Jumat, 07 Agustus 2015

Ijtihad

Ijtihad dan Pembagiannya

الاجتحاد اصطلاحا : استفراغ الفقيه الوسع لتحصيل ظن بحكم شرعي

Ijtihad secara etimologi adalah sungguh-sungguh dalam mengerjakan suatu perbuatan, kata-kata ijtihad tidak dipakai kecuali pada perbuatan yang memang benar-benar susah. Sedangkan secara terminologi adalah mengerahkan semua kemampuan yang dimiliki oleh seorang fakih (pakar ilmu fikih) dalam melakukan riset dengan asumsi (dhan) yang kuat untuk menghasilkan ilmu pengetahuan.

Maksud dari mengerahkan semua kemapuan dari fakih sehingga mereka sampai kepada tingkatan dimana mereka akan sampai pada titik kelemahan yang mereka rasakan untuk melangkah lebih jauh. Kata-kata :
 استفراغ
merupakan jenis yang mencakup kepada Fakih dan Muqallid (orang yang mengikuti pendapat imam mazhab), oleh karena demikian, maka dikaitkan dalam definisi kata-kata الفقيه, supaya Muqallid tidak termasuk ke dalamnya. Pada definisi di atas juga tersebut kata-kata
 ظن
fungsinya adalah untuk mempertegas kalua riset yang dilakukan fakih itu bersifat Asumsi, yaitu pada masalah-masalah yang bersifat dhanniyah (belum pasti, masih bisa timbul beberapa kemungkinan), bukan Qat’iyyah (urusan yang sudah pasti), karena urusan yang Qat’iyyah tidak perlu ijtihad. Kemudian terakhir, dalam definisi juga disebut kata-kata
 بحكم شرعي
fungsinya adalah untuk memelihara dari ijtihad pada masalah yang bukan Hukum syar’i.

Fakih yang mengijtihad hukum di sebut Mujtahid. Mujtahid terbagi kepada beberapa tingkatan sesuai dengan sejauh mana jarak kemampuan mereka dalam ijtihad. Jika seorang mujtahid mampu untuk berijtihad pada masalah asal (kaidah) hukum dan furu’ (hukum itu sendiri) dari hukum tersebut, tidak taklid kepada seorangpun, langsung mengambil hukum dari Nash-nash syara’ dengan kaidah-kaidah yang mereka ciptakan sendiri, maka mereka dinamakan Mujtahid mutlak. Namun, jika mereka tidak sanggup, masih berpegang pada asal hukum dan furu’nya kepada orang lain, maka mereka dinamakan Mujtahid Muntasib atau Mujtahid Mazhab atau Mujtahid Fatwa, sesuai kesanggupan mereka dalam melakukan riset pada asal dan furu’ tersebut.

Kesimpulannya, Mujtahid terbagi kepada 5 tingkatan, sebagimana yang dibagi oleh Ibnu Shilah, dan diakui oleh Imam Nawawi dalam kitab Majmu’.
1. Mujtahid Mutlak
2. Mujtahid Muntasib.
3. Mujtahid Mazhab.
4. Mujtahid Fatwa dan Tarjih.
5. Hafidh lil Mazhab Al-mufti bih.

Demikianlah sedikit penjelasan tentang Ijtihad dan Mujtahid, Insyaallah pada kesempatan yang akan datang kami akan mengupas secara tuntas ke lima tingkatan Ijtihad tersebut, syarat, dan hal-hal lain yang berkaitan dengannya. Wallahua’lam.

Sumber :
Doktor Muhammad Hasan Haitu, Al ijtihad wa`Tabaqah Mujtahidi Syafiiyyah, hal. 15-16, Muassasah Risalah.

IJTIHAD

PERTANYAAN
apa yg dimaksUd dg ijtihad?
macam2 ijtihad?
syarat menjadi seorang mujtahid?

JAWABAN
Ijtihad adalah penggalian hukum dari teks-teks keagamaan baik berupa dari Qur'an maupun Sunah. Maka dari itu ijtihad merupakan upaya kerja keras yang bermodalkan intelektualitas dan kepiawaian metodologis dalam memahami interpretasi teks ajaran baik secara literal maupun kontekstual dengan menggunakan kaidah kaidah universal yang disesuaikan dengan prinsip-prinsip dasar syariah yang sering di sebut dengan maqoshid al - syari'ah.

Imam Syatibi dalam kitab al muwafaqot menyebutkan bahwa seseorang patut memperoleh predikat seorang Mujtahid jika seseorang tersebut dilengkapi dengan dua kemampuan yang memadai : Pertama, Faham Tujuan Syariat (Maqosid Al-Syariat) secara konprehensif

kedua, mampu menggali hukum dengan segala kemampuan intelektualitasnya dan pengetahuan yang memadai menyangkut tradisi dan kebiasaan masyarakat Arab sebagai masyarakat awal yang menjadi sasaran wahyu.

Lebih lanjut As-Syaukany dalam kitabnya Irsyadul Fuhul fi tahqiq ilm Al-Ushul menambahkan bahwa seorang mujtahid juga harus memenuhi syarat-syarat dalam berijtihad yang merupakan sebuah keharusan bagi seorang Mujtahid seperti : mengetahui tafsir ayat-ayat Ahkam dan Hadits-hadits ahkam secara konprehensif, memahami masalah Naskh Mansukh dari Qur'an dan Hadits, mengetahui masalah masalah yang menjadi consensus (ijma) ulama, Memahami Qiyas dan Syarat-syaratnya serta illat al-ahkam, metodologi dalam beristinbath dari teks, prinsip dasar syariat dan maslahah untuk seluruh ummat manusia, Memahami susastra Arab dari segi ilmu Nahwu, Shorof, Balaghoh, Bayan, Ma'ani. juga harus mahir dibidang Ilmu Ushul Fiqh dan maqoshid As-Syariah.

Gantung Siwure Mbah Manten
syarat2 nya antara lain
1. Mengetahui bahasa Arab sedalam dalamnya karena Al-Qur'an dan Hadits di turunkan Allah dalam bahasa Arab yang fasih yang mutunya tinggi dan pengertiannya luas dan dalam... disini bukan hanya mempelajari bahasanya saja, akan tetapi semua ilmu yang berkaitand dengan qo'idah bahasa Arab seperti Nahwu, shorof, Bayan, Badi', Balaghah, 'Arudh dan Qowafi.. karena dengan ilmu2 itu baru bisa diketahui yang mana dalam ayat ayat itu yg sifatnya umum, yg sifatnya husus, yg sifat nya perintah (suruhan) , yang larangan, yang pertanyaan, yang nash (nyata), yang majaz (tersirat), yang muthlaq, yang muqoyyad, yang berita, yang hikayat, dan lain lain.
Karna dalam Al-Qur'an sendiri ada ayat yang tampak lahirnya menyuruh tetapi hakikatnya melarang... seperti

I'MALUU MAA SYI'TUM INNAHU BIMAA TA'MALUUNA BASHIIR...

Brbuatlah apa yang kamu sukai, sesungguhnya Dia (Allah) selalu memperhatikan apa apa yang kamu kerjakan.....

pada zahirnya tampak merupakan suatu perintah, akan tetapi maksudnya adalah suatu larangan...

2. Mahir dalam hukum2 Al-Qur'an, yakni diketahui lebih dahulu mana di antara ayat Al-Qur'an yang umum sifatnya, yg khusus, yang mujmal, yang mubayyan, yang muthlaq, yg muqoyyad, yang nasikh, yang mansuukh, yang muhakkam, yang mutasyaabih dll ( harus mengetahui dan menguasai Ushuul Fiqh)

3.Mengerti akan isis dan maksud Al-Qur'an keseluruhannya, ke 30 juz nya serta hafal... karena dimungkin kan dalam memutuskan suatu masalah sering lupa dengan ayat lainnya sehingga keputusannya bertentangan dengan ayat lain.... jadi memang harus di rangkaikan semua dengan ayat 2 yang masih berkaitan...

4. Mengetahui azbaabun nuzuul bagi Al-Qur'an dan asbaabul wuruud bagi hadits...

5. Mengetahui hadits hadits Nabi , sekurang kurangnya apa yang telah termaktub dalam kitab kitab hadits yang 6 (shahih bukhary, shohih muslim,shohih tirmidzi, Sunan Nasaa'i, Sunan Abu Dawud, dan Sunan Ibnu Majah)
dan sebaiknya mengerti juga dengan hadits 2 yg trdapat dalam musnad Ahmad bin Hanbal, Mustadrak Hakim, Shohih Ibnu Hibban, Shohih thabrani, Daruqutni dll..

6. Berkemampuan menyisihkan mana hadits2 shohih, maudhu', hasan, Musalsal dll...

7. Mengerti dan tahu pula fatwa2 imam Mujtahid yang terdahulu dalam masalah masalah yang dihadapi... ini perlu agar tidak terjerumus kepada mengeluarkan hukium yang melawan Ijma' ..

8. Syarat yang Muthlaq yang harus di miliki seorang Imam Mujtahid adalah Pandai, mana mungkin mau memecahkan suatu masalah kalau dia tidak pandai... pandai dalam merangkaikan dan memecahkan suatu masalah...

PAHALA IJTIHAD


PERTANYAAN
Assalamualaikum.punten poro yai.. ust..  Dalam hal ijtihad aswaja ada prinsip "jika benar bernilai DUA dan jika salah bernilai SATU". Ini maqolah dari mana ? Hadits/atsar/qoul siapa ? Mohon dengan ibarohnya. Wassalam

JAWABAN
Wa'alaikum salam.Itu dasarnya dari hadits shohih riwayat Imam Bukhori dan Muslim

عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ « إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ, وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ »

Dari Sahabat Amr bin Ash, beliau mendengar Rosululloh Shollallohu alaihi wasallam bersabda:
“Apabila seorang hakim memberikan hukuman, ber-ijtihad kemudian benar, maka mendapatkan dua pahala.
Dan apabila seorang hakim memberikan hukuman, ber-ijtihad kemudian keliru, maka mendapatan satu pahala”.

- Imam Nawawi dalam Syarah Muslim (12/13)

قال العلماء : أجمع المسلمون على أن هذا الحديث في حاكم عالم أهل للحكم ، فإن أصاب فله أجران : أجر باجتهاده ، وأجر بإصابته ، وإن أخطأ فله أجر باجتهاده .
وفي الحديث محذوف تقديره : إذا أراد الحاكم فاجتهد ، قالوا : فأما من ليس بأهل للحكم فلا يحل له الحكم ، فإن حكم فلا أجر له بل هو آثم ، ولا ينفذ حكمه ، سواء وافق الحق أم لا ; لأن إصابته اتفاقية ليست صادرة عن أصل شرعي فهو عاص في جميع أحكامه ، سواء وافق الصواب أم لا ، وهي مردودة كلها ، ولا يعذر في شيء من ذلك

Para ulama' berkata :
" Telah menjadi ijma' bahwa hadits ini adalah untuk hakim yang alim dan ahli hukum, jika keputusannya benar maka dia mendapat 2 (dua) pahala yaitu pahala ijtihadnya dan pahala benarnya, jika salah maka dapat satu pahala yaitu pahala ijtihadnya saja".

Para ulama' juga berkata :
" Adapun bagi orang yang bukan ahli hukum maka tidak halal baginya untuk memberikan hukum, jika dia memberikan hukum maka tidak akan mendapatkan pahala malahan mendapatkan dosa, keputusan hukumnya tidak lestari baik keputusan tersebut cocok dengan kebenaran maupun tidak, karena jawaban benarnya hanyalah kebetulan saja dan tidak keluar dari asal syare'at maka dia termask bermaksiyat dalam segala keputusannya baik itu cocok dengan keputusan yang benar mapun tidak, hukum tersebut semuanya tertolak dan tidak ada udzur sama sekali."

Wallohu A'lam

Ahlus Sunnah wal Jamaah dan Ijtihad


Sebagian kecil masyarakat ada yang mengidentikkan pengertian Ahlus Sunnah wal Jamaah dengan masalah khilafiyah sekitar tahlil, talqin, qunut, bacaan ushalli dalam mengawali salat, dan lain sebagainya. Sebenarnya masalah yang terkait dengan Ahlus sunnah wal jamaah jauh lebih mendasar, bukan hanya permasalahan yang sering dipertentangkan sebagai khilafiyah tersebut. Karena itu kiranya generasi muda perlu mendapatkan pemahaman yang wajar tentang masalah ini guna menghindari pertikaian, perselisihan, dan percekcokan yang tidak diketahui permasalahan yang sebenarnya.

Asal kata

Nabi Muhammad saw dalam salah satu haditsnya bersabda bahwa umat Islam nantinya terpecah dalam berbagai kelompok yang berbeda pendapat sebanyak 73 golongan. Dari seluruh golongan tersebut, yang selamat, tidak di neraka, hanya satu yaitu yang disebut dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah,

Ketika ditanya tentang artinya, beliau menjawab singkat:

مَا اََنَا عَلَيْهِ اْليَوْمَ وَاَصْحَابِيْ

Segala yang aku berada di atasnya sekarang bersama para sahabatku, atau segala yang aku lakukan bersama sahabat-sahabatku.

Dari hadits tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa:

* istilah ahlus sunnah wal jamaah sudah pernah dipergunakan oleh Nabi saw sendiri.
* secara garis besar sudah diterangkan pula artinya.

Pengertian

Berdasar hadits tersebut dapat diuraikan pengertian sebagai berikut:

* Kata ahlun, ahlu atau ahli, berarti kaum atau golongan.
* Kata assunnah artinya tingkah laku, kebiasaan, ucapan, perbuatan atau sikap Nabi saw. Sama persis dengan arti hadits, bahkan ada pendapat bahwa assunnah lebih mendalam dari pada hadits, yaitu sikap yang berulang-ulang menjadi kebiasaan atau karakteristik.
* Kata wa atau wal adalah kata sambung, berarti "dan".
* Kata aljamaah, semula berarti kelompok. Dalam hal ini pengertiannya sudah mengkhusus menjadi kelompok sahabat Nabi. Istilah sahabat Nabi artinya sudah mengkhusus pula, yaitu mereka yang beriman kepada Nabi dan hidup sezaman atau pernah berjumpa dengan beliau.

Analisis

Arti kata demi kata tersebut dapat dianalisis sebagai berikut:

* Kata ahlu sudah jelas.

* Kata assunnah dalam arti sempit hanya mencakup hadits, belum mencakup al-Quran, sumber pertama dari ajaran Islam. Tetapi kalau diingat bahwa Nabi Muhammad saw sebagai utusan Allah tidak pernah seujung rambut pun berbeda sikap dengan firman Allah (al-Quran), maka dapat dipastikan bahwa mengikuti assunnah pasti mengikuti al-Quran. Bahkan al-Quran itu dapat sampai kepada kita melalui beliau. Jadi ahlussunnah pasti ahlul Quran, tidak bisa lain.

* Kata wa menunjukkan bahwa kedua hal yang disebut sebelum dan sesudahnya adalah sama, meskipun tidak sederajat.
* Kata aljamaah berarti para sahabat, terutama sahabat terkemuka. Mereka adalah orang-orang paling dekat dan selalu bersama Nabi. Mereka buka saja membaca atau mendengar sesuatu hadits, tetapi juga menghayati sesuatu yang tersurat pada hadits karena para sahabat, terutama sahabat terkemuka mengetahui:
o sebab musabab sesuatu hadits timbul,
o situasi pada saat timbul sesuatu hadits, dan
o hubungan sesuatu hadits dengan hadits yang lain, dengan ayat al-Quran, dengan kebiasaan atau tingkah laku Nabi sehari-hari dan sebagainya.

Kalau kita membaca sebuah hadits diibaratkan melihat sebuah potret, maka mereka lebih mengetahui obyek yang dipotret dan mengenal daerah sekitarnya, mengenal orang-orang yang ada pada potret itu. Mereka lebih menghayati hadits atau sunnah.

Faktor penghayatan mereka sangat penting sekali nilainya sebagai bahan pertimbangan utama untuk menyimpulkan sesuatu pendapat mengenai arti sesuatu hadits. Memang penghayatan atau pendapat para sahabat terkemuka tidak termasuk sumber hukum agama Islam sebagaimana al-Quran dan al-Hadits yang sahih. Tetapi mengabaikan atau meremehkan pendapat/penghayatan para sahabat terkemuka adalah suatu sikap yang kurang bijaksana. Apalagi kalau pengabaian atau peremehan hanya berdasar atas pendapat pihak yang meyakinkan penghayatan dan ketajaman analisisnya.

Bukan suatu hal yang mustahil ada sesuatu sikap atau tingkah laku Nabi yang dilihat dan dihayati oleh para sahabat terkemuka tetapi beritanya tidak sampai kepada kita. Mungkin tidak terbaca oleh kita, atau mungkin tidak tercatat oleh para pencatat hadits. Itulah antara lain sebabnya, masalah tarawih 20 rakaat, berdasar pendapat atau penghayatan sahabat Umar bin Khattab dan tidak ditentang oleh para sahabat lainnya diterima sebagai sesuatu yang benar. Demikian pula adzan dua kali untuk salat Jumat berdasar pendapat sahabat Utsman bin Affan. Sudah tentu nash sharih selalu didahulukan dari pendapat siapa pun.

Penilaian yang tinggi terhadap penghayatan para sahabat terbukti dengan bunyi hadits di atas, yang oleh Nabi sendiri dirangkaikan antara assunnah dengan aljamaah. Nabi pernah bersabda yang maksudnya bahwa para sahabatnya adalah ibarat bintang-bintang, yang dengan siapa saja kalau kamu sekalian mau ikut, maka kamu sekalian akan mendapat petunjuk. Meskipun demikian, tetaplah al-Hadits merupakan sumber kedua dari agama Islam di samping al-Quran, sedangkan penghayatan para sahabat terkemuka adalah petunjuk utama untuk mencapai garis kebenaran yang ada pada al-Quran dan al-Hadits.

Dengan pengertian inilah kata assunnah dengan aljamaa dirangkaikan. Assunnah diartikan sebagaimana diuraikan di atas, dan aljamaah diartikan penghayatan dan amalan para sahabat terkemuka sebagai petunjuk pembantu untuk mencapai ketepatan memahami dan mengamalkan assunnah. Oleh karena itu disimpulkan pengertian:

• assunnah wal jamaah: persis sama dengan

مَا اََنَا عَلَيْهِ اْليَوْمَ وَاَصْحَابِيْ

, yaitu:

1. ajaran yang dibawa, dikembangkan, dan diamalkan oleh Nabi Muhammad saw, dan
2. dihayati, diikuti, dan diamalkan pula oleh para sahabat.

* ahlussunnah wal jamaah ialah golongan yang berusaha selalu berada pada garis kebenaran assunnah wal jamaah.

Secara popular dan mudah, tetapi berbau reklame dan agitasi dapat dirumuskan bahwa ahlussunnah wal jamaah adalah golongan yang paling setia kepada Nabi Muhammad saw.

Proses perkembangan

Sinyalemen Nabi tentang golongan dan perbedaan yang timbul ternyata benar. Maklum, bahwa hal yang disabdakan oleh beliau selalu berdasar wahyu Allah. Setelah beliau wafat mulai timbul orang-orang yang kemudian menjadi kelompok dan golongan, yang berangsur-angsur membedakan diri, memisahkan diri, dan mulai menyimpang dari garis lurus assunnah wal jamaah.

Faktor utama yang menyebabkan pembedaan, pemisahan, dan penyimpangan ialah sikap tatharruf atau ekstrimisme, berlebih-lebihan di dalam memegang pendirian atau melakukan sesuatu perbuatan. Sebagaimana adat dunia, tiap ada yang berlebihan ke kanan, biasanya timbul pihak yang berlebihan ke kiri.

Hal yang menonjol dalam sejarah ialah kebangkitan golongan Syiah yang berlebihan mencintai famili Nabi, sehingga menyalahkan sahabat Abu Bakar ra dan lain-lain. Sikap berlebihan ini makin lama makin hebat dan menimbulkan tandingan yang berlebihan pula, tetapi berlawanan arah.

Kemudian muncul golongan Khawarij yang terlalu kaku, radikal. Semula mereka tergolong Syiah, tetapi ketika ada usaha kompromi antara Syiah dan anti Syiah, maka golongan ini melepaskan diri dan menamakan diri Khawarij. Kalau golongan Syiah dapat disebut terlalu emosional sentimental atau terlalu mengikuti perasaan, maka golongan Khawarij dapat disebut terlalu radikal anarkis yang memusuhi semua pihak, tidak mau diatur.

Pada zaman berikutnya muncul lagi golongan Mu'tazilah yang terlalu memuja akal, sehingga kalau ada dalil nash yaitu al-Quran dan al-Hadits yang tidak atau kurang sesuai dengan selera pikiran, maka dipaksakan penafsiran menurut selera mereka yang terlalu rasionalistis.

Semula perbedaan atau penyimpangan kecil, makin lama membesar dan makin parah. Tiap penyimpangan disusul dengan penyimpangan, bercabang-cabang menjadi semrawut.

Hal-hal lain yang menambah keparahan perbedaan atau penyimpangan, bahkan penyelewengan dan bentrokan adalah:

* Kepentingan famili, politik, dan kekuasaan, Kepentingan politik telah menimbulkan golongan pro dan kontra Utsman bin Affan dan Ali bin Abu Thalib, berkelanjutan dengan golongan Umawiyah dan Abbasiyah.

* Infiltrasi kaum munafik yang berpura-pura Islam. Infiltrasi kaum munafik secara halus telah banyak menimbulkan pertentangan antara lain pernah ada 'anti Aisyah'.

* Sisa-sisa kepercayaan lama dan israiliyat yang sedikit banyak masih ada pada pemeluk Islam baru dari berbagai unsur seperti Majusi, Yahudi, Nasrani, dan lain-lain terselundup di kalangan kaum muslimin baik disengaja maupun tidak. Dongeng-dongeng yang tidak ada dasarnya dalam Islam adakalanya dianggap seperti dari Islam.

* Pengaruh filsafat barat, Yunani. Filsafat Yunani yang diungsikan dari barat karena dimusuhi oleh kaum Masehi banyak diterima, diterjemahkan, dan dikembangkan oleh sarjana-sarjana Islam. Disamping kemajuan berpikir yang positif, hal ini berakibatsampingan timbul sikap terlalu akal-akalan sehingga akidah Islam yang mudah dan logis menjadi rumit dan sulit.

Disamping penyimpangan dan penyelewengan yang semrawut, masih cukup kuat dan besar kaum muslim yang tetap berada pada jalan lurus dengan tokoh para ulama shalihin mukhlishin, ahli agama yang beramal saleh dan yang ikhlas. Mereka juga disebut ulama salaf yang berusaha, berjuang, dan bekerja keras memelihara, mempertahankan, menyiarkan, dan mengembangkan assunnah wal jamaah serta membentengi umat Islam dari unsur-unsur penyelewengan.

Prinsip kebenaran

Selain perjuangan praktis insidental mengajarkan assunnah wal jamaah dan menolak serangan atau penyelewengan, mereka juga berusaha keras mempersenjatai umat Islam dengan prinsip, metoda, dan haluan untuk tetap berada pada garis kebenaran assunnah wal jamaah agar terbentengi dari penyelewengan. Metoda, haluan atau pedoman dimaksud antara lain:

* nash yang qath'iy, yaitu al-Quran dan hadits sahih yang jelas tegas artinya selalu didahulukan.

* ar-ra'yu, akal pikiran dipergunakan dalam hal nash tidak qath'iy atau tidak ada /nash/nya.

* penggunaan ar-ra'yu untuk menyimpulkan hukum agama yang lazim disebut ijtihad hanya dilakukan oleh mereka yang memenuhi syarat yang ketat supaya hasilnya selalu berada pada garis kebenaran assunnah wal jamaah.

* bagi yang tidak mampu memenuhi syarat tersebut dipersilakan mengikuti hasil ijtihad para ahli yang memenuhi syarat.

* sikap tawassuth yaitu sikap tegak lurus yang tidak membelok ke kanan atau ke kiri dan sikap tawazun yaitu sikap berkeseimbangan yang tidak berat sebelah harus selalu menjadi pedoman dalam segala hal ketika menghadapi segala masalah agar tidak terjerumus kepada penyelewengan.

Metoda yang dibekalkan oleh para ulama salaf, shalihin, mukhlishin kepada umat Islam adalah agar selalu berada pada garis kebenaran assunnah wal jamaah. Tokoh paling terkenal di kalangan Islam yang pendapat dan hasil ijtihadnya diakui oleh dunia Islam sepanjang sejarah sebagai pendapat yang berada pada garis kebenaran assunnah wal jamaah antara lain:

* Bidang akidah, tauhid, atau kepercayaan: Imam Abul Hasan al-Asy'ariy dan Imam Abu Mansur al-Maturidiy.

* Bidang syariah, fikih, atau hukum: Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafi'iy, dan Imam Hambali.

Sebenarnya masih banyak lagi selain yang disebut di atas, namun merekalah yang paling terkenal yang pendapat, hasil ijtihadnya, dan hasil perumusannya dapat dibukukan serta dipelajari sampai sekarang.

Argumentasi

Berdasarkan pedoman yang telah dibekalkan oleh para ulama salaf shalihin mukhlishin tersebut dapat dikemukakan argumentasi:

1. Nash qath'iy yang harus didahulukan sebelum penggunaan akal pikiran adalah memang sudah menjadi konsekuensi wajar atas syahadat kita, yaitu bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah yang membawa konsekuensi taat kepada al-Quran; dan bersaksi bahwa Nabi Muhammad utusan Allah yang membawa konsekuensi taat kepada al-Hadits.

2. Ar-ra'yu yang dipergunakan adalah berdasar hadits ketika Nabi Muhammad saw mengutus sahabat Muadz bin Jabal ke Yaman. Sahabat tersebut memberikan jawaban atas ujian yang dilakukan oleh Nabi, bahwa ia akan selalu memberikan hukum berdasar al-Quran dan al-Hadits; kalau tidak ditemukan maka dia akan berijtihad yaitu menggunakan ra'yu. Nabi membenarkan jawaban sahabat Muadz.

3. Penggunaan ar-ra'yu yang harus dilakukan dengan memenuhi syarat ketat adalah wajar, karena dalam hal ini yang dicari bukanlah hal-hal duniawi tetapi hukum agama yang membawa konsekuensi ukhrawi. Hadits Nabi menerangkan bahwa barang siapa menafsirkan al-Quran dengan pendapat atau selera sendiri, maka baginya disiapkan tempat di neraka. Kesembronoan dalam menggunakan ra'yu atau ijtihad akan membawa konsekuensi yang berat, bukan saja dosa akibat salah karena sembrono, tetapi juga dosa para pengikutnya yang harus terpikul.

4. Keharusan seseorang yang tidak mampu memenuhi syarat berijtihad sendiri dan dipersilakan untuk mengikuti pendapat para ahli agama yang ahli ijtihad adalah wajar. Orang yang tidak tahu harus bertanya kepada yang tahu, yang tidak ahli harus bertanya kepada yang ahli. Firman Allah dalam al-Anbiya' ayat 7 yang artinya:
Bertanyalah kepada ahli agama kalau kamu sekalian tidak tahu.

Siapakah yang ahli agama itu? Mereka adalah para ulama mujtahidin, yang memenuhi persyaratan ijtihad dan hasil ijtihadnya dapat diketahui dengan mudah karena terbukukan dengan lengkap. Mengikuti hasil ijtihad ahli agama inilah yang disebut bermadzhab atau taklid.

5. Umat Islam yang harus bersikap tawassuth, jalan tengah lurus, dan tawazun, berkeseimbangan, adalah memang watak atau karakteristik agama Islam dan demikian pula perintah Allah. Banyak ayat yang menunjukkan karakteristik Islam dan kaum muslim. Hal ini juga dapat dibuktikan bahwa tiap kebenaran itu selalu berada di tengah-tengah antara dua kesalahan. Kebenaran selalu berada pada yang berkeseimbangan. Sikap tawassuth dan tawazun adalah karakteristik yang menonjol bagi ahlus sunnah wal jamaah dalam semua bidang. Bahkan gaya hidup dan kehidupannya ditandai dengan karakter ini. Sudah barang tentu sikap tawassuth harus tidak menyeleweng dari kaidah agama yang lebih mutlak.

Perilaku ahlus sunnah wal jamaah


Seorang ahlus sunnah wal jamaah dalam realisasi kongkrit berperilaku sebagai berikut:

1. Mula-mula belajar pada seorang ulama atau guru agama yang memberikan pelajaran berdasar atas hasil ijtihad seorang mujtahid dan menerima kebenaran semua pelajaran tersebut.
2. Kemudian mempelajari dalil yang menjadi dasar pelajaran tersebut sehingga lebih mantap.
3. Bagi yang berkemampuan atau berkesempatan dapat dilanjutkan dengan memperbanding sesuatu pedapat dengan pendapat lain, menilai argumentasinya dan seterusnya.
4. Mungkin kalau benar-benar dapat mencapai syarat-syarat kemampuan dan keikhlasan dapat berijtihad sendiri. Tetapi pada umumnya hanya sampai kepada kemampuan 'punya pendapat' sendiri di dalam satu hal tetapi masih dalam rangkaian pendapat para mujtahid sebelumnya.
5. Berhati-hati dalam mengemukakan sesuatu pendapat sendiri karena harus pula mengakui kekuatan pendapat pihak lain sehingga selalu bersikap toleran, tawassuth, dan tawazun.

Dengan berbekal pedoman dari ulama salaf dalam proses pembinaan yang berabad-abad lamanya, terwujudlah golongan yang lazim disebut kaum kiyahi dengan santri-santrinya yang pada umumnya disebut dan menyebut diri ahlus sunnah wal jamaah. Suatu sebutan yang sama sekali tidak salah, tetapi harus segera diingatkan bahwa ahlus sunnah wal jamaah tidaklah terbatas hanya pada mereka saja. Mereka dengan tekun dan penuh disiplin ketat belajar dan memperdalam ilmu agama Islam serta pengamalannya menurut garis assunnah wal jamaah. Tetapi setiap muslim dapat menjadi ahlus sunnah wal jamaah yang baik asal mau mengikuti jejak dan mengikuti bekal yang diberikan oleh ulama salaf, tokoh pembela dan pejuang assunnah wal jamaah. Dengan mengikuti jejak mereka kita akan tetap berada di atas garis kebenaran assunnah wal jamaah.

Anggapan bahwa ahlus sunnah wal jamaah tidak menggunakan akal pikirannya, hanya bertaklid buta saja, adalah suatu anggapan yang keliru. Anggapan bahwa kaum kiyahi dan santri tidak tahu dalil sesuatu masalah, hanya ikut-ikutan saja adalah anggapan yang tidak sesuai dengan kenyataan.

Mungkin di kalangan mereka masih sedikit orang yang pandai berkomunikasi, berdialog, dan menyampaikan pikirannya dalam media massa modern seperti buku, majalah, dan sebagainya dengan menggunakan bahasa banyak dan mudah dipahami oleh masyarakat yang disebut masyarakat modern. Mereka lebih mengarahkan sasaran komunikasinya di kalangan intern. Hal ini merupakan tantangan bagi ahlus sunnah wal jamaah dan juga bagi semua pihak agar komunikasi menjadi lebih lancar, lebih terbuka, dan lebih baik. Saling pengertian yang lebih baik secara timbal balik sangat diperlukan.

Kaum muslim di Indonesia wajib melipatgandakan rasa syukur kepada Allah, karena pada umumnya tidak terdapat perbedaan pendapat yang besar dalam masalah keagamaan. Hal yang perlu kita garap adalah penyempurnaan kehidupan beragama kita, bukan mempertajam perbedaan pendapat. Untuk itu perlu memperdalam pengetahuan dan memperbanyak amal keagamaan, bukan perdebatan yang emosional. Diharapkan pengertian bagi generasi muda Islam terhadap hal seperti ini agar tidak membuat sempalan sendiri dengan jaringan liberal.

Berijtihad vs bermadzhab


Berbicara tentang ahlus sunnah wal jamaah lazim dikaitkan dengan masalah ijtihad dan madzhab. Memang kedua hal tersebut ada hubungannya. Ijtihad yang pada uraian yang lalu diartikan juga penggunaan ra'yu adalah usaha keras untuk menyimpulkan hukum agama atas sesuatu hal berdasar dari al-Quran dan/atau hadits, karena hal yang dicari hukumnya tidak ada nash yang sharih, jelas, tegas, atau qath'iy, pasti.

Ijtihad adalah usaha yang diperintahkan oleh agama Islam untuk mendapat hukum sesuatu yang tidak ada nash sharih dan qath'iy dalam al-Quran dan/atau hadits. Ijtihad dilakukan dengan beberapa metoda, yang paling terkenal adalah cara qiyas atau analogi dan ijma' atau kesepakatan para mujtahidin. Hasil berijtihad yang berwujud pendapat hukum itulah yang disebut madzhab yang asal artinya tempat berjalan.

Hasil ijtihad atau madzhab seorang mujtahid biasanya diterima dan diikuti oleh orang lain. Sementara orang lain yang tidak berkemampuan berijtihad sendiri yang menerima dan mengikuti hasil ijtihad disebut bermadzhab kepada mujtahid tersebut. Ibaratnya yang berijtihad adalah produsen dan yang bermadzhab adalah konsumen.

Persyaratan ijtihad


Sebagaimana diuraikan sebelumnya, menurut ahlus sunnah wal jamaah bahwa ijtihad atau penggunaan ra'yu dalam menyimpulkan hukum agama harus disertai persyaratan yang ketat agar hasilnya tidak menyalahi assunnah wal jamaah. Persyaratan ijtihad cukup banyak, tetapi pada pokoknya adalah:

1. Kemampuan ilmu agama dengan al-Quran dan al-Hadits dan segala kelengkapannya seperti bahasa Arab, tafsir, dan lain-lain.
2. Kemampuan menganalisis, menghayati, dan menggunakan metoda kaidah yang dapat dipertanggungjawabkan.
3. Semuanya dilakukan atas dasar akhlak atau mental yaitu keikhlasan mengabdi kepada Allah dalam mencari kebenaran, bukan sekedar mencari-cari argumentasi untuk membenar-benarkan kecenderungan selera dan nafsu atau kepentingan lain.

Jika dikomparasikan dengan produsen, persyaratan yang diperlukan adalan memiliki bahan baku, pengetahuan tentang bahan, dan teknologi yang benar untuk menghasilkan produksi yang benar dan bermanfaat. Kiranya tidak sulit dipastikan bahwa tidak semua orang dapat dan mampu melakukan ijtihad. Padahal semua orang Islam sudah harus melakukan perintah dan menjauhi larangan Allah, meskipun belum mampu berijtihad. Karena itu ada dua alternatif:

* Berijtihad sendiri, yang dapat dilakukan oleh mereka yang memenuhi persyaratan. Jumlah mereka sangat sedikit.
* Menerima dan mengikuti hasil ijtihad atau madzhab orang lain, yang dapat dilakukan oleh semua orang. Kenyataan juga menunjukkan bahwa hampir semua orang Islam melakukannya, setidak-tidaknya pada waktu permulaan yang cukup panjang, bahkan seumur hidup karena tidak pernah mencapai kemampuan untuk berijtihad sendiri.

Mungkin ada orang yang merasa mampu berijtihad sendiri. Tetapi kalau diteliti, seringkali baru mencapai taraf 'merasa' mampu, namun belum benar-benar mampu. Oleh karena itu ahlus sunnah wal jamaah mengambil haluan bermadzhab bagi kebanyakan kaum muslimin, yang dapat dilakukan oleh semua orang.

Bermadzhab sering disebut dengan bertaklid. Pengertian taklid hendaknya jangan digambarkan seperti kerbau yang dicocok hidungnya, taklid buta, atau membuta tuli tanpa ada kesempatan menggunakan akal pikiran, tanpa boleh mempelajari dalil al-Quran dan al-Hadits. Pada taraf permulaan memang demikian. Setiap pelajaran yang diberikan oleh ulama, kiyahi, serta guru hendaknya diterima dan diikuti. Selanjutnya setiap muslim didorong dan dianjurkan untuk mempelajari dalil dan dasar pelajaran tersebut dari al-Quran dan al-Hadits.

Bermadzhab bukanlah tingkah laku orang bodoh saja, tetapi merupakan sikap yang wajar dari seorang yang tahu diri. Ahli hadits paling terkenal, Imam Bukhari masih tergolong orang yang bermadzhab Syafi'iy. Jadi, ada tingkatan bermadzhab. Makin tinggi kemampuan seseorang, makin tinggi tingkat bermadzhabnya sehingga makin longgar keterikatannya, dan mungkin akhirnya berijtihad sendiri.

Ada alternatif lain yang disebut ittiba', yaitu mengikuti hasil ijtihad orang lain dengan mengerti dalil dan argumentasinya. Beberapa hal yang dapat dikemukakan tentang ittiba' antara lain:

* Usaha untuk menjadikan setiap muslim dapat melakukan ittiba' adalah sangat baik, wajib didorong dan dibantu sekuat tenaga. Namun mewajibkan ittiba' atas setiap muslim dengan pengertian bahwa setiap muslim harus mengerti dan mengetahui dalil atau argumentasi semua hal yang diikuti kiranya tidak akan tercapai. Kalau sudah diwajibkan, maka yang tidak dapat melakukannya dianggap berdosa. Jika demikian, berapa banyak orang yang dianggap berdosa karena tidak mampu melakukan ittiba'?
* Sebenarnya ittiba' adalah salah satu tingkat bermadzhab atau taklid yang lebih tinggi sedikit. Dengan demikian hanya terjadi perbedaan istilah, bahwa ittiba' tidak diwajibkan, melainkan sekedar anjuran dan didorong sekuat tenaga.

Kalau kita hayati kenyatannya, perbedaan faham mengenai masalah ijtihad dan taklid atau bermadzhab lebih banyak bersifat teoritis saja, sedangkan dalam praktek tidak banyak berbeda. Tak ada pihak anti ijtihad dan anti bermadzhab dalam arti murni dan mutlak. Pihak yang menamakan diri golongan bermadzhab sesungguhnya ingin juga mampu berijtihad karena hal tersebut diperintahkan agama sebagaimana disebut dalam hadits. Namun ketahudirian dan melihat kenyataan kemampuan yang dimiliki, ditempuhlah jalan yang lebih selamat dari kekeliruan di bidang agama yang membawa konsekuensi ukhrawi dan hal tersebut dapat dipertanggungjawabkan serta dibenarkan berdasar al-Quran dan al-Hadits. Jalan tersebut adalah sistem bermadzhab.

Pihak yang menamakan diri sebagai golongan ijtihad sebenarnya dalam kenyataannya tidak mampu berijtihad sendiri. Mereka tetap mengikuti hasil ijtihad orang lain juga, melepaskan diri dari madzhab lama dan mengikuti madzhab baru. Di antara mereka ada yang dapat mengerti atau mengetahui beberapa dalil serta argumentasi 'hasil ijtihad' baru, tetapi lebih banyak yang tidak mengetahuinya.

Pertentangan yang timbul biasanya tidak bertitik tolak pada inti masalah, namun sudah berada di luarnya. Permasalahan yang timbul sering disebabkan ulah dan sikap mereka yang sok tahu, tetapi sebenarnya mereka tidak tahu apa-apa.

Penyakit lain di kalangan umat Islam yang sangat mengganggu usaha kerukunan umat adalah terlalu berorientasi atau berkiblat kepada kepentingan golongan dan kurang berorientasi kepada pendirian keagamaan dan kepada agama. Upaya yang dilakukan adalah terlalu ingin memenangkan golongan masing-masing atau orang-orang di dalam golongan tersebut dan kurang terarah kepada kemenangan agama Islam dan pendirian keagamaan. Mereka akhirnya merasa puas kalau berhasil menyingkirkan golongan atau orang lain dan dapat merebut posisinya tanpa banyak memikirkan apakah posisi tersebut menguntungkan atau merugikan umat dan agama.

Penyakit yang sangat parah tersebut menghasung upaya pembinaan generasi muda yang penuh pengertian atas tanggung jawabnya pada masa depan. Penanganan dan pemupukan serta pengembangan bibit pengertian ke arah persatuan umat mutlak diperlukan demi kejayaan umat masa depan. Di tengah kerisauan menghadapi masalah generasi muda yang terkadang merisaukan kiranya perlu dipelihara sikap optimisme. Jika sikap optimisme hilang, maka menyebabkan kehilangan antusiasme, semangat, dan gairah yang berakibat kehilangan segala-galanya.

Sepanjang sejarah, tiap generasi tua yang pasti akan mengakhiri kiprahnya dalam peredaran zaman selalu melihat dengan telti kesalahan generasi muda yang akan menggantikan dengan penuh rasa khawatir. Kekhawatiran seperti itu adalah wajar, namun tidak boleh berlebihan yang dapat mengarah kepada peremehan, tidak percaya kepada generasi muda yang pasti akan menggantikan.

Karena itu generasi tua yang sadar akan memberikan bimbingan dengan penuh kasih sayang dan penuh kepercayaan. Dengan demikian tidak perlu meremehkan dan mencurigai generasi muda. Keberhasilan generasi tua dapat diceritakan, namun kegagalannya tidak boleh disembunyikan. Hal ini dimaksudkan untuk membuat generasi muda dapat mengambil pelajaran secara wajar, baik dari sisi keberhasilan maupun kegagalan atau kebelumberhasilan generasi tua. Keberhasilan perlu dikembangkan dan kegagalan perlu dipelajari penyebabnya serta dicari solusi agar dapat keluar dari kegagalan.

Reorientasi agamawi

Salah satu hal yang dipandang belum berhasil adalah kerukunan umat secara mantap. Berulangkali umat Islam Indonesia berhasil membentuk wadah kerukunan, namun belum berhasil memelihara dan mengembangkannya secara mantap. Melihat gelagat yang dapat dibaca dari situasi dunia Islam pada umumnya dan kaum muslimin Indonesia khususnya, kita dapat menancapkan harapan bahwa proses sejarah mengarah kepada masa depan Islam yang gemilang.

Terkadang kita perlu prihatin melihat beberapa kondisi yang tidak mengenakkan, terutama melihat posisi berbagai organisasi Islam, meski potensi sesuatu umat tidak hanya bergantung kepada posisi organisasinya saja. Banyak faktor lain yang ikut menentukan potensi tersebut.

Mari kita coba untuk merenungkan diri kembali. Orientasi umat Islam yang selama ini terpencar dan berserakan kiranya perlu dikembalikan ke pusatnya, yaitu masalah agamawi, atau berorientasi agamawi. Kita perlu berusaha dan bekerja keras, belajar, dan berupaya meningkatkan potensi agama Islam di Indonesia.

Perjuangan untuk menumbuhkan, memelihara, dan mengembangkan potensi agama dan umat bukan hanya tugas satu generasi saja. Perjuangan adalah tugas seluruh generasi secara berkesinambungan. Generasi tua harus sadar bahwa umur dan kesempatan sudah hampir pupus dan pada gilirannya pasti habis. Kemudi dan tanggung jawab pasti beralih ke tangan generasi muda, bagaimana pun kondisi generasi muda saat ini.

Karena itu kiranya perlu menjadikan generasi muda sebagai manusia sejarah dan manusia pejuang yang sanggup berdiri sendiri. Mereka tidak boleh menjadi anak-anak yang hanya pandai membanggakan hasil karya nenek moyangnya. Pepatah Arab mengatakan:

اِنَّ الْفَتَى مَنْ يَقُوْلُ هَا اَنَا ذَا * لَيْسَ الْفَتَى مَنْ يَقُوْلُ كَانَ اَبِيْ ...

Generasi muda ialah mereka yang berani berkata: "Inilah aku!", bukan mereka yang hanya dapat berkata: "Aku keturunan tokoh anu ..."

Kesimpulan

1. Ahlus sunnah wal jamaah adalah golongan yang selalu berusaha tetap di atas garis kebenaran assunnah wal jamaah, yaitu yang mempergunakan dasar al-Quran dan al-Hadits sebagai sumber utama agama Islam serta penghayatan para sahabat terkemuka sebagai petunjuk untuk mencapai garis kebenaran yang ada pada al-Quran dan al-Hadits.

2. Penggunaan ar-ra'yu atau akal untuk menyimpulkan hukum agama atas sesuatu masalah yang tidak ada nash sharih/jelas dalam al-Quran dan al-Hadits disebut dengan ijtihad; yang dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain qiyas/analogi dan ijmak atau kesepakatan para mujtahid. Karena hanya sedikit orang yang mampu memenuhi persyaratan mujtahid, maka ada alternatif untuk menerima dan mengikuti hasil ijtihad orang lain yang disebut dengan bermadzhab.

3. Generasi muda perlu memahami akar masalah antara mampu berijtihad, merasa mampu berijtihad, atau tahu diri tentang kemampuannya dalam memahami masalah agama agar tidak terjadi pertikaian dan membuat kelompok-kelompok baru yang menyendiri.

4. Generasi tua perlu memberikan bimbingan terhadap generasi muda yang pada gilirannya akan menggantikan kemudi dalam perjalanan sejarah berikutnya, bagaimanapun kondisi keberagamaan generasi mudanya saat ditinggalkan.

Ijtihad Unik dalam Fiqih Puasa Madzhab Zahiri


Muqaddimah
Barangkali pembaca akan terasa asing dengan sebuah pendapat fiqih yang menyatakan bahwa seorang anak laki-laki batal wudhunya saat bersentuhan dengan ibu kandungnya. Atau seorang ayah batal wudhunya saat bersentuhan dengan putri kandungnya. Atau seorang kakak laki-laki batal wudhunya saat bersentuhan dengan adik kandung perempuannya. Walaupaun putri kandung ataupun adik perempuan kandung tersebut belum sampai pada usia baligh.
Pendapat tersebut bukanlah asal pendapat yang tidak berlandaskan kepada satu dalilpun. Madzhab Zahiri sebagai pengusung pendapat tersebut justru mendasarkan ijtihad mereka pada dalil tertinggi dalam urutan sumber-sumber fiqih. Dalil yang digunakan dalam kasus ini adalah ayat 43 dari surat An-Nisa atau ayat 6 dari surat Al-Maidah. Dalam dua ayat tersebut secara jelas Allah SWT menyebutkan salah satu pembatal wudhu adalah bersentuhan dengan wanita, tanpa ada pengecualian ibu kandung, putri kandung, saudari kandung dan lain sebagainya. Demikian juga tidak ada penjelasan tentang syarat sudah baligh atau belum, atau harus merasakan nikmat atau tidak saat bersentuhan.
Sebagai contoh lain, ada sebuah hadits sahih riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim, “Janganlah salah seorang diantara kalian kencing di dalam air diam yang tidak mengalir, kemudian mandi di dalamnya”, dalam riwayat lain, “kemudian dia berwudhu di dalamnya”. Dengan mendasarkan pada hadits sahih ini, dan yang terlarang adalah kencing di dalam air yang diam tidak mengalir, maka mereka berpendapat bahwa kalau ada orang kencing di luar air diam tersebut, namun ternyata mengalir dan masuk kedalam air yang diam itu, maka air tersebut tetap suci dan boleh digunakan untuk berwudhu.
Contoh kasus yang lain adalah hadits sahih riwayat imam Bukhari yang menyatakan bahwa diamnya anak perempuan yang hendak dinikahkan adalah bentuk izin dan kesepakatannya. Maka, dalam pandangan madzhab Zahiri, kalau anak perempuan tersebut malah mengatakan, “saya sepakat”, pernikahan tidak boleh terjadi karena menyalahi hadits Nabi. Karena perempuan tersebut tidak diam.
Kasus-kasus diatas adalah sebagian kecil contoh pemikiran fiqih Zahiri yang bisa kita baca dalam kitab Al Muhalla yang ditulis oleh salah satu ulama besar mereka yaitu Ibnu Hazm (w. 456 H). Kalau kita amati secara seksama, apa yang dihasilkan oleh ijtihad Ibnu Hazm, tidaklah berpunggungan atau bertentangan dengan lahiriah teks Al-Qur’an maupun hadits-hadits sahih yang disebutkan. Karena memang demikianlah bunyi lahir al-Qur’an dan Haditsnya. Ibnu Hazm benar-benar mengikuti perintah Nabi SAW. Namun, apakah memang demikian maksud dari Al-Qur’an maupun Hadits-hadits Nabi ?
Fiqih Puasa Madzhab Zahiri
Sebagaimana dalam pembahasan fiqih Taharah dan Nikah diatas, dalam pembahasan fiqih Puasa yang terdapat pada kitab Al Muhalla, kita juga bisa mendapati ijtihad-ijtihad unik yang dilakukan oleh Ibnu Hazm yang seringkali berbeda dengan pendapat mayoritas ulama. Berikut ini beberapa contohnya :
1. Yang Penting Niat
Dalam pembahasan ke-729 Ibnu Hazm mengatakan :
وَمَنْ نَسِيَ أَنْ يَنْوِيَ مِنْ اللَّيْلِ فِي رَمَضَانَ فَأَيُّ وَقْتٍ ذَكَرَ مِنْ النَّهَارِ التَّالِي لِتِلْكَ اللَّيْلَةِ - سَوَاءٌ أَكَلَ وَشَرِبَ وَوَطِئَ أَوْ لَمْ يَفْعَلْ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ - فَإِنَّهُ يَنْوِي الصَّوْمَ مِنْ وَقْتِهِ إذَا ذَكَرَ، وَيُمْسِكُ عَمَّا يُمْسِكُ عَنْهُ الصَّائِمُ، وَيُجْزِئُهُ صَوْمُهُ ذَلِكَ تَامًّا، وَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ، وَلَوْ لَمْ يَبْقَ عَلَيْهِ مِنْ النَّهَارِ، إلَّا مِقْدَارُ النِّيَّةِ فَقَطْ، فَإِنْ لَمْ يَنْوِ كَذَلِكَ فَلَا صَوْمَ لَهُ، وَهُوَ عَاصٍ لِلَّهِ تَعَالَى مُتَعَمِّدٌ لِإِبْطَالِ صَوْمِهِ، وَلَا يَقْدِرُ عَلَى الْقَضَاءِ.
“Orang yang lupa untuk niat puasa pada malam hari bulan Ramadhan, -kapanpun ia mengingatnya di waktu siang setelah malam itu, baik (mengingatnya) setelah makan, minum, atau jimak atau (mengingatnya) sebelum melakukan itu semua-, maka dia harus niat di waktu dia mengingatnya lalu harus menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa. Puasanya ini telah dianggap sah secara sempurna tanpa ada kewajiban qadha (mengganti) atasnya, meskipun tidak tersisa dari waktu puasa di siang hari itu kecuali satu durasi yang hanya cukup untuk melakukan niat saja. Jika dia tidak melakukan niat itu, maka puasanya tidak sah dan dianggap bermaksiat kepada Allah SWT dan telah menyengaja membatalkan puasa yang tidak mungkin bisa untuk diqadha”.
2. Puasa Sunnah Juga Wajib Niat di Malam Hari
وَلَا يُجْزِئُ صَوْمُ التَّطَوُّعِ إلَّا بِنِيَّةٍ مِنْ اللَّيْلِ، وَلَا صَوْمُ قَضَاءِ رَمَضَانَ، أَوْ الْكَفَّارَاتِ إلَّا كَذَلِكَ، لِأَنَّ النَّصَّ وَرَدَ بِأَنْ لَا صَوْمَ لِمَنْ لَمْ يُبَيِّتْهُ مِنْ اللَّيْلِ كَمَا قَدَّمْنَا
“Tidaklah sah puasa sunnah kecuali dengan adanya niat di malam hari. Demikian juga puasa qadha ramadhan, puasa kaffarat. Hal demikian karena nash yang ada menyatakan bahwa tidak sah puasa seseorang yang tidak menginapkan niatnya dari malam hari (sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya)”
Kali ini Ibnu Hazm tidak zahiri. Hadits Aisyah yang ditanya oleh Rasulullah SAW apakah ada sesuatu yang bisa dimakan atau tidak, kemudian beliau memutuskan untuk berpuasa karena ternyata tidak ada, justru dimaknai tidak sebagaimana mayoritas ulama memaknainya.
3. Maksiat dengan Sengaja juga Membatalkan Puasa
وَيُبْطِلُ الصَّوْمَ أَيْضًا تَعَمُّدُ كُلِّ مَعْصِيَةٍ - أَيِّ مَعْصِيَةٍ كَانَتْ، لَا نُحَاشِ شَيْئًا - إذَا فَعَلَهَا عَامِدًا ذَاكِرًا لِصَوْمِهِ
“Yang juga membatalkan puasa adalah sengaja melakukan maksiat dalam bentuk apapun tanpa kita kecualikan. Hal itu jika dilakukannya sengaja dan dalam kondisi sadar akan puasanya”
Jadi lirikan sengaja mata seseorang yang sedang berpuasa kepada hal-hal yang Allah SWT haramkan, dalam pandangan madzhab zahiri membatalkan puasanya.
4. Safar Membatalkan Puasa
وَمَنْ سَافَرَ فِي رَمَضَانَ - سَفَرَ طَاعَةٍ أَوْ [سَفَرَ] مَعْصِيَةٍ، أَوْ لَا طَاعَةَ وَلَا مَعْصِيَةَ - فَفَرْضٌ عَلَيْهِ الْفِطْرُ إذَا تَجَاوَزَ مِيلًا، أَوْ بَلَغَهُ، أَوْ إزَاءَهُ، وَقَدْ بَطَلَ صَوْمُهُ حِينَئِذٍ لَا قَبْلَ ذَلِكَ، وَيَقْضِي بَعْدَ ذَلِكَ فِي أَيَّامٍ أُخَرَ
“Orang yang bepergian di bulan Ramadhan baik dalam rangka ketaatan maupun kemaksiatan, atau bukan dalam rangka ketaatan atau kemaksiatan, maka wajib baginya untuk berbuka jika telah melampaui, mencapai tepat, atau sekitar satu mil. Jika sudah mencapai itulah dia batal puasanya dan bukan sebelum itu. Dan wajib atasnya untuk mengqadha di hari-hari yang lain”
5. Wajib Berbuka dengan Kurma atau Air
وَيَجِبُ عَلَى مَنْ وَجَدَ التَّمْرَ أَنْ يُفْطِرَ عَلَيْهِ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَعَلَى الْمَاءِ وَإِلَّا فَهُوَ عَاصٍ لِلَّهِ تَعَالَى إنْ قَامَتْ عَلَيْهِ الْحُجَّةُ فَعَنَدَ وَلَا يَبْطُلُ صَوْمُهُ بِذَلِكَ؛ لِأَنَّ صَوْمَهُ قَدْ تَمَّ وَصَارَ فِي غَيْرِ صِيَامٍ؛ وَكَذَلِكَ لَوْ أَفْطَرَ عَلَى خَمْرٍ، أَوْ لَحْمِ خِنْزِيرٍ، أَوْ زَنَى؛ فَصَوْمُهُ تَامٌّ وَهُوَ عَاصٍ لِلَّهِ تَعَالَ
“Bagi orang yang memiliki kurma, maka wajib atasnya untuk berbuka dengannya. Jika tidak memiliki, maka wajib dengan air. Dan jika dia menentang dan tidak berbuka dengan itu padahal ia sudah mengetahui, maka ia telah bermaksiat kepada Allah SWT, karena puasanya telah terlaksana dan tidak lagi berpuasa. Hal demikian sama seperti oarang yang berbuka dengan khamar, daging babi, atau dengan melakukan zina. Orang demikian puasanya telah terlaksana namun bermaksiat kepada Allah SWT”
Khatimah
Apa yang dituliskan oleh salah satu ulama madzhab zahiri sekaliber Ibnu Hazm diatas, adalah hasil ijtihad yang wajib kita hormati, meski bukan berarti kita absen dari bersikap kritis. Dan apa yang penulis sajikan dalam artikel ini tidak lebih dari sebuah deskripsi tentang contoh-contoh ijtihad salah satu murid terbaik Ibnu 'Abdil Barr ini, tanpa ada satupun kritik yang penulis sampaikan. Karena memang para ulama yang sekaliber Ibnu Hazm atau bahkan yang melebihi beliau, sudah melakukan itu.
Penulis hanya hendak mengambil sebuah pelajaran penting dari fiqih puasanya Ibnu Hazm ini bahwa saat menyampaikan pendapatnya, Ibnu Hazm memberikan argumentasi yang cukup kuat dan ilmiah. Bahkan dalam pembahasan puasa-musafir misalnya, Ibnu Hazm membutuhkan tidak kurang dari dua puluh halaman untuk berdiskusi sekaligus mengkritisi pendapat lawannnya yang dalam hal ini adalah jumhur ulama. Dalam banyak kritikannya, Ibnu Hazm seringkali mengatakan pendapat lawannnya itu menyelesihi sunnah Nabi Muhammad SAW. Karena dalam pandangan beliau, teks lahiriah hadits sudah cukup jelas memberikan satu informasi ketetapan hukum.
Namun setepat apapun pemaknaan Ibnu Hazm dengan lahiriah teks, ternyata jumhur (mayoritas) fuqaha seringkali menyatakan bahwa maksud hadits-hadits tersebut tidaklah demikian. Tidaklah diamalkan sebagaimana lahirnya. Karena kenyataan literalis inilah menurut Ibnul Qayyim dalam Zaad al-Maad, gelar zahiri pantas disematkan untuk Ibnu Hazm.
Terlepas dari itu semua, Al-Muhalla adalah kitab fiqih muqaran agung yang tidak boleh kita lewatkan begitu saja. Syaikhul Islam Izzudin ibn ‘Abdissalam, salah satu ulama syafi’iyyah yang dikenal intens dalam menggali Maqashid (tidak berpatokan dengan lahiriah teks) saja sampai mengatakan, “Belum pernah saya melihat dalam kitab-kitab agama Islam, Kitab sebaik Al Muhalla karya Ibn Hazm dan Al Mughni karya Ibn Qudamah”
Imam Nawawi -meski dalam syarah Al-Muhadzab sering mengkritisi zahiriyah- dalam Syarah Sahih Muslim sempat menyatakan bahwa beramal dengan lahiriah teks maupun maksud dan substansi teks, keduanya memiliki pijakan argumentasi dari para ulama salaf. Hadits shalat ashar di Bani Quraidzhah adalah landasannya. Dalam hadits tersebut, ada sahabat yang mengamalkan maksud dari perintah Nabi, namun ada juga yang mengamalkan lahiriah perintah Nabi sehingga shalat ashar meski di malam hari. Saat dilapori hal itu, Nabi sama sekali tidak menyalahkan salah satupun. Dan ikhtilaf (perbedaan) para ulama setelah zaman mereka hingga hari ini juga seringkali terbelah dalam model yang sama. Para ulama memiliki kadar zahiri dan maqashidinya sendiri-sendiri. Ibnu Hazm yang dikenal zahiri, terkadang juga tidak zahiri. Demikian juga sebaliknya.

Yang terpenting sebenarnya adalah bahwa yang memberikan pemaknaan terhadap teks Al-Qur’an maupun Hadits (berijtihad), baik secara zahiri maupun maqashidi, haruslah mereka yang benar-benar memiliki otoritas di dalamnya. Karena pemaknaan zahiri yang tidak pada porsinya akan melahirkan zahiriyah baru yang dalam pandangan Al-Qaradhawi, zahirinya Ibnu Hazm justru jauh lebih baik dari itu. Hal ini barangkali karena Ibnu Hazm memiliki semua modal ijtihad. Beliau hafal seluruh riwayat dalam Al-Muhalla. Beliau adalah penulis karya Ushul Fiqih agung Al-Ihkam Fi Ushul al-Ahkam. Dan beliau adalah sastrawan yang menguasai seluk beluk bahasa Arab secara detail dan mendalam. Demikian juga pemaknaan maqashidi yang tidak pada porsinya, hanya akan melahirkan hukum-hukum yang bertentangan dengan kaidah-kaidah yang sudah mapan bahkan bertentangan dengan maqshid as-Syariah itu sendiri.

Baca juga :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar