Minggu, 06 Agustus 2017

Hukum Bersentuhan dengan Bukan Mahram Saat Thawaf


Thawaf merupakan salah satu rukun haji yang tidak bisa ditinggal atau diwakilkan kepada siapapun. Pada tahun 2016, jamaah haji mencapai 1,8 juta orang lebih dengan masing-masing hujjaj mempunyai rukun haji yang sama yaitu menjalankan thawaf, belum lagi mereka yang menjalankan thawaf sunah, berapa banyak kelipatannya.

Merupakan hal yang cukup sulit bagi siapa saja untuk bisa mencari waktu senggang, mencari waktu di mana Masjidil Haram sepi dari lautan manusia di musim haji sehingga mereka bisa menjalankan thawaf secara leluasa tanpa bersentuhan lawan jenis, cukup susah.

Jamaah haji asal Indonesia didominasi pengikut madzhab Syafi'i yang berarti mereka mengikuti pendapat bahwa bersentuhan antara laki-laki dan perempuan tanpa penghalang adalah salah satu hal yang bisa membatalkan wudhu sebagaimana pendapat yang masyhur dalam kalangan Syafiiyah.

Ada pendapat lintas madzhab yang menyatakan bahwa bersentuhan lain jenis tidak membatalkan wudhu selama tidak syahwat namun dengan syarat harus pindah ke madzhab lain (intiqalul madzhab). Konskuensinya jika seseorang ingin pindah ke luar madzhab syafi'i maka harus pindah satu paket (satu qadliyah). Artinya mengikuti madzhab lain itu mulai dari syarat rukun hingga batalnya wudhu, tidak boleh setengah-setengah. Bagi masyarakat umum, hal ini cukup rumit.

Sayid Abdurrahman Baalawi mengeluarkan sebuah kutipan tentang intiqalul madzhab yang bersumber dari Al-Kurdi dalam Al-Fawaidul Madaniyyah yang mengemukakan bahwa lebih baik mengikuti pendapat lemah dalam satu madzhab dari pada taklid (mengekor) kepada madzhab lain karena kesukaran dalam memenuhi segala syarat-syaratnya.

... نعم في الفوائد المدنية للكردي أن تقليد القول أو الوجه الضعيف في المذهب بشرطه أولى من تقليد مذهب الغير لعسر اجتماع شروطه اهـ

Artinya, “..... iya memang, dalam Al-Fawaidul Madaniyah karya Al-Kurdi, bahwa taklid pada satu pendapat atau wajah yang dhaif dalam satu madzhab dengan (memenuhi) syaratnya itu lebih utama dari pada taklid kepada madzhab lain karena susah terpenuhi berbagai macam syaratnya, (Lihat Sayyid Abdurrahman Ba‘alawi, Bughyatul Mustarsyidin, Darul Fikr, halaman 16).

Dalam masalah thawaf, yang susah untuk dihindari adalah sentuhan antara laki-laki dengan perempuan lain mahram. Imam Nawawi mengatakan, sentuhan lain jenis dalam thawaf tersebut merupakan cobaan yang umum.

Ia menceritakan ada sebagian pandangan dalam madzhab Syafi'i yang menegaskan di antara orang yang berlainan jenis jika bersentuhan itu mempunyai hukum dua sisi.

Sisi yang pertama adalah bagi yang menyentuh (al-lamis). Ulama Syafiiyyah sepakat bahwa orang yang menyengaja menyentuh hukumnya batal.

Adapun sisi kedua adalah yang orang disentuh (al-malmus). Bagi orang yang disentuh (tidak sengaja menyentuh) terdapat dua pendapat. Menurut pendapat yang paling shahih adalah batal, sedangkan menurut pendapat sebagian ulama tidak batal.

Pendapat kedua inilah yang kemudian melahirkan sebuah kelonggaran bagi penganut madzhab Syafi'i dalam berthawaf. Redaksi yang dikemukakan Imam Nawawi sebagai berikut.

مما تعم به البلوى في الطواف ملامسة النساء للزحمة ، فينبغي للرجل أن لا يزاحمهن ولها أن لا تزاحم الرجال خوفا من انتقاض الطهارة ، فإن لمس أحدهما بشرة الآخر ببشرته انتقض طهور اللامس وفي الملموس قولان للشافعي رحمه الله تعالي أصحهما أنه ينتقض وضوءه وهو نصه في أكثر كتبه ، والثاني لا ينتقض واختاره جماعة قليلة من أصحابه والمختار الأول

Artinya, “Termasuk cobaan yang merata dalam thawaf adalah sentuhan dengan wanita karena berdesak-desakan. Sebaiknya bagi lelaki untuk tidak berdesak-desakan dengan para wanita tersebut. Begitu pula bagi para wanita jangan berdesakan dengan para lelaki karena kekhawatiran akan terjadi batalnya wudhu. Sesungguhnya bersentuhan salah satu dari keduanya terhadap kulit yang lain bisa menyebabkan batalnya kesucian orang yang menyentuh. Sedangkan bagi orang yang disentuh, terdapat dua pendapat dalam madzhab Syafi'i rahimahullah. Menurut pendapat yang paling sahih adalah batal wudhunya orang yang disentuh. Itu merupakan redaksi tekstual yang terdapat dalam mayoritas kitab-kitab Syafii. Adapun pendapat kedua mengatakan tidak batal. Pendapat ini dipilih oleh sebagian kecil golongan pengikut Syafi'i. Sedangkan pendapat yang terpilih adalah yang pertama,” (Lihat Imam Nawawi, Al-Idhah fi Manasikil Hajj wal Umrah, Al-Maktabah Al-Imdadiyah, halaman 220-221).

Setidaknya, dari pendapat yang semula dianggap lemah karena memang bertentangan dengan pendapat yang kuat dan masyhur di kalangan Syafiiyah, oleh Imam Nawawi kemudian memberi arahan bagi orang yang thawaf untuk menggunakan pendapat minoritas sebab keadaan yang memang sangat sulit dihindari.

Antara Sayyid Abdurrahman dan Imam Nawawi dalam masalah thawaf ini dapat ditarik sebuah benang merah kesimpulan, karena sulitnya memenuhi kriteria pindah madzhab dan karena kondisi Masjidil Haram yang tidak bisa dihindari dalam masalah persentuhan lawan jenis, maka pengikut madzhab Syafi'i tidak perlu pindah madzhab. Itu yang pertama.

Yang kedua, dalam hal batalnya wudhu, mereka tetap dapat mengikuti madzhab syafi'i asalkan tidak menyengaja menyentuh lawan jenis. Selama tidak menyengaja, tidak membatalkan wudhu.

Ketiga, pendapat bahwa bersentuhan lain jenis itu tidak batal memang tidak disarankan untuk digunakan dalam kondisi normal, hanya karena cobaan yang merata bagi orang yang thawaf, pendapat ini cukup menjadi solusi dan boleh digunakan sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Nawawi. (Ahmad Mundzir)
Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar