Selasa, 27 September 2016

Hukum walimah pulang dan pergi haji

Dasar Hukum Tradisi Walimatus Safar Haji
Upacara walimatus safar perihal kepergian jamaah haji bukan sekadar tradisi lokal. Upacara walimahan itu merupakan sunah yang dilaksanakan umat Islam sejak masa Rasulullah SAW.

"Mengadakan walimatul haji atau acara tasyakuran yang diadakan setelah seseorang pulang dari mengadakan perjalanan jauh adalah termasuk perbuatan yang disunahkan. Jadi walimatus safar itu bukan kegiatan yang tidak memiliki dasar sama sekali, sehingga tergolong kegiatan yang dilarang,"

Beberapa hadits yang menjadi dasar kesunahan walimatus safar yang salah satunya diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Sahabat Jabir RA.

"Dalam hadits tersebut dijelaskan bahwa Rasulullah SAW ketika pulang dari Madinah melakukan penyembelihan kambing atau sapi,"

Selain itu, terdapat hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Turmudi dan Abu Dawud yang menceritakan bahwa Rasulullah SAW mengadakan walimah untuk Shafiyah dengan bubur sawik dan kurma.

"Dari kedua hadist ini sebagian ulama seperti Syekh Zakariya Al-Anshari dalam kitab Atsnal Mathalib berpendapat bahwa walimah tidak hanya disunahkan dalam acara akad nikah tetapi walimah juga disunahkan ketika seseorang pulang dari perjalanan jauh,"
Menurutnya, walimatul haji tidak bisa dihukumi kegiatan yang dilarang dan tidak memiliki dasar. Bahkan sebagian ulama juga ada yang berpendapat bahwa, walimah yang diadakan sebelum berangkat atau sesudah pulang haji hukumnya sama, sunah
Setelah melaksanakan haji dan pulang ke rumahnya, Jama’ah haji biasanya mengadakan tasyakuran yang disebt walimatul naqi’ah yaitu walimah yang diadakan untuk selamatan orang yang datang dari berpergian (walimah haji), bahkan seorang yang telah melaksanaknan haji disunnahkan mengadakan tasyakuran dengan menyembelih sapi atau unta.

Hal ini sebenarnay bukanlah semata-mata tradisi belaka tetapi juga mengandung unsur ibadah yang jelas ada rujukan dalilnya sebagaimana ditrangkan dalam al-fiqh al-wadhih min al-kitab wa al-sunnah

يستحب للحاج بعد رجوعه الى بلده ان ينحر جملا او بقرة او يذبح شاة للفقراء والمساكين والجيران والاخوان تقربا الى الله عز وجل كما فعل النبي صلى الله عليه وسلم (كتاب الفقه الواضح من الكتاب و السنة)

Disunnahkan bagi orang yang baru pulang dari haji untuk menyembelih seekor onta, sapi atau kambing (untuk diberikan) kepada fakir, miskin, tetangga, saudara. (hal ini dilakukan) sebagai bentuk pedekatan diri kepada Allah Azza wa Jalla, sebagaimana yang telah diamalkan oleh Nabi saw.

Dalil ini berdasar pada hadits Rasulullah saw:

عن جابر بن عبد الله رضى الله عنهما أن النبي صلى الله عليه وسلم لما قدم المدينة نحر جزورا او بقرة

Dari Jabir bin Abdullah ra. bahwa ketika Rasulullah saw datang ke Madinah (usai melaksanakan ibadah haji), beliau menyembelih kambing atau sapi.

Demikianlah adanya hadits dan anjuran tentang walimatus safar yang menandai rasa syukur atas segala karunia Allah swt yang diberikan kepada seseorang yang telah berhasil melaksanakan ibadah haji ataupun telah mampu melunasi baiaya ONH haji. Karena itu disebagain daerah walimatus safar dilakukan sebelum pemberangkatan.

Untuk membantu Anda dalam memahami adab safar berikut ada adab safar menurut Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Iidhaah dimana adab-adab safar itu antara lain:

1. Pertama, sebelum berangkat meninggalkan rumah dianjurkan untuk shalat dua rakaat dimana pada rakaat pertama membaca surat Al-Kafirun dan pada rakaat kedua membaca Al-Ikhlas, kemudian setelah salam membaca ayat Kursi, surat Al-Quraisy, Al-Ikhlas, Al-Falaq dan An-Naas yang dilanjutkan dengan berdo’a agar urusannya dimudahkan.

2. Adab safar lain yang disebutkan Imam Nawawi adalah: hendaknya ia mengucapkan wada’ (pamitan) terhadap keluarga, para tetangga dan para teman dekatnya. Tujuannya adalah untuk meminta maaf terhadap mereka dan agar mereka mendo’akannya.

3.Imam Nawawi menyebutkan adab-adab kepulangan dari safar, di antaranya: ketika tiba di rumah dianjurkan agar menuju mesjid terdekat untuk kemudian shalat dua rakaat, dan demikian juga apabila masuk ke rumah dianjurkan untuk shalat dua rakat lalu berdo’a dan memanjatkan rasa syukur kepada Allah swt. Adapun niatnya adalah tanpa perlu mengucapkannya dengan lafal-lafal khusus yang berbahasa Arab. Jadi shalat dua rakaat sepulang ibadah haji bukanlah sunah haji tetapi bagian dari adab safar saja.

Sunnah di adzani ketika orang mau pergi haji

Pertama, penjelasan dalam kitab I’anatut Thalibin, Juz 1 hlm 23 berikut ini:

قوله خلف المسافر—أي ويسنّ الأذان والإقامة أيضا خلف المسافر لورود حديث صحيخ فيه قال أبو يعلى في مسنده وابن أبي شيبه: أقول وينبغي أنّ محل ذالك مالم يكن سفر معصية

"Kalimat 'menjelang bepergian bagi musafir' maksudnya dalah disunnahkan adzan dan iqomah bagi seseorang yang hendak bepergian berdasar hadits shahih. Abu Ya’la dalam Musnad-nya dan Ibnu Abi Syaibah mengatakan: Sebaiknya tempat adzan yang dimaksud itu dikerjakan selama bepergian asal tidak bertujuan maksiat."

Dalil kedua diperoleh dari kitab yang sama:

فائدة: لم يؤذن بلال لأحد بعد النبي صلى الله عليه وسلم غير مرة لعمر حين دخل الشام فبكى الناس بكاء شديدا – قيل إنه أذان لأبي يكر إلي أن مات ... الخ

"Sahabat Bilal tidak pernah mengumandangkan adzan untuk seseorang setelah wafatnya Nabi Muhammad kecuali sekali. Yaitu ketika Umar bin Khattab berkunjung ke negeri Syam. Saat itu orang-orang menangis terharu sejadi-jadinya. Tapi ada khabar lain: Bilal mengumandangkan adzan pada waktu wafatnya Abu Bakar."

Dalil ketiga, dalam Shahih Ibnu Hibban, Juz II, hal 36:

من طريق أبي بكر والرذبري عن ابن داسة قال: حدثنا ابن محزوم قال حدثني الإمام على ابن أبي طالب كرم الله وجهه وسيدتنا عائشة رضي الله عنهم—كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا استودع منه حاج أو مسافر أذن وأقام – وقال ابن سني متواترا معنوي ورواه أبو داود والقرافي والبيهقي

"Riwayat Abu Bakar dan Ar-Rudbari dari Ibnu Dasah, ia berkata: Ibnu Mahzum menceritakan kepadaku dari Ali dari Aisyah, ia mengatakan: Jika seorang mau pergi haji atau bepergian, ia pamit kepada Rasulullah, Rasul pun mengadzani dan mengomati. Hadits ini menurut Ibnu Sunni mutawatir maknawi. Juga diriwayatkan oleh Abu Dawud, al-Qarafi, dan al-Baihaqi."

Demikian pula kata Imam al-Hafidz yang dikutip oleh Sayyid Abdullah Bafaqih, Madang. Menurutnya, hadits ini juga terdapat dalam Shahih Ibnu Hibban, Juz II, hal 36.

Pertanyaan :
Ustaz, setiap jamaah calon haji biasanya melaksanakan walimatus safar sebelum ke tanah suci.
Apa makna sebenarnya dari walimatus safar?
Hal apa yang perlu dilakukan?

Jawab:
Waalaikumussalam Wr Wb
Secara harfiah walimatus safar artinya “menjamu” atau “pesta” dalam rangka safar “perjalanan” haji. Tentu yang dimaksud dalam kaitan ini adalah calon jamaah haji mengundang sanak saudara, kerabat, dan tetangga untuk hadir dalam acara “pamitan” calon jama’ah untuk menunaikan ibadah haji. Biasanya disamping kalimat pamit, mohon maaf, juga diisi dengan ceramah atau taushiyah yang berhubungan dengan ibadah haji.

Walimatus safar tentu tidak dikenal dalam manasik haji karenanya tidak berhubungan dengan tatacara ibadah dan Rosulullah SAW juga tidak mencontohkan. Ada yang melarang kegiatan ini karena ghoir masyru’ adapula yang mengharuskan dan ada pula yang sekedar menganjurkan.

Jalan tengahnya adalah jika hendak melakukan wakimatus safar, maka kegiatan itu harus diyakini bukan merupakan kegiatan ibadah haji, tidak berlebih-lebihan, tidak didasarkan atas pamer diri atau riya serta jauh dari hal-hal yang berbau kemusyrikan.

Semangat walimatus safar adalah silaturahim, mensyukuri nikmat Allah (tasyakur bini’mah), dan berbagi kebahagiaan sebagaimana firman Allah

وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ

“wa ammaa bini’matirobbika fahadits”(Adhuha : 11)

(dan terhadap nikmat rabb mu hendaklah kamu menyebut-nyebutnya).

Walimatus safar sebagai ungkapan rasa syukur atas karunia Allah sehingga bisa melaksanakan ibadah haji, maka hal ini sangat dianjurkan.

  وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِى لَشَدِيدٌ 

Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu mema’lumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni’mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni’mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.(QS Ibrahim: 7).
Adapun hal hal yang perlu dilakukan adalah:
Pertama, mengundang kedatangan sanak saudara, kerabat, ataupun tetangga adalah jalan lain sebagai pengganti kita harus mendatangi satu persatu orang yang kita semestinya bersilaturahmi kepadanya baik secara umum maupun khusus dalam rencana keberangkatan ibadah haji. Mengundang makan apalagi disertai pengajian adalah perbuatan baik yang tidak bertentangan dengan sunnah Rosulullah SAW.

Kedua, mengumumkan rencana keberangkatan baik waktu maupun hal lain, sehingga sanak keluarga, kerabat, sahabat, maupun tetangga menjadi mengetahui serta dapat membantu memperhatikan dan menjaga keluarga yang ditinggalkan, hal ini menjadi bagian amal sholeh dalam mewujudkan hak dan kewajiban muslim terhadap muslim lainnya.

Ketiga, menjadikan walimatus safar sebagai momentum strategis untuk berda’wah menyampaikan hal-hal yang baik dan mencegah hal yang buruk dalam berbagai bidang yang tentunya bisa dikaitkan dengan ibadah haji sebagai rukun Islam kelima.

Keempat, karena perjalanan beribadah haji merupakan perjalanan suci (rihlah muqaddasah) maka tidaklah salah jika calon jama’ah meminta maaf secara terbuka kepada seluruh handai taulan yang hadir sebagai upaya membersihkan hati sebelum berangkat. Harapannya, maaf yang diberikan itu menjadi sebab dari karunia Allah SWT untuk membersihkan noda dan kotoran yang melekat pada dirinya akibat sikap buruk dalam pergaulan sesama.

Kelima, saling mendo’akan baik saat berkumpul maupun setelah berpisah. Mereka yang berangkat mendo’akan yang ditinggalkan, begitu juga sebaliknya yang ditinggalkan mendoakan yang berangkat.

Alangkah baiknya jika acara ini mengundang juga anak-anak yatim, fakir miskin, dan orang-orang yang tidak mampu agar semangat berbagi kebahagiaan itu semakin terasa. Sementara bagi yang memang berat untuk mengeluarkan biaya bagi acara walimatus safar tidaklah perlu untuk memaksakan diri karena di samping tidak ada dalil baik Alquran maupun Sunnah yang mengharuskannya, juga wujud tasyakur dan silaturahmi dapat dilakukan dalam bentuk-bentuk yang lain.

Bagi yang ingin mendo’akan keberangkatan saudaranya yang berangkat haji dapat mengamalkan hadits dari Abu Hurairoh Ra ini yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW mengucapkan

“astawdu’ukallaha alladzi laa tadhi’u wa daa-i’uhu”

(Aku menitipkan kalian kepada Allah yang tidak mungkin menyia-nyiakan titipannya)—HR Ibnu Majjah dan Ahmad.

Al Hafidz Abu Thohir mengatakan hadits ini Sahih. Semoga safarnya calon jamaah baik sejak berangkat hingga kembali senantiasa ada dalam “jamuan” Allah SWT, dimudahkan rezekinya dan dimudahkan perjalanannya. Amin.
------------------------------------------------

Pertanyaan:

جرت العادة عندنا أنّ الحاجَّ إذا أراد الذهاب إلى الحجِّ صنع طعامًا ودعا الأقارب والأحباب والجيران إليه، ويفعل الشيء نفسه عند عودته، وتسمّى هذه الدعوة عندنا بقولهم: «عشاء الحاجّ»، فنرجو منكم بيانَ حكم صنع هذا الطعام، وبارك الله فيكم

Sudah menjadi kebiasaan, jika seorang ingin pergi haji ia mengadakan acara makan-makan yang mengundang kerabat, teman, serta tetangga. Ia juga mengadakan acara yang sama ketika pulang dari haji. Acara ini oleh masyarakat kami biasa disebut ‘asyaa-ul hajj. Kami mohon penjelasan dari anda tentang hukum mengadakan acara ini.

Segala puji hanya bagi Allah Rabb semesta alam, shalawat serta salam semoga terlimpah kepada Rasulullah yang diutus sebagai rahmat bagi alam semesta, juga kepada keluarganya, sahabatnya serta saudaranya seiman hingga hari kiamat. Amma ba’du.

فالطعامُ المعدُّ عند قدومِ المسافر يقال له «النقيعة»، وهو مُشتقٌّ من النَّقْعِ -وهو الغبار- لأنّ المسافر يأتي وعليه غبارُ السفر، وقد صحَّ عن النبيِّ صَلَّى الله عليه وآله وسَلَّم: «أَنَّهُ لَمَّا قَدِمَ المَدِينَةَ نَحَرَ جَزُورًا أَوْ بَقَرَةً»(١)، والحديثُ يدلّ على مشروعية الدعوة عند القدوم من السفر(٢)، وقد بوّب له البخاري: «باب الطعام عند القدوم، وكان ابنُ عمرَ رضي الله عنهما يُفطِر لمن يغشاه»(٣)، أي: يغشونه للسلام عليه والتهنئة بالقدوم، قال ابن بطال في الحديث السابق: «فيه إطعام الإمام والرئيس أصحابَه عند القدوم من السفر، وهو مستحبٌّ عند السلف، ويسمَّى النقيعة، ونقل عن المهلب أن ابن عمر رضي الله عنهما كان إذا قدم من سفر أطعم من يأتيه ويفطر معهم، ويترك قضاء رمضان لأنه كان لا يصوم في السفر فإذا انتهى الطعام ابتدأ قضاء رمضان».


Acara makan-makan ketika datangnya orang yang safar disebut An Naqi’ah. Istilah An Naqi’ah dari kata dasar An Naq’u yang artinya debu. Karena orang yang safar biasanya terkena debu diperjalanan. Terdapat hadits shahih dari Nabi Shallalahu’alaihi Wasallam:

أَنَّهُ لَمَّا قَدِمَ المَدِينَةَ نَحَرَ جَزُورًا أَوْ بَقَرَةً

“Ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam datang ke Madinah, beliau menyembelih unta atau sapi betina” (HR. Bukhari no.2923 bab Ath Tha’am Indal Qudum)

Hadits ini juga menunjukkan bahwa mengundang orang untuk mendatangi An Naqi’ah itu disyariatkan (Lihat Aunul Ma’bud, 10/211). Imam Al Bukhari membuat judul Bab “Bab jamuan ketika ada musafir yang datang, Ibnu Umar Radhiallahu’anhuma biasa menjamu makan orang yang datang kepadanya” (Fathul Baari, 6/194). Maksudnya, orang-orang yang mendatangi Ibnu Umar untuk memberi salam dan menyambut kedatangannya. Ibnu Bathal menjelaskan hadits di atas: “Hadits ini dalil disyariatkannya seorang imam atau pemimpin memberi jamuan makan bagi kaumnya ketika datang dari safar. Hukumnya mustahab menurut para salaf. Acara ini disebut An Naqi’ah. Dinukil riwayat dari Muhallab bahwa Ibnu Umar Radhiallahu’anhuma jika beliau datang dari safar, ia menjamu makan orang yang mendatanginya lalu makan bersama mereka. Walaupun beliau memiliki hutang puasa Ramadhan karena baru saja safar, beliau tidak mulai membayar hutang puasa tersebut hingga jamuan makan selesai”.

هذا، ومذهبُ جمهورِ الصحابة والتابعين وجوبُ الإجابة إلى سائرِ الولائم، وهي على ما ذكره القاضي عياض والنووي ثمان(٤) منها: «النقيعة»، مع اختلافهم هل الطعام يصنعه المسافرُ أم يصنعه غيرُه له؟ ومن النصِّ السابقِ والأثرِ يظهر ترجيحُ القولِ الأَوَّل.

Demikianlah hukumnya. Lalu, madzhab jumhur sahabat dan tabi’in berpendapat wajibnya memenuhi undangan untuk semua jenis jamuan makan. Al Qadhi ‘Iyadh dan An Nawawi menyebutkan ada 8 jamuan yang wajib didatangi, salah satunya An Naqi’ah (Lihat Syarah Muslim, 9/171;Tuhfatul Maudud, 127; Nailul Authar, 6/238). Namun memang para ulama berbeda pendapat mengenai siapa yang membuat hidangannya, apakah si musafir ataukah orang yang menyambut dia? Namun berdasarkan nash hadits di atas dan berdasarkan atsar, nampaknya pendapat yang rajih adalah pendapat pertama.

أمَّا إعدادُ الطعام قبل السفر فلا يُعلم دخوله تحت تَعداد الولائم المشروعة؛ لأنها وليمة ارتبطت بالحجّ وأضيفت إليه، و«كُلُّ مَا أُضِيفَ إِلَى حُكْمٍ شَرْعِيٍّ يَحْتَاجُ إِلَى دَلِيلٍ يُصَحِّحُهُ».

Adapun mengenai jamuan makan sebelum berangkat haji, aku tidak mengetahui bahwa ini adalah jamuan yang disyariatkan. Karena hal ini dikait-kaitkan dengan haji dan kaidah mengatakan “segala sesuatu yang dikaitkan dengan sebuah hukum syar’i, butuh dalil untuk membenarkannya“.

Pertanyaan:

ظاهرة تنتشر في القرى خاصة بعد عودة الحجاج من مكة يعملون ولائم يسمونها ” ذبيحة للحجاج ” أو ” فرحة بالحجاج ” أو ” سلامة الحجاج ” ، وقد تكون هذه اللحوم من لحوم الأضاحي ، أو لحوم ذبائح جديدة ، ويصاحبها نوع من التبذير ، فما رأي فضيلتكم من الناحية الشرعية ، ومن الناحية الاجتماعية

Suatu hal yang sedang marak dilakukan oleh orang-orang, khususnya orang desa, ketika mereka kembali dari ibadah haji di Mekkah, mereka mengadakan jamuan makan yang dinamakan Dzabihah Lil Hujjaj atau Farhah Bil Hujjaj atau Salamatul Hujjaj. Terkadang makanannya adalah daging sembelihan biasa, terkadang daging sembelihan model baru. Dan biasanya dalam acara ini banyak pemborosan. Bagaimana pandangan anda wahai Syaikh, baik dari segi syar’i maupun dari segi sosial?

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjawab:

هذا لا بأس به ، لا بأس بإكرام الحجاج عند قدومهم ؛ لأن هذا يدل على الاحتفاء بهم ، ويشجعهم أيضاً على الحج ، لكن التبذير الذي أشرت إليه والإسراف هو الذي ينهى عنه ؛ لأن الإسراف منهي عنه ، سواء بهذه المناسبة ، أو غيرها ، قال الله تبارك وتعالى : ( وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ ) الأنعام/141 ، وقال تعالى : ( إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ) الإسراء/27 ، لكن إذا كانت وليمة مناسبة ، على قدر الحاضرين ، أو تزيد قليلاً : فهذا لا بأس به من الناحية الشرعية ،

Tidak mengapa mengadakannya. Boleh melakukannya dalam rangka memuliakan para jama’ah haji ketika mereka datang, karena acara ini merupakan bentuk penyambutan bagi mereka. Selain itu dapat memacu orang untuk berhaji. Namun pemborosan, sebagaimana yang engkau ceritakan, inilah yang terlarang. Karena pemborosan itu dilarang agama, baik dalam acara seperti ini maupun dalam acara lain. Allah Ta’ala berfirman:

وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ


“Jangan kalian berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan” (QS. Al An’am:141)

Allah Ta’ala juga berfirman:

إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ


“Sesungguhnya para pemboros itu saudaranya para setan” (QS. Al Isra: 27)

Bila jamuan makan ini hanya mengundang orang secukupnya atau lebih banyak sedikit, maka ini tidak mengapa (bukan pemborosan, pent.) dari segi syari’at.

ومن الناحية الاجتماعية ، وهذا لعله يكون في القرى ، أما في المدن فهو مفقود ، ونرى كثيراً من الناس يأتون من الحج ولا يقام لهم ولائم ، لكن في القرى الصغيرة هذه قد توجد ، ولا بأس به ، وأهل القرى عندهم كرم ، ولا يحب أحدهم أن يُقَصِّر على الآخر

Adapun dari segi sosial, sepertinya acara ini hanya ada di pedesaan saja, di perkotaan nampaknya sudah tidak ada lagi. Saya sudah sering melihat banyak orang datang dari haji namun mereka tidak mengadakan apa-apa. Namun di daerah pedesaan kecil memang terkadang masih kita jumpai, dan ini boleh-boleh saja. Orang pun desa memiliki keutamaan, dan tidak boleh meremehkan satu dengan yang lain.
 -------------------------------------------

Sunah minta do'a orang yang baru pulang haji dan hidangan tuan ruamah

Sudah menjadi tradisi bertamu ke rumah mereka yang baru pulang dari tanah suci untuk mohon didoakan dan juga meminta cinderamata yang dalam baha Blitar disebut ''Ziarah Haji''. Bahkan seringkali keluarga maupun tetangga mementingkan penyambutan dan berebut bersalaman lebih dahulu, dengan alasan tabarrukan do'a, setelah itu biasanya pihak tuan rumah memberi hidangan kepada para tamu.
Nah, apakah Ziarah Haji itu ada tuntunannya? karena dalam Ziarah Haji itu terdapat 2 unsur yaitu Meminta

Do'a dan menghidangkan makanan bagi tuan rumah maka kita bahas satu persatu.

1. Meminta Do'a Kepada orang yang Baru Pulang Haji
Meminta do'a kepada yang baru pulang haji sudah tepat karena dianjurkan (disunnahkan) bagi orang yang haji untuk memohonkan ampun (do’a maghfiroh) kepada orang lain.
Mereka yang baru datang dari tanah suci untuk melaksanakan ibadah haji bagaikan seorang bayi yang baru dilahirkan, masih suci dari dosa-dosa.

Oleh karena itu, do’a dan permohonannya memiliki nilai lebih. Karena kesuciannya itulah posisinya dianggap lebih dekat kepada Allah. Dan diharapkan do’a-do’anya akan terkabulkan.
Sebagain ulama berkata bahwa kondisi tersebut (kemakbulan do’a) dapat bertahan sebelum orang tersebut masuk ke dalam rumahnya. Namun ada yang mengatakan kondisi tersebut akan bertahan hingga empat puluh hari.

Hal ini diterangkan dalam Hasyiyatul Jamal:

وفيه أيضا مانصه ويندب للحاج الدعاء لغيره بالمغفرة وان لم يسأله ولغيره سؤاله الدعاء بها وفى الحديث (اذا لقيت الحاج فسلم عليه وصافحه ومره أن يدعولك فانه مغفور له) قال العلامة المناوى ظاهره أن طلب الاستغفار منه مؤقت بما قبل الدخول فان دخل فات لكن ذكر بعضهم انه يمتد أربعين يوما من مقدمه وفى الإحياء عن عمر رضي الله عنه أن ذلك يمتد بقية الحجة والمحرم وعشرين يوما من ربيع الأول

… dan dianjurkan (disunnahkan) bagi para haji untuk memohonkan ampun (do’a maghfiroh) kepada orang lain, walaupun mereka tidak memintanya. Demikian pula bagi mereka (yang tidak berangkat haji) agar meminta untuk dido’akan. Hal ini berdasar pada hadits Rasulullah saw “apabila kalian berjumpa dengan haji (orang yang pulang dari melaksanakan ibadah haji) maka salamilah dia dan jabatlah tangannya dan mintalah agar didoakan olehnya, karena doanya akan mengampunimu” Al-allamah al-Munawi berkata bahwa permitaan doa kepada haji ini sebaiknya dilakukan selama haji itu belum memasuki rumah.
Tetapi sebagian ulama mengatakan bahwa permintaan do’a ini dapat dilakukan hingga 40 hari sepulangnya dari rumah. Dalam kitab Ihya’ Ulumuddin diterangkan berdasakan cerita dari sahabat Umar ra. Keadaan ini dapat diberlangsungkan hingga akhir bulan Dzulhijjah, Muharram dan dua puluh hari Rabiul Awwal.

2. Menghidangkan Makanan kepada para tamu
Memberi hidangan kepada para tamu adalah shadaqah, selain itu seorang yang telah melaksanaknan haji disunnahkan mengadakan tasyakuran dengan menyembelih sapi atau unta.
Hal ini sebenarnaya bukanlah semata-mata tradisi belaka tetapi juga mengandung unsur ibadah yang jelas ada rujukan dalilnya sebagaimana ditrangkan dalam al-fiqh al-wadhih min al-kitab wa al-sunnah

يستحب للحاج بعد رجوعه الى بلده ان ينحر جملا او بقرة او يذبح شاة للفقراء والمساكين والجيران والاخوان تقربا الى الله عز وجل كما فعل النبي صلى الله عليه وسلم

Disunnahkan bagi orang yang baru pulang dari haji untuk menyembelih seekor onta, sapi atau kambing (untuk diberikan) kepada fakir, miskin, tetangga, saudara. (hal ini dilakukan) sebagai bentuk pedekatan diri kepada Allah Azza wa Jalla, sebagaimana yang telah diamalkan oleh Nabi saw.
Dalil ini berdasar pada hadits Rasulullah saw:

عن جابر بن عبد الله رضى الله عنهما أن النبي صلى الله عليه وسلم لما قدم المدينة نحر جزورا اوبقرة

Dari Jabir bin Abdullah ra. bahwa ketika Rasulullah saw datang ke Madinah (usai melaksanakan ibadah haji), beliau menyembelih kambing atau sapi.

Dari beberapa keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa Ziarah Haji atau berburu doa kepada orang yang baru pulang haji dan menghidangkan makanan bagi tuan rumah merupakan suatu ibadah sunnah yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Wallahu a'lam.

Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar