Selasa, 25 Agustus 2015

Kebenaran Aqidah Aswaja dan Sultan Muhammad Al Fatih

Tentara yang bermazdhab ahlusunah wal jama'ah dan sangat menghormati para ulama.
Sultan Muhammad Al Fatih dan Kebenaran Aqidah Aswaja
Dalam hadits riwayat al-Imâm Ahmad ibn Hanbal dan al-Imâm al-Hakim disebutkan bahwa Rasulullah bersabda:

لَتُفْتَحَنّ الْقِسْطَنْطِيْنِيّةُ فَلَنِعْمَ الْأمِيْرُ أمِيْرُهَا وَلَنِعْمَ الْجَيْشُ ذلِكَ الْجَيْشُ . رَوَاهُ أحْمَد والْحَاكمُ

“Kota Kostantinopel (Istanbul sekarang) benar-benar akan ditaklukan oleh seorang panglima. Panglima tersebut adalah sebaik-baiknya panglima dan sebaik-baiknya tentara” (HR Ahmad dan al-Hakim).

Hadits ini menjadi sebuah kenyataan setelah sekitar 800 tahun kemudian.
Adalah ketika kota Istanbul takluk di tangan sultan Muhammad al-Fatih. Sebelum beliau, telah banyak panglima yang berusaha untuk menaklukan kota tersebut, termasuk ayah dari sultan Muhammad al-Fatih sendiri, yaitu sultan Murad ats-Tsani. Tentu tujuan mereka semua berkeinginan sebagai yang dimaksud oleh Rasulullah dalam pujiannya dalam hadits di atas. Namun ternyata hanya sultan Muhammad al-Fatih yang dapat menaklukan kota Kostantinopel hingga jatuh secara penuh ke dalam kekuasaan orang-orang Islam.

Sejarah telah mencatat bahwa sultan Muhammad al-Fatih adalah seorang Asy’ari tulen. Dalam akidah, beliau sangat kuat memegang teguh Ahlussunnah Wal jama’ah di atas madzhab Asy’ariyyah. Beliau sangat mencintai para ulama dan kaum sufi. Dalam hampir segala keputusan yang beliau tetapkan adalah hasil dari pertimbangan-pertimbangan yang telah beliau musyawarahkan dengan para ulama dan kaum sufi terkemuka. Bahkan sebelum beliau memutuskan untuk turun menaklukan kota Kostantin beliau bermusyawarah dengan guru-guru spiritualnya tersebut. Musyawarah di sini tidak hanya terbatas untuk membentuk mental dan spirit semata, namun juga pembahasan tentang metode, alat-alat perang, perbekalan dan lain sebagainya.

Kemudian salah satu senjata terpenting yang tertancap kuat dalam keyakinan sultan Muhammad al-Fatih adalah kekuatan tawassul. Karena itu, sebelum turun ke medan perang beliau melakukan tawassul dengan Rasulullah. Artinya beliau meminta kepada Allah agar diluluskan cita-citanya dengan menjadikan Rasulullah sebagai wasilah atau perantara dalam doanya. Dengan demikian hadits di atas, secara tersirat, memberikan pelajaran penting kepada kita bahwa tawassul adalah sesuatu yang telah disyari’atkan dalam Islam.

Pujian Rasulullah terhadap panglima penakluk Kostantin dalam hadits di atas adalah salah satu bukti kuat tentang kebenaran akidah yang diyakini oleh panglima tersebut. Juga bukti kebenaran akidah dari bala tentara atau orang-orang yang saat itu bersamanya. Mereka itu semua adalah kaum Asy’ariyyah, kaum yang berkeyakinan akan kesucian Allah dari menyerupai makhluk-Nya. Mereka berkeyakinan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah, bahwa Allah suci dari segala bentuk dan ukuran, dan bahwa Allah tidak disifati dengan sifat-sifat benda. Mereka adalah kaum yang berkeyakinan tentang disyari’atkannya tawassul, baik tawassul dengan para Nabi, maupun tawassul dengan para wali Allah atau orang-orang saleh lainnya.
Karenanya, tidak sedikit dari bala tentara Sultan Muhammad al-Fatih saat itu adalah orang-orang yang berasal kalangan sufi dan para pengikut tarekat.

Semoga bermnfaat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar