Menjelang datangnya hari raya Idul Adha di tahun 1438 H atau 2017 M yang Insyaallah bertepatan dengan hari jumat, banyak beredar asumsi di tengah masyarakat, bahwa dengan melaksanakan shalat id maka gugurlah kewajiban melaksanakan shalat Jum’at. Masih menurut asumsi, hal ini merujuk pada hadits:
اجْتَمَعَ عِيدَانِ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي يَوْمٍ وَاحِد، فَصَلَّى الْعِيدَ فِي أَوَّلِ النَّهَارِ وَقَالَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ إنَّ هَذَا يَوْمٌ قَدْ اجْتَمَعَ لَكُمْ فِيهِ عِيدَانِ، فَمَنْ أَحَبّ أَنْ يَشْهَدَ مَعَنَا الْجُمُعَةَ، فَلْيَفْعَلْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْصَرِفَ، فَلْيَفْعَلْ. (رَوَاهُ أَبُو دَاوُد وَالْحَاكِمُ وَقَالَ: صَحِيحُ الْإِسْنَادِ)
“Telah berkumpul dua hari raya di masa Nabi Saw dalam sehari. Lalu Nabi Saw shalat Id di permulaan siang dan bersabda: “Wahai manusia, sungguh ini hari yang telah berkumpul pada kalian di dalamnya dua hari raya, maka barangsiapa yang suka untuk hadir shalat Jum’at bersama kami lakukanlah, dan barangsiapa yang suka untuk pulang lakukanlah. (HR. Abu Dawud dan al-Hakim yan berkata: “Shahih sanadnya.”)Pertanyaannya, benarkah asumsi seperti itu? Bagaimanakah prespektif ulama dalam menanggapinya?
Mazhab Syafi’i
Menjawab pertanyaan di atas, Imam al-Mawardi dalam karyanya al-Hawi al-Kabir (II/1140) menyatakan:
Mayoritas Fuqaha’ memaparkan kewajiban shalat Jumat tidak gugur bagi penduduk setempat (tempat dilaksanakannya shalat Jum’at), dan karena ibadah shalat Jum’at adalah wajib sedangkan shalat Id adalah sunnah, maka sunnah tidak bisa menggugurkan wajib. Sedangkan untuk penduduk pinggiran kota yang berat dan sulit bagi mereka untuk datang ibadah shalat Jumat karena jarak masjid jauh dari tempat tinggalnya—sebagaimana terjadi pada penduduk pinggiran Madinah di masa Nabi Saw dan Sahabat—, maka mereka dibolehkan memilih untuk tetap melaksanakan shalat Jum’at atau meninggalkanya. Sebagaimana atsar Sayyidina Utsman bin Affan:
وَعَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، أَنَّهُ خَطَبَ يَوْمَ عِيْدٍ، فَقَالَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ هَذَا يَوْمٌ قَدِ اجْتَمَعَ لَكُمْ فِيْهِ عِيْدَانِ، فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْتَظِرَ الْجُمْعَةَ مِنْ أَهْلِ الْعَوَالِي فَلْيَنْتَظِرْ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَرْجِعَ فَقَدْ أَذِنْتُ لَهُ. (رواه البخاري)
Dari Utsman bin Affan Ra, bahwasanya ia berkhutbah di hari raya, ia berkata: “Wahai manusia, sungguh ini adalah hari yang di dalamnya berkumpul bagimu dua hari raya, maka barangsiapa dari penduduk pingiran Madinah yang suka menunggu shalat Jum’at hendaklah menunggu; dan barangsiapa yang suka pulang maka izinkan.” (HR. al-Bukhari)
Pendapat inilah yang menjadi pendapat madzhab Syafi’i dan mayoritas ulama sebagimana dituturkan Syaikh Wahbah az-Zuhaili dalam kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (II/543).
Namun demikian, bagi penduduk yang dekat dengan masjid seperti kebanyakan masyarakat di Indonesia, masih tetap wajib mendatangi shalat Jum’at dan tidak ada alasan untuk meninggalkannya. Karena, jarak masjid dengan rumahnya tidak jauh dan tidak ada kesulitan baginya untuk mendatangi shalat Jum’at.
Mazhab Hanbali
Berbeda dengan pendapat mayoritas ulama, menurut mazhab Hanbali kewajiban shalat Jum’at dianggap gugur, sebagaimana ketika terjadi uzur Jum’at seperti sakit dan lainnya yang dapat menggugurkan kewajiban shalat Jumat. Hal ini karena mengacu pada beberapa hadits di antaranya adalah hadits Zaid bin Arqam dan Abu Hurairah.
Sikap Terbaik
Melihat fakta perbedaan pendapat antarmazhab ini, sikap terbaik yang pantas diambil adalah khuruj ‘anil khilaf, yaitu keluar dari perbedaan pendapat ulama dengan tetap melaksanakan shalat Jum’at sebagaimana biasa.
Referensi:
Al-Hawi al-Kabir (II/1140):
فَصْلٌ: إِذَا كَانَ الْعِيدُ فِي يَوْمِ الْجُمْعَةِ حكم صلاة الجمعة فَعَلَى أَهْلِ الْمِصْرِ أَنْ يُصَلُّوا الْجُمْعَةَ. وَلَا يَجُوزُ لَهُمْ تَرْكُهَا كَمَا قَالَ بِهِ أَكْثَرُ أَصْحَابِنَا وَالْفُقَهَاءُ كَافَّةً. وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَابْنُ الزُّبَيْرِ قَدْ سَقَطَ عَنْهُمْ فَرْضُ الْجُمْعَةِ. وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ لِعُمُومِ قَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْجُمُعَةُ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ، وَلِأَنَّ الْعِيدَ سُنَّةٌ وَالْجُمْعَةَ فَرْضٌ، وَلَا يَجُوزُ تَرْكُ الْفَرْضِ بِالسُّنَّةِ. فَأَمَّا أَهْلُ السَّوَادِ فَفِي سُقُوطِ الْجُمْعَةِ عَنْهُمْ وَجْهَانِ: أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا وَاجِبَةٌ عَلَيْهِمْ كَأَهْلِ الْمِصْرِ. وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ نَصُّ الشَّافِعِيِّ أَنَّهَا سَقَطَتْ عَنْهُمْ، لِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ أَنَّهُ قَالَ لِأَهْلِ الْعَوَالِي: فِي مِثْلِ هَذَا الْيَوْمِ قَدِ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ، فَمَنْ شَاءَ أَنْ يَنْصَرِفَ فَلَيَنْصَرِفْ فَإِنَّا مُجَمِّعُونَ.
وَالْفَرْقُ بَيْنَ أَهْلِ الْمِصْرِ وَالسَّوَادِ: أَنَّ أَهْلَ السَّوَادِ إِذَا انْصَرَفُوا بَعْدَ صَلَاةِ الْعِيدِ شَقَّ عَلَيْهِمُ الْعَوْدُ، لِبُعْدِ دَارِهِمْ وَلَا يَشُقُّ عَلَى أَهْلِ الْمِصْرِ لِقُرْبِ دَارِهِمْ .
Pasal: Ketika hari raya jatuh pada hari Jum’at maka hukum shalat Jum’at bagi penduduk setempat tetap wajib melaksanakannya dan tidak boleh bagi mereka meninggalkannya, sebagaimana pendapat mayoritas Ashab kami dan seluruh Fuqaha. Sementara Ibn Abbas dan Ibn Zubair berpendapat gugurlah kewajiban shalat Jumat dari mereka. Ini pendapat yang tidak benar berdasarkan keumuman sabda Nabi Saw: “Shalat Jum’at wajib bagi setiap muslim”, dan karena shalat Id adalah sunnah dan shalat Jum’at adalah wajib, sementara tidak boleh meninggalkan wajib karena sunnah. Adapun penduduk pinggiran maka tentang gugurnya kewajiban jum’at bagi mereka ada dua pendapat: pertama, shalat Jum’at tetap wajib bagi mereka sebagaimana penduduk setempat. Kedua dan ini adalah nash Imam as-Syafi’i, shalat Jum’at gugur bagi mereka berdasarkan riwayat dari Nabi Saw, bahwa beliau bersabda kepada penduduk pinggiran Madinah: “Pada semisal hari ini sungguh berkumpul di harimu ini dua hari raya, maka barangsiapa ingin pulang silahkan pulang. Sungguh kami tetap melaksanakan shalat Jumat.
Adapun perbedaan antara penduduk kota dan pinggiran (as-sawad): penduduk as sawad jika pulang setelah shalat Id maka berat bagi mereka kembali ke masjid, karena jauhnya rumah mereka; sedangkan penduduk kota tidak berat karena dekat.
Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (II/543):
سُقُوْطُ الْجُمْعَةِ عَمَّنْ حَضَرَ الْعِيْدَ إِلَّا الْإِمَامَ عِنْدَ الْحَنَابِلَةِ:
قَالَ الْحَنَابِلَةُ: كَمَا تَسْقُطُ الْجُمْعَةُ عَنْ ذَوِي الْأَعْذَارِ أَوِ الْأَشْغَالِ كَمَرِيْضٍ وَنَحْوِهِ، تَسْقُطُ عَمَّنْ حَضَرَ الْعِيْدَ مَعَ الْإِمَامِ إِنِ اتَّفَقَ عِيْدٌ فِي يَوْمِ جُمُعَةٍ إِسْقَاطَ حُضُوْرٍ، لَا إِسْقَاطَ وُجُوْبٍ، إِلَّا الْإِمَامَ، فَإِنَّهَا لَا تَسْقُطُ عَنْهُ، إِلَّا أَنْ لَايَجْتَمِعَ لَهُ مَنْ يُصَلِّيَ بِهِ الْجُمُعَةَ، وَيَصِحُّ أَنْ يَؤُمَّ فِيْهَا، وَالْأَفْضَلُ حُضُوْرُهَا خُرُوْجاً مِنَ الْخِلَافِ.
وَدَلِيْلُهُمْ: حَدِيْثُ زَيْدٍ بْنِ أَرْقَمَ: مَنْ شَاءَ أَنْ يُجَمِّعَ فَلْيُجَمِّعْ وَحَدِيْثُ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اِجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيْدَانِ، فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ، وَإِنَّا مُجَمِّعُوْنَ، وَلِأَنَّ الْجُمُعَةِ إِنَّمَا زَادَتْ عَنِ الظُّهْرِ بِالْخُطْبَةِ، وَقَدْ حَصَلَ سِمَاعُهَا فِي الْعِيْدِ، فَأَجْزَأَهُ عَنْ سِمَاعِهَا ثَانِياً، وَلِأَنَّ وَقْتَهَا وَاحِدٌ، فَسَقَطَتْ إِحْدَاهُمَا بِالْأُخْرَى كَالْجُمُعَةِ مَعَ الظُّهْرِ.
Gugurnya shalat Jum’at bagi orang yang hadir shalat Id selain Imam menurut Hanabilah.
Ulama Hanabilah berpendapat: Sebagaimana gugur kewajiban shalat Jum’at bagi orang -orang yang uzur atau memiliki kesibukan, seperti orang sakit dan semisalnya, maka gugur pula bagi orang yang hadir shalat Id bersama imam jika hari raya bertepatan di hari Jumat. Gugur dari sisi kehadirannya, bukan gugur kewajibannya, kecuali imam. Karena shalat jum’at tidak gugur dari Imam kecuali jika tidak ada orang yang berkumpul untuk shalat Jum’at bersamanya, dan sah baginya mengimami shalat Jumat. Yang paling utama adalah hadir shalat Jum’at karena keluar dari khilaf.
Adapun dalil ulama Hanabilah adalah: hadits Zaid bin Arqam: “Barangsiapa yang berkenan shalat Jum’at hendaknya melaksanakanya”, dan hadits Abu Hurairah dari Rasulullah Saw, beliau bersabda: “Telah bekumpul di harimu ini dua hari raya. Barangsiapa yang berkenan pulang, maka cukup baginya shalat Id dari shalat Jum’at, dan sungguh kami tetap melaksanakan shalat Jum’at.”Selain itu, juga karena shalat Jum’at melebihi shalat Zuhur dengan khotbahnya, dan khotbahnya telah terlaksana mendengarkan khotbah shalat Id. Karenanya ini telah mencukupinya dari mendengar khotbah kedua kalinya (khotbah Jum’at), dan juga karena waktunya satu, maka gugurlah salah satunya seperti shalat Jum’at an Zuhur.
Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (II/543):
وَقَالَ الْجُمْهُوْرُ (بَقِيَّةُ الْمَذَاهِبِ): تَجِبُ الْجُمُعَةُ لِعُمُوْمِ الْآيَةِ الآمِرَةِ بِهَا، وَالْأَخْبَاِر الدَّالَةِ عَلَى وُجُوْبِهَا؛ وَلِأَنَّهُمَا صَلَاتَانِ وَاجِبَتَانِ، فَلَمْ تَسْقُطْ إِحْدَاهُمَا بِالْأُخْرَى، كَالظُّهْرِ مَعَ الْعِيْدِ.
Mayoritas Ulama (seluruh mazhab selain Hanabilah) berpendapat: wajib shalat Jum’at karena (a) keumuman ayat yang memerintahkannya, (b) hadits-hadits yang menunjukan kewajibannya dan karena (c) keduanya adalah shalat yang wajib maka tidak gugur salah satunya sebab yang lain sebagaimana shalat dhuhur dan ied.