuan kaum pria terhadap kaum perempuan yang hanya memposisikan perempuan sebagai pelampiasan nafsu dan melahirkan anak. Hal ini dapat juga dilihat pada masa Arab Jahiliyah. Umar bin Khattab dimasa sebelum masuk Islam pernah mengubur hidup-hidup anak perempuannya lantaran dianggap aib. Di Eropa pada tahun 586 M, kaum agamawan prancis mendiskusikan “Apakah perempuan dapat masuk surga ? “kesimpulan dari diskusi itu adalah wanita memiliki jiwa namun eksistensinya tidak kekal dan hanya bertugas untuk melayani laki – laki. Filosuf sekaliber Plato saja menganggap perempuan tak ubahnya seperti hamba sahaya.
Seiring perjalanan waktu, peran mereka menjadi warna tersendiri dalam peradaban dunia Islam. Pada pembahasan berikutnya dapat dilihat bagaimana peran aktif kaum Muslimah dalam berda’wah pada periode generasi awal, atau dalam Al-Qur’an disebut dengan Asabiquna Awwalun.
Khadijah Radhiallahu Anha
Dalam sejarah peradaban Islam, nama Khadijah tidak dapat dipisahkan dari perjalanan hidup Nabi Muhammad Salallahu alaihi Wasallam. Karena Khadijah dengan setia selalu mendampingi beliau dan senantiasa memotivasi, baik secara materi maupun non-materi. Khadijah adalah sosok wanita yang cerdas. Kecerdasannya itu dapat dilihat dari bagaimana ketelitian beliau dalam mengamati datangnya wahyu Allah yang dibawa oleh Jibril. Dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Baihaqi, bahwa Khadijah bertanya, “Wahai anak pamanku, dapatkah engkau memberi tahuku tentang temanmu yang datang ?” kemudian Nabi menjawab, “ya. Khadijah bertanya, “Apakah engkau melihatnya?” kemudian Nabi menjawab, “Ya. Khadijah berkata, “Bawalah dia masuk kedalam kamarku !” kemudian Khadijah bertanya lagi, apakah engkau masih melihatnya ?” kemudian Nabi menjawab, “ya. Kemudian Khadijah membuka kerudungnya dan bertanya lagi kepada Nabi, “Apakah kamu masih melihatnya ?” Nabi menjawab, “tidak”. Kemudian Khadijah menjelaskan, “Sesungguhnya dia adalah Jibril pembawa wahyu, kelak engkau menjadi Nabi bagi ummat ini”.
Tidak hanya sampai disitu, Khadijah terus berusaha mencari kebenaran itu untuk memantapkan keyakinannya itu dengan menanyakan prihal wahyu (yang diberikan kepada Muhammad) kepada Waraqah bin Nufail yaitu seorang rahib yang juga saudara sepupunya. Ternyata jawaban Waraqah sama, yaitu “Sesungguhnya dia (Muhammad) adalah Nabi bagi Ummat diakhir zaman”.
Oleh karena kecedasannya itu, dia dijuluki sebagai salah satu mutiara dari sembilan mutiara yang menyertai perjalanan hidup Nabi Muhammad Salallahu ‘Alaihi Wasallam.
A’isah Radiallahu anha
Lain halnya dengan khadijah, A’isah adalah mutiara berikutnya yang mempunyai sisi kelebihan yang lain. Nabi sering memanggilnya dengan sebutan “ya Humaira” (Wahai yang kemerah-merahan). Panggilan ini merupakan panggilan sayang Nabi kepada A’isah yang pipinya senantiasa terlihat memerah. A’isah adalah putri dari Sahabat Nabi yang bernama Abu Bakar Ashiddiq, yang memiliki keceerdasan luar biasa jika dibandingkan dengan gadis-gadis arab seusianya. Dia meriwayatkan banyak Hadits Nabi. Para ahli Hadits menjelaskan bahwa beliau merupakan istri Nabi yang paling banyak meriwayatkan hadits, diantaranya hadits-hadits ahad, yaitu hadits-hadits yang berkaitan pada privasi Nabi. Namun A’isah layaknya gadis-gadis belia lainnya yang memiliki kecemburuan. Hal ini dapat dilihat pada peristiwa “Yaumul Huzn” yaitu hari-hari kesedihan Nabi, ketika pamannya Abu Thalib dan istrinya Khadijah meninggal.
Dalam Hadits yang diriwayatkan olehnya (A’isah), beliau bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah Salallahu ’Alaihi Wasallam, apa yang membuatmu begitu bersedih ? ”Apakah engkau lebih mencintainya daripada aku?” kemudian Nabi menjawab,“Wahai Humaira, sesungguhnya aku mencintainya begitu juga halnya dengan dirimu. Namun aku tak bisa melupakan kesetiaan Khadijah”. Jika engkau meragukannya, sesungguhnya aku rela untuk tidak meminum madu”.
Dalam peristiwa ini, turunlah Surat At-Tahrim, yang intinya mengingatkan Nabi dan istri-istrinya, antara lain
A’Isah dan Hafsah.
Allah mengingatkan kepada Nabi Salallahu’Alaihi Wasallam dengan cara serkasme, yaitu teguran dalam bentuk pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban, “Wahai Nabi mengapa engkau mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah bagimu hanya untuk menyenangkan istri-istri kamu?” (Qs. At-Tahrim, 1) kemudian peringatan Allah kepada A’isah dan Hafsah untuk segera bertobat dan jangan sekali-kali menyusahkan Nabi. Hal ini dijelaskan pada ayat berikutnya Qs. At-Tahrim, 4.
Fathimah Radiallahu anha
Beliau adalah putri Nabi Muhammad Salallahu ‘Alaihi Wasallam, yang kemudian menjadi istri Ali bin Abi Thalib. Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa beliau sedang hamil muda dan mengidamkan buah delima. Kemudian Ali bin Abi Thalib membelikannya di pasar, namun kebetulan pada saat itu sedang tidak musim buah delima, sehingga cukup sulit menemukannya, baru menjelang Maghrib Ali menemukan buah delima itu. Di tengah perjalanannya kembali kerumah, ada seorang pengemis yang datang kepada Ali untuk meminta sesuatu yang bisa mengganjal perutnya yang lapar karena sudah tiga hari tidak makan. Dengan penuh pertimbangan, Ali memberikan buah delima tersebut. Sesampainya di rumah, Fatimah bertanya, “Wahai suamiku apakah engkau telah mendapatkan buah delima yang aku pesan ?” dengan berat hati, Ali menjawab, “Sesungguhnya aku telah menemukan buah delima itu, namun di pertengahan jalan, ada seorang pengemis yang sudah tiga hari tidak makan dan menghampiriku untuk meminta sesuatu yang bisa dimakan”. Kemudian Fatimah menjawab, “Sesunguhnya Itu lebih baik bagimu dan aku sudah tidak menginginkannya lagi”. Subhanallah begitu mulianya hati Fathimah.
Ummu Sulaim Radiallahu anha
Beliau adalah istri dari Malik bin Nadr, yaitu ayahnya Anas bin Malik. Malik bin Nadr wafat di Syam. Seiring perjalanan waktu ummu Sulaim bertemu dengan Abu Thalhah yang merupakan saudagar kaya se-Madinah. Singkat cerita Abu Thalha untuk menjadikan Ummu Sulaim sebagai pendamping hidupnya (melamar). Ketika itu Abu Thalhah belum memeluk Islam, sehingga Ummu Sulaim berkata, “Wahai Abu Thalhah, tidakkah engkau tahu tentang tuhan yang engkau sembah adalah tidak lebih hanyalah sebatang pohon yang tumbuh di atas tanah, yang kemudian dipahat oleh seorang Habsyi anak Fulan bin Fulan. Tidakkah engkau tahu wahai Abu Thalhah, jika tuhan yang engkau sembah itu dibakar, maka ia juga akan terbakar dan menjadi debu ”. kemudian Abu Thalhah menjawab “Benarkah begitu ?” kemudian Ummu Sulaim menjawab, “Apakah engkau tidak malu karena engkau menyembah pohon? Jika engkau masuk Islam, sesungguhnya aku tidak menghendaki mahar apapun, kecuali ke-Islamanmu”. (Kisah ini diriwayatkan oleh Anas bin Malik).
Kisah ini menggambarkan kemuliaan pribadi Ummu Sulaim yang tidak matrealistis, padahal sebagaimana yang kita ketahui di awal cerita ini bahwa Abu Thalhah adalah seorang saudagar kaya se-Madinah yang memiliki kebun Korma yang luas. Namun Ummu Sulaim sedikitpun tidak tergiur dengan hartanya Abu Thalha tersebut. Lain halnya dengan istrnya Abu Lahab yang selalu “membawa kayu bakar”. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah dalam Surat Al-Lahab. “Membawa kayu bakar” ini maksudnya adalah memotivasi suaminya untuk mengumpulkan kekayaan dengan cara apapun.
Dalam Qaulul Hikmah dikatakan, “wanita adalah tiang negara, jika wanitanya baik, maka baik pula negara itu. Namun jika wanitanya buruk, maka hancurlah negara itu”.
Penulis berfikir, jika semua wanita di negeri ini seperti Khadijah, A’isah, Fathimah, Ummu Sulaim dan Shahabiyah lainnya yang tidak kami sebutkan dalam tulisan ini, maka negara ini menjadi “Baldatun Thaibatun Warabbun ghafur”. Sebaliknya, jika semua wanita di negeri ini seperti istrinya Abu Lahab, maka tunggulah saat kehancuran negara ini. Di antaranya kini sudah terlihat secara nyata bahwa korupsi sudah merajalela dan sulit diberantas keberadaannya.
Surga di telapak kaki ibu, maka setiap anak seharusnya memperlakukan ibunya dengan baik dan membahagiakan hatinya. Tidak perlu emas permata untuk mengukir senyum ibu, karena mereka tidak menginginkan semua itu sebagai hal yang membuat hati mereka bahagia.
Ada banyak cara sederhana untuk membuat seorang ibu bahagia, dan dari banyak cara itu, inilah 5 di antaranya yang paling cocok dilakukan oleh anak perempuan mereka.
Menemaninya Belanja
Setiap wanita suka belanja, ibu Anda pasti juga belanja. Menemani belanja ini tidak harus belanja, kadang hanya jalan-jalan saja sudah bisa menyenangkan hatinya. Seorang ibu paling senang jika ditemani belanja oleh anak perempuannya, karena bisa saling memberi saran jika akan membeli sesuatu, berbeda jika saat mengajak anak laki-lakinya. Maka, luangkan waktu untuk mengajak ibu Anda belanja bersama.
Dengarkan Cerita-Ceritanya
Semakin bertambah usia wanita, terutama ibu, semakin sering dia menceritakan hal-hal yang kadang menurut Anda tidak penting. Mulai dari harga sembako naik, tetangga yang baru pergi ke negara lain dan sebagainya. Kadang Anda lebih ingin berbaring dan memejamkan mata ketika capek, namun luangkanlah sedikit waktu untuk mendengar cerita-ceritanya, karena kelak Anda pasti akan senang jika ada yang mendengar cerita-cerita Anda.
Menceritakan Kisah Cinta Anda
Setiap ibu selalu punya kekhawatiran saat anak perempuannya sudah besar dan sudah mengerti cinta. Kadang seorang ibu akan bertanya-tanya pria seperti apa yang membuat Anda jatuh cinta, karena setiap ibu pasti ingin Anda memilih pria yang baik, sebaik beliau memperlakukan Anda. Maka tak perlu malu menceritakan kisah cinta Anda, dan kenalkanlah si dia pada ibu Anda. Mungkin ibu Anda akan banyak bertanya tentang si dia, tapi itulah salah satu bukti bahwa beliau sangat mencintai dan peduli dengan masa depan Anda.
Pujilah Dia
Anda suka dipuji? Setiap wanita memang senang dipuji, termasuk ibu Anda. Maka jangan terlalu cuek saat ibu Anda baru memasak menu baru atau membuatkan Anda kue, pujilah kue buatannya, walaupun mungkin Anda berpikir kue di toko sebelah lebih enak. Jika ibu Anda memakai baju atau tas baru, dan menurut Anda itu sangat cocok, beri juga pujian. Meskipun ibu Anda mengatakan "Aduh kami bisa aja," tapi percayalah, ada kebahagiaan besar saat pujian itu datang dari putri kesayangannya.
Katakan Bahwa Anda Mencintainya
Ada yang bilang cinta tak perlu diungkapkan, cukup ditunjukkan dengan perbuatan. Tapi jika Anda mau mengatakannya, percayalah, tidak ada yang lebih membahagiakan bagi seorang ibu. Maka selalu ucapkan kata-kata bahwa Anda mencintainya, masa cuma pacar Anda yang mendapat kata-kata ini? Padahal ibu Anda sudah bertahun-tahun berjuang untuk Anda. Maka sudah selayaknya beliau mendengar langsung bahwa Anda sangat mencintainya.
Tidak sulit bukan? Cobalah dan Anda akan jauh lebih bahagia. Salam sayang untuk ibu Anda.
Wallahu A’alm bishawab.
WANITA BEKERJA
Kaum wanita pada zaman sekarang banyak sekali yang mengerjakan kegiatan di luar rumah, tentunya mempunyai tujuan yang hendak dicapai karena tujuan merupakan hasil akhir dari seorang wanita setelah melakukan pekerjaan.
Kebanyakan wanita muslimah bekerja di luar rumah karena faktor ekonomi, tetapi kadang-kadang disebabkan kebutuhan akan sesuatu yang lebih menarik daripada kehidupan di rumah yang membuat mereka bosan dan kesepian atau ia memiliki sesuatu yang berharga untuk disumbangkan melalui pekerjaan itu, dengan tujuan untuk kemaslahatan bersama.
Menurut Dadang Hawari terdapat dua motivasi yang mendasari seseorang bekerja, yaitu: pertama, mengembangkan karier dan kedua turut mencari penghasilan disamping suami.[1]
Secara singkat dapat dikemukakan rumusan menyangkut pekerjaan perempuan yaitu bahwa perempuan mempunyai hak untuk bekerja, selam pekerjaan tersebut membutuhkannya dan atau selama mereka membutuhkan pekerjaan tersebut.[2]
Dengan memperhatikan hal di atas, kaum wanita boleh melakukan pekerjaan yang dapat membantu suaminya dalam memenuhi kehidupan mereka, tetapi tidak meninggalkan tugasnya yang utama yaitu sebagai ibu rumah tangga, karena ibu lah yang akan dapat membentuk kepribadian anak. Sehingga disunnahkan bagi wanita melakukan kegiatan profesional dengan syarat sejalan dengan tanggung jawab keluarga dan berpedoman pada tujuan berikut yaitu:
a. Berkarier demi membantu perekonomian keluarga, agar lebih baik.
b. Berkarier demi mengembangkan bakat dan semua potensi yang dimiliki.
c. Berkarier demi mengembangkan keahlian yang ia miliki, setelah menyelesaikan jenjang pendidikan formal.
d. Berkarier, karena memang sangat dibutuhkan untuk melakukan hal itu. Dan itu dianggap suatu yang amat emergensi (darurat), seperti hal-hal yang khusus berkaitan dengan perempuan, maka sebaiknya perempuan yang melakukan.
Secara singkat dapat dikemukakan rumusan menyangkut pekerjaan perempuan yaitu bahwa perempuan mempunyai hak untuk bekerja, selama pekerjaan itu membutuhkannya dan atau selama mereka membutuhkan pekerjaan tersebut”.[3]
Dengan demikian, seorang pria harus mengetahui dengan jelas tujuan karier wanita dalam kehidupan sosial. Karena pada dasarnya wanita tugasnya di dalam rumah, tetapi karena kebutuhan yang mendorong mereka keluar akhirnya seorang wanita keluar untuk memenuhi kebutuhan tersebut dan harus sesuai dengan syarat yang sudah ditetapkan oleh agama.
Secara kodrati wanita mempunyai fungsi, peran dan tanggung jawab yang tidak kecil dalam keluarga. Fungsi, peran dan anggung jawab tersebut sangat dominan karena iklim rumah tangga yang harmonis memerlukan fungsi, peran dan tanggung jawab yang tepat. Melalui keharmonisan rumah tangga wanita menumbuh-kembangkan anak.
Kehidupan keluarga merupakan wahana pertumbuhan sumber daya manusia yang paling esensial bagi perkembangan bangsa. Oleh karena itu pembangunan bangsa bersumber dan dimulai dari rumah, di dalam kehidupan keluarga. Dan wanita adalah pengelola utama keluarga yang mendidik dan mengembangkan fungsi-fungsi dasar kehidupan anak.
Sejarah perjalanan dan perkembangan umat manusia menunjukkan, paling tidak ada tiga peran yang melekat pada diri seorang wanita yaitu: “sebagai penerus generasi, sebagai pengasuh, dan sebagai pendidik anak”.[4]
Ada beberapa peran yang dilakukan oleh wanita karier dalam proses kehidupannya,[5]
a. Peran sebagai istri
Peran istri disini dapat dikatakan sebagai peran yang mudah. Istri tidak hanya dituntut untuk mampu memainkan “peran sebagai kekasih suami, tetapi hendaknya pada situasi-situasi tertentu ia mampu berlaku sebagai ibu, sahabat bahkan pelindung suami”.[6]
b. Peran sebagai ibu
Peran sebagai seorang ibu tidak dapat dianggap sepele. Tugas sebagai ibu yang termasuk didalamnya adalah mendidik anak, dimana dalam mendidik anak tidak dapat dikerjakan secara sambilan, namun merupakan tanggung jawab dan amanah dari Allah yang harus dipikul oleh seorang wanita. Keberhasilan dalam mendidik anak oleh seorang ibu tidak dapat ditandai oleh tercapainya titel yang tinggi, bukan pula kekayaan yang banyak atau jabatan yang tinggi.[7]
Namun keberhasilan seorang ibu dalam mendidik anak secara hakiki adalah berhasilnya anak-anak dalam mendapatkan keselamatan di akhirat kelak.[8] Tetapi tidak berarti bahwa bekal di dunia tidak penting. Kecenderungan yang nampak saat ini banyak seorang ibu yang membekali anaknya dengan bekal keduniaan, sementara urusan keakhiratan anaknya sering terlupakan.
c. Peran sebagai anggota masyarakat.
Islam tidak melarang wanita atau seorang istri/ibu bekerja di sektor publik atau diluar rumah, asalkan tugas utama sebagai istri dan sebagai ibu tidak diabaikan begitu saja tanpa tanggung jawab secara penuh. Kebanyakan dari mereka ikut membina masyarakat, berpartisipasi dalam sistem pendidikan, sistem kesehatan, dakwah, mengukuhkan kerukunan rumah tangga, terlibat dalam urusan ekonomi dan ketenteraman”.[9]
Keberadaan wanita karier yang bekerja di sektor publik atau wanita karier dalam keluarganya memiliki fungsi yang tidak dapat dipandang dengan sebelah mata. Banyak fungsi-fungsi yang dapat ia perankan sehingga mampu membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera. Diantaranya adalah:
1) Untuk menopang kebutuhan keluarga.
2) Anak perempuan dari ibu yang bekerja lebih mengagumi ibu mereka.
3) Anak lelaki tidak dirugikan bila ibu mereka bekerja diluar rumah, kecuali bila hal itu disertai dengan kegagalan ayah sebagai pemimpin keluarga.
4) Seorang ibu yang menggunakan seluruh waktunya di rumah, secara emosional akan terikat pada anak-anaknya, si ayah mungkin mulai merasakan dirinya sebagai orang luar. Bila kedua orang tua bekerja, keduanya akan terlibat secara berimbang dengan anak-anak serta dapat merasakan hubungan mereka satu sama lain.[10]
Dari uraian di atas menunjukkan beberapa aktivitas wanita terutama berposisi sebagai orang tua lebih banyak berkaitan dengan posisinya sebagai ibu dan anggota masyarakat.
[1] Dadang Hawari, Al-Qur’an dan Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, (Jakarta: Dana Bhakti Primakasa, 1997), hlm. 276
[2] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Jakarta: Mizan, 1993), hlm 275
[3] Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Jakarta : Mizan, 1993), hlm. 275
[4] Susi Partini Suardiman, Wanita Bekerja Dan Permasalahannya, dalam Wacana Perempuan Keindonesiaan Dan Kemoderenan, (Jakarta: Pustaka Cidesindo, 1988), hlm. 262
[5] Gina Puspita, Menghadapi Peran Ganda Wanita, dalam Dadang S. Anshori, (Ed.), Membincangkan Feminisme, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), hlm. 201.
[6] Ibid., hlm. 202
[7] Ibid., hlm. 203.
[8] Ibid., hlm 203.
[9] Ibid., hlm 204.
[10] G. Wade Rowatt, Jr and Marry Jo Rowatt, The Career Marriage, (Yogyakarta: YB. Tugiyarsi, Kanisius, 1990), hlm. 29-34.
عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ جَاهِمَةَ السَّلَمِيِّ أَنَّ جَاهِمَةَ جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَدْتُ أَنْ أَغْزُوَ، وَقَدْ جِئْتُ أَسْتَشِيْرُكَ. فَقَالَ: هَلْ لَكَ مِنْ أُمٍّ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَالْزَمْهَا، فَإِنَّ الْجَنَّةَ تَحْتَ رِجْلَيْهَا
Dari Mu’wiyah bin Jahimah as-Salami bahwasanya Jahimah pernah datang menemui Nabi shallallahu alaihi wasallam lalu berkata: Wahai Rasulullah, aku ingin pergi jihad, dan sungguh aku datang kepadamu untuk meminta pendapatmu. Beliau berkata: “Apakah engkau masih mempunyai ibu?” Ia menjawab: Ya, masih. Beliau bersabda: “Hendaklah engkau tetap berbakti kepadanya, karena sesungguhnya surga itu di bawah kedua kakinya.”الْمَرْأَةُ عِمَادُ الْبِلاَدِ إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَتِ الْبِلاَدُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَتِ الْبِلاَدُ
Wanita adalah tiang suatu negara, apabila wanitanya baik maka negara akan baik dan apabila wanita rusak maka negarakapun akan rusakWanita Sebagai Tiang Negara
Di masa Rasulullah Salallahu’alaihi wasallam, peran kemasyarakatan kaum muslimah sudah pernah ada dan berlanjut hingga kini. Jadi sangatlah tidak benar tuduhan kaum orentalis bahwa Islam diskriminasi terhadap kaum perempuan. Dalam Al-Qur’an surat Al-Ahdzab, 35 Allah Subhana Wata’ala menjelaskan bahwa kedudukan kaum laki-laki dan perempuan adalah sama dihadapan-Nya, jika sama-sama berada pada ketaatan, kesabaran, kebenaran, khusu’, senantiasa bersedekah, berpuasa, menjaga kehormatannya, dan selalu mengingat-Nya.
Dalam Islam dijelaskan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama mempunyai hak dan kewajiban, sesuai fungsi dan tugasnya. Adanya perbedaan fungsi dan tugas tersebut, sesungguhnya tidak merubah value di hadapan Sang Pencipta, kecuali tingkat ketaqwaannya. Sebagaimana yang di jelaskan oleh Allah Subhana Wata’ala dalam QS. Al-Hujurat, 13. Bukankah manusia dan jin di ciptakan semata-mata hanya untuk beribadah kepada Allah ? (QS. Adz-Dzariyat, 56).
Berbicara mengenai perempuan, maka perempuan juga di sebut wanita yang artinya “Wani diTata”. Istilah ini diambil dari bahasa Jawa yang artinya siap diatur. Jika seorang wanita mengerti dan memahami peran dan fungsinya, maka disanalah letak hakekat emansipasi yang sebenarnya, yang diperjuangkan R.A. Kartini.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa kesaksian sejarah mempunyai lembaran kelam tentang perlakuan kaum pria terhadap kaum perempuan yang hanya memposisikan perempuan sebagai pelampiasan nafsu dan melahirkan anak. Hal ini dapat juga dilihat pada masa Arab Jahiliyah. Umar bin Khattab dimasa sebelum masuk Islam pernah mengubur hidup-hidup anak perempuannya lantaran dianggap aib. Di Eropa pada tahun 586 M, kaum agamawan prancis mendiskusikan “Apakah perempuan dapat masuk surga ? “kesimpulan dari diskusi itu adalah wanita memiliki jiwa namun eksistensinya tidak kekal dan hanya bertugas untuk melayani laki – laki. Filosuf sekaliber Plato saja menganggap perempuan tak ubahnya seperti hamba sahaya.
Seiring perjalanan waktu, peran mereka menjadi warna tersendiri dalam peradaban dunia Islam. Pada pembahasan berikutnya dapat dilihat bagaimana peran aktif kaum Muslimah dalam berda’wah pada periode generasi awal, atau dalam Al-Qur’an disebut dengan Asabiquna Awwalun.
Khadijah Radhiallahu Anha
Dalam sejarah peradaban Islam, nama Khadijah tidak dapat dipisahkan dari perjalanan hidup Nabi Muhammad Salallahu alaihi Wasallam. Karena Khadijah dengan setia selalu mendampingi beliau dan senantiasa memotivasi, baik secara materi maupun non-materi. Khadijah adalah sosok wanita yang cerdas. Kecerdasannya itu dapat dilihat dari bagaimana ketelitian beliau dalam mengamati datangnya wahyu Allah yang dibawa oleh Jibril. Dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Baihaqi, bahwa Khadijah bertanya, “Wahai anak pamanku, dapatkah engkau memberi tahuku tentang temanmu yang datang ?” kemudian Nabi menjawab, “ya. Khadijah bertanya, “Apakah engkau melihatnya?” kemudian Nabi menjawab, “Ya. Khadijah berkata, “Bawalah dia masuk kedalam kamarku !” kemudian Khadijah bertanya lagi, apakah engkau masih melihatnya ?” kemudian Nabi menjawab, “ya. Kemudian Khadijah membuka kerudungnya dan bertanya lagi kepada Nabi, “Apakah kamu masih melihatnya ?” Nabi menjawab, “tidak”. Kemudian Khadijah menjelaskan, “Sesungguhnya dia adalah Jibril pembawa wahyu, kelak engkau menjadi Nabi bagi ummat ini”.
Tidak hanya sampai disitu, Khadijah terus berusaha mencari kebenaran itu untuk memantapkan keyakinannya itu dengan menanyakan prihal wahyu (yang diberikan kepada Muhammad) kepada Waraqah bin Nufail yaitu seorang rahib yang juga saudara sepupunya. Ternyata jawaban Waraqah sama, yaitu “Sesungguhnya dia (Muhammad) adalah Nabi bagi Ummat diakhir zaman”.
Oleh karena kecedasannya itu, dia dijuluki sebagai salah satu mutiara dari sembilan mutiara yang menyertai perjalanan hidup Nabi Muhammad Salallahu ‘Alaihi Wasallam.
A’isah Radiallahu anha
Lain halnya dengan khadijah, A’isah adalah mutiara berikutnya yang mempunyai sisi kelebihan yang lain. Nabi sering memanggilnya dengan sebutan “ya Humaira” (Wahai yang kemerah-merahan). Panggilan ini merupakan panggilan sayang Nabi kepada A’isah yang pipinya senantiasa terlihat memerah. A’isah adalah putri dari Sahabat Nabi yang bernama Abu Bakar Ashiddiq, yang memiliki keceerdasan luar biasa jika dibandingkan dengan gadis-gadis arab seusianya. Dia meriwayatkan banyak Hadits Nabi. Para ahli Hadits menjelaskan bahwa beliau merupakan istri Nabi yang paling banyak meriwayatkan hadits, diantaranya hadits-hadits ahad, yaitu hadits-hadits yang berkaitan pada privasi Nabi. Namun A’isah layaknya gadis-gadis belia lainnya yang memiliki kecemburuan. Hal ini dapat dilihat pada peristiwa “Yaumul Huzn” yaitu hari-hari kesedihan Nabi, ketika pamannya Abu Thalib dan istrinya Khadijah meninggal.
Dalam Hadits yang diriwayatkan olehnya (A’isah), beliau bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah Salallahu ’Alaihi Wasallam, apa yang membuatmu begitu bersedih ? ”Apakah engkau lebih mencintainya daripada aku?” kemudian Nabi menjawab,“Wahai Humaira, sesungguhnya aku mencintainya begitu juga halnya dengan dirimu. Namun aku tak bisa melupakan kesetiaan Khadijah”. Jika engkau meragukannya, sesungguhnya aku rela untuk tidak meminum madu”.
Dalam peristiwa ini, turunlah Surat At-Tahrim, yang intinya mengingatkan Nabi dan istri-istrinya, antara lain
A’Isah dan Hafsah.
Allah mengingatkan kepada Nabi Salallahu’Alaihi Wasallam dengan cara serkasme, yaitu teguran dalam bentuk pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban, “Wahai Nabi mengapa engkau mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah bagimu hanya untuk menyenangkan istri-istri kamu?” (Qs. At-Tahrim, 1) kemudian peringatan Allah kepada A’isah dan Hafsah untuk segera bertobat dan jangan sekali-kali menyusahkan Nabi. Hal ini dijelaskan pada ayat berikutnya Qs. At-Tahrim, 4.
Fathimah Radiallahu anha
Beliau adalah putri Nabi Muhammad Salallahu ‘Alaihi Wasallam, yang kemudian menjadi istri Ali bin Abi Thalib. Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa beliau sedang hamil muda dan mengidamkan buah delima. Kemudian Ali bin Abi Thalib membelikannya di pasar, namun kebetulan pada saat itu sedang tidak musim buah delima, sehingga cukup sulit menemukannya, baru menjelang Maghrib Ali menemukan buah delima itu. Di tengah perjalanannya kembali kerumah, ada seorang pengemis yang datang kepada Ali untuk meminta sesuatu yang bisa mengganjal perutnya yang lapar karena sudah tiga hari tidak makan. Dengan penuh pertimbangan, Ali memberikan buah delima tersebut. Sesampainya di rumah, Fatimah bertanya, “Wahai suamiku apakah engkau telah mendapatkan buah delima yang aku pesan ?” dengan berat hati, Ali menjawab, “Sesungguhnya aku telah menemukan buah delima itu, namun di pertengahan jalan, ada seorang pengemis yang sudah tiga hari tidak makan dan menghampiriku untuk meminta sesuatu yang bisa dimakan”. Kemudian Fatimah menjawab, “Sesunguhnya Itu lebih baik bagimu dan aku sudah tidak menginginkannya lagi”. Subhanallah begitu mulianya hati Fathimah.
Ummu Sulaim Radiallahu anha
Beliau adalah istri dari Malik bin Nadr, yaitu ayahnya Anas bin Malik. Malik bin Nadr wafat di Syam. Seiring perjalanan waktu ummu Sulaim bertemu dengan Abu Thalhah yang merupakan saudagar kaya se-Madinah. Singkat cerita Abu Thalha untuk menjadikan Ummu Sulaim sebagai pendamping hidupnya (melamar). Ketika itu Abu Thalhah belum memeluk Islam, sehingga Ummu Sulaim berkata, “Wahai Abu Thalhah, tidakkah engkau tahu tentang tuhan yang engkau sembah adalah tidak lebih hanyalah sebatang pohon yang tumbuh di atas tanah, yang kemudian dipahat oleh seorang Habsyi anak Fulan bin Fulan. Tidakkah engkau tahu wahai Abu Thalhah, jika tuhan yang engkau sembah itu dibakar, maka ia juga akan terbakar dan menjadi debu ”. kemudian Abu Thalhah menjawab “Benarkah begitu ?” kemudian Ummu Sulaim menjawab, “Apakah engkau tidak malu karena engkau menyembah pohon? Jika engkau masuk Islam, sesungguhnya aku tidak menghendaki mahar apapun, kecuali ke-Islamanmu”. (Kisah ini diriwayatkan oleh Anas bin Malik).
Kisah ini menggambarkan kemuliaan pribadi Ummu Sulaim yang tidak matrealistis, padahal sebagaimana yang kita ketahui di awal cerita ini bahwa Abu Thalhah adalah seorang saudagar kaya se-Madinah yang memiliki kebun Korma yang luas. Namun Ummu Sulaim sedikitpun tidak tergiur dengan hartanya Abu Thalha tersebut. Lain halnya dengan istrnya Abu Lahab yang selalu “membawa kayu bakar”. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah dalam Surat Al-Lahab. “Membawa kayu bakar” ini maksudnya adalah memotivasi suaminya untuk mengumpulkan kekayaan dengan cara apapun.
Dalam Qaulul Hikmah dikatakan, “wanita adalah tiang negara, jika wanitanya baik, maka baik pula negara itu. Namun jika wanitanya buruk, maka hancurlah negara itu”.
Penulis berfikir, jika semua wanita di negeri ini seperti Khadijah, A’isah, Fathimah, Ummu Sulaim dan Shahabiyah lainnya yang tidak kami sebutkan dalam tulisan ini, maka negara ini menjadi “Baldatun Thaibatun Warabbun ghafur”. Sebaliknya, jika semua wanita di negeri ini seperti istrinya Abu Lahab, maka tunggulah saat kehancuran negara ini. Di antaranya kini sudah terlihat secara nyata bahwa korupsi sudah merajalela dan sulit diberantas keberadaannya.
Surga di telapak kaki ibu, maka setiap anak seharusnya memperlakukan ibunya dengan baik dan membahagiakan hatinya. Tidak perlu emas permata untuk mengukir senyum ibu, karena mereka tidak menginginkan semua itu sebagai hal yang membuat hati mereka bahagia.
Ada banyak cara sederhana untuk membuat seorang ibu bahagia, dan dari banyak cara itu, inilah 5 di antaranya yang paling cocok dilakukan oleh anak perempuan mereka.
Menemaninya Belanja
Setiap wanita suka belanja, ibu Anda pasti juga belanja. Menemani belanja ini tidak harus belanja, kadang hanya jalan-jalan saja sudah bisa menyenangkan hatinya. Seorang ibu paling senang jika ditemani belanja oleh anak perempuannya, karena bisa saling memberi saran jika akan membeli sesuatu, berbeda jika saat mengajak anak laki-lakinya. Maka, luangkan waktu untuk mengajak ibu Anda belanja bersama.
Dengarkan Cerita-Ceritanya
Semakin bertambah usia wanita, terutama ibu, semakin sering dia menceritakan hal-hal yang kadang menurut Anda tidak penting. Mulai dari harga sembako naik, tetangga yang baru pergi ke negara lain dan sebagainya. Kadang Anda lebih ingin berbaring dan memejamkan mata ketika capek, namun luangkanlah sedikit waktu untuk mendengar cerita-ceritanya, karena kelak Anda pasti akan senang jika ada yang mendengar cerita-cerita Anda.
Menceritakan Kisah Cinta Anda
Setiap ibu selalu punya kekhawatiran saat anak perempuannya sudah besar dan sudah mengerti cinta. Kadang seorang ibu akan bertanya-tanya pria seperti apa yang membuat Anda jatuh cinta, karena setiap ibu pasti ingin Anda memilih pria yang baik, sebaik beliau memperlakukan Anda. Maka tak perlu malu menceritakan kisah cinta Anda, dan kenalkanlah si dia pada ibu Anda. Mungkin ibu Anda akan banyak bertanya tentang si dia, tapi itulah salah satu bukti bahwa beliau sangat mencintai dan peduli dengan masa depan Anda.
Pujilah Dia
Anda suka dipuji? Setiap wanita memang senang dipuji, termasuk ibu Anda. Maka jangan terlalu cuek saat ibu Anda baru memasak menu baru atau membuatkan Anda kue, pujilah kue buatannya, walaupun mungkin Anda berpikir kue di toko sebelah lebih enak. Jika ibu Anda memakai baju atau tas baru, dan menurut Anda itu sangat cocok, beri juga pujian. Meskipun ibu Anda mengatakan "Aduh kami bisa aja," tapi percayalah, ada kebahagiaan besar saat pujian itu datang dari putri kesayangannya.
Katakan Bahwa Anda Mencintainya
Ada yang bilang cinta tak perlu diungkapkan, cukup ditunjukkan dengan perbuatan. Tapi jika Anda mau mengatakannya, percayalah, tidak ada yang lebih membahagiakan bagi seorang ibu. Maka selalu ucapkan kata-kata bahwa Anda mencintainya, masa cuma pacar Anda yang mendapat kata-kata ini? Padahal ibu Anda sudah bertahun-tahun berjuang untuk Anda. Maka sudah selayaknya beliau mendengar langsung bahwa Anda sangat mencintainya.
Tidak sulit bukan? Cobalah dan Anda akan jauh lebih bahagia. Salam sayang untuk ibu Anda.
Wallahu A’alm bishawab.
WANITA BEKERJA
Kaum wanita pada zaman sekarang banyak sekali yang mengerjakan kegiatan di luar rumah, tentunya mempunyai tujuan yang hendak dicapai karena tujuan merupakan hasil akhir dari seorang wanita setelah melakukan pekerjaan.
Kebanyakan wanita muslimah bekerja di luar rumah karena faktor ekonomi, tetapi kadang-kadang disebabkan kebutuhan akan sesuatu yang lebih menarik daripada kehidupan di rumah yang membuat mereka bosan dan kesepian atau ia memiliki sesuatu yang berharga untuk disumbangkan melalui pekerjaan itu, dengan tujuan untuk kemaslahatan bersama.
Menurut Dadang Hawari terdapat dua motivasi yang mendasari seseorang bekerja, yaitu: pertama, mengembangkan karier dan kedua turut mencari penghasilan disamping suami.[1]
Secara singkat dapat dikemukakan rumusan menyangkut pekerjaan perempuan yaitu bahwa perempuan mempunyai hak untuk bekerja, selam pekerjaan tersebut membutuhkannya dan atau selama mereka membutuhkan pekerjaan tersebut.[2]
Dengan memperhatikan hal di atas, kaum wanita boleh melakukan pekerjaan yang dapat membantu suaminya dalam memenuhi kehidupan mereka, tetapi tidak meninggalkan tugasnya yang utama yaitu sebagai ibu rumah tangga, karena ibu lah yang akan dapat membentuk kepribadian anak. Sehingga disunnahkan bagi wanita melakukan kegiatan profesional dengan syarat sejalan dengan tanggung jawab keluarga dan berpedoman pada tujuan berikut yaitu:
a. Berkarier demi membantu perekonomian keluarga, agar lebih baik.
b. Berkarier demi mengembangkan bakat dan semua potensi yang dimiliki.
c. Berkarier demi mengembangkan keahlian yang ia miliki, setelah menyelesaikan jenjang pendidikan formal.
d. Berkarier, karena memang sangat dibutuhkan untuk melakukan hal itu. Dan itu dianggap suatu yang amat emergensi (darurat), seperti hal-hal yang khusus berkaitan dengan perempuan, maka sebaiknya perempuan yang melakukan.
Secara singkat dapat dikemukakan rumusan menyangkut pekerjaan perempuan yaitu bahwa perempuan mempunyai hak untuk bekerja, selama pekerjaan itu membutuhkannya dan atau selama mereka membutuhkan pekerjaan tersebut”.[3]
Dengan demikian, seorang pria harus mengetahui dengan jelas tujuan karier wanita dalam kehidupan sosial. Karena pada dasarnya wanita tugasnya di dalam rumah, tetapi karena kebutuhan yang mendorong mereka keluar akhirnya seorang wanita keluar untuk memenuhi kebutuhan tersebut dan harus sesuai dengan syarat yang sudah ditetapkan oleh agama.
Secara kodrati wanita mempunyai fungsi, peran dan tanggung jawab yang tidak kecil dalam keluarga. Fungsi, peran dan anggung jawab tersebut sangat dominan karena iklim rumah tangga yang harmonis memerlukan fungsi, peran dan tanggung jawab yang tepat. Melalui keharmonisan rumah tangga wanita menumbuh-kembangkan anak.
Kehidupan keluarga merupakan wahana pertumbuhan sumber daya manusia yang paling esensial bagi perkembangan bangsa. Oleh karena itu pembangunan bangsa bersumber dan dimulai dari rumah, di dalam kehidupan keluarga. Dan wanita adalah pengelola utama keluarga yang mendidik dan mengembangkan fungsi-fungsi dasar kehidupan anak.
Sejarah perjalanan dan perkembangan umat manusia menunjukkan, paling tidak ada tiga peran yang melekat pada diri seorang wanita yaitu: “sebagai penerus generasi, sebagai pengasuh, dan sebagai pendidik anak”.[4]
Ada beberapa peran yang dilakukan oleh wanita karier dalam proses kehidupannya,[5]
a. Peran sebagai istri
Peran istri disini dapat dikatakan sebagai peran yang mudah. Istri tidak hanya dituntut untuk mampu memainkan “peran sebagai kekasih suami, tetapi hendaknya pada situasi-situasi tertentu ia mampu berlaku sebagai ibu, sahabat bahkan pelindung suami”.[6]
b. Peran sebagai ibu
Peran sebagai seorang ibu tidak dapat dianggap sepele. Tugas sebagai ibu yang termasuk didalamnya adalah mendidik anak, dimana dalam mendidik anak tidak dapat dikerjakan secara sambilan, namun merupakan tanggung jawab dan amanah dari Allah yang harus dipikul oleh seorang wanita. Keberhasilan dalam mendidik anak oleh seorang ibu tidak dapat ditandai oleh tercapainya titel yang tinggi, bukan pula kekayaan yang banyak atau jabatan yang tinggi.[7]
Namun keberhasilan seorang ibu dalam mendidik anak secara hakiki adalah berhasilnya anak-anak dalam mendapatkan keselamatan di akhirat kelak.[8] Tetapi tidak berarti bahwa bekal di dunia tidak penting. Kecenderungan yang nampak saat ini banyak seorang ibu yang membekali anaknya dengan bekal keduniaan, sementara urusan keakhiratan anaknya sering terlupakan.
c. Peran sebagai anggota masyarakat.
Islam tidak melarang wanita atau seorang istri/ibu bekerja di sektor publik atau diluar rumah, asalkan tugas utama sebagai istri dan sebagai ibu tidak diabaikan begitu saja tanpa tanggung jawab secara penuh. Kebanyakan dari mereka ikut membina masyarakat, berpartisipasi dalam sistem pendidikan, sistem kesehatan, dakwah, mengukuhkan kerukunan rumah tangga, terlibat dalam urusan ekonomi dan ketenteraman”.[9]
Keberadaan wanita karier yang bekerja di sektor publik atau wanita karier dalam keluarganya memiliki fungsi yang tidak dapat dipandang dengan sebelah mata. Banyak fungsi-fungsi yang dapat ia perankan sehingga mampu membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera. Diantaranya adalah:
1) Untuk menopang kebutuhan keluarga.
2) Anak perempuan dari ibu yang bekerja lebih mengagumi ibu mereka.
3) Anak lelaki tidak dirugikan bila ibu mereka bekerja diluar rumah, kecuali bila hal itu disertai dengan kegagalan ayah sebagai pemimpin keluarga.
4) Seorang ibu yang menggunakan seluruh waktunya di rumah, secara emosional akan terikat pada anak-anaknya, si ayah mungkin mulai merasakan dirinya sebagai orang luar. Bila kedua orang tua bekerja, keduanya akan terlibat secara berimbang dengan anak-anak serta dapat merasakan hubungan mereka satu sama lain.[10]
Dari uraian di atas menunjukkan beberapa aktivitas wanita terutama berposisi sebagai orang tua lebih banyak berkaitan dengan posisinya sebagai ibu dan anggota masyarakat.
[1] Dadang Hawari, Al-Qur’an dan Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, (Jakarta: Dana Bhakti Primakasa, 1997), hlm. 276
[2] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Jakarta: Mizan, 1993), hlm 275
[3] Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Jakarta : Mizan, 1993), hlm. 275
[4] Susi Partini Suardiman, Wanita Bekerja Dan Permasalahannya, dalam Wacana Perempuan Keindonesiaan Dan Kemoderenan, (Jakarta: Pustaka Cidesindo, 1988), hlm. 262
[5] Gina Puspita, Menghadapi Peran Ganda Wanita, dalam Dadang S. Anshori, (Ed.), Membincangkan Feminisme, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), hlm. 201.
[6] Ibid., hlm. 202
[7] Ibid., hlm. 203.
[8] Ibid., hlm 203.
[9] Ibid., hlm 204.
[10] G. Wade Rowatt, Jr and Marry Jo Rowatt, The Career Marriage, (Yogyakarta: YB. Tugiyarsi, Kanisius, 1990), hlm. 29-34.
Nasehat rumah tangga
Syaikh Nizar Hammadi memberi nasehat kepada siapapun yang akan menikah; semoga bermanfaat bagi yang memerlukannya;
Ini adalah beberapa nasehat singkat yang berguna yang ingin menempuh jenjang pernikahan, terutama kaum laki-laki:
Haraplah dari istrimu keturunan demi kelangsungan hidup umat manusia, terutama umat Nabi Muhammad, dan tatanan rumah tangga yang merupakan inti utama dari masyarakat, bila tatanan rumah tangga baik maka tertatalah masyarakat.
Janganlah mengutamakan syahwat semata-mata, karena syahwat merupakan hal yang juga dimiliki oleh binatang, maka dengan mengutamakan syahwat, hilanglah perbedaan dengan mereka.
Jika niat tersebut telah terwujud, maka pilihlah:
Wanita yang sempurna akalnya (cerdas) demi terwujudnya tatanan rumah tangga, wanita yang bodoh dan yang kurang akalnya tidak akan mampu mengurus dirinya sendiri, maka bagaimana ia mampu mengurus orang lain.
Wanita yang terpelihara (iffah) lembut hatinya, pemalu, menutup mata (menjaga pandangannya) karena wanita yang fasik menjadi sebab bagi melenyapkan apa yang telah ada, maka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar