Senin, 19 September 2016

Kupas Tawasul ( Bagian II)

TATA CARA TAWASSUL

Tawassul dapat dilakukan dengan segala cara. Namun yang umum dilakukan adalah sebagai berikut :

1. Setelah selesai membaca ayat-ayat Al-Quran, surat yâsin, dzikir, tahlil, dan lain sebagainya, kemudian pahala bacaan pahala tersebut di hadiahkan untuk para nabi (khususnya untuk nabi Muhammad SAW.), keluarga, shahabat, dan para tabi'in, para auliya, para ulama, para pengarang kitab, para guru, para orang tua, para leluhur, dan kaum muslimin-muslimat…dan seterusnya(khususnya di hadiahkan untuk mbah wali yang di ziarahi).
2. Kemudian berdoa untuk ahli qubur yang diziarahi,misalnya dengan doa:

اللهم ارحمهم ولا تعذبهم اللهم اجعل قبرهم روضة من رياض الجنة ولا تجعل قبرهم حفرة من حفر النيران

Ya Allah, kasihanilah mereka dan jangan siksa mereka. Ya Allah, jadikan kuburan mereka sebuah taman dari taman-taman surga dan jangan Engkau jadikan kuburan mereka kubangan dari beberapa kubangan neraka

1. Kemudian berdoa memohon kepada Allah dengan doa-doa yang dikehendaki, mengadukan berbagai kesulitan hidup. Misalnya ingin memperoleh ilmu manfaat, lekas mendapatkan jodoh, kelancaran rizki, dan sebagainya
2. Setelah selesai berdoa, kemudian baru bertawassul memohon kepada Allah agar berkenan mengabulkan permintaannya dengan lantaran mbah wali yang diziarahi.

PERTANYAAN SEPUTAR TAWASSUL

S Sebagian orang mengatakan bahwa tawassul dengan orang mati tidak boleh. Hal ini menurut mereka berdasarkan kisah Umar dengan Sayyidina 'Abbâs sebagaimana yang termaktub dalam hadits. Dalam kisah tersebut ternyata 'Umar bertawasul dengan Sayyidina al-‘Abbâs bukan dengan Nabi SAW. langsung. Umpama tawassul dengan orang mati boleh, tentunya Umar akan langsung bertawassul dengan Nabi SAW. Bukan dengan al-‘Abbâs karena derajat Nabi lebih tinggi dari al-‘Abbâs ?

J Umar maupun al-‘Abbâs tidak pernah mengatakan bahwa tawassul yang mereka lakukan disebabkan Nabi SAW. telah meninggal. Karena itu, hadits di atas tidak dapat digunakan sebagai dalil melarang tawassul dengan orang mati karena :

1. Meninggalkan sesuatu tidak dapat dijadikan sebagai dalil tidak memperbolehkan. Mungkin saja para shahabat meninggalkan hal tersebut karena ada faktor tertentu. Juga Nabi sering meninggalkan suatu perbuatan dan ternyata perbuatan tersebut tidak haram.[1]
2. Tindakan Umar di atas menunjukkan bahwa tawasul dengan orang shalih selain Nabi SAW juga diperbolehkan. Ibn Hajar al-‘Asqalâny mengatakan, “Dari kisah al-‘Abbâs tersebut dapat dipahami disunnahkan meminta tolong (istisyfa’) dengan orang shalih dan keluarga Rasulullah.” Tidak dapat difaham bahwa tawasul dengan orang mati tidak boleh, karena Nabi SAW sebagaimana para nabi yang lain senantiasa hidup di kubur dan tidak mati. Rasulullah bersabda :

الأنبياء أحياء في قبورهم يصلون (أخرجه أبو يعلى والبيهقي وصححه وأبونعيم والسيوطي وحسنه وغيرهم عن أنس )

Para nabi hidup di kubur mereka seraya shalat (HR Abû Ya’lâ, al-Baihaqy, as-Suyûthy, Abû Nu’aim dari Anas).

Demikian disampaikan al-Ghaurghasytawy al-Hanafy (al-Habl al-Matîn 26 ).

1. Tawassul dengan Sayyidina ‘Abbas pada hakikatnya tawassul dengan Nabi SAW. karena tawassul Umar tersebut memandang kedudukan 'Abbâs di depan Nabi. Terbukti Umar mengatakan بعم نبينا (dengan paman Nabi-Mu) tidak mengatakan بالعباس بن عبد المطلب. Hal ini termasuk tawassul dengan Nabi melalui sesuatu yang berhubungan dengan Beliau SAW.

S Orang yang bertawassul berarti menjadikan perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah. Padahal Allah telah mencela perbuatan tersebut dan menyuruh kita untuk memurnikan ibadah sebagaiman dalam ayat

أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ ۚ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَىٰ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ (الزمر :3)

Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka (berhala-berhala itu) melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya". (QS az-Zumar :3).

J Untuk menjawab pertanyaan tersebut dapat dikemukakan dua hal :

1. Ayat di atas ditujukan Kepada orang-orang kafir. Ketika dicela karena menyembah berhala mereka mengatakan, "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan Kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya". Ayat ini menjelaskan bahwa mereka menyembah berhala untuk tujuan tersebut. Sedangkan orang yang bertawassul dengan orang shalih dan para nabi itu tidak menyembah mereka. Tetapi karena dia tahu bahwa orang yang ditawassuli tersebut memiliki keutamaan di hadapan Allah. Maka jelas bedanya antara orang kafir yang menyembah berhala yang memang benar-benar menyembah berhala yakni dalam ungkapan mereka : ”Kami menyembah mereka (berhala-berhala itu).” Sementara orang yang bertawassul hanya meminta dan menyembah Allah semata. Tidak terbersit di dalam hatinya seujung rambutpun keyakinan adanya kekuatan dan kekuasaan lain di luar kekuatan dan kekuasaan Allah. Orang yang bertawassul tidak bermaksud untuk memohon atau menyembah kepada orang atau suatu benda.
2. Orang bertawassul bukan berarti tidak memurnikan ibadah kepada Allah dan menganggap tidak mungkin berhubungan langsung dengan Allah sebagaimana orang-orang kafir dalam ayat di atas. Justru bertawassul termasuk beribadah kepada Allah karena mengikuti perintah-Nya (al-Mâ`idah : 35) dan contoh-contoh yang diberikan Rasulullah SAW.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَابْتَغُواْ إِلَيهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُواْ فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.(Al-Ma'idah-35:)

أُولَٰئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَىٰ رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ ۚ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا

Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti.
(Surat Al-Isra' Ayat 57)

S Sebagian orang menentang tawassul dengan orang mati berlandaskan hadits bahwa orang mati terputus amalnya kecuali tiga. Hadits ini menunjukkan bahwa orang mati tidak dapat memberikan kemanfaatan kepada orang hidup.

J Maksud dari hadits tersebut adalah terputusnya pahala dan manfaat amal yang diperbuat oleh si mayit seperti shalat, puasa, dan lain-lain. Tidak memberikan pengertian orang mati tidak dapat memberikan manfaat atau mendoakan kepada orang yang masih hidup sesuai dengan dalil-dalil yang telah kami sebutkan di atas. Di samping itu Rasulullah bersabda :

عن ابن مسعود أن النبي قال حياتي خير لكم تحدثون ويحدث لكم ووفاتي خير لكم تعرض علي أعمالكم فما رأيت من خير حمدت الله عليه وما رأيت من شر استغفرت الله لكم (أخرجه البزار ورجاله رجال الصحيح )

Dari Ibn Mas’ûd ra. sesungguhnya Nabi SAW. bersabda, “Hidupku lebih baik bagi kalian. Kalian berkata dan aku mengatakan kepada kalian. Matiku lebih baik bagi kalian. Amal kalian disodorkan padaku. Bila aku melihat amal baik maka aku memuji kepada Allah. Bila aku melihat amal buruk maka aku memintakan ampun kepada Allah untuk kalian. (HR al-Bazzâr).

Ternyata Rasulullah juga memintakan ampun kepada umatnya ketika Beliau berada di alam barzakh (sudah meninggal).

CATATAN
Tidak ada perbedaan antara bertawassul dengan orang hidup dan bertawassul dengan orang mati. Karena pada hakikatnya mereka tidak dapat mewujudkan serta tidak dapat memberi pengaruh apapun. Mereka diharapkan barakahnya karena mereka adalah kekasih Allah SWT. Yang mewujudkan dan yang menciptakan apa yang diminta oleh orang yang bertawassul adalah Allah SWT. Orang yang membedakan antara tawassul kepada orang yang hidup dengan orang yang mati berarti meyakini ada manfaatnya bila bertawassul dengan orang hidup , tapi manfaat itu tidak ada bila bertawassul dengan orang yang mati. Menurut Syeikh Yûsuf an-Nabhâny, orang yang membolehkan bertawassul dengan orang hidup namun melarang bertawassul dengan orang yang telah mati sebenarnya telah terjebak dalam kemusyrikan, sebab mereka meyakini bahwa orang yang hidup dapat memberikan pengaruh kepada seseorang tapi orang yang mati tidak dapat memberikan manfaat apapun. Maka pada hakekatnya mereka adalah orang yang meyakini ada makhluk yang dapat memberikan pengaruh dan mewujudkan sesuatu.[2]

[1] Lebih jelasnya silahkan lihat dalam dunia bid’ah.
[2] Yûsuf an-Nabhâny, Syawâhid al-Haq, hal. 158-159. 

BAB TAWASUL

بسم الله الرحمن الرحيم

وقال في الباجوري من الجزء الثاني ص: ٧٠٠ وقال في نهج السعادة قال رسول الله صلعم: توسلوا بي و باهل بيتي الي الله فانه لايرد متوسل بنا ( رواه ابن حبان في صحيحة )

dan telah berkata: dalam kitab bajuri dari juz 2 halaman 700. dan telah berkta dalam nahjisha'adah rasulullah telah berkata: BERTAWASULLAH KAMU DENGANKU DAN AHLI BAITKU, SESUNGGUHNYA ORANG YG BERTAWASUL KEPADAKU TIDAK AKAN DI TOLAK. (HADIS RIWAYAT IBNU HIBBAN DLM SHAHIHNYA)

وقال في بغية المسترشدين ص ٣٥٨

واما التوسل بالانبياء والصالحين فهو امر محبوب ثابت بالحاديث الصحيحة وقد أطبقوا علي طلبه بل ثبت التوسل بالاعمال الصالحة وهي اعراض فبالذوات اولى، التوسل بالانبياء والاولياء في حياتهم وبعد وفاتهم مباح شرعا كما وردت السنة الصحيحة

dan telah berkata dalam kitab bugyatul mustarsyidin halaman 358: adapun tawasul dngan para nabi dan para shalihin adalah yg di cintai syara'. dan sudah di tetapkan dengan hadis yg shohih, dan para ulama telah bersepakat dngan menjalankan tawasul bahkan sudah tetap (diperbolehken) tawasul dngan amal sholeh padahal amal shaleh itu suatu sifat, maka dari itu lebih utama tawasul dngan dzat, adapun tawasul dngan para nabi dan para wali allah di masa hidupnya dan wafatnya itu di perbolehkan secara hukum syara'. sperti yg telah berlaku dalam hadis shahih

وقال النبى : توسلوا بجاهي ، فان جاهي عن الله عظيم ، كذا في بغية العوام

telah berkata nabi saw: tawasullah kamu dngan kebesaran ku, sesungguhnya sifat kehormatanku, bagi allah suatu perkara yg agung/berfaidah. dlm kitab bughyatul awam.
Huwalhabibulladzii turjaa syafaa atuhu....

Fatwa Imam Nawawi ini membuat tuduhan Wahabi terhadap Umat Islam terpatahkan. Argumen mereka tentang persoalan bid’ah dinilai sangat rapuh dan terlihat jelas bahwa mereka tidak mempunyai kapasitas ilmu yang memadai. Fatwa mereka bahwa semua bid’ah adalah sesat tanpa kecuali terbukti asal-asalan. Ada satu lagi fatwa Imam Nawawi yang membuat Wahabi sangat sakit hati. Fatwa ini keluar tatkala Imam Nawawi menjelaskan Ayat Al-Quran surat An-Nisaa ayat 64,

Penjelasan Imam Nawawi tentang Tawasul

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا

“Dan kami tidak mengutus seseorang rasul, melainkan untuk dita’ati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa: 64)

Penjelasan Imam Nawawi berikut ini membuat Wahabi geram bukan kepalang lantaran tudingan kafir dan sesat kepada Aswaja yang bertawasul dianggap sebagai omong kosong belaka.

عَنِ العُتْبِي، قَالَ: كُنْتُ جَالِساً عِنْدَ قَبْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَجَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَقَالَ: اَلسَّلَامُ عَلَيْكَ يَا رَسُوْلُ اللهِ، سَمِعْتُ اللهَ يَقُوْلُ: { وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا } وَقَدْ جِئْتُكَ مُسْتَغْفِرًا لِذَنْبِيْ مُسْتَشْفِعاً بِكَ إِلَى رَبِّيْ ثُمَّ أَنْشَأَ يَقُوْلُ : يَا خَيْرَ مَن دُفنَت بِالْقَاعِ أَعْظُمُه … فَطَابَ مِنْ طِيْبِهِنّ الْقَاعُ وَالْأَكَمُ نَفْسِيْ الْفِدَاءُ لِقَبْرٍ أَنْتَ سَاكِنُهُ … فِيْهِ الْعَفَافُ وَفِيْهِ الْجُوْدُ وَالْكَرَمُ ثُمَّ انْصَرَفَ الْأَعْرَابِي فَغَلَبَتْنِيْ عَيْنِي، فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي النَّوْمِ فَقَالَ: يَا عُتْبى، اَلْحِقِ الْأَعْرَابِيّ فَبَشِّرْهُ أَنَّ اللهَ قَدْ غَفَرَ لَهُ

Dari Al-Utbiy. Ia (Al-Utbiy) berkata, “Aku pernah duduk di sisi kubur Nabi Shallallaahu Alaihi Wa Sallam. Lalu datanglah seorang Arab Baduwi yang berkata, ‘Assalaamu ‘alaika yaa Rasuulallaah (salam sejahtera bagimu wahai Rasulullah). Aku telah mendengar firman Allah, “Sesungguhnya jika mereka yang menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang (QS. An-Nisaa’ : 64).” Dan sungguh aku datang kepadamu sebagai orang yang meminta ampun atas dosaku meminta pertolongan melalui perantaraanmu kepada Rabb-ku’. Kemudian ia (Arab Baduwi) berucap, ‘Wahai sebaik-baik manusia yang jasadnya dikuburkan di dalam tanah… Menjadi harumlah tanah dan bukit karenanya… Jiwaku sebagai penebus bagi kubur yang engkau tempati… Di dalamnya ada kesucian, kemurahan, dan kemuliaan.’

“Orang Baduwi itu lantas pergi. Kemudian aku ngantuk dan tertidur. Aku melihat (dalam mimpi) Nabi Shallallaahu Alaihi Wa Sallam bersabda, ‘Wahai Utbiy, kejarlah orang Arab Baduwi itu, dan kabarkanlah kepadanya bahwa Allah telah mengampuni dosa-dosanya”. Al-Imam An-Nawawi dalam (Al-Adzkar lin-Nawawi hal. 233-234).

Fatwa-fatwa Imam Nawawi itu membuat Wahabi memendam kedengkian yang besar kepada beliau. Dengan kedengkian itu mereka menuduh Imam Nawawi sesat jalan dan bukan Ahlus Sunnah Waljamaah. Dalam kitab Liqa al-Bab al-Maftuh, Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menyatakan bahwa Imam Nawawi bukan Ahlus Sunnah Waljamaah. Ketika Syaikh Utsaimin ditanya tentang status Imam Nawawi, “Apakah Ibnu Hajar al-Asqalani dan An-Nawawi dari golongan Ahlussunnah atau bukan?” Syekh Utsaimin menjawab, “Dilihat dari metode keduanya dalam menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah maka keduanya bukan dari golongan Ahlussunnah.” (Lihat buku dengan judul Liqa al-Bab al-Maftuh, cet. Dar al-Wathan, Riyadl, 1414 H, h. 42).

Tuduhan seperti ini memang wajar. Wahabi senantiasa menyesatkan siapa saja yang tidak sehaluan dengan mereka, terlebih lagi karena Imam Nawawi adalah seorang ulama sufi yang berakidah Asy’ari. semua ulama sufi yang berakidah Asy’ari atau Maturidi dicap sebagai ahlu bid’ah sesat oleh mereka.

Ini yg dikafirkan d disyirikkan wahabi amalan sahabat kata ikut sahabat ternyata hanya penipuan...... bilal bin Haris al-Muzani

وَرَوَى اِبْنُ أَبِيْ شَيْبَةَ بِإِسْنَادٍ صَحِيْحٍ مِنْ رِوَايَةِ أَبِيْ صَالِحٍ السَّمَّانِ عَنْ مَالِك الدَّارِيِّ - وَكَانَ خَازِنَ عُمَرَ - قَالَ أَصَابَ النَّاسَ قَحْطٌ فِيْ زَمَنِ عُمَرَ فَجَاءَ رَجُلٌ إِلَى قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ اِسْتَسْقِ لِأُمَّتِكَ فَإِنَّهُمْ قَدْ هَلَكُوْا فَأَتَى الرَّجُلَ فِيْ الْمَنَامِ فَقِيْلَ لَهُ اِئْتِ عُمَرَ ... الْحَدِيْثَ. وَقَدْ رَوَى سَيْفٌ فِي الْفُتُوْحِ أَنَّ الَّذِيْ رَأَى الْمَنَامَ الْمَذْكُورَ هُوَ بِلَالُ بْنُ الْحَارِثِ الْمُزَنِيُّ أَحَدُ الصَّحَابَةِ )ابن حجر فتح الباري ۳/۴۴۱ وابن عساكر تاريخ دمشق ۵۶/۴۸۹(

“Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan hadis dengan sanad yang sahih dari Abi Shaleh Samman, dari Malik al-Dari (Bendahara Umar), ia berkata: Telah terjadi musim kemarau di masa Umar, kemudia ada seorang laki-laki (Bilal bin Haris al-Muzani) ke makam Rasulullah Saw, ia berkata: Ya Rasullah, mintakanlah hujan untuk umatmu, sebab mereka akan binasa. Kemudian Rasulullah datang kepada lelaki tadi dalam mimpinya, beliau berkata: Datangilah Umar…. Saif meriwayatkan dalam kitab al-Futuh lelaki tersebut adalah Bilal bin Haris al-Muzani salah satu Sahabat Rasulullah”. (Ibnu Hajar, Fathul Bari, III/441, dan Ibnu 'Asakir, Tarikh Dimasyqi, 56/489)

Bentuk tawassul dalam riwayat ini adalah seruan memanggil nama Rasulullah dan meminta pertolongan kepada beliau. Sementara menurut al-Albani dan aliran Wahhabi, menyeru kepada orang yang telah meninggal dihukumi syirik. Padahal umat Islam senantiasa berseru kepada Rasulullah e setiap kali melakukan tachiyat dalam salat:

السَّلَامُ عَلَيْك أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ )أخرجه ابن ماجه ۹۰۲ والنسائي ۲/۲۴۳ قال الدارقطني والبيهقي إسناده صحيح(

“Semoga keselamatan, rahmat, dan berkah atas dirimu wahai Nabi. Dan semoga keselamatan atas kami serta para hamba yang salih”.

حَدَّثَنَا أَبُوْ النُّعْمَانِ حَدَّثَنَا سَعِيْدُ بْنُ زَيْدٍ حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ مَالِكٍ النُّكْرِي حَدَّثَنَا أَوْسُ بْنُ عَبْدِ اللهِ قُحِطَ أَهْلُ الْمَدِيْنَةِ قَحْطاً شَدِيْداً، فَشَكَوْا إِلَى عَائِشَةَ فَقَالَتْ انْظُرُوْا قَبْرَ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم فَاجْعَلُوْا مِنْهُ كِوًى إِلَى السَّمَاءِ حَتَّى لَا يَكُوْنَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ السَّمَاءِ سَقْفٌ. قَالَ فَفَعَلُوْا فَمُطِرْنَا مَطَراً حَتَّى نَبَتَ الْعُشْبُ وَسَمِنَتِ الْإِبِلُ حَتَّى تَفَتَّقَتْ مِنَ الشَّحْمِ

Kalau memang tawasul seperti diatas syirik mengapa tk ada riwayat sahabat,tabiin dst para imam,ahli hadis,ahli tafsir dst sampai sekarang tdk ada yg mensyirikkan selain wahabi. Pertanyaan ini tk pernah bisa dijawab oleh ulama wahabi dari dulu sampai skrg smg manfaat.)))) isis.abu sayaf alqaida dll bagian dari wahabi sbb seaqidah yakni tauhid 3t. Ingat minta tolong pd makhluk itu majaz akli maksudnya sesuai dg kedudukannya sbg makhluk yakni doa bukan mentuhankan banyak dlm quran hadis majas spt itu wslm kum
Ulama Ahlussunnah Wal Jama'ah membolehkan tawasul, tabarruk di makam Nabi dan wali atau suhada

Dalilnya :

1. Al quranul karim:

وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللهَ تَوَّابًا رَحِيمًا (64)

“Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”. (QS. al-Nisa’ : 64).

Al-Hafizh Ibn Katsir, ketika menafsirkan ayat tersebut berkata:

وَقَدْ ذَكَرَ جَمَاعَةٌ مِنْهُمْ الشَّيْخُ أَبُوْ نَصْرٍ بْنِ الصَّبَّاغِ فِيْ كِتَابِهِ الشَّامِلِ الْحِكَايَةَ الْمَشْهُوْرَةَ عَنِ الْعُتْبِيِّ قَالَ : كُنْتُ جَالِسًا عِنْدَ قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَجَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَقَالَ: السَّلامُ عَلَيْكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ سَمِعْتُ اللهَ يَقُوْلُ (وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوْا أَنْفُسَهُمْ جَاؤُوْكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُوْلُ لَوَجَدُوا اللهَ تَوَّاباً رَحِيْماً) وَقَدْ جِئْتُكَ مُسْتَغْفِرًا لِذَنْبِيْ مُسْتَشْفِعًا بِكَ إِلَى رَبِّيْ ثُمَّ أَنْشَأَ يَقُوْلُ:

يَا خَيْرَ مَنْ دُفِنَتْ بِالْقَاعِ أَعْظُمُهُ فَطَابَ مِنْ طِيْبِهِنَّ الْقَاعُ وَاْلأَكَمُ

نَفْسِي الْفِدَاءُ لِقَبْرٍ أَنْتَ سَـاكِنُهُ فِيْهِ الْعَـفَافُ وَفِيْهِ الْجُوْدُ وَالْكَرَمُ

ثُمَّ انْصَرَفَ اْلأَعْرَابِيُّ فَغَلَبَتْنِيْ عَيْنِيْ فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فِي النَّوْمِ فَقَالَ يَا عُتْبِيُّ اِلْحَقِ اْلأَعْرَابِيَّ فَبَشِّرْهُ أَنَّ اللهَ قَدْ غَفَرَ لَهُ انتهى،

“Banyak ulama menyebutkan seperti al-Imam Abu Manshur al-Shabbagh dalam al-Syamil, cerita yang populer dari al-‘Utbi. Beliau berkata: “Aku duduk di samping makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,kemudian datang seorang a’rabi dan berkata: “Salam sejahtera atasmu ya Rasulullah. Aku mendengar Allah berfirman: “Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”. (QS. al-Nisa’: 64). Aku datang kepadamu dengan memohon ampun karena dosaku dan memohon pertolonganmu kepada Tuhanku”. Kemudian ia mengucapkan syair:
Wahai sebaik-baik orang yang jasadnya disemayamkan di tanah ini
Sehingga semerbaklah tanah dan bukit karena jasadmu
Jiwaku sebagai penebus bagi tanah tempat persemayamanmu
Di sana terdapat kesucian, kemurahan dan kemuliaan
Kemudian a’rabi itu pergi. Kemudian aku tertidur dan bermimpi bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan beliau berkata: “Wahai ‘Utbi, kejarlah si a’rabi tadi, sampaikan berita gembira kepadanya, bahwa Allah telah mengampuni dosanya”. (Al-Hafizh Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 1/492).
Kisah al-‘Utbi ini juga diriwayatkan oleh al-Imam al-Nawawi dalam al-Idhah fi Manasik al-Hajj (hal. 498), Ibn Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali dalam al-Mughni (3/556), Abu al-Faraj Ibn Qudamah dalam al-Syarh al-Kabir (3/495), al-Syaikh al-Buhuti dalam Kasysyaf al-Qina’ (5/30) dan lain-lain. Keterangan tersebut, memberikan kesimpulan bahwa ketika kita punya hajat, seperti ingin diampuni oleh Allah atau hajat lainnya, maka kita melakukan ziarah ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, para wali dan orang-orang shaleh, lalu kita berdoa di sana.

2. Riwayat dari Aisyah Istri Rasulullah

حَدَّثَنَا أَبُوْ النُّعْمَانِ حَدَّثَنَا سَعِيْدُ بْنُ زَيْدٍ حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ مَالِكٍ النُّكْرِي حَدَّثَنَا أَوْسُ بْنُ عَبْدِ اللهِ قُحِطَ أَهْلُ الْمَدِيْنَةِ قَحْطاً شَدِيْداً، فَشَكَوْا إِلَى عَائِشَةَ فَقَالَتْ انْظُرُوْا قَبْرَ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم فَاجْعَلُوْا مِنْهُ كِوًى إِلَى السَّمَاءِ حَتَّى لَا يَكُوْنَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ السَّمَاءِ سَقْفٌ. قَالَ فَفَعَلُوْا فَمُطِرْنَا مَطَراً حَتَّى نَبَتَ الْعُشْبُ وَسَمِنَتِ الْإِبِلُ حَتَّى تَفَتَّقَتْ مِنَ الشَّحْمِ فَسُمِّىَ عَامَ الْفَتْقِ )رواه الدارمي

“Dari Aus bin Abdullah: “Suatu hari kota Madinah mengalami kemarau panjang, lalu datanglah penduduk Madinah ke Aisyah (janda Rasulullah saw) mengadu tentang kesulitan tersebut, lalu Aisyah berkata: “Lihatlah kubur Nabi Muhammad e lalu bukalah sehingga tidak ada lagi atap yang menutupinya dan langit terlihat langsung”, lantas mereka pun melakukan itu kemudian turunlah hujan lebat sehingga rumput-rumput tumbuh dan onta pun gemuk, maka disebutlah itu tahun gemuk”. (HR. Imam Darimi)

2. Al-Imam al-Syafi’i
Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris al-Syafi’i (150-204 H/767-819 M), mujtahid besar, pakar hadits dan pendiri madzhab Syafi’i yang diikuti oleh mayoritas kaum Muslimin di dunia, juga mengakui bolehnya ber-tabaruk dengan para nabi dan wali sesudah meninggal. Hal ini dapat dilihat dengan memperhatikan pernyataan beliau berikut ini:

عَنْ عَلِي بْنِ مَيْمُوْنٍ قَالَ: سَمِعْتُ الشَّافِعِيَّ رضي الله عنه يَقُوْلُ: إِنِّيْ َلأَتَبَرَّكُ بِأَبِيْ حَنِيْفَةَ وَأَجِيْءُ إِلَى قَبْرِهِ كُلَّ يَوْمٍ يَعْنِيْ زَائِرًا، فَإِذَا عَرَضَتْ لِيْ حَاجَةٌ صَلَّيْتُ رَكْعَتَيْنِ وَأَتَيْتُ إِلَى قَبْرِهِ وَسَأَلْتُ اللهَ الْحَاجَةَ عِنْدَهُ فَمَا تَبْعُدُ عَنِّيْ حَتَّى تُقْضَى. رواه الحافظ الخطيب البغدادي في تاريخ بغداد (1/123) بسند صحيح

“Dari Ali bin Maimun, berkata: “Aku mendengar al-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku selalu bertabarruk dengan Abu Hanifah dan mendatangi makamnya dengan berziarah setiap hari. Apabila aku mempunyai hajat, maka aku menunaikan shalat dua rekaat, lalu aku datangi makam beliau dan aku memohon hajat itu kepada Allah di sisi makamnya, sehingga tidak lama kemudian hajatku segera terkabul”.
pertanyaan ulama dulu pd wahabi klu mmg tawasul tsb syirik adakah riwayat sahabat pr imam mazhab .ahli hadis. Ahli tafsir sampai skrg yg mensyirikkan selain wahabi? Tp ulama wahabi tk bisa jawab sampai saat ini
wallahu alam

Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar