KEDUDUKAN ILHAM DALAM ISLAM
Ilham, disebut juga intuisi atau inspirasi. Adalah bisikan hati, berupa
pengetahuan yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada
hambaNya, baik kepada Rasulullah n maupun selainnya. Ilham sering
dianggap oleh orang awam sebagai sebuah wangsit untuk melakukan sesuatu
atau meninggalkannya. Sedemikian berharganya ilham atau wangsit
tersebut, sehingga tidak jarang orang mengeluarkan biaya yang tidak
terhingga, atau melakukan aktivitas dan ritual yang bermacam-macam untuk
bisa mendapatkannya.
Bagaimana kedudukan ilham dalam Islam? Bisakah dijadikan hujjah atau
dalil dalam beramal? Bagaimana membedakannya dengan yang lainnya?
Berikut akan dibahas dalam tulisan ini.
ILHAM BAGI PARA NABI DAN RASUL
Ilham bagi para nabi dan rasul adalah wahyu, sebagaimana firman Allah.
وَمَاكَانَ لِبَشَرٍ أَن يُكَلِّمَهُ اللهُ إِلاَّ وَحْيًا أَوْ مِن
وَرَآئِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولاً فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَايَشَآءُ
إِنَّهُ عَلِىٌّ حَكِيمٌ
Dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan
dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan
mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan
seizinNya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha
Bijaksana. [Asy Syura:51].
Mujahid dalam menafsirkan ayat di atas berkata,”Membisikkan di hatinya
berupa ilham dariNya, sebagaimana diilhamkan kepada ibu Musa dan Nabi
Ibrahim untuk menyembelih puteranya. Imam Nawawi berkata, yang dimaksud
dengan wahyu pada ayat tersebut menurut jumhur ulama adalah ilham dan
mimpi ketika tidur, dan keduanya disebut wahyu. [Syarah Shahih Muslim,
III/6].
Sebagaimana wahyu, ilham diterima oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam dengan perantaraan Malaikat. Beliau mendapatkan sesuatu di
hatinya, tanpa mendengar suara Malaikat, sebagaimana hadits yang
diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda.
إِنَّ رُوْحَ الْقُدْسِ نَفَثَ فِي رَوْعِي إِنَّ نَفْساً لَنْ تَمُوْتَ
حَتَّى تَسْتَوْفِيَ رِزْقَهَا فَاتَّقُوْا اللهَ وَأَجْمِلُوْا فِي
الطَّلَبِ
Sesungguhnya Ruhulqudus (Jibril) membisikkan di hatiku, bahwasanya
sebuah jiwa tidak akan mati kecuali setelah disempurnakan rizkinya dan
ajalnya. Dan bertakwalah kepada Allah dan baiklah dalam berdo’a. [HR
Ibnu Hibban dan Hakim, dan di-shahihkan oleh Syaikh Albani dalam Fiqh
Sirah Al Ghazali, hal. 91-92].
Bisa juga ilham diterima langsung oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, ketika Beliau dalam keadaan
tidur, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas,
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Saya bangun pada
suatu malam dan shalat semampu saya, kemudian saya mengantuk dan merasa
berat. Tiba-tiba Rabb-ku dalam bentuk yang sebaik-baiknya dan berfirman:
Wahai Muhammad, tahukah kamu tentang apa para malaikat itu berdebat?
[HR Tirmidzi, dan di-shahihkan oleh Al Bani, Irwa’ 683].
Hadits ini menegaskan, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
menerima ilham dalam tidurnya tanpa perantaraan Malaikat. Karena itu
bukan termasuk wahyu dari balik tabir yang hanya terjadi ketika terjaga,
seperti ketika Allah Subhanahu wa Ta'ala berbicara dengan Nabi Musa
atau dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada malam mi’raj.
Dan yang dilihat oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam
tidur tersebut, bukanlah Malaikat. Karena beliau sendiri mengatakan
melihat Tuhannya, sehingga tidak mungkin dianggap wahyu dalam mimpi
lewat Malaikat. Dengan demikian, maka jelaslah yang diterima oleh
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah ilham secara langsung.
Ada perbedaan antara wahyu yang berupa kalam (pembicaraan) dengan wahyu yang berupa ilham.
Wahyu berupa kalam harus dengan suara yang bisa didengar baik secara
langsung dari Allah Subhanahu wa Ta'ala atau lewat Malaikat, atau
seperti gemercingan lonceng yang terkadang bisa didengar oleh para
sahabat. Wahyu berupa kalam, juga hanya bisa terjadi ketika terjaga.
Karena seorang yang tidur tidak bisa mendengar dan memahami suara.
Adapun wahyu berupa ilham hanya berupa perasaan dalam hati Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam yang tidak disyaratkan harus ada suara
yang didengar. Ini bisa terjadi pada saat terjaga atau ketika tertidur.
Karena seseorang bisa saja memahami apa yang pernah terjadi dalam
mimpinya ketika tidur. Itulah sebabnya, mimpi seorang nabi juga termasuk
wahyu yang harus diterima dan diamalkan sebagaimana yang dilakukan oleh
Ibrahim, ketika bermimpi menyembelih puteranya. Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman: Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup)
berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata,"Hai anakku sesungguhnya
aku melihat dalam mimpi, bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa
pendapatmu!" Ia menjawab,"Hai bapakku, kerjakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk
orang-orang yang sabar." Tatkala keduanya telah berserah diri dan
Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran
keduanya) Dan Kami panggillah dia: Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah
membenarkan mimpi itu; sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan
kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu
ujian yang nyata. [Ash Shaffat:102-106]
Ibnu Abi Ashim dalam kitabnya, As Sunnah I/ 202 menyebutkan perkataan
Ibnu Abbas bahwa,”Mimpi para nabi termasuk wahyu.” Ubaid bin Umar juga
berkata demikian, kemudian membaca firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,
“Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi, bahwa aku
menyembelihmu.” [HR Bukhari].
Ibnu Hajar berkata,”Fokus pengambilan dalil dari ayat tersebut, bahwa
mimpi para nabi termasuk wahyu. Karena, kalau itu bukan wahyu, maka
tidak boleh dan tidak mungkin Nabi Ibrahim menyembelih puteranya.”
[Fathul Bari, 1/239].
Abdullah bin Mas’ud menambahkan, bahwa yang pertama diterima oleh
Rasulullah n sebelum wahyu adalah mimpi ketika tertidur, sebagai
persiapan bagi hatinya untuk menerima wahyu yang akan diturunkan
kepadanya ketika terjaga, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Aisyah,
Beliau berkata,”Yang pertama kali menjadi permulaan wahyu kepada
Rasulullah adalah mimpi yang baik ketika tidur. Beliau tidak bermimpi
kecuali datang seperti cahaya shubuh.” [HR Bukhari].
Dengan demikian maka disepakati, bahwa mimpi para nabi adalah wahyu. Dan
ilham yang bisa terjadi ketika tidur, juga termasuk wahyu dari Allah
Subhanahu wa Ta'ala .
ILHAM UNTUK SELAIN NABI
Selain Nabi bisa juga mendapatkan ilham, baik ketika sadar ataupun lewat
mimpi. Dalil yang menunjukkan kemungkinan selain Nabi mendapatkan
ilham, diantaranya sebagai berikut:
1. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.”Hai orang-orang beriman, jika kamu
bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqaan dan
menghapuskan segala kesalahan-kesalahan dan mengampuni (dosa-dosa)mu.
Dan Allah mempunyai karunia yang besar. [Al Anfal:29].
Syaikh Muhammad Amin Al Syinqithi dalam menafsirkan ayat ini
berkata,”Ini menunjukkan, bahwa yang dimaksud dengan al furqan dalam
ayat ini adalah ilmu (pengetahuan) yang bisa membedakan antara yang hak
dan batil, sebagaimana firman Allah l ,“Hai orang-orang yang beriman
(kepada para rasul), bertaqwalah kepada Allah dan berimanlah kepada
RasulNya, niscaya Allah memberikan rahmatNya kepadamu dua bagian, dan
menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan
Dia mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS
Al Hadid:28).
Firman Allah: dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu
dapat berjalan. Dan dengan itulah bisa membedakan antara yang hak dan
batil. [Adhwa’ Al Bayan, 4/349].
Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta'ala menjanjikan kepada siapa saja
yang bertakwa kepadaNya akan diberikan al furqan. Orang yang telah
mendapatkan al furqan dari Allah, pasti memiliki ilmu dan petunjuk yang
tidak dimiliki oleh orang lain. Karena al furqan tersebut hanya
dikhususkan kepada siapa saja yang takut kepada Allah Subhanahu wa
Ta'ala. Merupakan pemberian Allah Subhanahu wa Ta'ala yang tidak bisa
dicari dan dipelajari.
Banyak hadits-hadits yang menjelaskan dan menjabarkan makna al furqan
tersebut. Diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh Abi Malik Al
Anshari, Rasulullah n bersabda,”Shalat sebagai nur, shadaqah sebagai
bukti, kesabaran sebagai cahaya, Al Qur’an sebagai hujjah bagimu atau
atasmu. [HR.Muslim].
Maksudnya barangsiapa yang diberi Allah l berupa: nur, cahaya, dan
burhan, maka ia telah menerima al furqan. Yang dengannya, ia bisa
membedakan antara yang hak dan yang batil. Kemampuan seperti ini juga
termasuk ilham dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Juga hadits tentang waliyullah yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Rasulullah n bersabda.
إِنَّ اللَّهَ قَالَ مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ
بِالْحَرْبِ وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ
مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ
بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ
الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِي
يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا وَإِنْ سَأَلَنِي
لَأُعْطِيَنَّهُ وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ ) صحيح البخاري,
كتاب الرقاق باب التواضع رقم الحديث :6137 الجزء :5 الصفحة :2384
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,”Barangsiapa yang memusuhi waliKu,
maka Kuizinkan ia diperangi. Tidaklah hambaKu mendekatkan diri kepadaKu
dengan suatu amal lebih Aku sukai daripada jika ia mengerjakan amal yang
Aku wajibkan kepadanya. HambaKu senantiasa mendekatkan diri kepadaKu
dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Apabila Aku telah
mencintainya, Aku menjadi pendengaran yang ia mendengar dengannya,
menjadi penglihatan yang ia melihat dengannya, menjadi tangan yang ia
memegang dengannya, sebagai kaki yang ia berjalan dengannya. Jika ia
meminta kepadaKu pasti Aku beri, dan jika ia minta perlindungan kepadaKu
pasti Aku lindungi. [HR.Bukhari].
Ibnu Hajar Al Asqalani menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan “Allah
Subhanahu wa Ta'ala sebagai telinga, mata dan kaki” pada hadits ini
ialah; Pertama, Aku (Allah) yang menjadikan pendengaran dan pandangannya
menjadi mencintai ketaatanKu dan lebih mendahulukan beribadah kepadaKu.
Kedua, semua anggotanya akan sibuk denganKu, dia tidak mendengarkan
sesuatu kecuai apa yang Aku ridhai, dan tidak memalingkan pandangannya
kecuali untuk apa yang Aku perintahkan. Ketiga, Aku akan memenuhi semua
keinginannya yang dicapai lewat pendengaran dan penglihatannya. Keempat,
Aku yang akan menolongnya pada pendengaran, penglihatan dan kakinya
dalam menghadapi musuhnya. Kelima, Aku akan menjaga pendengaranya
sehingga tidak akan mendengar sesuatu, kecuali apa yang Aku perbolehkan
untuk mendengarnya. Keenam, mereka tidak mendengar kecuali namaKu, tidak
melihat kecuali ayat-ayatKu. Kedua makna ini yang menjadi pendapat Al
Fakihani dan Ibnu Hubairah. Ketujuh, menunjukkan cepatnya terkabul
do’anya dan berhasil usahanya. Ini disebutkan oleh Al Khaththabi. Semua
makna ini tidaklah bertentangan. [Fathul Bari, Juz 14/128-129]. Karena
pada intinya -dengan ketaatannya- seorang hamba akan mendapatkan ilham
berupa “Allah l akan menjadi telinga, mata dan kaki” dengan makna yang
tersebut di atas.
2. Hadits yang menjelaskan tentang fadhilah Umar bin Khattab, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
قَدْ كَانَ يَكُونُ فِي الْأُمَمِ قَبْلَكُمْ مُحَدَّثُونَ فَإِنْ يَكُنْ
فِي أُمَّتِي مِنْهُمْ أَحَدٌ فَإِنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ مِنْهُمْ
قَالَ ابْنُ وَهْبٍ تَفْسِيرُ مُحَدَّثُونَ مُلْهَمُونَ
Sesungguhnya telah ada pada umat-umat sebelummu muhaddatsun, dan kalau
ada pada umatku seorang darinya, maka Umar bin Al Khattab adalah
orangnya.
Ibnu Wahb berkata: makna muhaddatsun adalah mulhamun (orang yang mendapatkan ilham). [HR.Muslim]
Ibnu Hajar dalam menafsirkan kata al muhaddats, berkata: al muhaddats
dengan fathah dal-nya, yaitu seorang yang benar persangkaannya. Yaitu
orang yang dicampakkan pada hatinya sesuatu dari Malaikat. Maka
seakan-akan ada orang lain yang memberitahukannya. Sebagaian menafsirkan
al muhaddats dengan mukallam, yaitu orang yang dilawan bicara oleh
Malaikat yang bukan nabi. Atau pembicaraan dalam hatinya sekalipun dia
tidak melihat Malaikat yang berbicara dengannya. Dalam Musnad Al Humaidi
disebutkan, bahwa al muhaddats adalah orang yang diilhami kebaikan di
dalam hatinya. Dalam riwayat Tirmidzi dari Ibnu Uyainah, mengatakan:
yang dimaksud dengan al muhaddats adalah al mufahhamun (orang-orang yang
diberi kepahaman). [Fathul Bari, 7/50].
3. Dari Nawwas bin Sam’an, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ ضَرَبَ مَثَلًا صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا عَلَى
كَنَفَيِ الصِّرَاطِ سُوْرَانِ لَهُمَا أَبْوَابٌ مُفَتَّحَةٌ وَعَلَى
الْأَبْوَابِ سُتُورٌ وَدَاعٍ يَدْعُو عَلَى رَأْسِ الصِّرَاطِ وَدَاعٍ
يَدْعُو مِنْ فَوْقِهِ ( وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى دَارِ السَّلَامِ
وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ ) فَالْأَبْوَابُ
الَّتِي عَلَى كَنَفَيِ الصِّرَاطِ حُدُودُ اللَّهِ لَا يَقَعُ أَحَدٌ فِي
حُدُودِ اللَّهِ حَتَّى يُكْشَفَ سِتْرُ اللَّهِ وَالَّذِي يَدْعُو مِنْ
فَوْقِهِ وَاعِظُ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ *
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala membuat perumpamaan dengan
shirath yang lurus. Di sampingnya ada dua tembok yang mempunyai pintu
terbuka. Dan di setiap pintu ada tirai dan penyeru yang mengajak kepada
ujung shirat dan penyeru di atasnya. Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala
mengajak ke Daar Al Salam dan memberi petunjuk kepada siapa yang
dikehendaki. Pintu-pintu yang ada di samping shirath adalah hududullah
(larangan-larangan) Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dan tidak ada seorangpun
yang jatuh kepada larangan Allah Subhanahu wa Ta'ala sehingga membuka
tirai. Dan penyeru yang ada di atasnya adalah peringatan Rabbnya Azza wa
Jalla. [HR Ahmad, Tirmidzi dan Hakim, ia berkata shahih ‘ala syarti
Muslim; Imam Al Albani dalam kitab As Sunnah; Ibnu Abi Ashim hal.14-15].
Ibnu al-Qayyim berkata; yang dimaksud dengan al waiz (peringatan) Allah
Subhanahu wa Ta'ala ialah ilham yang ada dalam hati seorang muslim,
diberikan Allah Subhanahu wa Ta'ala lewat perantaraan Malaikat. [Madarij
Al Salikin, 1/46].
4. Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada para sahabat yang
membenarkan mimpi mereka tentang lailatul qadar. Sebagaimana
diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar, bahwa ada seorang sahabat yang
melihat lailatul qadar ketika tidur pada malam duapuluh tujuh terakhir.
Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
أَرَى رُؤْيَاكُمْ قَدْ تَوَاطَأَتْ فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ فَمَنْ
كَانَ مُتَحَرِّيهَا فَلْيَتَحَرَّهَا فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ
Saya melihat seperti mimpimu telah ada pada tujuh terakhir. Barangsiapa
yang ingin mencarinya, maka hendaknya dicari pada malam ketujuh
terakhir. [HR Bukhari]
Seperti ini juga yang terjadi pada kisah permulaan azdan. Yaitu Abdullah
bin Dzaid diajari tata cara adzan lewat mimpinya. Ketika
memberitahukannya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,
Beliau bersabda.
إِنَّهَا لَرُؤْيَا حَقٌّ إِنْ شَاءَ اللَّهُ فَقُمْ مَعَ بِلَالٍ فَأَلْقِ
عَلَيْهِ مَا رَأَيْتَ فَلْيُؤَذِّنْ بِهِ فَإِنَّهُ أَنْدَى صَوْتًا
مِنْكَ فَقُمْتُ مَعَ بِلَالٍ فَجَعَلْتُ أُلْقِيهِ عَلَيْهِ وَيُؤَذِّنُ
بِهِ قَالَ فَسَمِعَ ذَلِكَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَهُوَ فِي بَيْتِهِ
فَخَرَجَ يَجُرُّ رِدَاءَهُ وَيَقُولُ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ يَا
رَسُولَ اللَّهِ لَقَدْ رَأَيْتُ مِثْلَ مَا رَأَى فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلِلَّهِ الْحَمْدُ
Sesungguhnya itu benar-benar mimpi yang baik Insya Allah Subhanahu wa
Ta'ala. Pergilah kepada Bilal dan ajarkanlah apa yang anda lihat, dan
adzanlah dengannya, karena dia lebih keras suaranya darimu. Umar
mendengar yang demikian itu di rumahnya, kemudian keluar dengan mengulur
selendangnya dan berkata,”Demi Yang mengutusmu dengan kebenaran, wahai
Rasulullah. Saya pernah bermimpi seperti mimpinya.” Rasulullah n
bersabda,”Segala puji bagi Allah.“ [HR Abu Daud, Ibnu Khuzaimah dan dia
menshahihkannya; Albani berkata, sanadnya hasan].
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membenarkan mimpi para sahabat
tersebut, sehingga ia bisa dijadikan hujjah, Seandainya Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam tidak membenarkannya maka mimpi selain Nabi tidak
bisa dijadikan dalil.
5. Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
رُؤْيَا الْمُؤْمِنِ جُزْءٌ مِنْ سِتَّةٍ وَأَرْبَعِينَ جُزْءًا مِنَ النُّبُوَّةِ
Mimpi seorang mukmin adalah empat puluh enam bagian dari kenabian. [HR Bukhari].
Sebagian ulama mengatakan penisbatan mimpi kepada kenabian bukan dengan
hakikatnya. Karena yang demikian akan mengurangi kredibilitas kenabian.
Mimpi bukanlah bagian dari kenabian, kecuali kepada Nabi. [Fath, 10/60]
Namun yang dimaksud dengan al nubuwah di sini adalah al wahyu secara
umum. Rasulullah menyebutkan mimpi semua mukmin dan tidak
menghususkannya hanya kepada seorang Nabi. Mimpi merupakan bagian dari
wahyu secara umum. Namun seseorang tidak akan menjadi nabi hanya sekedar
bermimpi baik tersebut. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
sendiri, sebelum diturunkan Al Qur’an banyak bermimpi yang baik, namun
Beliau belum diangkat sebagai nabi kecuali setelah diturunkannya Al
Qur’an sebagai wahyu yang pertama.
Imam Al Aini berkata,”Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mulai
mendapatkan mimpi yang baik agar tidak dikejutkan oleh datangnya
Malaikat yang membawa kenabian yang sangat berat, yang tidak mampu
dipikul oleh manusia biasa. Pendahuluan berupa mimpi, mendengar suara,
ucapan salam dari batu dan pohon, kemudian disempurnakan dengan kenabian
berupa datangnya Malaikat Jibril dalam keadaan terjaga.” [Umdah Al
Qari’, 1/60].
Namun, apakah mimpi semua orang bisa dianggap bagian dari kenabian?
Ketika Imam Malik ditanya demikian, Beliau membantah dan
mengatakan,”Apakah mereka akan mempermainkan kenabian? Mimpi memang bisa
menjadi bagian dari kenabian, tetapi jangan sekali-sekali bermain-main
dengan masalah kenabian!” [Tamhid, Ibni Abdi Al Baar,1/288]
Kesimpulannya, mimpi yang baik itu merupakan bagian dari kenabian dari
segi wahyu yang umum. Yaitu berupa ilham yang diberikan Allah ketika
tidur. Ubadah bin Shamith berkata,”Mimpi seorang mukmin sebuah kalam
(pembicaraan) yang Allah berbicara dengan hambaNya ketika tidur.”
[Madarij Al Salikin, 1/51].
Dengan demikian wahyu secara umum bukan saja diberikan kepada para nabi,
tetapi juga kepada selain nabi yang berupa ilham. Wahyu kepada para
nabi sifatnya terjaga dari kekeliruan (ma’shum), berbeda dengan
selainnya. Banyak ayat yang menjelaskan tentang penggunaan kata wahyu
kepada selain nabi di antaranya:
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
وَأَوْحَيْنَآ إِلَى أُمِّ مُوسَى أَنْ أَرْضِعِيهِ فَإِذَا خِفْتِ
عَلَيْهِ فَأَلْقِيهِ فِي الْيَمِّ وَلاَتَخَافِي وَلاَتَحْزَنِي إِنَّا
رَآدُّوهُ إِلَيْكِ وَجَاعِلُوهُ مِنَ الْمُرْسَلِينَ
Dan Kami (wahyukan) ilhamkan kepada ibu Musa,"Susuilah dia, dan apabila
kamu khawatir terhadapnya, maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan
janganlah kamu khawatir dan jangan (pula) bersedih hati, karena
sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya
(salah seorang) dari para rasul. [Al Qashash:7].
Juga firman Allah Subhanahu wa Ta'ala
وَإِذْأَوْحَيْتُ إِلَى الْحَوَارِيِّينَ أَنْ ءَامِنُوا بِي وَبِرَسُولِي قَالُوا ءَامَنَّا وَاشْهَدْ بِأَنَّنَا مُسْلِمُونَ
Dan (ingatlah), ketika Aku (wahyukan) ilhamkan kepada pengikut Isa yang
setia,"Berimanlah kamu kepadaKu dan kepada RasulKu." Mereka
menjawab,"Kami telah beriman dan saksikanlah (wahai Rasul), bahwa
sesungguhnya kami adalah orang-orang yang patuh (kepada seruanmu)." [Al
Maidah:111].
Juga Alla Subhanahu wa Ta'ala l berfirman,
وَأَوْحَى رَبُّكِ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ
Dan Rabbmu mewahyukan kepada lebah,"Buatlah sarang-sarang di
bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin
manusia." [An Nahl:68]
.
Tidak mesti ibunya Musa, Hawariyun apalagi lebah dengan mendapatkan
wahyu dari Allah l akan menjadi seorang nabi. Dalam hal ini, Syaikul
Islam Ibnu Taimiyah berkata,”Dengan demikian wahyu adalah pemberitahuan
yang cepat dan tersembunyi, baik ketika terjaga maupun mimpi. Mimpi para
nabi ialah wahyu, dan mimpi orang mukmin ialah empat puluh enam bagian
dari kenabian, sebagaimana yang tsabit (pasti) dari Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih.”
Ubadah bin Shamith berkata,”Mimpi orang mukmin termasuk kalam
(percakapan) yang dilakukan oleh Allah l dengan hambaNya ketika tidur,
begitu juga ketika terjaga, sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah n
pada hadits tentang fadhilah Umar di atas. Wahyu yang dimaksud di sini
adalah ilham. Diberikan Allah l kepada selain nabi, yang bisa terjadi
ketika tidur atau terjaga.” (Majmu’ Fatawa, 12/398).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar