MAKNA TAUBAT
Setiap
manusia memiliki dosa baik dosa besar maupun kecil, dan manusia yang
baik bukanlah yang tak pernah bersalah, namun manusia yang baik adalah
yang ketika melakukan kesalahan ia tidak mengulangi untuk kedua kalinya.
Mengantisipasi keadaaan yang demikian Allah Swt memberi jalan untuk
mengeleminir dosa melalui taubat. Untuk itu taubat merupakan keharusan
bagi setiap manusia yang menyadari bahwa hidup ini bersifat fana, dan
tidak bisa lepas dari pertanggung jawaban di hadapan Allah Swt.
Taubat
(taubat) menurut bahasa, berati menyesal atau kembali (dengan menyesali
keadaan yang telah berlalu). Taubat kepada Allah mengandung arti antara
lain datang atau kembali kepada-Nya dengan perasaan menyesal atas
perbuatan atau sikap diri yang tidak benar di masa lalu dan dengan tekad
untuk taat kepada-Nya; dengan kata lain ia mengandung arti kembali
kepada sikap, perbuatan, atau pendirian yang lebih baik dan benar.[1]
Taubat
dari dosa yang dilakukan orang Mukmin dalam perjalanannya kepada Allah,
merupakan kewajiban beragama, diperintahkan al-Qur'anul-Karim dan
hadits. Semua ulama telah sepakat, baik ulama zhahiriyah, bathiniyah,
fiqih maupun pemerhati perilaku telah menyepakati hal ini.[2]
Taubat
mendapat porsi perhatian yang sangat besar dalam al-Qur'an, sebagaimana
yang tertuang di berbagai ayat dari surat Makkiyah maupun Madaniyah. Di
antaranya yang paling jelas dan nyata adalah,
"Hai
orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang
semurni-murninya, mudah-mudahan Rabb kalian akan menghapus
kesalahan-kesalahan kalian dan memasukkan kalian ke dalam surga yang
mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak
menghinakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersama dengan dia; sedang
cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil
mereka mengatakan, 'Wahai Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya
kami dan ampunilah kami, sesungguhnya Engkau Maha kuasa atas segala
sesuatu." (At-Tahrim, 28: 8).[3]
Ini
sekaligus merupakan seruan di dalam al-Qur'an yang ditujukan kepada
orang-orang Mukmin. Dia memerintahkan agar mereka bertaubat kepada Allah
dengan taubat yang sebenar-benarnya dan semurni-murninya, tulus dan
benar. Dasar hukum perintah dari Allah yang termuat di dalam al-Qur'an
menunjukkan kepada wajib, selagi tidak ada hal lain yang mengalihkannya
dari dasar ini. Sementara dalam masalah ini tidak ada yang
mengalihkannya. Yang demikian ini diharapkan agar mereka mengharapkan
dua tujuan yang fundamental, yang setiap orang Mukmin berusaha untuk
meraihnya, yaitu:
1. Penghapusan kesalahan-kesalahan.
2. Masuk ke surga.
Setiap
orang Mukmin juga sangat memerlukan kedua hal di atas, yaitu
pengampunan dosa dan penghapusan kesalahan. Sebab tidak ada seorang pun
yang terlepas dari dosa dan kesalahan, selaras dengan kontruksi
kemanusiaannya, yang di dalam dirinya terkandung dua unsur yang saling
berbeda: Unsur tanah bumi dan unsur ruh langit. Yang satu membelenggu
untuk dibawa ke bawah, dan satunya lagi melepaskannya untuk dibawa ke
atas. Yang pertama memungkinkan untuk menurunkannya ke kubangan binatang
atau bahkan lebih sesat lagi jalannya, sedangkan yang kedua
memungkinkan untuk mengangkatnya ke ufuk alam malaikat atau bahkan lebih
baik lagi. Karena itu setiap manusia mempunyai peluang untuk melakukan
keburukan dan berbuat dosa. Maka dia sangat membutuhkan taubatan nashuhan (taubat semurni-murninya), agar kesalahan-kesalahan yang telah dilakukannya terhapuskan.[4]
Tujuan
lain adalah harapan untuk masuk surga, karena tak ada orang yang tidak
menginginkannya. Pertanyaan yang muncul dari setiap orang Mukmin adalah
nasib perjalanannya di hari kemudian, apakah dia akan selamat pada hari
kiamat ataukah akan celaka? Apakah dia beruntung dan bahagia ataukah
menyesal dan menderita? Keselamatan, keberuntungan dan kebahagiaana ada
di surga, sedangkan kecelakaan, penyesalan dan penderitaan ada di
neraka. Firman Allah:
"Barangsiapa dijauhkan
dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh dia telah
beruntung. Kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang
memperdayakan." (Ali Imran, 4:185).[5]
Ayat lain yang disebutkan dalam al-Qur'an sehubungan dengan taubat adalah firman-Nya,
"Dan, bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kalian beruntung." (An-Nur, 18: 31).[6]
Di
dalam ayat ini Allah memerintahkan agar semua orang Mukmin mau
bertaubat dan tidak ada pengecualian bagi siapa pun di antara mereka,
seperti apa pun tingkat istiqamahnya, seperti apa pun derajatnya sebagai
orang yang bertakwa. Siapa pun perlu bertaubat. Di antara orang Mukmin
ada yang bertaubat dari dosa besar, karena dia merasa tersiksa dengan
dosa yang dilakukannya dan dia bukan orang yang terlindung dari dosa (ma 'shum).
Di antara mereka ada yang bertaubat dari dosa-dosa kecil yang
diharamkan, dan jarang sekali orang yang selamat dari dosa-dosa kecil
ini. Di antara mereka ada yang bertaubat dari syubhat. Sementara siapa
yang menjauhi syubhat, berarti telah menyelamatkan agama dan kehormatan
dirinya. Di antara mereka ada yang bertaubat dari hal-hal yang
dimakruhkan. Di antara mereka ada yang bertaubat dari kelalaian yang
selalu menghantui hati. Di antara mereka ada yang bertaubat dari
kondisinya yang senantiasa di bawah dan tak pernah naik ke tingkatan
yang lebih tinggi lagi.
Taubatnya orang-orang
awam tidak sama dengan taubatnya orang-orang khusus, terlebih lagi
taubatnya orang-orang yang lebih khusus lagi. Karena itu ada yang
berkata, "Kebaikan orang-orang yang berbuat bajik sama dengan keburukan orang-orang yang melakukan taqarrub." Tapi seperti yang disebutkan di dalam ayat ini, semua orang dituntut untuk bertaubat, agar mereka mendapatkan keberuntungan.[7]
Ayat
ini terdapat dalam surat Madaniyah, yang di dalamnya Allah berseru
kepada orang-orang yang beriman dan makhluk-makhluk pilihan-Nya, agar
mereka bertaubat kepada-Nya setelah mereka beriman, bersabar, berhijrah
dan berjihad. Kemudian Dia mengaitkan keberuntungan dengan taubat,
seperti kaitan sebab-akibat. Di sini digunakan kata "Supaya",
yang menggambarkan sebuah harapan. Dengan kata lain, jika kalian
bertaubat, berarti kalian berada dalam harapan untuk beruntung.
Sementara tidak ada yang mengharap keberuntungan kecuali orang-orang
yang bertaubat.[8]
Sebagian
ulama pemerhati perilaku berkata, "Taubat itu hukumnya wajib bagi
setiap orang, termasuk pula para nabi dan wali. Jangan beranggapan bahwa
taubat itu hanya dikhususkan bagi Adam Alaihis-Salam, sebagaimana
firman-Nya,
"…Dan, durhakalah Adam
kepadaRabbnya dan sesatlah ia. Kemudian Rabbnya memilihnya, maka Dia
menerima taubatnya dan memberinya petunjuk." (Thaha, 16: 121-122).[9]
Kesalahan dan kedurhakaan ini merupakan hukum azaly yang sudah ditetapkan terhadap jenis manusia, yang tidak bisa dirubah dan ditentang, kecuali jika ada perubahan sunnah Ilahy
yang melepaskan dirinya dari ketamakan, andaikan Dia ingin merubahnya.
Sementara bertaubat kepada Allah yang menjadi hak setiap manusia, amat
diperlukan, entah oleh nabi maupun orang bodoh, wali maupun orang sesat.
Abu Tamam mengisyaratkan sebuah hadits dari Anas,
"Setiap orang di antara kamu sekalian melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang melakukan kesalahan adalah yang bertaubat." (Diriwayatkan Ahmad).[10]
Sebagaimana
taubat yang diwajibkan kepada semua orang, ia juga diwajibkan dalam
keadaan bagaimana pun. Dengan kata lain, taubat ini harus dilakukan
secara berkelanjutan. Pengertian ini ditunjukkan keumuman dalil-dalil
yang ada, seperti firman Allah, "Bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah".
Setiap orang tidak lepas dari kedurhakaan yang dilakukan anggota
tubuhnya. Bahkan para nabi dan orang-orang pilihan pun tidak lepas dari
kedurhakaan ini, seperti yang disebutkan al-Qur'an dan berbagai
pengabaran. Mereka tidak lepas dari kesalahan, lalu mereka bertaubat,
menyesalinya dan membebaskan diri darinya.[11]
Kalaupun
pada kondisi tertentu seseorang terbebas dari kedurhakaan dengan
anggota tubuhnya, toh belum tentu dia terbebas dari hasrat di dalam hati
untuk berbuat dosa. Kalau pun dia terbebas dari hasrat ini, belum tentu
dia terbebas dari bisikan-bisikan syetan, yang membuatnya lupa
mengingat Allah. Jika dia terbebas dari bisikan syetan ini, belum tentu
dia terbebas dari kelalaian dan pengabaian ilmu tentang Allah dan
sifat-sifat-Nya. Semua ini mempakan kekurangan dan masing-masing ada
sebabnya. Meninggalkan sebab-sebabnya lalu menyibukkan diri dengan
kebalikannya, sama dengan meninggalkan jalan itu dan beralih ke jalan
kebalikannya. Manusia saling berbeda dalam kadar kekurangannya dan bukan
dalam dasarnya.[12]
Tidak
ada suatu kebaikan yang tidak disertai rintangan dan tantangan.
Demikian pun orang yang melakukan taubat akan mengalami berbagai
kendala. Lalu apa yang menghambat manusia untuk bertaubat dan
menundanya? Padahal dalam taubat inilah terdapat keselamatan dan
kebahagiaannya.
Tidak dapat diragukan bahwa
memang di sana ada beberapa macam penghalang dan penghambat bagi manusia
untuk bertaubat kepada Allah. Maka dari itu kita perlu mengalihkan
teropong ke masalah ini, sebagai upaya untuk mengidentifikasinya. Sebab
tidak ada yang mustahil selagi ada usaha yang sungguh-sungguh, tekad
yang bulat dan arah yang benar.
Sekalipun tidak
semuanya, mayoritas penghambat ini bersifat psikologis, yang timbul dari
dalam diri manusia itu sendiri, lalu berpengaruh terhadap perilakunya.
Sebagian di antaranya:
1. Meremehkan Dosa
Urutan
pertama dari berbagai macam penghambat ini adalah meremehkan dosa,
menganggapnya masalah yang enteng, hatinya tidak gundah dan tidak merasa
takut. Tidak dapat diragukan, ini merupakan dampak dari kebodohan
terhadap kedudukan Allah Azza wa Jalla, Pencipta makhluk, Raja dari
segala raja, yang memiliki keagungan dan kemuliaan, yang menciptakan
manusia dengan bentuk yang paling bagus, yang memuliakannya, yang
menundukkan isi langit dan bumi baginya, yang melimpahinya nikmat lahir
dan batin, yang dapat berbuat apa pun menurut kehendak-Nya dalam
kekuasaan-Nya, Yang Maha Perkasa lagi Menundukkan.[13]
Kedurhakaan terhadap sesembahan Yang agung ini tidak boleh diremehkan begitu saja. Apalagi jika seseorang berkata, "Andaikan saja setiap dosa kukerjakan seperti ini." Tapi dia harus menganggap besar setiap kedurhakaan yang dilakukannya terhadap hak Allah.
Ada
seorang salaf yang sakit. Ketika dijenguk rekan-rekannya, dia menangis
hingga sesenggukan. Mereka heran dibuatnya, lalu bertanya, "Mengapa
engkau menangis? Padahal selama hidupmu kami tidak pernah melihatmu
melakukan dosa besar, atau kurang sempurna dalam mengerjakan kewajiban
atau tidak memenuhi hak."
Dia menjawab, "Demi
Allah, aku menangis bukan karena kewajiban yang kutinggalkan,
kehormatan yang kulanggar atau hak yang kusia-siakan. Tetapi aku
menangis, karena aku takut ada dosa yang pernah kulakukan, lalu aku
menganggapnya kecil, padahal di sisi Allah adalah besar."[14]
Ini
mengisyaratkan kepada apa yang disebutkan di dalam al-Qur'an, tentang
kisah Ummul-Mukminin Aisyah, dan komentar sebagian orang-orang Muslim
berkaitan dengan berita bohong yang menyangkut dirinya. Berita bohong
itu sengaja disebarluaskan orang-orang munafik, merebak dari mulut ke
mulut, tanpa ada rasa takut dan yang tentu saja disertai dengan
cemoohan. Lalu turun ayat al-Qur'an yang menetralisir masalah ini,
"(Ingatlah)
pada waktu kalian menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan
kalian katakan dengan mulut kalian apa yang tidak kalian ketahui
sedikitpun, dan kalian menganggapnya sesuatu yang ringan saja, padahal
iapada sisi Allah adalah besar. Dan, mengapa kalian tidak berkata, di
waktu mendengar berita bohong itu, 'Sekali-kali tidaklah pantas bagi
kita memperkatakan ini. Mahasuci Engkau (Wahai Rabb kami), ini adalah
dusta yang besar'." (An-Nur: 15-16)[15]
Suatu
kali Aisyah pernah menyebut-nyebut madunya, dengan mengisyaratkan bahwa
dia itu pendek perawakannya. Nabi Saw yang mendengarnya bersabda,
"Wahai Aisyah, engkau telah mengucapkan satu kata yang andaikan engkau
mencampurnya dengan air laut, maka engkau bisa mencampurnya." Nabi Saw
juga telah memperingatkan untuk menjauhi dosa-dosa kecil, dengan
bersabda,
"Jauhilah oleh kalian dosa-dosa
kecil. Sesungguhnya perumpamaan dosa-dosa kecil itu seperti segolongan
orang yang singgah disuatu lembah. Satu orang datang membawa sepotong
dahan, dan orang lain datang membawa sepotong dahan yang lain, hingga
mereka membawa tumpukan dahan-dahan yang bisa digunakan untuk memasak
roti mereka. Sesungguhnya dosa-dosa kecil yang dilakukan pelakunya,
tentu akan membinasakannya." (Diriwayatkan Ahmad dan Ath-Thabrany).[16]
2. Angan-angan yang Mengada-ada
Di
antara sebab yang menghambat dan menunda taubat adalah angan-angan yang
mengada-ada dalam hidup ini. Artinya, seseorang menganggap hidupnya
masih panjang, bahwa kematiannya masih jauh, umurnya masih lama dan bisa
dia pergunakan untuk bercanda ria sesukanya, lalai, mengumbar hawa
nafsu dan mengikuti jalan syetan.
Bencana yang
biasa menimpa diri manusia ialah karena dia selalu beranggapan bahwa
hidupnya masih lama dan masih ingin menghindari dari jerat kematian
sekalipun kematian itu sudah tampak di depan matanya. Seorang pemuda
yang berumur dua puluh tahun berkata, "Aku akan bertaubat pada Allah setelah umur empat puluh tahun." Orang yang sudah berumur empat puluh tahun berkata, "Aku akan bertaubat setelah berumur enam puluh tahun." Orang yang berumur enam puluh tahun berkata, "Aku akan bertaubat setelah berumur tujuh puluh tahun."
Begitulah sifat manusia yang selalu ingin menghindar dari kematian,
padahal kematian itu terlalu dekat jaraknya dengan dia. Dia
berandai-andai untuk bertaubat, padahal dia sangat memerlukan taubat
itu.
Permasalahannya, kematian itu tidak perlu
meminta izin terlebih dahulu sebelum datang. la datang sekonyong-konyong
dan biasanya tidak diduga-duga. la bisa menyambar anak kecil sebelum
besar, menyambar pemuda sebelum dewasa, menyambar anak laki-laki sebelum
bapaknya, menyambar anak perempuan sebelum ibunya. Jenis kematian yang
paling diwaspadai adalah kematian secara tiba-tiba, yang menghampiri
seseorang sebelum dia bersiap-siap menyongsongnya, sebelum mencari bekal
untuk perjalanannya. Karena itu Nabi Saw berlindung dari kejahatannya.
Ini pula yang ditakuti orang-orang shalih terdahulu.[17]
Pada
zaman sekarang banyak penyebab kematian secara tiba-tiba, yang tidak
ada pada zaman dahulu, sekalipun zaman sekarang sudah ditunjang kemajuan
medis cara-cara penanggulangan berbagai macam problem. Hampir setiap
saat manusia bisa mendengar kabar tentang orang yang meninggal secara
mendadak, entah karena sakit jantung, dibunuh secara misterius, pembuluh
darah otak yang tersumbat, kecelakaan kereta api, kecelakaan pesawat
terbang dan lain sebagainya yang disebabkan kemajuan peradaban.[18]
Tidak
ada artinya seseorang menghindari dari kematian, apalagi dia bisa
melihat korban yang berjatuhan setiap saat. Andaikan dia benar-benar mau
melihat kejadian di sekitarnya dan orang-orang di sekitarnya, tentu dia
akan berpikir, berapa banyak kerabat yang telah mengucapkan kata
perpisahan, berapa banyak orang-orang yang dicintai telah berlalu,
berapa banyak rekan yang telah dikubur. Andaikan dia melihat daftar
nama-nama orang yang telah terbungkus debu, tentu dia akan berpikir
lebih jauh tentang semua ini.[19]
Karena itu Rasulullah Saw mengajarkan agar kita hidup di dunia ini
dengan jiwa orang asing. Kita di dunia ini seperti tamu yang terlalu
cepat pergi meninggalkan rumah, entah besok entah lusa. Rumah itu hanya
sekedar tempat singgah dan bukan tempat untuk menetap selama-lamanya.[20]
Dosa
yang berkaitan dengan hak hamba, terutama hak material, maka taubat
darinya tidak cukup hanya dengan menyesalinya dan membebaskan diri
darinya, tapi harus mengembalikan hak itu kepada pemiliknya atau meminta
pembebasan diri darinya, atau meminta maaf dan memohon pembebasan dari
pemenuhan hak karena Allah semata. Jika tidak, maka hak ini sama dengan
hutang yang harus dilunasinya, hingga kedua belah pihak harus membuat
perhitungan tersendiri pada hari kiamat, dengan menyerahkan kebaikannya
kepada orang yang memiliki hak itu. Jika kebaikan-kebaikannya tidak
mencukupi, maka keburukan-keburukan orang yang memiliki hak itu
dialihkan kepadanya, sampai akhirnya hak itu terpenuhi.
Inilah orang bangkrut seperti yang diperkenalkan dalam sebuah hadits shahih, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
"Tahukah
kalian siapakah orang yang bangkrut itu? " Mereka menjawab, "Orang yang
bangkrut di antara kami ialah yang tidak lagi memiliki dirham dan
barang dagangan ". Beliau bersabda, "Orang yang bangkrut di antara
umatku ialah yang datang pada hari kiamat dengan membawa (pahala)
shalat, puasa dan zakat. Dia datang padahal dulunya dia mencaci ini,
menuduh ini, memakan harta ini, menumpahkan darah ini, memukul ini, lalu
diberikan kepadanya ini dari kebaikan-kebaikannya. Jika
kebaikan-kebaikannya sudah habis sebelum dia diadili tentang apa yang
ada pada dirinya, maka diambilkan dari kesalahan-kesalahan mereka, lalu
dilemparkan kepadanya, kemudian dia dilemparkan ke neraka."
(Diriwayatkan Muslim dan At-Tirmidzy).[21]
Boleh
jadi dulunya dia termasuk orang yang kaya dan mempunyai banyak kebaikan
dan ketaatan. Tetapi kebaikan-kebaikannya itu belum mencukupi untuk
memenuhi hak sekian banyak orang yang pernah dizhaliminya, karena pada
hari itu seseorang tidak akan menenggang rasa terhadap orang lain dan
tidak ada pemenuhan terhadap hak-hak mereka kecuali dengan satu
timbangan, yaitu kebaikan dan keburukan.
Karena
itu Nabi Saw memerintahkan setiap orang yang pernah menzhalimi orang
lain walau sedikit pun, atau merampas sebagian dari hak material atau
spiritualnya, maka dia harus memutihkan hisab dengan orang yang
dizhaliminya itu selagi masih di dunia, sebelum kezhalimannya diputihkan
di akhirat. Caranya ialah dengan meminta maaf, atau meminta pembebasan
dirinya atau dengan cara membuat suatu persetujuan yang bisa
diterimanya.
[1] Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan Anggota IKAPI, Jakarta, 1992, hlm. 949.
[2] Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi, Risalah Qusyairiyah, disadur umar faruq, pustaka amani jakarta, 2002, hlm. 116.
[3] Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen agama, 1986, hlm. 951.
[4] Humaidi Tatapangarsa, Akhlaq Yang Mulia, PT.Bina Ilmu, Surabaya, 1980, hlm. 43-69.
[5] Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir, Op. Cit, hlm. 109.
[6] Ibid, hlm. 547.
[7] Sa’id Hawa, Intisari IhyaUlumuddin al-Ghazali, Mensucikan Jiwa, Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu, alih bahasa, Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, Robbani Press, Jakarta, 2002, hlm. 400-412.
[8] Ibnu Qayyim, Madarij al-Salikin Baina Manazilu Iyyaka Na’budu Waiyyaka Nasta’in, Dar al-Kitab al-Ilmiyyah, juz 1, hlm. 199-208.
[9] Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-qur’an, Op. Cit, hlm. 490-491.
[10] Al-Imam Abu Abdillah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hambal Asy-Syaibani al-Marwazi, Musnad Ahmad, Dar al-Ma’arif, Mesir, 1382 H/1953M, 340.
[11] Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, juz 1V, Toha Putra, Semarang, tth, 10-13.
[12] TM. Hasbi Ash-Shiddiqi, Al-Islam, jilid 1, Bulan Bintang, Jakarta, 1971, hlm. 465-475-
[13] Ibrahim Muhammad ibn Abdullah al-Buraikan, Pengantar Studi Aqidah Islam, terj.muhammad anis matta, robbani press, jakarta, 1998, hlm. 252.
[14] Humaidi Tatapangarsa, Op. Cit, hlm. 49.
[15] Yayasan Penterjemah/Pentafsir, Op. Cit, hlm. 543.
[16] Al-Imam Abu Abdillah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hambal Asy-Syaibani al-Marwazi, Musnad Ahmad, Dar al-Ma’arif, Mesir, 1382 H/1953 M, hlm. 243.
[17] Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi, Op. Cit, hlm. 117.
[18] Acmad Mubarok, Psikologi Qur’ani, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2002, hlm. 29.
[19] Jalaluddin, Psikologi Agama, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 175.
[20] Ramayulis, Pengantar Psikologi agama, Kalam Mulia, Jakarta, 2002, hlm. 68.
[21] al- Imam Abu Isa Muhammad ibn Isa ibn Saurah ibn Musa ibn ad -Dahak as-Salmi at-Turmuzi, Sunan at-Turmuzi, Kairo: Dar al-Kutub al-Misriyyah, 1931, hlm. 221.
MACAM-MACAM TAUBAT
Para sufi memiliki konsepsi tentang jalan menuju Allah. Jalan ini merupakan latihan-latihan rohaniah (riyadhah) yang dilakukan secara bertahap dalam menempuh berbagai fase, yang dikenal dengan maqamat (tingkatan-tingkatan) dan ahwal (keadaan-keadaan) kemudian berakhir dengan mengenal (ma'rifat) kepada Allah.[1]
Kebanyakan
sufi menjadikan taubat sebagai perhentian awal di jalan menuju Allah.
Pada tingkat terendah, taubat menyangkut dosa yang dilakukan jasad atau
anggota-anggota badan. Pada tingkat menengah, di samping menyangkut dosa
yang dilakukan jasad, taubat menyangkut pula pangkal dosa-dosa, seperti
dengki, sombong, dan riya. Pada tingkat yang lebih tinggi, taubat
menyangkut usaha menjauhkan bujukan setan dan menyadarkan jiwa akan rasa
bersalah. Pada tingkat terakhir, taubat berarti penyesalan atas
kelengahan pikiran dalam mengingat Allah. Taubat pada tingkat ini adalah
penolakan terhadap segala sesuatu yang dapat memalingkan dari jalan
Allah.[2]
Taubat agaknya diakui secara umum dalam pembahasan tasawuf sebagai maqam pertama yang harus dilalui dan dijalani oleh seorang salik.
Dikatakan, Allah tidak mendekati sebelum bertaubat. Karena dengan
taubat, jiwa seorang salik bersih dari dosa. Tuhan dapat didekati dengan
jiwa yang suci.
Menurut Dzun Nun al-Mishri, taubat dibedakan atas dua macam, yaitu taubat awamdan taubat khawas. Orang awam bertaubat karena kelalaian (dari mengingat Tuhan). Dalam ungkapan lain ia mengatakan dosa bagi al-muqarrabin (orang yang dekat kepada Allah) merupakan kebaikan bagi al-abrar. Pandangan ini mirip dengan pernyataan Al-Junaidi yang mengatakan bahwa taubat ialah "engkau melupakan dosamu".[3]
Perkataan
Al-Junaid mengandung arti bahwa kemanisan tindakan semacam itu
sepenuhnya menjauh dari hati, sehingga di dalam kesadaran tidak ada lagi
jejaknya, sampai orang itu merasa seakan-akan dia tidak pernah
mengetahuinya. Ruwaim berkata: "Arti taubat adalah bahwa engkau harus
bertaubat atas taubat itu." Arti ini mirip dengan yang dikatakan oleh
Rabi'ah: "Aku memohon ampun kepada Tuhan karena ketidak-tulusan dalam
berbicara; aku mohon ampun kepada Tuhan." Al-Husain al-Maghazili, ketika
ditanya mengenai taubat, berkata: "Apakah yang engkau tanyakan,
mengenai taubat peralihan, atau taubat tanggapan?" Yang lain berkata:
"Apakah arti taubat peralihan itu?" Ruwaim menjawab: "Bahwa engkau harus
takut kepada Tuhan karena kekuasaan-Nya atas dirimu." Yang lain
bertanya: "Dan apakah taubat tanggapan itu?" Ruwaim menyahut: "Bahwa
engkau harus malu kepada Tuhan karena Dia ada di dekatmu."[4]
Dzu'1-Nun
Al-Mishri berkata: "Taubat orang awam adalah taubat dari dosanya;
taubat orang terpilih adalah taubat dari kekhilafannya; taubat para nabi
adalah taubat dari kesadaran mereka akan ketidakmampuan mencapai apa
yang telah dicapai orang lain." Al-Nuri berkata: "Taubat berarti bahwa
engkau harus berpaling dari segala sesuatu kecuali Tuhan." Ibrahim
al-Daqqaq berkata: "Taubat berarti bahwa engkau harus menghadap Tuhan
tanpa berbalik lagi, bahkan jika sebelumnya engkau telah berbalik dari
Tuhan tanpa menghadap kembali.[5]
Pada
tahap ini, orang-orang yang mendambakan hakikat tidak lagi mengingat
dosa mereka karena terkalahkan oleh perhatian yang tertuju pada
kebesaran Tuhan dan zikir yang berkesinambungan. Lebih lanjut, Dzun Nun
Al-Mishri membedakan taubat atas tiga tingkatan, yaitu:
1. Orang yang bertaubat dari dosa dan keburukannya.
2. Orang yang bertaubat dari kelalaian dan kealfaan mengingat Allah.
3. Orang yang bertaubat karena memandang kebaikan dan ketaatannya.[6]
Pembagian
taubat atas tiga tingkatan agaknya tidak harus dilihat sebagai
keterangan yang bertentangan dengan apa yang telah disebut di atas. Pada
pembagian ini, Dzun Nun membagi lagi orang khawas menjadi dua bagian
sehingga jenis taubat dibedakan atas tiga macam.
Perkembangan
pemikiran itu boleh juga merupakan salah satu refleksi dari proses
pencairan hakikat oleh seorang sufi yang mengalami tahapan secara gradual. Bagi golongan khawas atau orang yang telah jadi sufi, yang dipandang dosa adalah ghaflah (terlena mengingat Tuhan). Ghaflah itulah dosa yang mematikan. Ghaflah adalah sumber munculnya segala dosa. Dengan demikian taubat merupakan pangkal tolak peralihan dari hidup lama (ghaflah)
ke kehidupan baru secara sufi. Yakni hidup selalu ingat pada Tuhan
sepanjang masa, Taubat berarti mengalami mati di dalam hidup (Jawa: mati sajroning urip). Yakni suatu proses peralihan dengan mematikan cara hidup lama yang ghaflah, dan membina cara hidup baru, hidup sufi yang selalu ingat dan rasa dekat pada Tuhan dalam segala keadaan.
Dalam kalangan ahli tarekat proses peralihan atau taubat ini dijalankan dengan upacara inisiasi atau baiat.
Pada upacara ini para calon sufi dimandikan dan diberi pakaian seperti
halnya mayat dikafani. Yakni simbol taubat atau mematikan cara hidup
lama dan beralih ke kehidupan tarekat. Karena taubat menurut sufi
terutama taubat dari ghaflah, maka kesempurnaan taubat menurut ajaran tasawuf adalah apabila telah tercapai maqam (التوية من توبته) Yakni mentaubati terhadap kesadaran keberadaan dirinya dan kesadaran akan taubatnya itu sendiri.[7]
[1] Abul al-Wafa' Al-Ghanimi Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Terj. Ahmad Rofi Utsmani, Bandung: Balai Pustaka, 1985, hlm. 35
[2] Al-Ghazali, Ihya 'Ulum Ad-Din, Juz IV, Mesir: Masyhad al-Husaini, t.th, hlm. 10-11
[3] M. Solihin, Tashawuf Tematik Membedah Tema-Tema Penting Tashawuf, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2003, hlm. 18
[4] Kalabadzi, Ajaran Kaum Sufi, Terj. Rahman Astuti, Bandung: Mizan Anggota Ikapi, 1990, hlm. 114
[5] Ibid.
[6] M. Sholihin, Op. Cit, hlm. 18
[7] Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 52-53
Tidak ada komentar:
Posting Komentar